Rabu, Desember 31, 2008

Evaluasi... Introspeksi.... Eksekusi


Maraknya PHK mengakibatkan adanya trend "Small is Beautiful", artinya organisasi akan mengalami simplifikasi. Ibarat membangun sebuah rumah bertipe "minimalis", yakni bangunan dengan kamar yang relatif sedikit, minim aksesoris dan bahkan tanpa pagar!

Yah, begitulah potret organisasi kedepan: lebih ramping dan fleksibel. Sebagai contoh, perusahaan tempat relasi saya bekerja telah mem-PHK "orang-orang tidak penting" (sepeti: admin, sekretaris, officer). Sehingga orang-orang yang tertinggal adalah "key person" atau tokoh kunci. Sehingga masing-masing orang akan memiliki "distinct contribution" yang khas bagi organisasi. Tentunya hal ini akan sangat menyiksa orang-orang yang selama ini sangat bergantung pada para admin, sekretaris & officer tsb. Kesulitan utamanya adalah mengerjakan pekerjaan dari hulu ke hilir secara mandiri, efektif dan efisien. Terbayang oleh teman saya ini pekerjaan administratif yang menumpuk, seringnya lembur, atau bahkan mengangsur sebagian pekerjaan kantor di rumah. Ini tentunya akan sangat mengganggu berbagai aspek kehidupan pribadi vs profesional seseorang.

Saya hanya mengatakan kepada teman saya ini bahwa tahun depan hanya bisa dilewati dengan "aman" jika pekerjaan dilakukan dengan cara yang berbeda! Berikut ini tips yang mungkin saja berguna bagi teman anda atau mungkin anda sendiri:
1. Evaluasi porsi pekerjaan anda selama tahun berjalan, apakah anda selalu mengerjakan pekerjaan tanpa perencanaan yang matang; selalu menghadapi tengat waktu yang seakan tak ada habis-habisnya; seringkali tergoda mengerjakan pekerjaan yang tidak penting (seperti: email, menelpon teman, mengobrol, bernyanyi/ merusuh di tempat pekerjaan); atau mengerjakan pekerjaan yang tidak jelas target dan pertanggungjawabannya.
Jika ragu, identifikasi pekerjaan anda pada 4 kuadran karakteristik pekerjaan (important/ not important vs urgent/ not urgent). Jika lebih banyak mengerjakan pekerjaan tidak penting atau pekerjaan yang tidak jelas atau by order, maka waspadalah: anda tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk menyelesaikan tugas terpenting anda sepanjang tahun!

2. Introspeksi hal-hal apa yang bisa dilakukan guna membuat perbedaan untuk tahun kedepan. Lakukan benchmarking, hal-hal apa yang dilakukan teman sekitar anda (rekanan/ atasan/ bawahan) atau teman di perusahaan sebelah yang menjadi/memberi contoh yang baik bagi anda.
Kemudian tempatkan prioritas pekerjaan mana yang akan dilakukan. Rincilah hal-hal apa yang sebenarnya penting... hal-hal mana yang lebih penting dari yang penting-penting tadi, dan hal-hal mana yang paling penting (maha penting)... jika dapat diidentifikasikan, anda telah sukses mendefinisikan "yang terpenting" dalam hidup anda.
Kemudian rumuskan indikator apa yang paling mungkin mengukur tingkat keberhasilan bahwa pekerjaan/ target/ tujuan tersebut tercapai. Karena pekerjaan tanpa tolok ukur akan sulit dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.

3. Eksekusi...Eksekusi...Eksekusi...: artinya melaksanakan hal-hal yang telah dijanjikan. Sebagai exercise, lakukanlah 3 komiten secara mingguan, yakni: (1) Komitmen apa yang akan anda lakukan kepada keluarga (pacar/ suami/ istri/ anak/ famili); (2) target pada pekerjaan di kantor, dan (3) komitmen pada diri anda sendiri. Di akhir minggu, jika tidak tercapai, evaluasi mengapa? jika tercapai, hal-hal apa yang membantu/ menyebabkan hal tersebut tercapai.
Dan bagi yang telah memiliki beberapa anak buah, jadikan rutinitas untuk membicarakan target-target & lakukan evaluasi.

Akhirnya, dengan menjalankan 3 hal yang sederhana di atas maka adaptasi dan akselerasi anda di dalam organisasi bertipe minimalis tersebut akan berjalan semakin cepat dan mulus. Karena sesungguhnya sang pembuat perbedaan itu ada ditangan anda!

Selasa, Desember 30, 2008

Menggapai Tahun 2009

Kelesuan perekonomian sebagai akibat dari krisis global kemudian berdampak pada perlambatan laju pertumbuhan ekonomi di multi sektor. Pemerintah yang pada di bulan-bulan awal krisis global merasa "confidence" dengan stabilitas ekonomi makro, perlahan pada bulan-bulan kedepan mulai memiliki 'sense of crisis', dan pada tahun mendatang akan segera 'berlari' untuk segera mengejar ketertinggalan dengan mengambil tindakan-tindakan perbaikan.

Salah satu headline Kompas online hari ini, Dirjen pajak memperkirakan tahun 2009 penerimaan pajak akan berkurang Rp 70 T sebagai akibat berkurangnya kegiatan industri, tentunya pasti menggerus 'confidence' dan menyiagakan tingkat sense of crisis yang sudah terbangun di awal. Sejatinya, pendapatan pemerintahan yang berasal pajak merupakan kemampuan suatu negara didalam mengumpulkan sumber-sumber pendapatan guna membiayai pembangunan, membayar gaji PNS dan beragam expenses lainnya.
Para pembaca yang budiman, jika pendapatan pajak berkurang jauh maka dari manakah pemerintah akan mendapatkan revenue (jika kita tidak berharap pinjaman/hutang dari luar negeri)? Dan belum lama ini, pemerintah secara tegas telah mulai mengalihkan sumber pendapatan yang semula berasal dari sektor primer-yang nyata-nyata telah merusak alam dan sukses menimbulkan bencana alam & moral yang berkepanjangan-menuju sektor sekunder dan tersier. Ini terlihat dari dari Undang-Undang Pertambangan yang baru dan semakin ketatnya pemerintah dalam menindak para pelaku illegal logging.


Masa Peralihan & Perubahan Paradigma Bangsa

Namun tentunya untuk jangka pendek diperlukan "action" yang bukan hanya merupakan 'quick fixes' untuk dunia usaha tetapi lebih dari itu. Strategi diatas sangat bagus untuk jangka panjang dan sebagai penentu bagi pergerakan bangsa ini ke depan (baca Kisah "Arus Balik" & Knowledge Management). Ini kemudian dijawab oleh 3 program Pemerintah di tahun 2009, (sebagaimana penulis lansir dari Kompas online pada hari ini, 30/12/2008 ), yakni:
(1) PROTEKSI IMPOR dengan membatasi impor 12 jenis barang. (Yakni garmen, alas kaki, mainan, elektronik, kosmetik, makanan dan minuman, baja, sepeda, telepon genggam, komponen otomotif, lampu hemat energi, dan keramik);
(2) SUBSIDI FISKAL: Pemerintah akan mengalokasikan dana sebesar Rp 10 triliun untuk subsidi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atau PPN-TP (Jenis barang yang termasuk dalam PPN-TP ini antara lain tekstil, baja, minyak goreng, dan sepatu). Dan Pemerintah juga menyiapkan dana sebesar Rp 2,5 triliun untuk pembebasan bea masuk (BMDTP) pada 10 sektor usaha yang rawan terkena dampak krisis keuangan global. Misalnya, industri makanan dan minuman, elektronik, dan komponen elektronik;
(3) PROGRAM KKPE: program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) bagi dunia pertanian dengan bunga pinjaman 10 persen. Target KKPE tahun depan minimal sama dengan 2008, kurang lebih berkisar Rp 10,86 triliun.

Artinya dengan adanya program ini Indonesia diharapkan bukan lagi sebagai produsen barang primer dan menjadi konsumen barang sekunder dan tersier paling potensial di dunia... Tetapi beralih menjadi produsen barang sekunder dan tersier untuk jangka waktu seterusnya.

Dari paparan diatas, peralihan yang dilakukan bangsa besar ini memerlukan "perubahan paradigma berpikir". Jika semula kita semula memiliki mental "keterbatasan sumber daya alam" atau batasan jarak pandang dimana segala sesuatunya serba terlihat / tangible" berubah menjadi manusia bermental "keberlimpahan dalam mengembangkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak terlihat/ intangible (the unlimited asset)". Artinya pengembangan innovasi dan daya cipta manusia. Karena itulah untuk menggapai tahun 2009 ini diperlukan upaya yang 'sangat keras' dari berbagai pihak. Sebagai contoh: mengembangkan budaya menghargai kekayaan intelektual. Mulai dari hal yang kecil saja, sesuatu yang berada dalam lingkaran pengaruh anda: tidak meng-copy paste Blog orang dan mem-publish tanpa seizin orang ybs; memulai untuk mengeksplor kemungkinan-kemungkinan yang tak mungkin-dimana ini hanya bisa diwujudkan dengan nyali "enterpreneurship"; dan senantiasa mengasah diri/ mengembangkan kompetensi.

Mudah-mudahan dengan artikel dan ilustrasi diatas akan semakin menciptakan kreatifitas, naluri berkompetisi, perubahan paradigma Bangsa Indonesia. Semoga!

Rabu, Desember 17, 2008

Setelah Dia Pergi

Pada tulisan di blog ini tertanggal 24 juni 2008, Robby Djohan suatu Studi Kasus Karakteristik Kepemimpinan, penulis berkesempatan untuk mengunjungi dan merasakan aura "legacy kepemimpinan" yang telah beliau tinggalkan. Perjalanan "town to town commuter" yang cukup jauh tidak penulis rasakan selama berhari-hari karena inilah kesempatan yang tidak akan penulis sia-siakan untuk me-review legacy tersebut.

Penulis berkeliling melihat sudut-sudut ruang dan memvisualisasikan legacy yang ditinggalkan beliau. Memang, penulis berkesempatan mendapatkan seminar management satu hari bersama beliau pada saat S1 dulu, lalu ketika S2 penulis kembali berkesempatan mendapatkan perkuliahan umum "Turn Around Management" dari beliau. Dan saat ini, suatu kebetulan bagi penulis untuk meninjau secara langsung...

Sederet pertanyaan yang penulis lontarkan pada peserta workshop di berbagai kesempatan yang ada, tentang bagaimana keadaan perusahaan pada saat beliau memimpin; apakah benar beliau memindahkan kantornya untuk memantau kondisi lapangan; apa yang dirasakan jajaran perusahaan ketika beliau "mengamankan" serikat pekerja hingga issue industrial lain yang terjadi di perusahaan; kontribusi HR apa yang berkesan di era kepemimpinan beliau; dan apa yang telah berubah setelah beliau pergi?

Legacy yang tertinggal adalah SDM unggul yang telah terseleksi dan telah teruji di lapangan. Namun yang masih menjadi PR adalah sistem yang masih tertinggal dan munculnya penyakit silo dan masalah kepemimpinan yang kembali bermunculan bak jamur setelah hujan. Seperti bangsa yang ditinggal segera setelah kepergian Sang Nabi, lalu mereka kembali kepada Agama nenek moyang yang semula dianut.

Legacy itu tetap ada, regenerasi kepemimpinan telah beliau gulirkan dengan sukses. Hanya saja masih memerlukan effort yang monumental guna membangunkan naga yang tengah tertidur ini! Penulis berharap agar legacy yang masih ada saat ini mampu memanfaatkan momen baik yang tengah berjalan saat ini.

Selasa, Desember 16, 2008

HR & Resolusi Akhir Tahun

Berakhirnya tahun 2008 biasanya menyisakan kegiatan untuk berkontemplasi, merenung, dan mengevaluasi jalannya tahun 2008. Kemudian setelah kilas balik peristiwa tersebut dilakukan, maka lahirlah resolusi berbentuk harapan, tekad, pencapaian, hingga target riil menghadapi tahun 2009.

Di dalam tulisan ini akan dibahas catatan dan kisi-kisi resolusi para pelaku bisnis kunci yang tengah menghadapi kondisi perekonomian yang terus tertekan, bahkan kondisi di tahun mendatang diramalkan tidak akan sebaik tahun-tahun lalu. Kondisi ini tentunya tidak akan pernah terbayangkan sebelumnya. Lalu resolusi apa yang ada di benak para pelaku tersebut, trend apa yang akan berjalan di dunia pengembangan organisasi dan di HR khususnya?

Resolusi Direksi
Direksi selaku majelis pengambil keputusan-yang merepresentasikan suara para pemegang saham-akan memiliki resolusi akhir tahun seperti ini: “me-landing-kan perusahaan agar berada di tingkat yang favorable”. Kata-kata yang agak samar, berada di awang-awang, namun khas bagi para pemikir strategis. Kondisi yang “favorable” bagi perusahaan berarti perusahaan akan melakukan ‘tindakan ringan’ seperti penerapan sub sistem HR yang baru hingga ‘tindakan ekstrim’ seperti revitalisasi/ reengineering di dalam organisasi. Tergantung kondisi yang berjalan di tubuh perusahaan

Kemudian resolusi kedua para direktur tersebut adalah agar manuver-manuver di awal 2009 tidak akan mengurangi pertumbuhan perusahaan (profitabilitas, penurunan cost, hingga kualitas output karyawan).

Tindakan ringan berupa pengenalan dan penerapan sub sistem HR yang baru biasa dilakukan mulai dari meningkatkan kompetensi karyawan, membangun talent pool, dan meningkatkan kontrol terhadap kualitas. Sedangkan tindakan ekstrim yang dimungkinkan adalah melakukan perubahan besar-besaran di dalam struktur organisasi dan skenario terburuknya adalah mengurangi jumlah karyawan dan secara drastis memotong sub organisasi/ menutup SBU yang tidak produktif.

Resolusi Manager Puncak
Berbeda dengan resolusi Direksi, Manager Puncak pada umumnya memiliki resolusi sebagai berikut: bagaimana tindakan penyesuaian Direksi dilakukan dengan baik dan tidak menimbulkan dampak risiko yang besar bagi perusahaan. Seperti mogok kerja, memburuknya image perusahaan, dan yang terburuk adalah jatuhnya harga saham.

Jika PHK diyakini akan terjadi besar-besaran di tubuh perusahaan, tentunya keresahan dan tuntutan untuk memberikan kepastian mengemuka. Para manager puncak akan melakukan program-program HR guna mengeleminir unsur-unsur risiko yang disebut diatas, seperti: sosialisasi bagi korban PHK, pelatihan enterpreneurship, sosialisasi dan pelaksanaan reengineering perusahaan, hingga program-program lain berkaitan dengan strategic industrial relation lainnya.

Resolusi Karyawan dan Jajaran Pelaksana
Siapapun diantara kita tidak ingin perusahaan berada pada situasi terburuk. Sebagai contoh, baru-baru ini Persatuan Buruh perusahaan automotif terbesar di AS bersedia dipotong gajinya karena gaji mereka berada di atas standar buruh, dan pada saat bersamaan sang CEO tidak menerima gaji pada bulan berjalan.

Sebagai konsekuensi dari kebijakan Direksi yang kemudian diterjemahkan menjadi serangkaian program oleh para Manager Puncak, maka resolusi bagi karyawan dan jajaran pelaksana: tahun 2009 adalah kesempatan bagi jajaran untuk tampil dan memberikan yang terbaik bagi perusahaan!


Menerjemahkan Resolusi menjadi Tindakan
Dari perspektif HCMS, jika resolusi para pelaku bisnis diatas diterjemahkan menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih terstruktur dan riil, maka Performance Management System (PMS) memegang peranan penting. PMS membantu ”sumpah palapa” para jajaran perusahaan menjadi tersistem dalam bentuk sesi pertemuan atasan dengan bawahan terkait kinerja, pengembangan kompetensi serta hal-hal kritikal lain yang hendak dicapai oleh karyawan.

Penerapan PMS juga merupakan arena seleksi/ screening karyawan yang sukses dalam mempertahankan kinerja versus karyawan yang memiliki performa rendah secara tersistem dan fair.

Melalui sistem yang terstruktur ini, karyawan di tengah-tengah kondisi menekan tersebut akan mengembangkan daya adaptasi, yakni peningkatan kompetensi. Artinya secara personal, jajaran perusahaan akan mengembangkan diri, meningkatkan kinerja, menciptakan jalan pintas (short cut, mengurangi birokrasi), bahkan terciptanya inovasi. Secara berkelompok karyawan akan saling bekerja sama, bahu-membahu menciptakan serta meningkatkan value perusahaan sehingga cikal bakal budaya yang solid dan kompetitif akan tercipta. Dan akhirnya organisasi akan memiliki ketahanan atau imunitas terhadap kondisi baru ini.

Sehingga siapa yang paling diuntungkan oleh kondisi krisis ini? Lalu, bagaimana resolusi organisasi anda?

Senin, November 24, 2008

Story Time!

Memahami metode dalam Knowledge Sharing, terdapat suatu pendekatan yang menjadi salah satu ritual manis dan cukup dikenal oleh manusia-manusia kecil yang sedang bertumbuh, yakni story telling. Story telling biasa dilakukan sesaat sebelum mereka tidur, atau pada waktu-waktu senggang. Meskipun sederhana, tidak menggunakan alat bantu namun lebih menggunakan daya imajinasi serta ingatan itu, ternyata sangat efektif di dalam menanamkan nilai-nilai serta menginspirasikan gerak dan nafas kehidupan mereka ke depan.

Mengapa dikatakan sangat efektif? Story telling atau dongeng sebelum tidur dilakukan pada saat si anak sedang berada pada saat santai dan nyaman karena berkumpul dengan orang-orang yang dicintainya. Cerita mengalir dengan alur yang sederhana, mudah diingat, dan seringkali berulang-ulang, namun tidak pernah membosankan akan selalu dikenang baik secara sadar maupun tidak. Story telling secara perlahan memberikan nasihat tidak langsung serta nilai yang harus diteladani oleh si anak.

Merefleksikan dampak story telling di dalam kehidupan penulis sendiri, penulis dibentuk oleh cerita nenek. Penulis termasuk beruntung karena beliau merupakan saksi sejarah, yang tidak sengaja selalu berada ditengah—tengah peristiwa penting, dan tercatat di dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebagai kilas balik, seringkali beliau menceritakan kehidupan pra kemerdekaan, perjuangan merebut kemerdekaan, suasana peperangan, pergaulan beliau dengan orang asing (penjajah), serta kisah-kisah menarik masa lampau yang selalu penulis nanti-nantikan.

Sebenarnya setelah mendengarkan kisah tersebut, penulis dihadapkan bahwa dunia ini bukan melulu datar dan ”mudah diperkirakan” bak sinetron Indonesia: tapi ada sejarah yang melatari suatu kejadian (era kemerdekaan), ada konflik melawan penjajahan, ada kisah sedih seperti perpisahan dan kematian, dan seringkali kisah-kisah tersebut diakhiri dengan ironi atau ”kebahagiaan” bagi orang-orang yang dapat memaknainya. Karenanya penulis belajar bahwa kehidupan tidak hanya dipenuhi oleh ”manisnya hidup” belaka, tapi penuh oleh kerja keras dan perjuangan, sebagaimana kehidupan yang telah ditempuh oleh sang nenek.

Memupuk Mimpi melalui Story Telling
Story telling juga memupuk mimpi-mimpi dan harapan. Story telling yang unik kemudian diproses oleh alam bawah sadar menjadi personal script. Artinya, story telling yang diceritakan dengan alur cerita yang mengalir dimana pendengar diajak menyelami kondisi, emosi serta situasi yang dirasakan oleh si pembawa cerita. Kemudian di alam bawah sadar cerita tersebut diterjemahkan menjadi keinginan-keinginan atau mimpi yang kemudian menggugah si pembawa cerita. Kelak kedepan, baik sadar maupun tidak, akan ada upaya bawah sadar untuk mewujudkan mimpi melalui story telling itu sendiri. Tentunya dengan cara yang berbeda-beda.

Penulis di dalam merefleksikan story telling nenek, bertahun-tahun setelah beliau tutup usia, ternyata ada harapan atau ekspektasi alam bawah sadar yang telah terbentuk, membumbung tinggi, dan membuncah menjadi suatu kerinduan. Kerinduan berubah menjadi sebuah tindakan nyata penulis untuk sejajar diantara bangsa-bangsa asing melalui kemampuan penguasaan bahasa, selalu mempelajari hal-hal baru, dan menjadi yang terdepan dalam segala hal.

Story Telling dalam Korporasi
Ini adalah metode yang unik, tapi dapatkah metode story telling ini dimanfaatkan di dalam kesempatan sharing session, di dalam sebuah acara formal, atau bahkan pada kesempatan penting di sebuah korposasi? Dan bagaimanakah story telling tersebut dilakukan?

Ya! Story telling dapat dilakukan pada kesempatan sharing session atau bahkan kesempatan strategis lainnya, jika disampaikan oleh orang yang dituakan, saksi hidup, atau mungkin orang yang dapat menceritakan kembali pengalaman/ corporate memory dengan cara yang menghibur dan mengesankan.

Kesuksesan perusahaan dikisahkan kembali, sebagai contoh: perjuangan sang pemilik yang mati-matian mempertahankan urat nadi perusahaan; kiat-kiat sang pemilik bertahan dari terpaan cobaan seperti: hutang, persaingan, konflik; dan bahkan penemuan/ tindakan/ strategi yang tidak disengaja dilakukan oleh sang pemilik yang membawa perusahaan menuju ”zaman keemasan”. Ini merupakan cerita yang menginspirasikan, menanamkan nilai-nilai dan impian bagi jajaran yang mendengarkan untuk terus berkarya dan mempertahankan perusahaan dari serangan ataupun tantangan ke depan.

Berbicara mengenai Story telling di korporasi, bagaikan cerita nenek, di alam bawah sadar para jajaran terbentuk apa yang dinamakan Schein merupakan ”tingkatan ketiga” dari budaya perusahaan, yakni asumsi mendasar yang merupakan sumber utama dari nilai dan tindakan jajaran perusahaan, dimana biasanya tanpa disadari, bersifat taken-for-granted, berbentuk kepercayaan, persepsi, pemikiran dan perasaan kolektif. Artinya, nilai-nilai yang disampaikan berulang-ulang melalui story telling tersebutlah yang diadaptasikan para jajaran sebagai dasar bertindak, melalui proses mendalami dan memahami gerak dan laju pertumbuhan perusahaan ke depan. Selain itu kelebihan lain dari story telling, yang bahan ceritanya berasal dari corporate memory, akan memberikan peringatan, batasan, serta kebijakan atau wisdom yang membuat orang-orang yang mendengarkannya menerima dan mengadaptasikan dengan keadaan yang terjadi pada saat ini.

Sebagai penutup, jadikanlah story telling merupakan satu ritual manis yang dikenang oleh ”manusia-manusia yang sedang bertumbuh dan berkembang” di tengah-tengah organisasi anda dan menjadi sesi yang senantiasa menginspirasikan gerak dan nafas kehidupan mereka ke depan. Semoga!

Senin, November 10, 2008

Ke pesta Blogger...


Aku hanya penasaran, ingin tahu seperti apa pesta blogger 2008 yang nantinya akan diadakan tanggal 22 november.

Tak ingin berekspektasi terlalu tinggi, namun sangat berharap akan bertemu dengan penulis blog yang juga menulis buku. Bisa tidak, ya? semoga saja


Selasa, November 04, 2008

MARI BUNG REBUT KEMBALI!

Kemarahan, kegusaran, kesedihan dan ketidakberdayaan dapat Penulis rasakan bak pasukan yang baru kalah perang. Bagaimana tidak, seseorang telah gagal dalam mempertahankan ”intelectual property” yang sebenarnya berhak ia sandang.

Ini cerita yang tidak aneh bagi seorang asisten peneliti dimana sebetulnya ialah penemu terobosan baru; atau seorang co-author/ ghost writer bidang penulisan dimana sebetulnya ialah penggagas ide dan bahkan kontributor utama; atau seorang karyawan biasa yang sebetulnya mencetuskan ide terpopuler dalam perusahaan; dan masih banyak lagi orang-orang yang mengalami nasib menjadi ”orang kedua” penentu kesuksesan ”pemain utama”.

Inilah kisah nyata seorang teman baik saya versus oknum manajemen, dimana ia secara ”de facto” adalah kontributor utama artikel yang dimuat di sebuah koran terkemuka Indonesia. Namun begitu kumpulan artikel tersebut dicetak menjadi sebuah buku, ia tidak menerima se-sen pun royalti penjualan buku, ucapan terimakasih, dan bahkan ia masih bekerja dan tetap setia mendampingi sang oknum. Ini adalah kejahatan besar, penindasan dan perampasan hak ”intelectual property”, pemusnahan kreatifitas dan kontribusi suatu generasi, bahkan pengingkaran seseorang yang sebetulnya layak mendapat bintang!

Kasus diatas merupakan contra productive bagi perusahaan yang mengaku telah menjalankan knowledge management. Sang penulis pemula memang belum lagi punya nama, namun setidaknya sebentuk pengakuan akan menghadirkan penulis ternama, tanpa mempermalukan sang oknum yang berpikiran jangka pendek tersebut. Dan ingat lah: semakin dalam ilmu digali, ia tidak akan pernah kering, bahkan akan semakin berlimpah.


Penulis hanya bisa berseru, ”Mari, Bung, rebut kembali hak ’intelectual property’ para generasi muda!”.

Kamis, Oktober 30, 2008

Mengembangkan Organisasi Knowledge Driven: Studi Kasus Buckman Laboratories

Bagi organisasi pada era pengetahuan, kekuatan terletak pada bagaimana perusahaan bertahan, beradaptasi, dan berkompetisi di tengah-tengah kerasnya persaingan. Bahkan kekuatan pengetahuan sangat vital sifatnya bagi manusia mula-mula yang hidup di muka bumi, contohnya kemampuan manusia membuat api 790.000 tahun yang lalu, sebagaimana yang ditemukan oleh para arkeolog Israel baru-baru ini.

Bagi Buckman Laboratories (BL) yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan zat kimia, pengetahuan merupakan penggerak tumbuhnya bisnis yang sudah dirintis semenjak tahun 1945. Bisnis berkembang diakui Robert H. Buckman (sang pemilik) berasal dari bagaimana para jajarannya menerapkan ilmunya dalam memberikan solusi kepada pelanggan.

Dalam artikel ini, kasus BL akan diulas secara rinci melalui pencapaian/ milestone di dalam menerapkan Knowledge Management (KM) di era 1980-an hingga masa sekarang, kegagalan dan keberhasilan BL di dalam mengimplementasikan KM.


Buckman Laboratories' KM

Kebutuhan Buckman di dalam mengembangkan KM berawal dari tingginya tingkat pertumbuhan pabrik dunia yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan bahan kimia, namun di sisi lain memiliki keterbatasan jumlah ahli/ expert kimia. Sebagai gambaran, BL memiliki 1400 pegawai, memiliki 23 perusahaan yang tersebar di seluruh dunia, dengan pelanggan yang tersebar di 80 negara yang menggunakan 15 bahasa berbeda.

Kondisi yang tidak ideal ini dipandang oleh Buckman sebagai masalah serius. Buckman yang pada masa itu (1971) diangkat menjadi CEO melihat jika permasalahan ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan risiko tersendiri bagi perusahaan, yakni: (1) keluarnya expert dari organisasi akan menimbulkan kerugian perusahaan atas hilangnya ilmu yang dimiliki sang expert; dan (2) tingginya jam berpergian expert ke seluruh dunia akan menyebabkan berkurangnya waktu para expert di tengah-tengah keluarga.

Buckman memulai dengan upaya meng-install perangkat IT. Pada tahun 1983-an tidak ada barang yang murah di dalam dunia IT. Kemudian diadakan server yang khusus menyimpan data dan diharapkan pengetahuan tersebut dapat tersebar dan dapat ditransfer bagi yang membutuhkan. Ternyata inisiasi tersebut tidak membuahkan hasil karena terbatasnya akses (hanya dimiliki oleh kantor pusat), dan kelemahan lain adalah sifatnya tidak mobile dimana sebetulnya orang-orang yang bekerja di lapangan yang paling membutuhkannya.

Tahun 1986, Buckman membangun network, dimana masing-masing pegawai memiliki PC. Upaya ini tak juga membuahkan hasil karena adanya ketakutan pegawai akan penyalahgunaan informasi. Pengamanan yang berlapis enam akhirnya dijalankan sedemikian rupa oleh Buckman agar informasi dapat mengalir pada jajaran yang berada di level yang lebih rendah.
Tingginya tingkat mobilitas associate BL menuntut teknologi yang lebih canggih. Buckman kembali berinvestasi dengan menggunakan email. Kerepotan yang harus dihadapi BL adalah email hanya dapat digunakan di negara setempat, artinya email tidak bisa digunakan apabila user berpindah-pindah negara.

Belajar dari investasi yang mahal tersebut, Bukman mendapatkan karakteristik penting dari sistem sharing knowledge:

  • mengurangi jumlah transmisi hingga menjadi satu saja sehingga ilmu tidak terdistorsi dan langsung dapat diterima
  • memberikan akses knowledge kepada siapa saja
  • membiarkan ilmu ditransfer dalam berbagai bahasa
  • memastikan sistem bekerja dengan baik sehingga dapat digunakan oleh siapapun dan kapanpun juga
  • menggunakan sistem yang mudah dipahami
Di tahun 1990-an inisiasi Buckman tidak lagi diiringi dengan pertumbuhan investasi di bidang IT, namun lebih kepada pengembangan Organizational Development (OD). Divisi khusus Knowledge Transfer (KT) mulai dibentuk guna merespon merespon kebutuhan pengetahuan global terkait dengan perencanaan dan pengelolaan sumber daya terhadap sebaran pengetahuan industri, teknikal dan pasar. KT berperan dalam memastikan dimudahkannya akses dan sharing terhadap best practice diantara Buckman Associates.

Berangkat dari keberhasilan divisi KT maka Buckman kemudian membentuk ”Learning Center”, atau semacam universitas yang dibentuk di dalam korporasi. Transfer pengetahuan yang diformalkan ini menjadikan proses transfer pengetahuan lebih terstruktur dan sistematis, dan bagi Buckman memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan inisiasi Buckman sebelumnya. Sebagai gambaran, Buckman dapat menekan "learning cost" dari US $ 1000/ jam yang terjadi pada kuartal 1 tahun 1998 menjadi US $2/ jam pada tahun 2000. Dan efek dari knowledge sharing yang digalakkan Buckman adalah meningkatnya proporsi produk baru terhadap total sales, yakni dari 13% per tahun 1997 menjadi 34% pada tahun 2000.Seiring dengan berjalannya waktu, Bukman menyadari bahwa memupuk kepercayaan diantara jajaran merupakan hal yang paling mendasar agar budaya knowledge sharing melembaga di dalam organisasi. Bagi Buckman, instalasi IT merupakan sesuatu hal yang paling mudah dilakukan namun tidak memberikan nilai tambah bagi peningkatan knowledge sharing.


Penutup

Dari kasus di atas kita mendapatkan tiga pelajaran dari implementasi KM oleh Bukman, yakni: pertama, Buckman pada awalnya telah berinvestasi secara besar-besaran di bidang teknologi IT, namun ternyata hal tersebut tidak efektif di dalam menciptakan organisasi berbasis KM; kedua, komitmen dan upaya Buckman di dalam menanamkan kepercayaan diantara jajarannya secara berkesinambungan dan tidak kenal lelah, disadari atau tidak, sebenarnya merupakan fondasi KM; ketiga, inisiasi Buckman di bidang OD memuluskan upaya menginstitusikan budaya KM melalui divisi-divisi khusus serta IT sebagai "enabler"-nya.

Sehingga sangatlah tepat apabila di tahun-tahun perkembangan organisasi BL telah menjadi organisasi terdepan yang diakui dunia sebagai "Most Admired Knowledge Enterprise". Organisasi yang digerakkan pengetahuan (knowledge driven) dimana organisasi ini menjadi oase bagi jajaran untuk berbagi pengetahuan!

Kamis, Oktober 23, 2008

Feedback yang Mengancam!



Ini bukanlah versi lain film Indonesia yang tengah beredar minggu-minggu ini (Do’a yang Mengancam), tapi merupakan sebuah kasus terkait “rutinitas” yang nyata-nyata dilakukan oleh atasan, manajer, pimpinan kepada anak buah pada saat-saat evaluasi performa. Sesi feedback yang “mengancam” tersebut terjadi dimana sang atasan mencari-cari kesalahan, menyimpan bukti/ kesalahan, memprovokasi rekanan kerja lain (peers), hingga konspirasi untuk menjebak/ menyingkirkan orang-orang yang tidak disukai sejauh-jauhnya.

Seorang motivator ulung, Mario Teguh menyatakan orang yang bekerja pada perusahaan memiliki kekuatan hati, harapan dan cita-cita jauh diatas kekuatan si pemilik perusahaan (owner). Karena orang-orang yang bekerja dari hari ke hari merupakan penyangga bagi organisasi. Mereka yang merasakan jatuh/ bangun hingga susah dan senang selama bekerja di dalam organisasi. Secara transaksional, kuat atau lemahnya penyangga tersebut berpulang sejauh mana faith yang dimiliki oleh jajaran perusahaan tersebut dan faith yang dimiliki pemilik perusahaan.

Tulisan ini bukannya bermaksud melakukan provokasi atau menghasut anak buah untuk melawan para “atasan” tersebut, namun lebih kepada sebuah refleksi guna merubah cara pandang dan berfikir secara transaksional menjadi stratejik-holistik terkait pengelolaan performa perusahaan (PMS), unit kerja, hingga perorangan.


Bayangkan: Organisasi Tanpa PMS!

Pengelolaan organisasi tanpa sesi feedback dalam PMS adalah ibarat ”makanan tanpa garam”. Tanpa PMS, dinamika, kinerja dan prestasi orang-orang yang bekerja hingga milestone atau pencapaian perusahaan/ unit/ perorangan yang membanggakan tidak dapat teridentifikasi/ terdeteksi. PMS yang teradministrasi dengan rapi, dimana sang atasan dan bawahan dengan penuh kesadaran membukukan pencapaian target melalui KPI, memberikan laporan kegiatan pekerjaan secara sistematis, hingga mencatatkan kejadian kritikal yang membanggakan–yang layak dicatatkan oleh tinta emas perusahaan.
Bak permainan sepak bola yang cantik dan menjunjung tinggi semangat sportifitas, dicatatkan pula seberapa besar kontribusi si anak buah dalam ”memuluskan” pencapaian gol-gol indah perusahaan tersebut.

Di sisi lain, para atasan, manajer, atau pimpinan tidak memiliki ingatan yang baik mengenai apa yang dilakukan secara persis oleh anak buahnya, bahkan pencapaian/kesuksesan anak buah dalam kurun waktu 8 minggu pun tidak dapat diingat dengan baik. Sungguh disayangkan, sebelum ia mendapatkan apresiasi perusahaan yang layak, sang atasanlah yang diapresiasi terlebih dahulu oleh ”atasannya atasan”. Sungguh tidak adil! Sehingga lengkaplah sudah cerita ”Feedback yang Mengancam” ini. Tidak hanya mengancam harapan dan cita-cita si anak buah ke depan, bahkan ini sudah selangkah lebih maju dalam ”mematikan” karirnya. Efek demonstratif dan manipulatif sang atasan kepada ”atasannya atasan” semakin membuat si anak buah terpuruk jauh.

Ini bukanlah best practice PMS yang baik, bahkan praktik ini dapat menjadi virus yang menular kepada jajaran lain. Dalam tataran organisasi akan ditunjukkan dengan gejala-gejala: terjadinya penurunan moral, produktifitas, mengeringnya sumber daya dan mandeg-nya pelaksanaan best practice PMS itu sendiri. Result/ KPI/ pencapaian orang per orang menjadi semakin tidak reliable atau bahkan tidak wajar karena data, informasi tidak tercatat. Di sisi lain tingkat akuntabilitas seseorang di dalam melaksanakan pekerjaan tidak berimbang dengan tanggungjawab yang diemban. Artinya ada orang-orang yang dirugikan dan ada orang-orang yang diuntungkan oleh rezim ini.

Kembali si anak buah berharap agar atasan mencatatkan prestasi, pencapaian, dan karakter personal yang berhasil ia capai selama pekerjaan tersebut. Namun sang atasan entah berpura-pura lupa atau tidak peduli, bahkan tak kunjung melirik apa-apa yang telah ia lakukan.

Gol-gol tercantik telah tercatat di dalam tinta emas dunia persepakbolaan, namun apakah untuk mengeluartampilkan data-data performa terbaik di dalam perusahaan dapat dilakukan semudah statistik bola? Inilah sebuah tanda tanya besar bagi permainan yang menjunjung tinggi kerjasama dan sportifitas: di dalam suatu perusahaan/ korporasi sendiri!


PMS dan Level of Engagement Karyawan

Dalam kondisi ekonomi seperti ini, “level of engagement” (tingkat partisipasi) karyawan merupakan issue yang kembali mengemuka. Pekerja mulai pindah mencari pekerjaan yang lebih layak dari yang sebelumnya. Pengurangan kapasitas produksi perusahaan semakin memperburuk keadaan. Perusahaan dalam rangka bertahan pada masa sulit ini akan semakin banyak mendemosi, memutasi, hingga melakukan PHK para karyawannya dan secara besar-besaran.

Survey Gallup di AS menunjukkan perpindahan karyawan membebani perekonomian senilai $ 300 miliar dan sebesar 17% karyawan secara aktif tidak memiliki engagement dengan perusahaannya, dimana per hari perusahaan merugi akibat kehilangan produktifitas sebesar $13.000 per tahun.

Adapun ciri-ciri rendahnya level of engagement karyawan adalah:
1. Menghindari tanggungjawab
2. Menghindari komitmen untuk menyelesaikan pekerjaan
3. Menyimpan/ menutup-nutupi informasi
4. Menjaga jarak (tidak ikut bertanggung jawab) dari kegagalan seseorang
5. Menghindari diri untuk memberikan/ sharing informasi

Guna meningkatkan ”level of engagement” karyawan tidak hanya diupayakan oleh sistem absent yang ketat, adanya ritual meeting/ gathering, inisiasi promosi atau reward kepada karyawan, namun lebih kepada cara pandang stratejik-holistik menyangkut soft skill atasan, manager atau pimpinan perusahaan. Salah satu yang patut diteladani adalah Jack Welsh, dengan mendukung dan membicarakan orang-orang yang berprestasi di perusahaannya pada kesempatan rapat-rapat, namun di sisi lain memangkas orang-orang yang terbukti menjadi “tirani” di dalam organisasi. Yaitu orang-orang yang tidak menjalankan bahkan “mematikan” nilai-nilai fairness dalam perusahaan.

Artinya bagi Jack Welsh, program kerja, projek dan desain pekerjaan tidak hanya dilaksanakan berbasis tahun finansial, basis kontrak, dan kebutuhan perusahaan semata, namun lebih dari itu. Dalam jangka panjang hal tersebut bertujuan agar karyawan terus menerus memperlihatkan kinerja terbaik, mampu bekerja sama/ teamwork, dan mampu mengaktualisasikan diri. Sehingga semangat menjadi yang terbaik melalui kompetisi secara sehat, semangat sportifitas dan fairplay akan semakin mewarnai keseharian jajaran perusahaan. Dan akhirnya, sesi feedback bukan lagi menjadi sesi yang mengancam karir anak buah. Semoga!

Jumat, Oktober 17, 2008

Akhirnya selesai juga...


Alhamdulillah, dalam perjalanan membukukan untaian pemikiran demi pemikiran menjadi sebuah buku telah sampai pada tahap draft. Meskipun masih berupa draft-minus penerbit dan kata pengantar dari pembaca-rasanya setengah perjalanan ini telah ditempuh.

Akhirnya, rasa terbeban untuk menuliskan sebentuk karya hilang sejenak. Langkah berikutnya adalah menyajikannya dalam media cetak dan dapat diakses pembaca. Semoga!

Selasa, Oktober 14, 2008

Kisah "Arus Balik" & Knowledge Management








Sebuah masterpiece karya Pramoedya Ananta Toer yang begitu menginspirasi saya, berjudul “Arus Balik” menceritakan kisah kerajaan-kerajaan yang berdiri setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit. Dikisahkan, Kerajaan Majapahit yang semula merupakan kerajaan maritim, dimana armada lautnya menguasai perairan seluruh nusantara, dan bahkan hampir mencakup seluruh ASEAN. Namun setelah keruntuhannya, Majapahit telah berpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil dimana basis perekonomiannya adalah agraris dan berorientasi pada perdagangan regional & internasional. Gaya bertutur yang mengalir, dan kemudian membawa pembaca untuk menyusuri masa silam.

Cerita setebal 760 halaman ini dibumbui oleh kerinduan para tokoh cerita akan kebangkitan kembali Kerajaan Majapahit, di tengah-tengah keterpurukan yang dialami kerajaan-kerajaan kecil yang akan menghadapi musuh dari luar, yakni Bangsa Portugis dan Spanyol pada masa itu. Namun bobroknya pemerintahan pada zaman itu, seperti: kentalnya semangat KKN di dalam struktur pemerintahan kerajaan; sikap Asal Paduka raja Senang (APS) pejabat kerajaan; hingga maraknya pemberontakan di pedalaman kerajaan semakin memperlemah kerajaan hingga akhirnya terjajah bangsa asing. Inilah yang menjadi ironi pahit suatu kerajaan kecil di pesisir lautan Jawa.


Benang Merah “Arus Balik” dengan Knowledge Management
Pembaca yang budiman, apa yang menjadi benang merah cerita masa lalu dengan masa sekarang ada pada “tantangan knowledge management”.

Kisah “Arus Balik” ini telah membuka mata hati penulis, bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu menguasai teknologi, senantiasa berinovasi di dalam mempertahankan wilayah, dan bahkan “meluaskan” pengaruh. Itulah bangsa yang berkarakter kuat dan pantang menyerah oleh keadaan. Ilmu pembuatan kapal, senjata bermesiu, strategi perang di laut, serta karya cipta yang berasal dari leluhur tak lagi dipraktekkan, dituturkan dan dilestarikan kepada penerusnya. Malahan secara perlahan namun pasti, warisan adiluhung tersebut dimusnahkan dan tergantikan oleh hal-hal yang bersifat kesementaraan yang dibawa oleh penguasa korup yang tidak berfikir jangka panjang, miskin wawasan, berorientasi profit, serta membunuh innovasi dan daya cipta generasi tunas bangsa secara perlahan.

Ya, berkaca dari novel Arus Balik: pasang surut kekaisaran, dinasti, kerajaan, bangsa, atau organisasi ternyata sangat ditentukan oleh perilaku orang-orang yang hidup di dalamnya dalam hal menjaga pengetahuan yang ada. Artinya, dalam perspektif yang lebih sempit, kekuatan suatu organisasi tidaklah terletak pada teknologi yang ter-install pada komputer atau informasi yang terarsip; tidak juga ditentukan oleh seberapa besar database yang dimiliki perusahaan; jumlah bite piranti penyimpan data atau bahkan oleh kecanggihan processor komputer; namun lebih kepada bagaimana orang-orang yang menggunakan data, informasi dan pengetahuan yang tersebar di dalam organisasi.


Melestarikan Pengetahuan
Kehilangan orang-orang yang ahli di dalam organisasi sesungguhnya merupakan kerugian yang sangat besar. Akan lebih rugi lagi jika orang-orang yang nyata-nyata bekerja maupun masih exist di dalam organisasi tidak mempraktekkan pengetahuan, bahkan mentransfer pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang sebetulnya hidup di dalam organisasi tanpa sempat diaplikasikan atau ditransfer secara maksimal sungguh merupakan suatu kesia-siaan.

Dalam dunia knowledge management, terdapat 3 definisi yang harus dipahami, yakni: (1) data, (2) informasi, dan (3) pengetahuan itu sendiri. Lalu apa perbedaan data, informasi dan pengetahuan? Data adalah fakta, arsip, catatan kejadian, atau lembaran lontar dalam suatu kitab pada beberapa abad silam; sedangkan informasi adalah pesan dalam bentuk dokumen atau audio atau seperti nyanyian/ tutur para leluhur. Sedangkan pengetahuan ada pada orang yang telah memiliki pengalaman dan pendidikan terhadap subjek tertentu. Informasi dan data yang telah diolah dan dipraktekkan, perwujudannya direpresentasikan oleh karya cipta manusia dan inovasi tiada henti.

Di dalam organisasi, pengetahuan semacam ini sangatlah pragmatis sifatnya, sehingga hal inilah yang menyebabkan pengetahuan menjadi sangat berharga dan bahkan menjadi sangat sulit untuk dikelola. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan adalah aliran fluida dimana unsur-unsurnya adalah pengalaman, nilai, informasi kontekstual dan wawasan sang ahli yang memberikan cara berpikir guna mengevaluasi dan menggunakan pengalaman yang baru didapatnya serta informasi. Pengetahuan tidak hanya terdapat pada dokumen atau arsip, namun juga di dalam rutinitas, proses, paktik dan nilai dalam suatu organisasi.*

Sehingga untuk melestarikan pengetahuan dibutuhkan keahlian si pemilik pengetahuan dalam “menurunkan” pengetahuan dan sistem di dalam perusahaan yang memastikan jajaran perusahaan menerima dan mengaplikasikan pengetahuan tersebut. Namun tanpa nilai-nilai yang solid di dalam organisasi, seperti budaya belajar dan memelihara lingkungan yang senantiasa melakukan sharing pengetahuan; komitmen serta dukungan manajemen guna memaksimalkan modal intelektual perorangan, mengeksplorasi pengetahuan terhadap pelanggan, menggunakan pengetahuan guna menciptakan nilai tambah barang dan jasa; dan kepercayaan diantara jajaran perusahaan untuk senantiasa menerima dan memberi pengetahuan yang dimiliki tentunya tidak akan menumbuh kembangkan knowledge management.


Penutup
Akhir kata, dari pemaparan di atas, strategi yang dieksekusi untuk tegaknya knowledge management akan bekerja secara efektif dalam mencegah terjadinya penuaan organisasi yang direpresentasikan oleh kemunduran talent, inovasi dan penciptaan nilai tambah. Sehingga bukannya tidak mungkin organisasi yang semula kecil kemudian akan merajai bisnis bak jayanya Kerajaan Majapahit. Semoga!

* Davenport H., Thomas & Prusak, Laurence, Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know, 1998

Senin, Oktober 13, 2008

Peran OD dalam Talent Management

Sebelum roket peluncur ditemukan, upaya manusia untuk menembus atmosfer dan mengorbit di ruang angkasa diibaratkan sebagai suatu impian yang tak lazim dan bahkan tidak mungkin dilakukan. Diperlukan visi, sumberdaya, energi konsistensi, serta yang dana tidak sedikit guna menciptakan, membangun hingga melesatkan roket peluncur dari muka bumi hingga ke zona yang bebas bobot – menuju gaya gravitasi nol.

Sedangkan pada tataran individual, analogi tersebut telah diilustrasikan dengan baik sekali oleh Steven R. Covey dalam bukunya ”The 7 Habits for Highly Effective People”. Lebih lanjut, gaya gravitasi diilustrasikan sebagai upaya pembebasan diri menuju manusia seutuhnya. Artinya ia telah terbebas dari halangan, rintangan serta kekangan-kekangan berupa kondisi, situasi, atau objek (baik yang terlihat maupun tidak), untuk mewujudkan pencapaian target jangka pendek maupun target jangka panjang individu. Dengan kata lain, usaha manusia berubah dari ”kondisi nol” menjadi ”kondisi yang diinginkan” melalui upaya pengembangan diri.

Pembaca yang budiman, dalam kehidupan berorganisasi, analogi dengan yang diilustrasikan di atas juga berlaku. Lalu, bagaimana peran organisasi, manajer, hingga para jajaran di dalam organisasi berinteraksi guna membangun ”roket peluncur bagi talent” akan dibahas di dalam artikel ini.


Organisasi sebagai Roket Peluncur Talent

Organisasi didefinisikan sebagai suatu wadah, tempat berkumpulnya individu-individu yang memiliki tujuan sama. Disadari atau tidak, organisasi merupakan pangkalan, home base, atau gudang bagi individu-individu yang memiliki potensi. Organisasi-lah yang kemudian merupakan hanggar yang mengasah, membentuk serta mengembangkan individu-individu tersebut menjadi talent. Namun permasalahannya adalah: tidak semua individu tersebut merupakan orang yang beruntung ”ditemukan” potensinya dan ”diasah” menjadi talent oleh mentor, expert dan bahkan oleh manajemen. Tidak jarang seseorang yang telah sekian lama bekerja di perusahaan tidak menyadari potensi yang dimilikinya. Disadari, mekanisme terjadinya keberuntungan demi keberuntungan seseorang untuk dilesatkan sebagai talent dan berlakunya”peluang/ kesempatan” yang sama pun tidak dapat diperoleh dengan mudah.

Talent yang ditemukan di dalam organisasi diibaratkan sebagai ”barisan bintang di langit”. Hanya saja, sebagai manusia yang dianugerahi Tuhan dalam hal kemampuan mengidentifikasi dan mengabstraksi permasalahan demi permasalahan, memprediksi, merencanakan, serta menetapkan program-program bagi alternatif penyelesaian permasalahan tersebut, ternyata tidak diimbangi sepenuhnya oleh kemampuan dan keterampilan di dalam mewujudkan potensi, bakat atau bahkan membuat angan-angan menjadi kenyataan. Akibatnya terdapat banyak peluang/ kesempatan bahkan umur manusia yang terbuang sia-sia, sehingga ia tidak memberikan nilai tambah dan bahkan membawa kerugian bagi diri sendiri atau bagi organisasi.

Terdapat dua langkah bagi manajemen untuk pengembangan talent di tataran perusahaan. Langkah pertama adalah: penetapan strategi & mekanisme berupa kebijakan yang berkenaan dengan penemuan dan pengembangan talent. Adalah tugas manager untuk menemukan talent, dan adalah manager yang seharusnya ditargetkan oleh manajemen untuk mengembangkan dan menciptakan peluang bagi berkembangnya talent seseorang. Kemudian langkah kedua adalah: eksekusi serta mekanisme kerja begitu talent ditemukan. Langkah pertama tidaklah begitu sulit karena hanya berupa penetapan kebijakan serta mekanisme. Namun pada pelaksanaannya yang terkadang menimbulkan gejolak. Ini dapat terjadi bilamana budaya senioritas dan demografi karyawan yang ”mature” mendominasi organisasi, atau sub sistem-sub sistem HR lainnya yang tidak berkembang dengan efektif di dalam organisasi seperti: sub sistem Training and Development, Career Management, Competency Management dan sub sistem HR lainnya.

Buruknya kinerja sub sistem-sub sistem HR lainnya berakibatnya bagi kurang maksimalnya penciptaan talent. Talent dari sudut pandang jajaran perusahaan kemudian menjadi semacam mitos, keberuntungan, dan bahkan merupakan masalah yang sifatnya subjektif. Sehingga dampak jangka panjang bagi organisasi adalah lambatnya ”regenerasi kepemimpinan” yang ada di dalam organisasi, yang berakibat adanya kekosongan pada level manager menengah ke atas, dimana kondisi seperti ini sedang banyak sekali diderita oleh perusahaan power house Indonesia dan bahkan di dunia.

Untuk itu, eksekusi pelaksanaan talent management bukan sekedar rencana di atas kertas. Dibutuhkan peningkatan efektifitas sub sistem-sub sistem HR. Sebagai contoh, sub sistem Training and Development ditujukan untuk meningkatkan efektifitas tumbuh kembang talent; Career Management ditujukan untuk memastikan talent berada pada tempat (track) yang benar untuk dapat bertumbuh kembang; sedangkan Competency Management ditujukan untuk mengukur secara objektif potensi satu talent relatif terhadap talent lainnya atau pemetaan bagi pengembangan talent di dalam organisasi. Sub sistem HR yang tak kalah penting adalah Reward System, sistem inilah mengikat sub sistem-sub sistem yang telah dijalankan dalam bentuk perolehan point, atau satuan ukuran tertentu.


Penutup

Sebagai penutup, pelaksanaan talent management secara praktis merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi manajemen puncak dan manager sebagai pelaksana. Peran para engineer talent yang ahli dan peka di dalam ”mengendus” talent serta adanya infrastruktur sebagai pra-syarat harus dipenuhi dalam organisasi berupa implementasi bagi peningkatan sub sistem-sub sistem HR yang akan mendukung dan meningkatkan efektifitas mekanisme talent. Sehingga untuk melesatkan talent ke zona gravitasi nol bukanlah merupakan pekerjaan yang sulit bagi suatu organisasi. Dalam waktu yang tidak berapa lama lagi akan terlihat bintang-bintang talent yang sudah dilesatkan mampu ”bersinar” di dalam organisasi. Semoga!

Kamis, September 18, 2008

Ritual Teamwork = Penguatan Teamwork?

"Mengherankan!" itulah satu-satunya komentar yang dapat saya berikan ketika teman saya menceritakan kebijakan baru atasannya. Dengan runtun ia bercerita betapa terganggunya ia dengan anjuran lunak si atasan untuk menghadiri acara pertemuan wajib yang diadakan setiap bulan. "Atasan berpendapat bahwa ritual pertemuan ini ditujukan untuk membangun dan memperkuat teamwork. Kita semua wajib datang!" "Saya sendiri tidak ingin datang karena saya merasa sudah cukup berinteraksi di kantor. Saya juga tidak habis pikir mengapa saya mendapatkan cap ‘pembangkang’ hanya dikarenakan ketidakhadiran saya di dalam kegiatan-kegiatan tersebut".


Ya, saya mengenal teman saya ini dengan baik. Tidak diragukan lagi, ia adalah orang yang selalu menepati janji di dalam menyelesaikan tugas/ deadlines; ia adalah orang yang bertanggung jawab dan tidak ragu-ragu memberikan pertolongan bagi team, meskipun itu bukan tugasnya; dan ia adalah orang yang berani mengambil risiko dan bertanggung jawab atas pekerjaan tim. Ya, saya mengenalnya.



Pada kasus ini saya ingin bertanya kepada pembaca sekalian, dapatkah "ritual pertemuan" yang dipercaya dapat memperkokoh teamwork ini benar-benar menghasilkan teamwork? Pembaca yang budiman, pertanyaan "menarik namun sedikit mengganggu" ini akan dibahas dengan gamblang di dalam artikel ini.



Kekokohan dan Kunci Teamwork


Kita semua menyadari bahwa didalam hidup berkelompok terdapat kegiatan saling menerima dan memberi, saling memahami tanpa menghakimi, serta saling membina keharmonisan/ kekompakan. Semakin banyak dan intens kegiatan tersebut, maka semakin baik tingkat teamwork yang ada di dalam kelompok tersebut. Namun (kembali ditanyakan), jika semakin sedikit frekuensi kegiatan/ ritual tersebut dilakukan, apakah derajat kekokohan teamwork tersebut menjadi semakin kecil?


Ritual teamwork secara positif merupakan sebuah ajang untuk saling bertukar pikiran, menyegarkan pikiran dan membangun serta memperkuat semangat kerja tim baru. Namun di sisi lain, terdapat dampak normatif yang berlaku secara kolektif, dimana anggota tim yang seringkali berhalangan hadir dalam pertemuan wajib bulanan tersebut akan mendapatkan "sanksi sosial" atau dengan kata lain orang tersebut mendapatkan kesan-kesan yang kurang baik di mata tim. Pertama, ia dianggap memperlihatkan sikap kurang memiliki rasa setiakawan karena seseorang dengan sengaja menyisihkan diri dari kelompok; dan kedua, ia dianggap mulai diragukan terkait tingkat loyalitas serta kepercayaan kepada atasan, karena tidak turut serta dalam acara "setor muka".


Sebagai pimpinan, saya dapat merasakan betapa terganggunya ego saya jika anak buah saya menolak undangan saya dan tidak hadir karena berbagai alasan. Sehingga wajar saja terdapat sanksi normatif yang diberikan secara kolektif dari kolega yang tergabung di dalam tim. Suatu aksi dan reaksi yang sangat masuk akal dan wajar. tetapi apakah pada kenyataannya demikian?


Ritual yang dilakukan perusahaan menurut Schein hanya ada pada level "artefak". Kita tidak dapat memahami perasaan bahkan nilai/ value yang dianut oleh seseorang secara mendalam (shared values), dan bahkan motif seseorang untuk suatu pekerjaan oleh Mac Clelland diibaratkan ada di dasar gunung es.


Sebagai contoh: seseorang bisa saja mengatakan "ya" kepada sang pimpinan dengan maksud agar ia mendapatkan perhatian, pemahaman dan persetujuan; atau seseorang bisa saja mengatakan "tidak" karena ia yakin pimpinan tersebut mempercayai bahwa ia adalah seseorang loyal dan punya kehidupan pribadi sendiri.


Banyaknya ritual yang dilakukan perusahaan, seperti rapat-rapat yang panjang, coffee morning session, out bond tahunan, dan kegiatan-kegiatan lain yang menghabiskan anggaran perusahaan, waktu dan tenaga personilnya. Kebanyakan pimpinan menganggap bahwa semakin sering bawahan menghadiri pertemuan yang ditentukan, maka semakin tinggi tingkat loyalitas bawahan. Namun pada hakekatnya hal demikian tidak selalu benar karena setiap orang belum tentu memiliki nilai atau bahkan motif yang mendasar bahwa ritual tersebut penting untuk meningkatkan teamwork. Dengan kata lain, tingkat pengertian dan pemahaman terhadap seseorang adalah kunci kekuatan sebuah tim!


Tingkat pengertian dan pemahaman direpresentasikan lagi oleh kekuatan kepercayaan. Dimana ini tidak ditunjukkan dengan tingkat kehadiran, sikap manis, dan tingkah laku yang selalu menyenangkan, mengakomodir atasan atau ABS (asal bapak senang). Kepercayaan ditunjukkan dengan perhatian yang tulus, pemahaman yang mendalam terhadap kebutuhan anggota tim, sikap saling menghormati, sikap dewasa dengan artian saling memberikan koreksi/ feedback, serta komunikasi yang dilakukan dua arah.


Kekuatan kepercayaan tidak memiliki batas atau sekat. Cukup dengan kepercayaan, dinding-dinding pembatas seperti keangkuhan, ketidakpercayaan, sikap menindas kepada bawahan, sikap formil, dan sikap-sikap yang merugikan lainnya – yang dipercaya hanya dapat dileburkan dan dilunturkan dengan ritual-ritual teamwork – menjadi hilang tak berbekas. Kelegaan, perasaan tenang dan mengetahui "di mana kita berpijak saat ini" akan melingkupi atmosfer kerja kita. Kekuatan teamwork dengan sendirinya akan selalu terjaga dan bahkan semakin kokoh.



Penutup

Jika anda merasa sebagai orang yang mengalami permasalahan yang sama dengan teman saya tadi, atau anda adalah seorang pimpinan yang tak tahu harus berbuat apa untuk mengatur para "pembangkang" di atas, maka yakinlah bahwa semua ini berpulang dari tingkat pengertian dan pemahaman dari anggota tim ke atasan dan dari atasan ke anggota tim yang tinggi atau rendahnya direpresentasikan oleh kekuatan kepercayaan. Semoga!

Jumat, Agustus 29, 2008

Sejam bersama Trainer TYPSS

Sepertinya Kamis malam setidaknya telah membuka 1 jendela yang sedemikian lama tertutup. Peralihan karir dan rutinitas dalam waktu yang lama telah melunturkan semangat untuk "menerima perubahan". Dunia saya yang begitu jauh dari "hiruk pikuk" presentasi, fasilitasi dan komunikasi verbal intensif, tiba-tiba didekatkan pada tantangan yang setidaknya seperti suatu "uji nyali" bagi saya pribadi.

Kedatangan saya di organisasi TYPSS ini sebenarnya untuk menanyakan metode apa yang diberikan untuk membuat seseorang dapat meningkatkan kompetensi komunikasi di depan publik, dengan kekhususan bisnis. Sejam bersama trainer telah memberikan suatu inspirasi bahwa berkomunikasi memerlukan "rambu-rambu". Ada tata cara "tak tertulis" di dalam berkomunikasi, melakukan presentasi dan komunikasi. Tidak mengenali rambu-rambu tersebut akan menyebabkan seseorang "merasa" berada pada situasi yang salah, tempat yang salah dan merasa segala sesuatunya tidak pada tempatnya. Sehingga wajar saja jika memberikan presentasi dihadapan orang banyak merupakan momok bagi kebanyakan orang.


Ternyata ada banyak metode yang ditawarkan.. termasuk penyembuhan diri dari ketakutan berada dihadapan orang banyak. Seorang sahabat saya juga memberikan masukan untuk selalu "menciptakan kesempatan". Ya, dengan menciptakan kesempatan untuk berbicara akan melatih seseorang untuk mahir dalam berkomunikasi di hadapan publik.

Kamis, Agustus 28, 2008

Pemimpin vs Psikopat

Dunia kriminalitas baru-baru ini dikejutkan oleh pembunuhan berantai yang memakan belasan korban dan hanya dilakukan oleh satu orang. Pro dan kontra terkait apakah kondisi kejiwaan pelaku tersebut stabil atau tidak pun merebak, dan bahkan hingga artikel ini diturunkan hal tersebut masih diperdebatkan.

Berkaca pada masa lampau, kegilaan dan kelaliman Kaisar Nero dari Romawi atau kisah Raja Fir’aun dari Mesir telah tercatat dalam lembaran gelap sejarah dan tidak ada bandingannya. Pada zaman modern, dengan bentuk berbeda, Presiden Mobutu Sese Seko atau Presiden Soeharto memberangus lawan-lawan politiknya dengan menggunakan represi terhadap massa yang memakan korban yang tidak sedikit.

Sebuah komentar menarik pasca berita kriminalitas tersebut dari seorang pemirsa TV adalah: "Pelaku kriminal telah menyusahkan 11 keluarga, namun Pimpinan [yang tersangkut Korupsi] membunuh rakyat Indonesia yang berjumlah 220 juta secara perlahan. Hukuman yang diberikan harus sama beratnya".

Kepemimpinan dapat dikatakan "efektif" jika pemimpin menggunakan empat anugerah kepemimpinan yang diberikan Tuhan, yakni: (1) tubuh, (2) pikiran, (3) hati, dan (4) jiwa secara seimbang. Tubuh digunakan untuk hidup sehat, pikiran didedikasikan untuk belajar, hati diberikan untuk mencintai, dan satu jiwa untuk mewujudkan sebentuk warisan tatanan/ legacy kepada yang akan ditinggalkan.


Serba-Serbi Seorang Psikopat

Psikopat menurut Katherine Ramsland, seorang Doktor bidang psikologi forensik berkebangsaan Amerika, adalah orang yang tak punya penyesalan atas kesalahan yang dibuatnya. Psikopat memiliki setidaknya 10 gejala ketidakseimbangan kepribadian lain yang mengikutinya, seperti:

Menyimpang secara sosial; Manipulatif; Suka menyesatkan orang lain;
Berdaya toleransi rendah; Menikmati penderitaan orang; Ketiadaan empati; Tidak memiliki rasa sesal; Lihai dalam bersandiwara

Lihai dalam menyimpan kelainan; Memiliki pribadi yang sempurna, seperti: Pandai bertutur kata, Penuh pesona,Menyenangkan, Menguasai berbagai ilmu pengetahuan, dan Bersikap religius.

Individu Psikopat yang "berhati dingin" tidak mampu menggunakan keempat anugerah tersebut. Memang tidak ada manusia yang sempurna, sehingga dengan kadar yang bervariasi sesungguhnya individu psikopat ada di mana-mana. Dan individu psikopat tidak perlu melakukan tindakan sadistis dengan cara membunuh orang. Sebagai contoh, pemimpin bermental korup pun bisa dimasukkan ke dalam kategori psikopat jika ia melakukan korupsi secara berulang-ulang dan tanpa sesal. Seperti orang yang bebal, mereka mengintimidasi, merusak sistem, tata nilai di dalam organisasi. Mereka pun dikenal masa bodoh terhadap mana yang benar dan mana yang salah, meskipun mereka tahu apa konsekuensinya.

Layaknya seorang residivis yang berulang kali masuk penjara, pemimpin bermental korup akan berulangkali melakukan kesalahan yang sama. Ketika tertangkap, penyesalan yang muncul hanyalah di bibir saja, dan pada setiap kesempatan mereka tak segan untuk kembali mengintimidasi, merusak sistem, tata nilai di dalam organisasi demi korupsi. Hukuman sosial tidak akan mampu membuat mereka merasa jera, atau bahkan merasa malu akan perbuatannya. Sehingga tegaknya keadilan tidaklah mudah karena psikopat yang juga residivis cerdas ini tidak akan pernah jera, dan kembali akan selalu mencari peluang untuk mencari celah atau kelemahan dalam sistem agar mendapat uang dengan cara korupsi.

Sebenarnya pengetahuan mengenai psikopat masih gelap. Menurut Daniel Coleman dalam Emotional Quotient (EQ), gejala psikopat diketahui dari sel otak amigdala atau otak reptil yang memiliki kelainan. Mereka akan merespon ketakutan, kesedihan serta emosi-emosi negatif lainnya dengan dingin atau seperti mati rasa. Mereka akan semakin manipulatif atau membalik keadaan ketika seseorang pada kondisi normal akan merasa bersalah atau sadar akan konsekuensi perbuatannya.

Kondisi ini akan berbahaya apabila dimiliki oleh seorang pemimpin karena akan berdampak besar kepada anak buahnya. Bahkan oleh peneliti psikopat lain, upaya untuk mengetahui psikopat atau tidaknya seseorang sejak dini sebelum di usia dewasa akan bertambah parah ternyata belum dapat dideteksi. Artinya upaya tersebut akan sia-sia dan menghabiskan energi saja. Sehingga dapat dikatakan potensi bahaya pemimpin psikopat amat besar, seiring dengan mahirnya level kompetensi mereka untuk berkamuflase di tengah-tengah organisasi, masyarakat atau bahkan di tengah rapat penting korporasi seperti rapat BOD atau RUPS.


Cegah Tangkal Pemimpin Psikopat [yang juga] Residivis

Satu-satunya cara untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh individu/ pemimpin psikopat [yang juga] residivis adalah dengan meningkatkan kontrol sosial. Kontrol sosial yang kurang akan menyuburkan tindak kriminal dan semakin menjadi-jadinya perilaku sang psikopat. Kontrol sosial yang kuat dari organisasi yang terkena dampak seperti: para bawahan, kontrol bagian keuangan atau hasil audit bagian internal audit; organisasi yang berwenang untuk menyidik atau menghukum, seperti: polisi, jaksa; atau bahkan masyarakat luas akan menyebabkan sang psikopat setidaknya meredam keinginannya.
Individu/ pemimpin psikopat selanjutnya akan belajar dan memahami perbuatan mana yang benar atau salah melalui mekanisme penegakan hukum dan pemberian reward & punisment yang jelas dan berkelanjutan. Sehingga upaya penegakan hukum dengan tidak pandang bulu dan objektif (tidak memandang siapa yang duduk di kursi terdakwa) akan mengatasi perilaku manipulatif, asosial, serta dinginnya hati para psikopat.

Resep lain bagi individu/ pimpinan [yang tidak merasa dirinya] psikopat adalah menjadi seorang penerima (receiver) dari pada menjadi seorang pemberi order (transmitter). Memposisikan diri sebagai penerima akan membuka hati dan pikiran individu/ pimpinan. Dalam waktu yang tidak beberapa lama muncul bentuk kerjasama yang partisipatif dimana ide, solusi, dan antusiasme dari para rekan kerja, antar departemen, bawahan, dan bahkan pelanggan. Perusahaan bertransformasi menjadi organisasi yang terbuka -dimana orang-orang memiliki tingkat kedewasaan (by freedom to choose), profesionalitas dan dedikasi yang sedemikian tinggi.


Penutup

Selayaknya organisasi atau bahkan negara kita tidak usah dipenuhi oleh orang-orang atau pemimpin yang nyata-nyata psikopat dan juga bernyali residivis. Dengan memahami gejala-gejala psikopat dan potensi bahaya laten yang ditimbulkan, cukuplah kiranya kita belajar dari kegilaan dan kelaliman Kaisar Nero dari Romawi atau kisah Raja Fir’aun dari Mesir. Semoga!

Senin, Agustus 04, 2008

Memaknai Manajemen Perubahan pada Era Pengetahuan

Roadshow Change Management Training di timur Indonesia merupakan pengalaman berkesan yang kami dapatkan terkai manajemen perubahan di era pengetahuan. Kesan dan pesan yang terbawa dari perjalanan ini sedemikian mendalam, dan semakin memperkuat keyakinan kami bahwa untuk melakukan suatu perubahan paradigma berpikir memerlukan proses yang panjang, energi yang besar, bahkan dapat memakan waktu hingga satu generasi.

Pada mulanya kegiatan ini dilakukan untuk mengidentifikasi, memetakan, serta memahami budaya lokal yang ada serta memberikan solusi bagaimana perusahaan ini dapat mengantisipasi dan mengimbangi perubahan praktik tata kelola perusahaan yang berkembang sedemikan pesat ditengah-tengah keterbatasan budaya lokal yang ada. Pada titik ini, Perusahaan telah banyak berinvestasi peralatan, piranti teknologi serta infrastruktur modern guna mengatasi rintangan beratnya medan serta lingkungan geografis jika harus menempuh satu daerah ke daerah lainnya. Perusahaan juga telah merekrut baik SDM lokal maupun SDM pendatang terbaik untuk bergabung di dalam perusahaan tersebut.

Perusahaan dilihat dari permukaan tergolong sehat, dan di sisi lain action strategis telah dieksekusi oleh BOD dan pada saat tulisan ini dibuat kegiatan training serta pengembangan karyawan tengah berlangsung sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Namun dibalik baiknya performa perusahaan tersebut terdapat banyak hal yang sangat menggelisahkan top management terkait dengan menggugah dan merubah cara berpikir para karyawan yang masih sangat local minded menjadi cara berpikir yang global dan kompetitif.

Pada awalnya kegiatan tersebut berjalan lancar, fasilitasi berjalan dengan baik. Namun hal menarik untuk pembaca ketahui adalah ketika ditanyakan kepada peserta: apakah perusahaan berada pada laut yang tenang dan damai, atau apakah perusahaan berada pada laut yang bergelombang tinggi, berarus deras serta siap menerpa bahkan menenggelamkan perahu-perahu yang sedang berlayar di sana. Maka kebanyakan jawaban yang kami terima dari setiap cabang adalah: perusahaan berada pada laut yang tenang dan damai.

Pada awalnya kami berusaha meyakinkan peserta bahwa praktik tata kelola perusahaan bidang ini telah berubah menjadi sedemikian modern dan persaingan yang terjadi pada industri ini semakin ketat. Namun hal serupa selalu berulang di setiap cabang yang kami kunjungi, dimana jajaran pada level menengah perusahaan menjawab dengan hal yang sama.

Lambat laun, kami menyadari bahwa apa yang menyebabkan terhambatnya change management tersebut berkorelasi kuat dengan cara perusahaan tersebut beradaptasi dengan pengaruh lingkungan lokal yang terasa sangat kental melingkupi daerah tersebut. Di sisi lain kami menyadari betapa besar pengaruh budaya dan adat masyarakat yang melingkupi perusahaan yang menjadi agen pembangunan tersebut. Faktor utama yang berasal dari masyarakat lokal adalah mereka memiliki pola hidup sebagai gatherer & hunter pada era modern. Artinya masyarakat hidup menetap dan telah mengetahui dan terbiasa menggunakan peralatan modern, namun sebagian besar masih memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok dilihat dengan kuatnya adat dan kepercayaan terhadap ruh (animisme/ dinamisme); masyarakat yang menggunakan manajemen sederhana di dalam mengolah hasil hutan atau lahan pertanian; masyarakat yang umumnya tidak memiliki pikiran jangka panjang dalam memanfaatkan fungsi saving dan investasi (menabung) untuk masa depan, namun langsung mengkonsumsi uang hasil perolehan hasil hutan/ pertanian hingga uang tandas tak bersisa. Kondisi demikian sangat mempengaruhi performa perusahaan tersebut.

Kami menyadari bahwa perubahan yang kami komunikasikan belum dapat diadaptasi, karena secara fisik belum terlihat tingginya gelombang serta derasnya arus yang menerpa perusahaan. Pada kenyataannya masih banyak lahan tidur, terbengkalai, serta hutan yang menghijau; berbagai kekayaan tambang yang masih menunggu investasi dari luar untuk diolah; masih banyaknya arus pendatang serta perusahaan baru yang secara sukarela memberikan bantuan, atau kompensasi bagi pembebasan lahan untuk kepentingan ekonomi. Akibatnya tanpa mereka sadari masayarakat menjadi terasing di lingkungan mereka sendiri yang sebenarnya secara kasat mata telah jauh sekali mengalami lompatan.


Action Plan(s) Manajemen Perubahan di Era Pengetahuan

Kami menyadari betapa besar tantangan yang dihadapi top manajemen saat ini. Sesungguhnya perubahan di era pengetahuan yang begitu pesat tidak akan menunggu lebih lama lagi, sehingga perusahaan direkomendasikan untuk menambah kecepatan adaptasi para jajarannya untuk segera mengadaptasi serta memanfaatkan teknologi yang sudah diinvestasikan perusahaan, melakukan sosialisasi service excellence bagi front liners, membina program-program sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya fungsi investasi dan saving, bekerja sama dengan institusi pendidikan guna memetakan, mengevaluasi pengaruh perusahaan sebagai agen pembangunan daerah bagi pembangunan ekonomi daerah. Dengan demikian tindakan-tindakan ini akan memacu jajaran level atas untuk memberikan performa strategis dan manajer untuk memberikan performa jangka pendek yang lebih baik.


Penutup

Akhir kata, kami menyadari bahwa masih jauh perjalanan yang kami tempuh untuk membawa perubahan terlihat secara fisik dan segera dirasakan oleh awak perusahaan. Meskipun tingginya gelombang serta derasnya arus yang menerpa perusahaan belum lagi terlihat, namun kami meyakini bahwa di dalam hati masing-masing peserta Change Management Training bahwa debur gelombang sayup-sayup sudah terdengar. Semoga!

Selasa, Juli 15, 2008

Kepemimpinan: In Harmonia Progressio

Kepemimpinan diibaratkan sebagai seorang kondaktur di tengah permainan sebuah orkestra. Kondaktur memastikan baris-baris melodi berikut harmonisasi alat musik dimainkan dengan sempurna oleh setiap pemain, sesuai dengan perannya di dalam orkestra. Kondaktur melalui gerakan-gerakannya yang khas memberikan aba-aba kepada para pemain orkestra hingga karya klasik komponis ternama tersebut selesai dimainkan.

Namun, apa yang terjadi jika terdapat kesalahan seperti nada sumbang sang pemain solo, kesalahan pemain simbal membunyikan alat musiknya, ataupun harmoni yang tidak sedap terdengar di tengah-tengah orkestra? Siapa yang akan disalahkan dan siapa yang akan bertanggungjawab pada "kesalahan-kesalahan fatal" di dalam orkestra tersebut? Jawabannya tentu saja pimpinan orkestra yang sedang tertimpa sial tersebut.

Dari ilustrasi di atas, kesalahan sekecil apapun tidak dapat ditolerir, karena performa dan citra tim orkestra tengah diperdengarkan dan dipertaruhkan di depan publik. Namun sejatinya untuk mencari penyebab pasti mengapa terjadi ketidakharmonisan "di dunia nyata" antara pimpinan dan anak buah pada kenyataannya memang tidaklah semudah di dalam sebuah orkestra.


Ketika Sandiwara itu Berakhir...

Terdapat banyak sekali kejadian yang "menggelikan" di dalam organisasi dimana pimpinan tidak mengerti atau peka terhadap "kebutuhan azasi" jajarannya. Atau dimana pimpinan mempercayakan segala urusan dan keputusan terkait people management kepada wakil pimpinan atau bahkan kepada orang kepercayaannya. Dan seringkali di akhir cerita pimpinan akhirnya bertanya mengenai sebab-musabab kegagalan implementasi program: "Kenapa teman-teman tidak buy in terhadap program ini? "Mengapa kalian baru mengatakannya sekarang?" "Mengapa kalian tidak mau terbuka?" Kemudian jawaban anak buah tidak kalah tragis di mata pimpinan: "Bapak tidak pernah memberikan kesempatan kepada kami untuk membahas program ini.""Kenapa Bapak baru bertanya kepada kami sekarang?" atau "Bapak terlalu memaksakan diri dengan program semacam itu." Ini adalah sebuah sandiwara tragis "real time" di tengah korporasi yang memakan biaya besar, dan sedari awal sudah menggambarkan betapa tidak seiramanya suara antara pimpinan dengan jajarannya.

Bayangkan jika sandiwara ini dibumbui dengan "subjektifitas pimpinan" yang cenderung mempercayai laporan orang kepercayaannya, atau membedakan seorang terhadap orang-orang lainnya. Sandiwara tersebut akan bertambah seru dan penuh lika-liku bak film India.

Terjadinya subjektifitas pimpiman mengindikasikan komunikasi yang kurang baik atau bahkan secara ekstrim terdapat ketidakpercayaan antara pimpinan dengan jajarannya. Artinya pimpinan menyerahkan pendapat kedua atau second opinion pada orang kurang tepat dalam artian tidak pada level orang untuk menilai kinerja, kapasitas bahkan pribadi seseorang.

Lalu apa akibat dari komunikasi bertingkat tersebut bagi perusahaan? Dalam jangka panjang nilai-nilai open feedback, fairplay, kompetisi yang sehat, innovasi, bahkan proaktifitas menjadi semakin terkikis karena karena adanya kaki-tangan perantara yang menyampaikan informasi yang seharusya tersistematis di dalam sebuah sistem-sistem.

Sandiwara ini seharusnya seharusnya harus segera diakhiri begitu diketahui gejalanya, dimana sebenarnya terdapat banyak mekanisme yang mengukur seberapa besar harmonisasi antara pimpinan dengan jajarannya. Berbagai mekanisme HR yang dimaksud untuk mengukur, memprediksi dan menilai tingkat harmonisasi pimpinan dengan jajarannya di dalam suatu organisasi, adalah: performance appraisal, value measurement system, 360 degree assessment, employee satisfaction survey, employee award, employee counseling, kotak surat, dan perangkat-perangkat objective lainnya.


"See – Do – Get" Effect Pimpinan

Pimpinan yang subjektif adalah pimpinan yang tidak lulus uji intuisi dan uji konsistensi. Tujuan paling utama pimpinan adalah mementingkan power serta "penguatan citra" dirinya. Pimpinan dalam rangka mewujudkan tujuannya memilih berpolemik, memberikan janji-janji dan target yang tak masuk akal kepada Pemegang Saham, hingga memanfaatkan anak buahnya untuk tujuan-tujuan tertentu.

Di sisi personal, status quo kepemimpinan menguat karena berhasil mendepak "para penyanyi sumbang" yang menginginkan perubahan. Di tataran organisasi, terjadilah "kerugian besar perusahaan" sebagai akibat hilangnya ide kreatif & innovasi karyawan dan bahkan eksodus orang-orang pintar untuk mencari perusahaan yang lebih baik dan sehat untuk mecurahkan ide-ide dan perubahan.

Lalu apa hasil yang didapat pimpinan? Anak buah yang semula kreatif dan inovatif cenderung menjadi submisif, masa bodoh, dan bahkan tidak mempertanggungjawabkan pekerjaannya terhadap pimpinan dominan tersebut. Dan yang sangat disayangkan adalah pimpinan tidak lagi mendapatkan feedback/ umpan balik yang ditunggu-tunggu untuk perbaikan kinerja unitnya. Intinya "business as usual".

Di sisi lain, pimpinan yang objektif menggunakan ketiga hal berupa: intuisi, nyali dan konsistensi kepimpinan secara berimbang. Pimpinan yang ingin harmonisasi yang berimbang dengan jajarannya akan selalu mengkomunikasikan harapan-harapan terkait kinerja unit kepada jajarannya melalui cara yang tersistematis, yakni: performance appraisal; lalu secara periodik pimpinan akan menilai secara keseluruhan apakah nilai-nilai korporasi tetap kukuh dipegang melalui value measurement system. Guna mengukur efektifitas atau kekuatan tim di dalam suatu unit/ korporasi, digunakan 360 degree assessment sehingga kekurangan dan kekuatan tim dapat dipetakan. Lalu secara spesifik dan periodik, perusahaan dalam menilai tingkat kepuasan karyawan melakukan employee satisfaction survey, mulai dari karyawan di kantor pusat hingga karyawan di lapangan. Dan ada banyak lagi implementasi yang disesuaikan dengan size organisasi dan event/ ritual organisasi dalam menciptakan hubungan harmonis dengan karyawannya, seperti: employee award, employee counseling, kotak surat dan program lainnya.

Lalu apa hasil yang didapat pimpinan? Anak buah menjadi partisipatif, bersemangat, kreatif, inovatif dan berkembang seiring dengan bertumbuhnya kepemimpinan sang pimpinan serta berkembangnya organisasi.

Penutup

Sebagai penutup, terdapat 2 pembelajaran penting dalam artikel singkat ini: pelajaran pertama, pimpinan yang senantiasa menggunakan intuisi, nyali dan konsistensi kepimpinan secara berimbang akan senantiasa mendapatkan masukan yang objektif yang diharapkan, meskipun hal itu jauh dari ekspektasi sang pimpinan.

Pelajaran kedua, suara-suara sumbang dari para penyanyi sumbang yang terdengar di dalam organisasi sebenarnya bukanlah ancaman atau kemunduran bagi pemimpin dan kepemimpinan di dalam organisasi. Namun suara-suara tersebut adalah representasi dari keberagaman, kekayaan, dan kebijakan hidup yang khas dan dimiliki oleh jajarannya.

Tiga Uji Kekuatan Pimpinan



Artikel ini membahas kasus menarik pada sebuah perusahaan lokal namun strategis. Berawal dari diangkatnya CEO dengan putusan suara terbanyak, CEO kemudian mengemban tugas dari para Pemegang Saham untuk meningkatkan nilai perusahaan, dengan indikator-indikator finansial dan operasional yang telah ditetapkan sebelumnya. Pencapaian terhadap target indikator tersebut yang akan di-review kembali oleh Pemegang Saham pada akhir kuartal.

Secara hukum, sang CEO telah sah diangkat sebagai Direktur Utama perusahaan, namun bukan berarti permasalahan akan diselesaikan sendiri oleh kepemimpinan sang CEO. Karena yang paling berpengaruh terhadap baik buruknya performa CEO pada kuartal-kuartal mendatang adalah kemampuan sang CEO dalam menggerakkan jajaran perusahaannya dan mengelola perusahaan dengan etika dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi, segera setelah sang CEO tersebut diangkat, maka mulailah CEO tersebut mengumpulkan data-data terkait dengan perusahaan, mempelajari aspek teknis operasional perusahaan hingga melakukan kunjungan/ inspeksi ke lapangan. Dari studi awal, CEO kemudian mulai menjalankan janjinya kepada Pemegang Saham berupa program-program untuk merealisasikan indikator kinerja yang disepakati. Sehingga berdasarkan studi pendahuluan tadi, CEO merasa "sangat confidence" karena telah memiliki bekal cukup untuk mengeksekusi projek yang panjang serta ambisius–dan hampir pasti belum pernah dilakukan pada perusahaan ini sebelumnya.

Maka segera setelah gong perubahan dibunyikan, "tim sukses"pun dibentuk untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Pada awalnya tim sukses tidak yakin akan kesuksesan program tersebut. Artinya, ada keraguan tim sukses terhadap bagaimana program tersebut dijalankan dan bagaimana penerimaan program tersebut ketika dijalankan nantinya oleh jajaran perusahaan. Setelah negosiasi yang alot, maka tim suksespun bersedia menjalankan komitmennya untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh sang CEO.

Begitu beberapa tahap pelaksanaan program terlampaui, hingga ke satu tahap yang sedang berada dalam proses penyelesaian, terjadi satu kejadian menarik: program manajemen perubahan yang semula didengung-dengungkan tersebut "berbalik haluan" atau kembali ke "ground zero". Tim sukses yang mengetahui kejadian ini kemudian mulai mencari penyebab mengapa sang CEO yang membawa pembaharuan ini merubah keputusannya.

Para pembaca yang budiman, menyimak kasus di atas ternyata kepemimpinan seorang CEO tidaklah semata-mata hanya karena adanya "status hukum". Artinya pada saat seseorang menduduki tampuk pimpinan, skill berikut kompetensi kepemimpinan tersebut pada kenyataannya tengah "diuji". Setidaknya ada 3 uji kepemimpinan yang harus dilalui:

Ujian Pertama: Uji Intuisi Kepemimpinan

Dengan melakukan pemetaan dan pengamatan terhadap segala aspek di perusahaan, maka pemimpin akan langsung mendapatkan wawasan atau pandangan terhadap bagaimana tantangan/ hambatan perusahaan ke depan dan hal-hal penting apa yang perlu diprioritaskan untuk dibenahi. Intuisi kepemimpinan bukan serta merta didapatkan dari "langit", namun berasal pengalaman pemimpin. Pemetaan dan pengamatan tersebut kemudian diterjemahkan dalam bentuk perencanaan. Tujuannya adalah agar peta permasalahan serta strategi pemecahannya dapat terstruktur dan terukur.

Berkaca pada kasus di atas, perencanaan yang dilakukan ternyata mengabaikan kompleksitas, sejarah organisasi, studi terhadap naik turunnya performa perusahaan dan analisis strategis yang dilakukan kurang mendalam (terkait politis, sosial-ekonomi, dll). Di sisi lain, anak buahnya menerapkan strategi ABS (Asal Bapak Senang). Sudah alami bahwa datangnya "orang baru" ke dalam perusahaan akan membawa ketidakpastian di perusahaan, lalu reaksinya adalah "kehati-hatian" anak buah yang telah lama berada di sana atau bahkan rasa "ketidakpedulian". Sehingga akibatnya orang-orang yang berada di sekeliling pemimpin seringkali "tidak jujur" atau "berpura-pura" meskipun mereka telah memberikan data yang "valid".

Pada saat itu, pimpinan yang baru seharusnya memiliki intuisi serta daya analisis yang tajam dalam menghadapi situasi ini. Sehingga pergerakan ke depan lebih terarah dan memiliki kekuatan. Sehingga kedua hal inilah yang merupakan kegagalan "uji intuisi kepemimpinan" yang sekaligus berdampak pada reformasi di dalam organisasi.

Ujian Kedua: Uji Nyali Kepemimpinan

Ceremonial pengangkatan pimpinan organisasi (CEO) merupakan kebanggaan pribadi tersendiri dan di sisi lain, sejarah di perusahaan lokal namun strategis itu mencatat bahwa pimpinan tersebut telah dipercayakan oleh Pemegang Saham untuk mengelola perusahaan. Tentunya, Pimpinan pada saat itu memiliki kepercayaan diri dan semangat baru untuk memulai periode masa baktinya. Pimpinan dapat melakukan apapun terkait pengelolaan perusahaan melalui kewenangannya. Namun, seringkali kepercayaan diri pimpinan "yang berlebih" membawa dampak yang kurang baik bagi pribadi pimpinan dan anak buah.

Di sisi lain, mengelola dan menggerakkan anak buah tidaklah mudah, apalagi dengan menjalankan mega projek "manajemen perubahan" yang ambisius ini. Kekuatan internal dan eksternal mulai menekan sang pimpinan. Dan pada saat inilah nyali pimpinan diuji. "Intuisi" yang sebelumnya telah didapatkan ditambah "nyali" untuk menundukkan kepentingan segolongan orang atau oknum tertentu di atas kepentingan perusahaan, ini tentunya merupakan salah satu ujian berikutnya menjadi seorang pemimpin. Sehingga keberanian atau nyali untuk melakukan perbuatan hukum dan upaya strategis lainnya sangat diperlukan.

Ujian ketiga: Uji Konsistensi Kepemimpinan

Ujian ketiga yang tidak kalah beratnya adalah "uji konsistensi kepemimpinan". Melatih otot konsistensi kepemimpinan itu tidaklah mudah, pimpinan yang baik akan memperlihatkan sikap konsisten atau pantang mundur terhadap apa yang telah diputuskan. Sebagai tindak lanjutnya ia akan segera melakukan koreksi, menyampaikan teguran kepada segolongan orang atau oknum tertentu, atau bahkan tidak akan mentorelir hal-hal yang menyebabkan program tersebut berubah.

Konflik internal, tekanan politis, pendekatan serta intimidasi adalah hal yang wajar dilalui untuk sebuah perubahan. Masing-masing orang akan belajar bagaimana menerima perubahan tersebut.

Kembali kepada kasus: kinerja, akuntabilitas dan kredibilitas CEO sebagai akibat perubahan keputusan dipertanyakan; performa perusahaan kembali dipertaruhkan; dan semangat dan moral bawahan menurun, karena setiap orang merasa manajemen perubahan tidak membawa perubahan karena mempertahankan status quo segolongan orang atau oknum tertentu.

Dari kasus tersebut, untuk mensukseskan kepemimpinan seseorang, setidaknya ada tiga uji skill berikut kompetensi kepemimpinan yang harus dilalui, pembaca sekalian tentunya sudah pasti menebak apa dan bagaimana akhir cerita (pimpinan) perusahaan ini.