Jumat, Juni 19, 2015

Ramadhan: Marshmallow & Self Control

Bulan mulia yang senantiasa dinanti-nanti Ummat Islam; bulan untuk menyempurnakan amal, menambah pengetahuan, mengasah kepekaan dan kesetiakawanan sosial, dan bahkan meningkatkan kesehatan. menyemarakkan bulan ini, terdapat bahan renungan bagaimana dampak ramadhan bagi anak-anak sedunia. Kita meyakini Ramadhan bermakna lebih dari sekadar ritual. Jika selama ini Ramadhan adalah berpuasa selama sebulan penuh, dimana masjid-masjid dipenuhi ummat untuk ibadah shalat berjemaah, tarawih dan tadarus.
Seiring dengan beranjaknya usia, Ramadhan mulai memperlihatkan kompleksitasnya yang layak kita explore dan menjadi bahan renungan. Sebagai contoh dari kompleksitas Ramadhan tersebut adalah bagaimana pada saat yang sama seorang anak, orang dewasa, ayah/ ibu, sebagai bagian dari komunitas menjalankan peran dan tanggungjawabnya:
* Seorang anak yang berusaha keras menahan rasa lapar dan dahaga, menahan amarah, meningkatkan amalan ibadah, baik sukarela maupun terpaksa. Seperti: kegiatan yang diformalkan oleh sekolah maupun oleh orang tua;
* Seseorang yang telah berpenghasilan wajib mengeluarkan zakat, seperti: zakat profesi, zakat maal, zakat fitrah serta menyantuni kaum dhuafa;
* Seorang Ayah/ Ibu membuat program edukatif namun menyenangkan di bulan Ramadhan agar sang anak termotivasi menjalankan ibadahnya;
* Seorang anak yang menafkahi serta mengurus orang tua yang telah lanjut usia;
* Sebagai bagian dari komunitas, seorang tetangga yang baik turut serta memeriahkan ramadhan menyumbangkan pikiran, tenaga, maupun dana.

Sebuah eksperimen menarik mengenai self control yang dilakukan di sebuah Universitas di AS terhadap anak-anak balita, yang ternyata eksperimen ini akan berpengaruh pada tumbuh kembang, pergaulan bahkan kesuksesan karir di masa datang seorang anak. Eksperimen tematik di atas hanya dilakukan satu kali dalam hidup, namun hasil eksperimen tersebut mampu memprediksi bagaimana perilaku si anak di masa yang akan datang.

Di sisi lain, hakekat berpuasa tidak hanya “mendapatkan marshmallow kedua” (imbalan duniawi), namun lebih dari itu, secara mental anak-anak berproses untuk menahan diri atau self control, bersabar, dan menyerahkan diri hanya kepada Allah S.W.T. Mental proses yang senantiasa dijalankan secara rutin dan berkelanjutan ini akan menumbuhkan sifat-sifat lain yang tak kalah mulia, seperti: sifat empati terhadap sesama, dermawan/ penyantun, sifat tawadhu/ humble, dan lain sebagainya.

Lalu bayangkanlah betapa cerahnya masa depan anak-anak muslim pada umumnya dan anak-anak yang kita cintai pada khususnya yang tekun menjalankan ibadah puasa ini selama sebulan penuh. Tidak hanya disuruh menunggu untuk mendapatkan 2 marshmallow selama 15 menit, namun mereka diwajibkan menjalankan komitmen berpuasa (separuh hari maupun sehari). Mereka adalah anak-anak yang berkomitmen untuk menahan diri dari haus dan lapar, amarah, dan sifat malas menjelang beduk maghrib berbunyi. Bahkan ritual ini dijalankan seumur hidup mereka.

Subhanallah, betapa sempurnanya manfaat dari menjalankan amal dan ibadah ini.

Box: The Marshmallow & Self Control
Di tahun 1960-an, seorang anak yang berusia 4 tahun, Carolyn diundang untuk bermain di Bing Nursery School, Univ. Stanford. Mereka diminta untuk duduk di sebuah ruangan dan memilih makanan-makanan kecil yang ia sukai. Ia kemudian diminta untuk menunggu beberapa waktu sampai pengawas ruangan datang. Jika ia bersabar menunggu, maka ia akan mendapatkan 2 buah marshmallow. Carolyn kecil diminta untuk membunyikan bell bila tak sabar ingin memakan marshmallow tersebut. Dan Craig, seorang anak yang setahun lebih tua dari Carolyn pun diminta mengikuti eksperimen tersebut. Ia melakukan hal sebaliknya: Craig memakan semua permen tanpa memencet bel ataupun setelah menunggu pengawas datang ke ruangan tersebut.

Penelitian tersebut awalnya untuk meneliti bagaimana tingkah laku anak-anak selama menunggu, dan seberapa sabar mereka mampu menunggu. Beberapa anak mencoba menahan diri dengan tingkah laku lucu. Ada yang menutup kedua matanya atau membalikkan badan. Sebagian lagi menendang-nendang kursi/ meja saat menunggu, atau bahkan menjentikkan marshmallow tersebut tsb seperti binatang kecil.

Lalu eksperimen tersebut pun dikembangkan, bagaimana perilaku sang anak beberapa tahun kemudian?
Ternyata anak-anak yang mampu menahan diri atau “menunda kesenangan” selama beberapa menit itu memiliki kemampuan dalam menyelesaikan masalah, berteman, serta memiliki prestasi akademik yang baik. Eksperimen ini tidak hanya berlaku bagi Carolyn & Craig, namun juga bagi 653 anak-anak lainnya.
Anak-anak yang tidak dapat bersabar, memencet bell untuk segera mendapatkan marshmallow-nya, memiliki kecenderungan memiliki perilaku bermasalah, baik di sekolah maupun di rumah. Mereka bahkan memiliki skor S.A.T yang rendah. Dan mereka pun sulit membina pertemanan. Sedangkan anak yang mampu menahan diri 15 menit lebih lama memiliki skor S.A.T 210 poin lebih tinggi dibandingkan anak yang menunggu 30 detik.

Sumber: http://www.newyorker.com/reporting/2009/05/18/090518fa_fact_lehrer

Rabu, Juni 03, 2015

It’s Your Ship

"Give the troops all the responsibility they can handle and then stand back." "Whether you like it or not, your people follow your example. They look to you for signals, and you have enormous influence over them."
Captain D. Michael Abrashoff


Pembaca majalah horizon yang budiman, artikel kali ini membahas tentang kisah kapal perang “USS Benfold” dipimpin oleh 1 kapten dan 310 awak yang beroperasi di samudera lepas Pasifik. Kapal canggih seberat 8,600 ton, bermesin 4 turbin gas, dan dilengkapi misil perusak ini digelari sebagai a dysfunctional ship: tidak beroperasi sebagaimana seharusnya sebuah kapal perang. Diantara kapal perang yang dimiliki marinir, Kapal ini merupakan kapal yang paling tidak efisien/ boros, paling kotor, awak yang salah kelola (1/3 awak memilih untuk berhenti sebelum kontrak kerja berakhir), dan rendahnya moral awak kapal (hanya separuh awak yang bersedia ditugaskan kembali di kapal ini), serta sederet kesulitan yang mengikuti dysfunctional ship ini. Tentu saja, kondisi yang memprihatinkan seperti ini memerlukan kerja keras pimpinan dan bahkan menguji kepemimpinan yang baru diangkat, Captain D. Michael Abrashoff.

Lalu apa yang dilakukan oleh Abrashoff untuk merubah kondisi dan awak kapal yang telah bertahun-tahun menghadapi kondisi seperti ini? Dan prestasi apa yang berhasil diraih Abrashoff? Dalam buku menarik “It’s Your Ship” yang ditulis sendiri oleh Captain D. Michael Abrashoff menuturkan bagaimana ia memimpin kapal ini dan lesson learned apa yang berdampak tidak hanya bagi moral awak kapal namun juga perbaikan fleet kapal perang yang sedang sial ini.

3 Perubahan Dijalankan Pimpinan
Menyadari bahwa setiap kapal perang memiliki alokasi waktu yang sama, sumber daya hingga training terstandar yang memungkinkan seluruh awak mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diemban, maka Captain Mike merenung apa yang sebetulnya menjadi hambatan dan penyebab rendahnya performa kapal perang ini. Captain Mike menyadari, bahwa 90% masalah yang terjadi di atas kapal, penyebabnya adalah dirinya sendiri. Bahwa sukses atau tidaknya sebuah kapal beroperasi ditentukan oleh seberapa baik peran pimpinan. Captain Mike lalu menjalankan 3 perubahan yang dimulai dari diri sendiri: (1) memimpin melalui contoh; (2) mendengarkan bawahan dengan agresif; (3) berkomunikasi dengan tujuan dan makna.

Captain Mike kemudian mewawancarai seluruh awak kapal untuk mendapatkan saran dan masukan mengenai apa yang dapat dilakukan agar kondisi infrastruktur kapal menjadi lebih baik. Perlahan ia mulai mendapatkan masukan mulai dari hal-hal remeh hingga yang teknis. Awak kapal kemudian mulai memiliki ownership terhadap kapal. di sisi lain, prinsip yang diyakini oleh Captain Mike adalah pengetahuan tidak mengenal pangkat (knowledge knows no rank). Ia tidak ragu mengaplikasikan/ menjalankan apa yang menjadi saran dari bawahan, sehingga dapat diimplementasikan pada kapal perang lainnya. Sebagai contoh: mengganti perangkat seperti kunci, rantai yang terbuat dari besi dengan bahan baja stainless. Mengingat dampak penggunaan besi menyebabkan sisi kapal berwarna oranye dan awak kapal harus mengecat sisi kapal secara berkala. Contoh lain, Captain Mike meminta ijin kepada atasannya yang lebih tinggi untuk berinvestasi pada sistem komunikasi satelit yang canggih sehingga memudahkan komunikasi antar kapal perang selama perang teluk (menekan biaya komunikasi – efisien).

Tidak berhenti sampai di situ, Captain Mike memberikan tanggung jawab yang tidak hanya memberdayakan anak buahnya, namun juga melesatkan karir anak buahnya. Captain Mike memberikan contoh nyata, dengan memberikan kesempatan kedua bagi seorang “awak buangan” (dari kapal perang lain) yang kerap bermasalah dan kurang berprestasi, kemudian ia diberikan kesempatan untuk membuktikan dirinya sendiri mampu berprestasi. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh awak tersebut dimana ia menjadi awak terbaik dalam menjalankan pekerjaan krusial dalam menemukan dan melawan kapal selam. Demikian juga dengan kisah seorang awak kapal yang lalai dalam tugasnya, sehingga ia tertinggal di pelabuhan, dan harus diangkut melalui helikopter. Kejadian yang memalukan ini menyebabkan ia dihukum untuk diskors dari penugasan di kapal selama 30 hari dan menuliskan surat permohonan maaf kepada seluruh awak atas kesalahan yang ia perbuat. Performa pasca insiden awak ini dinilai semakin membaik, Captain Mike mengabulkan cuti baginya untuk menjenguk ibunya yang tengah sakit. Sepulang dari cuti, awak kapal ini memenuhi janjinya menjadi pelaut dan lulusan terbaik di kelas “Air Traffic Controller” dan berkarir sebagai “Air Interceptor“ terbaik. Dan berbagai kisah sukses inspiratif yang mewarnai para awak kapal perang “USS Benfold”.

Komunikasi dengan tujuan dan makna menempatkan sikap Captain Mike yang tidak ragu memperbaiki lingkungan kerja serta meningkatkan moral awak kapal. Misalnya, meningkatkan kualitas makanan “USS Benfold” yang selama ini dinilai buruk hingga mengirimkan kartu ucapan kepada pasangan awak kapal “Seluruh staff dan awak USS Benfold mengucapkan Selamat Ulang Tahun”. Beliau menuliskan sendiri bahwa pasangannya telah menjalankan tugas yang baik. Komunikasi/ tindakan yang sederhana namun sangat bermakna bagi awak dan pasangan pelaut yang bermil-mil jauhnya. Pada situasi yang genting pun, Captain Mike pun berupaya meningkatkan moral awak yang bertugas 35 hari tanpa henti di teluk.
Captain Mike segera menemui para awak yang tengah bertugas di tengah flight deck. “Saya tahu ini adalah long haul dan pelaut dan kapal-kapal tengah merayakan kemenangan sementara anda bertugas. Hal ini ada alasan, Angkatan Laut memandang Benfold, dan Anda adalah awak Benfold – kapal yang paling penting di teluk, sehingga hal ini tidak bisa diabaikan. Sederhananya, kita adalah yang terbaik. Terimakasih atas kesediaan Anda untuk bertahan di sini”. Moral awak meningkat 180 derajat, melupakan beratnya tugas dan tanggungjawab yang diemban.

Setelah 20 Bulan
Organisasi saat ini dinilai semakin kompleks, bahkan pimpinan terbaik sekalipun berupaya dengan sangat keras untuk menjalankan roda organisasi dengan efisien. Dibawah tekanan tinggi, jajaran pimpinan bisa saja mengabaikan masalah kronik atau mendorong persaingan diantara anak buah untuk memenuhi keinginan untuk diberikan mandat/ perintah. Ketika pimpinan tidak berfungsi atau “dysfunctional”, kondisi organisasi pun segera mengikuti.
Setelah bertugas selama 20 bulan, melalui 3 langkah perubahan yang dijalankan oleh Captain D. Michael Abrashoff, ia berhasil menyelesaikan tugasnya memimpin kapal USS Benfold dengan prestasi yang gemilang. Diantaranya adalah:
- USS Benfold berhasil mengurangi kegagalan peralatan hingga 2/3
- Kapal perang beroperasi 75% dari anggaran
- Meraih penghargaan fleet dengan Skor Teknik Penggunaan Senjata Tertinggi
- Tingkat retensi awak meningkat 100%
- Memenangi penghargaan sebagai pasukan dengan kapal yang paling siap di Fleet Pacific

Di akhir masa tugas, Captain Mike telah berhasil menginspirasi Angkatan Laut, dimana USS Benfold tidak hanya menjadi contoh teladan bagi kapal perang lainnya, namun juga di luar angkatan laut melalui teknik manajemen Captain D. Michael Abrashoff yang unik ini. Keberhasilan Captain Mike dalam mentransformasi USS Benfold sangat baik dijadikan teladan baik bagi jajaran Meratus Line dalam mengamalkan ISTEP melalui penjabaran perilaku ISTEP yang “Peduli dan mengutamakan kesehatan, keselamatan kerja dan menjaga lingkungan”, serta mewujudkan kepemimpinan yang “Memiliki konsistensi antara kata dan perbuatan sesuai etika bisnis dan ketentuan perusahaan yang berlaku”.

Captain D. Michael Abrashoff Quotes:
• "Leaders need to understand how profoundly they affect people, how their optimism and pessimism are equally infectious, how directly they set the tone and spirit of everyone around them."
• "Never once did I do anything to promote myself, just the organization. That way, no one could ever question my motives."
• "Your people...are more perceptive than you give them credit for, and they always know the score - even when you don’t want them to."
• "Give me performance over seniority any day of the week."
• "The key to being a successful skipper is to see the ship through the eyes of the crew. Only then can you find out what’s really wrong and, in so doing, help the sailors empower themselves to fix it."


Uncut article, dimuat di Majalah Horison

Selasa, Maret 17, 2015

Job Value Vs Person Value: Suatu Restrokspeksi

Dikisahkan, bahwa dalam Era Industri penggunaan "hadiah dan hukuman" atau "carrot & stick" sangat efektif dalam tujuan mengelola manusia dan pabrikan/ manajemen/ employer senantiasa menginginkan result yang spesifik, terukur, terstandar dan massal. Kemudian job description diciptakan untuk tujuan mengelola result tersebut. Lalu dikisahkan pula pada Era Knowledge, perbandingan kinerja/ result seorang profesional yang satu dengan profesional lainnya adalah infinite atau tidak berhingga. Namun pada kenyataannya, kebanyakan perangkat di Era Industri masih terbawa di Era Knowledge atau terjadi "percampuran yang saling menyesuaikan".

Salah satu ilustrasi "percampuran yang saling menyesuaikan" adalah jika berkaca pada perangkat reward management - yang menurut penulis tengah berada di persimpangan jalan... (baca juga: Reward Philosophy: Memahami Job Value vs Person Value).

Artinya bagaimana mungkin kesetimbangan antara job value dengan person value di dalam sebuah organisasi dapat tercipta jikalau masing-masing anggota organisasi memegang teguh sisi "person value-nya" saja? Lalu bagaimana upaya "pemain biasa" dapat meningkatkan performanya, ataukah selamanya ia hanya akan menjadi pemanis di pinggir lapangan yang sesekali dipanggil untuk mem-back up pemain utama yang merasa sedikit kelelahan?

Tindakan mengamankan status quo sebagai pemain yang dibayar tinggi tanpa mau mengembangkan rekanan lain di dalam satu tim, (misalnya berperan sebagai mentor, sebagai counselor, atau hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan lainnya ) adalah mental model di Era Industri.

Sehingga job value di sini sangat berguna untuk "menetralkan" ketidakseimbangan value yang ada. Berbagi, berkolaborasi, bermitra, lalu mengajarkan, membina, mengembangkan, dan menumbuhkan bibit-bibit potensi yang sudah ada-merupakan mental model di Era Knowledge.


Adanya ketimpangan person value dan job value organisasi di mata penulis merupakan sebuah restrospeksi, akankah kita -yang sekarang tengah berada di knowledge Era- selamanya terperangkap mental model Era Industrial ataukah akan memupuk sifat-sifat yang terpuji sebagaimana penulis sebutkan diatas? Hanya waktu yang akan bisa menjawabnya.

Rabu, Maret 04, 2015

Meneladani Sang Penemu Besar “Thomas Alva Edison”

Meneladani Sang Penemu Besar “Thomas Alva Edison”*

Siapa yang tidak kenal dengan nama besar Thomas Alva Edison, seorang penemu paling produktif sepanjang masa. Dimana beliau telah menghasilkan inovasi & perbaikan minor di berbagai bidang yang meliputi telekomunikasi, tenaga listrik, perekam suara, gambar bergerak, baterai, tambang dan teknologi semen. Di tengah-tengah kurangnya fasilitas dan infrastruktur pendukung, bahkan belum pernah menempuh pendidikan formal yang mendukung karirnya sebagai penemu, beliau berhasil mengantongi 1093 paten. Tak kenal maka tak sayang, Thomas Alva Edison lahir pada tahun 1847 sebagai anak ketujuh dari 7 bersaudara. Ibunya, Nancy, adalah seorang guru sedangkan ayahnya, Samuel, adalah politisi asal Kanada yang diasingkan. Menempuh pendidikan formal yang amat singkat, Edison atau Al mendapatkan pendidikan home schooling, dimana ia membaca koleksi buku-buku berkualitas di perpustakaan keluarganya.

Pada usia 12-15 tahun, Al bekerja di Grand Truck Railroad sebagai penjual koran, majalah dan permen, serta melakukan eksperimen kimia di waktu senggangnya. Nasib Al berubah pada usia 15 tahun, dimana Al mendapatkan pelatihan sebagai operator telegraf, setelah berhasil menyelamatkan nyawa anak seorang operator telegraf dari kecelakaan KA. Al dengan cepat mempelajari proses dan adaptasi telegraf. Hal ini dibuktikan pada saat Perang Sipil Shiloh yang diliput oleh koran lokal setempat, Al pun membujuk editor untuk mengirimkan headlines berita ke stasiun-stasiun yang disinggahi kereta menggunakan telegraf, sehingga korannya menjadi laris dan berhasil mencetak keuntungan besar. Di usia 16-20 tahun, Al pun menempuh karir baru dari penjual koran menjadi operator telegraf. Di lingkungan ini ia tidak hanya belajar teknis pengiriman teltgraf dan menjadi ahli di bidangnya, namun lebih dari itu. Al juga mempelajari proses bisnis, hingga mendalami trouble shoot perangkat telegraf untuk mencari tahu perbaikan apa yang bisa ia dilakukan agar operasional mesin telegraf menjadi lebih efektif dan semakin baik.

Bakat penemuan Al kian terasah dari pengamatan dan percobaan yang ia lakukan. Pada usia 21 tahun, Al merupakan inventor ternama di Boston, dimana ia berhasil menciptakan Stock Tickers, alarm kebakaran, pengiriman pesan simultan pada satu kabel, teknologi elektronik chemical untuk mengirim pesan secara otomatis. Akhirnya, pada usia 22 tahun, Al pun memutuskan untuk menjadi seorang penemu, suatu profesi yang belum dikenal pada saat itu.

Al pun belajar model bisnis seorang penemu dari 2 orang mentor, bahwa menjadi penemu membutuhkan dukungan dana dari investor, dinama temuan dapat diproduksi massal, dan dapat diinstalasikan. Sekian lama belajar, Al kian matang dalam mempelajari model bisnis invention/ penemu. Di usia 29 tahun, Al telah mengantongi 100 paten, dan terus berkarya dengan menghasilkan 10 perbaikan dan 1 temuan setiap 3 bulan. Dan tinta emas sejarah terus mencatat prestasi Thomas Alva Edison, dimana penemuan lampu listrik merupakan salah satu karya puncak Al yang dikenang sampai saat ini pada usia 31 tahun.

Lalu apakah relevansi seorang Thomas Alva Edison bagi kehidupan sehari-hari, khususnya di perusahaan yang kita cintai ini? Dari pemaparan kisah Al di atas ternyata sangat sesuai dengan Nilai-Nilai Meratus Line I-STEP untuk nilai Profesionalism, yakni: “memilliki dan meningkatkan kompetensi di bidangnya untuk menghasilkan kinerja yang terbaik” serta nilai Integrity, yakni: “memiliki konsistensi antara kata dan perbuatan sesuai etika bisnis da ketentuan perusahaan yang berlaku”.

Pemikiran dan ambisi Al di usia yang sangat dini dengan nama besar atau reputasi baik yang bertahan hingga akhir hayat bahkan hingga saat ini ternyata ditunjang oleh tingginya profesionalisme dan integritas yang ia miliki. Ia tidak segan keluar dari pekerjaannya sebagai operator telegraf demi mengejar cita-citanya sebagai penemu.

Sederet prestasi yang ditorehkan oleh Thomas Alva Edison tidak terjadi dalam waktu semalam. Lalu bekal atau kualitas apa saja yang mesti dimiliki oleh seorang penemu mumpuni dan sukses seperti Al? Didapat 7 kualitas Al yang dapat kita diteladani, diantaranya adalah:
1. Senang belajar dan menghargai ilmu pengetahuan
2. Produktif (dikenal sebagai pekerja keras) dan menyukai tantangan
3. Memiliki daya konsentrasi dan ketekunan yang prima
4. Mengelilingi dirinya dengan orang-orang intelek
5. Memiliki mentor yang mengajarinya berbagai hal yang perlu ia ketahui
6. Menggabungkan penelitian dan pengembangan, komersialisasi dan model bisnis
7. Kemampuan melakukan beberapa projek dalam waktu yang bersamaan

Thomas Alva Edison memiliki dan membangun kebiasaan (habits) yang membesarkan dirinya. 999 percobaan yang gagal dalam proses menciptakan sebuah “lampu pijar yang sempurna” telah beliau tempuh, dan bahkan tidakkan pernah menyurutkan dirinya bilamana percobaan yang ke-1000 gagal. “I have not failed, I’ve just found 10,000 ways that won’t work”, sesederhana itu.

Belajar serta meneladani semangat Thomas Alva Edison dengan sungguh adalah sebuah jalan dalam memahami nilai professionalism, dan meneladani bagaimana nama Thomas Alva Edison beroleh nama besar seorang penemu berasal dari nilai-nilai Integrity yang ia yakini.


  Salam I-STEP!

Thomas Alva Edison Quotes:
“Genius is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration”
“I will not say I failed 1000 times, I will say that I discovered 1000 ways that can cause failure”
“One might think that the money value of an invention constituesits reward to the man who love his work. But ... I continue to find my greatest pleasure, and so my reward, in the work that precedes what the world calls success”


)* dimuat di majalah internal Horizon - Meratus Line