Kamis, Desember 29, 2011

Mempertahankan Semangat Berbudaya


Menjaga motivasi rekan kerja dalam menerapkan budaya kerja dijalankan secara konsisten, dari waktu ke waktu, bahkan sepanjang tahun merupakan tantangan tersendiri. Seringkali program budaya yang telah digagas di awal tahun kemudian kandas di tengah jalan, dan ketika mereka ditanyakan mengenai program budaya, mereka hanya mengingat "nama program" budayanya saja. Sungguh sangat disayangkan, besarnya effort yang ditujukan untuk menciptakan kebiasaan baru yang diyakini menjadi hulu ledak "perubahan yang berkelanjutan" ternyata gagal diimplementasikan. Melalui tulisan ini terdapat beberapa strategi yang layak dicoba dalam menerapkan program budaya yang berfokus pada perbaikan kondisi internal dan eksternal ataupun perpaduan keduanya, diantaranya adalah:


Internal:

Program budaya yang berfokus untuk meningkatkan kinerja, diantaranya adalah: percepatan SLA, peningkatan standar layanan, penurunan error, peningkatan kualitas penginputan data, dst. Program budaya yang dimaksud akan meningkatkan motivasi rekanan kerja untuk senantiasa memperbaiki diri. Monitoring, pembinaan, dukungan, bahkan keikutsertaan jajaran pimpinan sangat menentukan keberlangsungan program ini.

Program budaya yang menunjang strategi seperti "inovasi/ perbaikan proses bisnis" untuk memberikan nilai tambah bagi organisasi. Tingginya rutinitas pekerjaan sehari-hari terkadang "mematikan" kreatifitas rekan kerja. Dengan membebaskan mereka mengekspresikan ide, membiarkan mereka berkolaborasi untuk menyederhanakan hingga mempercepat proses kerja, hingga efisiensi biaya akan meningkatkan semangat rekan kerja.



External:

Program budaya yang "mempengaruhi unit kerja lain" untuk menjalankan budaya kerja yang mendukung percepatan proses bisnis. Meskipun rekanan kerja telah memiliki lingkungan kerja yang kondusif dan menjalankan program budaya kerja dengan sangat baik, tanpa diimbangi unit kerja lain yang bekerja dengan kecepatan, kualitas, dan bahkan semangat yang sama dalam jangka panjang tidak akan banyak memberikan kontribusi bagi organisasi. Untuk itu tantangan bagi unit kerja ini adalah menularkan teknik, kiat-kiat hingga strategi agar unit kerja lain mampu menerapkan sehingga memiliki “derap langkah yang sama” dengan unit kerja ini.

Program budaya yang berdampak kepada peningkatan image perusahaan ini membutuhkan kerja keras berbagai pihak. Dampak dari pelaksanaan program ini adalah peningkatan citra perusahaan di ranah publik. Tentunya dengan adanya program ini terdapat banyak hal yang harus dibenahi, mulai dari peningkatan kompetensi rekanan kerja, perubahan lay out ruangan, perbaikan prosedur kerja, dst. Sehingga dimanapun dan kapan pun klien melakukan transaksi, maka standar layanan yang diberikan perusahaan adalah sama.

Berawal dari pekerjaan yang semula dianggap sebagai “ekskul” karena terdapat banyak “pekerjaan tambahan” lambat laun menjadi kebiasaan, bahkan ekskul ini diyakini sebagai cara unit kerja ini memberikan kontribusi, memberi warna bagi organisasi, dikenal unit kerja lain, bahkan mendapatkan penghargaan dari stakeholders. Dan tak jarang unit kerja ini dijadikan panutan, bahkan rujukan bagi organisasi lain untuk dicontoh perusahaan terkemuka lainnya. Sehingga berangkat dari kebiasaan yang kecil ini, upaya menjaga motivasi rekanan kerja dari waktu ke waktu bukan hanya mengharumkan perusahaan, namun pada lingkup yang lebih luas: memberikan sumbangsih kepada negara tercinta ini. Semoga!

Formulasi Budaya Perusahaan: Pimpinan vs Master Chef

Budaya Perusahaan merupakan topik yang takkan habis dibahas. Melihat dan mengamati pimpinan dalam mengemas hingga mensosialisasikan program budaya telah menginspirasikan penulis dengan judul menarik ini: "Formulasi Budaya Perusahaan: Pimpinan vs Master Chef". Lalu apa persamaan Pimpinan dengan seorang Master Chef ini? Pimpinan dan Chef sama-sama meramu, memasak bahan-bahan tertentu, lalu mengemas hingga menghidangkan di hadapan juri.

Sebagaimana masakan, penilaian implementasi budaya perusahaan dapat menjadi hal yang subjektif. Masalah subjektifitas ini terkait kedalaman filosofi budaya yang diusung oleh perusahaan/ unit kerja, pemahaman karyawan, pencapaian KPI, hingga peran pimpinan itu sendiri. Penilaian juri pun juga bergantung dari pengalaman sang juri, yang berbasis pengalaman masa lampau/ data historis yang ada.

Tak ubahnya seorang chef yang berpeluh karena panasnya api dapur, pimpinan perusahaan/ unit kerja pun memeras otak dalam mengemas dan memastikan program budaya dapat dijalankan oleh seluruh jajaran perusahaan. Dimana proses yang paling menentukan adalah mendapatkan hingga membangun komitmen jajaran perusahaan, artinya proses ini bukanlah acara seremonial "penandatanganan komitmen" tapi bagaimana mendapatkan dukungan dari jajaran perusahaan.
Selanjutnya adalah proses perencanaan, bagaimana program budaya dikemas sehingga menjadi program budaya yang dijalankan karyawan adalah program yang simple, mudah diingat, aplikatif, membangun kebersamaan. Program ini berdampak langsung dalam meningkatkan kompetensi karyawan dan akhirnya kinerja perusahaan secara keseluruhan.

Terdapat takaran atau porsi tertentu dalam memformulasikan budaya perusahaan, dimana semuanya akan bermuara kepada hasil/ result, bukan hanya seremoni atau hura-hura atau yang terlihat secara kasat mata. Bagi seorang pimpinan yang baru menjalankan formulasi program budaya, tidak jarang ditemui rintangan dan berbagai penyesuaian diperlukan agar program sejalan dengan alur pekerjaan. Dan tak jarang mereka-sebagaimana seorang master chef-dengan bahan baku yang diberikan harus dapat memperkirakan bagaimana hasil dari proses tsb, seperti: warna atau "suasana kerja", tekstur atau "kebersamaan karyawan dalam menjalankan program budaya", penyajian atau "atribut budaya yang ada di lingkungan kerja, perubahan proses bisnis, dst".

Lalu, bagaimana dengan Budaya Perusahaan Anda?

Rabu, Desember 28, 2011

Asal Hidup Bagian II


Aku nggak mau anakku menjadi orang yang paling aneh di sekolah. Kalaupun dia harus menonton siaran TV, dia harus aku dampingi


Begitu komentar salah satu orang tua yang masih terhitung saudara penulis. Sehari bersama berkendaraan menempuh perjalanan antar kota dengan mereka, penulis cukup panik menghadapi 2 anak yang menirukan adegan/ lakon sebuah siaran live di TV swasta terkemuka Indonesia. Nyanyian dan ucapan yang keluar dari bibir-bibir mungil tersebut tidak pantas, bahkan terkesan sebagai anak yang kurang terdidik oleh kedua orang tuanya yang nota bene sangat terdidik. Hal ini membuat penulis merasa gemas, apalagi anak penulis yang masih TK berkali-kali mengingatkan mereka, ”Hei, itu tidak sopan!”.

***

Menjelang malam, penulis pun mengevaluasi kedua anak tersebut, “Kalian harus berjanji ya, sepulang dari liburan ini jangan menonton siaran xxx lagi. Itu siaran yang tidak pantas ditonton dan ditiru. Tengoklah anak-anak yang kita temui di K******A tadi, mereka menggunakan bahasa Inggris, Indonesia dan terkadang Mandarin. Mereka tidak sempat menonton acara seperti itu”.
“Iya, aku janji.”
Tak lama, orang tua si anak memberikan argumentasi seperti di atas. Mendapat dukungan, si anak kemudian menimpali perkataan orang tuanya.
“Tapi Mbak, aku ini kan tinggal di desa.”
“Ya, meskipun kalian tinggal jauh dari kota, tapi gantungkan cita-cita setinggi langit. Kalian suatu saat akan bersekolah dan bekerja di sini. Sekarang dengan laptop kecil kalian, masih ada banyak hal yang bisa dipelajari”.


Segera setelah percakapan menarik ini, kami menindaklanjuti masalah ini dengan berembuk, bagaimana keluarga terdekat kami tidak menonton acara yang tidak mendidik ini, mulai menyeleksi acara, atau berlangganan TV prabayar, atau menciptakan kebiasaan-kebiasaan baik, mendidik dan bernilai tambah. Namun sayang, solusi tersebut belum begitu penting mengingat masalah besar dan pelik belumlah tampak di depan mata. Sehingga penulis melanjutkan pembahasan ini dalam tulisan “Asal Hidup Bagian II”

Kata-kata asal hidup pada tulisan sebelumnya ditujukan pada organisasi, keluarga atau bahkan individu yang tidak memiliki perencanaan, contingency plan, bahkan struktur, aturan, hingga prosedur yang jelas. Segala hal yang serba tidak jelas ini menyebabkan orang-orang yang hidup di dalamnya terjerumus ke dalam situasi yang relatif "tidak menguntungkan" dalam jangka panjang.

Lama tidak merenungkan kata Asal Hidup, seperti sambaran petir penulis terbawa oleh emosi “Asal Hidup” ini. Bayangkan sebuah keluarga yang tidak memagari, memberikan rambu-rambu, menumbuhkan, mendidik, mengeksplorasi, mengevaluasi, menganalogikan, mendekatkan dan berdiskusi dengan anak tercinta, lalu apa yang akan terjadi ketika si anak kemudian bertambah umur? Tentunya kebingungan, tidak bisa membedakan mana yang patut dan tidak, mana yang baik dan jelek, mana yang harus dilanjutkan dan dihentikan segera akan dihadapi sang anak.

Mereka bagaikan tanaman liar yang telah berurat berakar, tumbuh sekenanya. Mereka seperti tanaman tidak sempat dipangkas, disiangi, disirami, diberikan pupuk, dan diberikan sinar matahari yang cukup. Dalam jangka panjang, siapapun mungkin akan terkejut sendiri melihat betapa pesatnya perkembangan kebiasaan-kebiasaan baru tumbuh ini: menjadi cabang-cabang kecil, membesar, dan perlahan-lahan menghancurkan kebiasaan-kebiasaan lama yang relatif baik, bahkan nilai-nilai luhur keluarga yang semestinya hidup dan senantiasa dijalankan oleh sang anak hingga kelak beranjak dewasa. Bayangkan jika hal ini terjadi di tengah keluarga-keluarga kecil secara jamak.

Mencermati kata “saya tidak ingin anak saya tidak seperti anak-anak kebanyakan”, di belantara media yang sangat tidak ramah kepada anak-anak, hingga menyebabkan kebanyakan masyarakat ini menjadi “sakit”- tidak tahu lagi apa yang penting dan tidak penting, to learn and unlearned (Schein). Sehingga penulis merasa perlu menekankan pada tulisan ini “ikutilah nilai universal, dimana pada tahap perkembangan seorang anak, mereka bagaikan tunas yang menyerap budaya dan sekaligus nilai-nilai luhur di sekitarnya. Pembiaran hanya akan merusak mereka. Tumbuhkanlah kebiasaan baik, siangilah atau diskusikanlah hal-hal kecil yang perlu dirubah setiap hari (start, continue, stop)". Pembaca akan merasakan sendiri, betapa berbedanya anak tersebut diantara kebanyakan anak-anak. Ucapan, kata-kata, dan tindak tanduknya akan menyejukkan hati dan membanggakan orang tua atau siapapun yang mendengarnya.

Penulis berketetapan hati tidak ingin menulis asal hidup jilid III, bilamana nilai-nilai luhur yang dipupuk setiap hari, oleh keluarga, guru, dan lingkungan yang tidak kenal lelah memelihara tunas-tunas bangsa, anak-anak kita. Semoga.

Selasa, Juli 19, 2011

Tribal Organization

Beberapa waktu yang lalu penulis ditugaskan ke perusahaan lembaga keuangan terkemuka di Indonesia bagian Timur dan berkesempatan menemui CEO perusahaan tersebut. Pada sesi pertemuan, beliau memaparkan berbagai problematika unik dan khas, yang menurut penulis hanya mungkin ditemui di perusahaan tersebut.

Adapun beberapa poin permasalahan perusahaan tersebut adalah: budaya kerja perusahaan belum menunjukkan ciri sebuah lembaga keuangan terkemuka, sulitnya merubah persepsi bawahan, dan kurang ditaatinya aturan main/ kebijakan dan bahkan prinsip GCG di dalam organisasi.

Meskipun di permukaan permasalahan tampak manageable dan bahkan bisa diselesaikan secara fair, namun permasalahan di atas sangat sulit untuk diuraikan. Anggota organisasi bersatu padu menolak adanya perubahan, mempertahankan status quo, dan bahkan mengabaikan aturan-aturan main yang berlaku.

Menyimak kondisi di atas, permasalahan secara jelas berakar dari pemahaman dan pola pikir anggota organisasi yang salah, sedemikian rupa permasalahan saling mengait dan bahkan secara sistemik merusak. Disadari, budaya kerja yang baik akan muncul bilamana terdapat sistem yang baik, seperti: manajemen kinerja, reward & punishment yang jelas, sistem remunerasi yang wajar, uraian pekerjaan yang jelas, standard dan prosedur yang jelas, dst. Dan hal tersebut hendaknya didukung oleh arahan serta komitmen para pimpinan guna memastikan tegaknya aturan, konsistensi penerapan sistem, serta reward & punishment yang wajar kepada bawahannya.

Ternyata dalam praktiknya, berbagai pengambilan keputusan penting yang sebenarnya cukup memerlukan kewenangan BOD, masih ditemui campur tangan BOC yang dirasa sudah cukup dominan. Hal ini sungguh tidak sesuai dengan prinsip independensi “Good Corporate Governance”, yakni prinsip independensi independensi BOD dalam pengambilan keputusan. Kondisi “given” seperti ini sungguh merupakan kondisi yang kurang menguntungkan bagi CEO yang sudah menjalani separuh waktu masa bakti.

Kira-kira paradigma apa yang harus dipraktikkan CEO ini dalam mengawali manajemen perubahan? Tahapan-tahapan apa yang harus dilalui oleh organisasi yang ingin menjalankan perubahan mendasar, namun tanpa membuat anggota organisasi merasa “terusik”. Berikut ini pemaparan mengenai Tribal Organization.


Memahami Tribal Organization

Dalam sebuah organisasi terdapat pagar-pagar, halangan dan rintangan yang “tak tampak” yang dikuasai oleh pimpinan-pimpinan informal. Pada intinya informasi, kebijakan, dan arahan yang disampaikan oleh manajemen hendaknya harus diterima dan melewati pagar-pagar tersebut sehingga informasi, kebijakan dan arahan tersebut dapat disampaikan atau ditransmisikan ke seluruh jajaran apa adanya, sehingga informasi, kebijakan dan arahan yang sampai tidak memiliki penafsiran yang berbeda.

Sehingga ilustrasi organisasi di atas yang seolah-olah berbentuk "tribal organization" ini membutuhkan seorang "tribal leaders" yang memastikan bahwa setiap orang yang berada di dalam organisasi meyakini dan menjalankan apa yang dikatakan oleh tribal leaders tersebut. Lalu, bagaimana tahap-tahapannya, serta teknik apa saja yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa setiap tribal stages tersebut terlewati hingga mencapai kondisi yang diinginkan?

Menurut Dave Logan, John King, Halee Fischer-Wright (2008) dalam buku yang berjudul “Tribal Leadership” setiap organisasi adalah sebuah “tribe” atau suku. Dimana tribes/ suku didefinisikan sebagai sebuah jaringan yang terdiri dari group yang beranggotakan 20 hingga 150 anggota yang saling mengenal satu sama lainnya. Diakui, tribes/ suku ini jauh lebih kuat dibandingkan tim, perusahaan, dan bahkan CEO itu sendiri. Buku ini berusaha membekali para CEO/ pimpinan/ manager yang baru diangkat dalam menilai seberapa kuat “budaya tribes/ suku” di dalam organisasi ini ke dalam 5 tahapan dari skala 1 hingga 5.

Didapatnya skala ini berasal dari studi yang mereka lakukan, melibatkan 24.000 orang di lebih 24 organisasi. Pada buku ini Logan, King, and Fischer-Wright meredifinisikan dan memperbaiki “tema umum” bahwa:
• Keberhasilan organisasi tergantung dari suku/tribes yang berasal dari tribal culture; dan
• Keberhasilan upaya mencapai budaya perusahaan yang dicita-citakan ditentukan oleh para “tribal leaders” yang efektif.

Terdapat 5 tahapan tribal leadership yang mesti dipahami oleh tribal leaders untuk meningkatkan tribes/ suku ke level berikutnya, diantaranya:
• Tahap 1: tahapan yang diabaikan oleh para professional, ini adalah tribes/ suku yang tidak bersahabat, sebagaimana peran antagonis dalam drama-mereka menciptakan skandal, fraud, dan bahkan mengancam terjadinya pengrusakan.
• Tahap 2: Budaya dominan untuk 25% dari tribes/ suku di tempat kerja. Tahapan ini termasuk anggota yang secara pasif terdiri dari orang-orang antagonis, sarkastik, dan menolak inisiatif baru manajemen
• Tahap 3: 49 % tribes/ suku di tempat kerja ada dalam tahap ini, ditandai dengan pengumpul pengetahuan yang ingin mengatasi pekerjaan dan mengatasi pesaing mereka dalam basis individual. Mereka adalah “professional” yang tidak hanya ingin menang namun ingin menjadi yang terbaik di dalam organisasi mereka (“I’m great”).
• Tahap 4: transisi dari “I’m great” menjadi “we’re great” muncul dalam tahap ini dimana anggota tribe/ suku bekerja sama, beraliansi untuk perusahaan secara keseluruhan.
• Tahap 5: kurang dari 2% anggota dapat berinovasi untuk menggunakan potensi diri dalam lingkungan kerja yang menghasilkan dampak secara global.


Penutup

Sebagai penutup, peran tribal leaders di sini adalah mengidentifikasi pada tahap ke berapa organisasi ini berada, dan bahasa/ inisiasi apa yang mesti dilakukan oleh tribal leaders ini. Jika tribal leader organisasi merasa berada pada tahap tertentu, maka mereka harus dapat memahami, memotivasi dan menumbuhkan pemahaman terhadap tribe/ suku mereka sehingga friksi-friksi yang terjadi di dalam organisasi tidak akan membawa keberhasilan, dan bahkan kemajuan yang akan dinikmati bersama. Sehingga tribe/ suku akan berinovasi, menemukan cara-cara baru, untuk mengejar ketinggalan dan akhirnya meraih keberhasilan. Semoga!

Ramadhan Mania: Bulan Memperbaharui Wawasan

Pembaca sekalian, tak terasa umat Islam di berbagai belahan dunia kini menyambut bulan Ramadhan, bulan baik lagi mulia untuk penyegaran, berkontemplasi, memupuk kesetiakawanan, menambah amal dan wawasan, serta mengangkat derajat manusia berdasarkan amal-amalan baik yang dilakukan.

Teringat sewaktu sekolah dahulu, setiap malam selama bulan Ramadhan, penulis diwajibkan menuliskan ringkasan ceramah yang disampaikan oleh Ustadz/ penceramah dimana penulis biasa menjalankan Shalat Tarawih. Kebiasaan setiap bulan Ramadhan ini tetap ada-khususnya di sekolah-sekolah di Sumatera Barat. Dan terus-terang, kebiasaan ini membekas sehingga dalam box "Ramadhan Mania", penulis ketengahkan kuliah/ forum/ referensi link yang berguna untuk belajar dan menambah wawasan khususnya mengenai Islam.
Sengaja penulis ambil dari situs yang berbahasa Inggris dimana di belahan dunia lain, ada sekelompok minoritas yang hidup dalam tekanan sehingga mereka mengakui "It is the fastest religion but the most misunderstood". Mereka adalah muslim Amerika yang dengan bersemangat berusaha mendidik, mencerahkan mayoritas penduduk di negaranya yang non-muslim, bahwa Islam bukanlah agama yang mendorong terorisme di seluruh dunia, Islam adalah agama yang membawa kedamaian dan pencerahan. Upaya tersebut ada dalam video, blogs, artikel, buku, rekaman wawancara dapat pembaca nikmati. Silahkan kunjungi link situs seperti:
* Islam Life
* Level Truth
* Prophet of Islam
* The Deen Show

Dan insyaAllah, daftar link tersebut akan bertambah panjang.



Selamat menikmati bulan Ramadhan. Semoga bermanfaat.

Kamis, Juli 07, 2011

Bedol Desa Vs Employee Value Preposition



Pembaca sekalian pernah mendengar istilah "bedol desa"? Suatu kondisi dimana organisasi ditinggalkan oleh karyawan (secara serempak maupun perorangan) yang menduduki posisi kunci/ strategis/ senior untuk bergabung di perusahaan lain.

"Bedol desa" adalah fenomena yang lumrah di dalam organisasi dimana tulang punggungnya adalah knowledge worker dan modal/ assetnya adalah "otak/ brain". Fenomena ini diakibatkan oleh adanya ketidakseimbangan, ketidakstabilan, ketidaknyamanan, atau gejolak di dalam organisasi yang tidak tersalurkan, atau mungkin sudah dibicarakan namun tidak ada perubahan yang berarti.

Sehingga akibat dari hilangnya posisi-posisi kunci ini merugikan atau bahkan membahayakan perusahaan, sebagai perbandingan: dibutuhkan biaya 3-4 kali gaji yang untuk menggantikan seorang karyawan non-manajer yang mengundurkan diri. Dimana biaya tersebut sudah termasuk biaya perekrutan (mengiklankan, seleksi, wawancara kandidat hingga penempatan); merekrut kembali orang tsb, pelatihan, produktifitas yang hilang, waktu yang dihabiskan seorang atasan untuk membina karyawan baru tsb, dll. Sedangkan "kesalahan rekrut" seseorang pada level manajerial berakibat kerugian sebesar 24 kali gaji seorang karyawan. Kerugian yang diakibatkan dirinci dari biaya perekrutan, persiapan, kompensasi, biaya perjalanan, kesalahan, peluang yang gagal diambil, serta kerugian-kerugian bisnis lainnya.

Kerugian demi kerugian yang sebetulnya tidak perlu terjadi bilamana Manajemen perusahaan memiliki sedikit waktu untuk mengidentifikasikan serta mengkaji apa yang menjadi "Employee Value Preposition" perusahaan. Dengan kata lain, hal-hal apa yang menyebabkan karyawan bertsajaahan, membaktikan diri, berkarir, hingga pensiun pada organisasi yang sama. Dan kira-kira faktor-faktor apasaja yang menyebabkan organisasi bertahan lama oleh loyalitas pemegang posisi kunci. Pada artikel ini penulis mencoba menguraikannya.

"It" Factors
Setidaknya terdapat 7 faktor Employee Value Preposition yang "menahan" karyawan bekerja di perusahaan tempat ia bekerja dan menyandang predikat sebagai karyawan yang berprestasi tinggi/ "highly engaged within organization", diantaranya adalah:
1. Budaya perusahaan: sejauh mana nilai-nilai di dalam perusahaan memiliki kesamaan dengan nilai yang mereka miliki. Dari kegiatan wawancara penulis beberapa waktu lalu, karyawan yang memiliki prestasi tinggi dan sekaligus loyal dengan perusahaannya menjalankan nilai pribadi yang relatif identik dengan nilai yang dimiliki oleh perusahaan. Sehingga upaya yang mereka lakukan untuk adaptasi dalam unit kerja atau bahkan dalam organisasi terlihat effortless-seakan tanpa usaha. Karena mereka telah dibentuk sedemikian rupa oleh lingkungan dan keluarganya.

Kekuatan faktor pertama akan mempengaruhi 6 faktor berikutnya, yakni:
2. Kepemimpinan: sejauhmana pimpinan di dalam perusahaan mengakomodir aspirasi bawahan, mengembangkan mereka bahkan menjalankan ide, saran dan masukan dari mereka.
3. Sistem Manajemen Kinerja yang dijalankan oleh perusahaan: sejauhmana Manajemen menghargai orang-orang yang berprestasi dan memberikan penghargaan yang berimbang sesuai dengan kontribusi/ kerja keras yang mereka berikan.
4. Proses HR: sejauhmana peran HR dalam menjalankan program-program guna meningkatkan kinerja organisasi hingga memberdayakan anggota organisasi. Mulai dari
kualitas layanan HR hingga program pelatihan, promosi, remunerasi, dst
5. Core Production Process: sejauhmana proses inti produksi dijalankan perusahaan memiliki ownership di jajaran perusahaan-dimana mereka dapat memberikan masukan dan saran untuk perbaikan; berkreasi untuk perbaikan organisasi (dari sisi proses produksi); menciptakan produk-produk baru dan inisiatif lainnya.
6. Organizational Team & Job Design: sejauhmana efektifitas alokasi SDM dan desain pekerjaan mereka. Pekerjaan menjadi nyaman bilamana tidak terjadi segregasi pekerjaan yang menyebabkan pemegang jabatan terpapar risiko; beban/ load pekerjaan yang berimbang dengan kompensasi yang mereka terima, dst.
7. Individual & Team Competency: sejauhmana kinerja perorangan dan kompetensi tim yang mendukung terselesaikannya pekerjaan atau target-target.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan bertahannya organisasi dalam jangka waktu lama adalah adanya (1) fleksibilitas; (2) kerjasama; dan (3) kreatifitas. Sehingga hubungan timbal balik yang dipersepsikan karyawan terhadap organisasi, atau apa yang dapat diberikan organisasi kepada karyawan pada saat karyawan bekerja pada organisasi tersebut terjawab--sehingga secara alami membentuk employee value preposition tsb.





Melalui uraian di atas, bilamana fenomena Bedol Desa melanda organisasi anda, Anda setidaknya sudah tahu apa yang harus segera dilakukan. Semoga!

Jumat, Juni 17, 2011

Dongeng "Budaya Perusahaan": Binatang dan Resi yang Bijak

Alkisah, sebuah Perusahaan yang merupakan institusi tertua di Indonesia yang bergerak di bidang kesehatan. Saat ini organisasi berada pada tahap awal identifikasi budaya perusahaan, dimana jajaran Direktur beserta para Stakeholders berkumpul dan berembuk guna memantapkan pemahaman organisasi, nilai-nilai budaya apa saja yang dapat dijadikan pegangan di dalam Perusahaan, dan merumuskan panduan perilaku untuk menghadapi dinamika dan tantangan organisasi ke depan.

Untuk itu, Direktur beserta para Stakeholders diminta untuk menggambarkan karakteristik khas, sifat, perilaku, dan etos kerja Perusahaan ke depan yang direpresentasikan oleh "seekor binatang".

Tak berapa lama, dari hasil diskusi diperoleh 4 (empat) ekor binatang yang merepresentasikan karakteristik khas, sifat, perilaku, dan etos kerja organisasi ini. Mereka adalah: seekor lebah madu, elang, anjing Collie, dan singa.






Sang lebah madu merupakan makhluk yang memiliki karakter pekerja keras, rela berkorban, penuh keteraturan, bekerja sama, dan berkinerja (menghasilkan madu) sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan. Sang Elang merupakan makhluk yang tangguh, memiliki sifat yang visioner lagi berwibawa, dan senantiasa mengoreksi diri. Di sisi lain, Anjing Collie merupakan makhluk yang memiliki sifat khas rajin, ramah dan menyenangkan tuannya, setia, dapat dipercaya, dan penuh dedikasi. Binatang ini cekatan dan cepat tanggap, mudah dilatih dan mau belajar, bahkan tidak banyak menuntut. Dan terakhir, tersebutlah Singa si raja hutan yang merupakan pemimpin yang dominan, panutan bagi binatang lain, terdepan dan menjadi tempat belajar, gigih, dapat dipercaya, bekerja berkelompok dan mengayomi binatang-binatang lain.

Keempat binatang inipun berdiskusi membahas keunggulan karakter khas, sifat dan perilaku yang mereka miliki. Kemudian masing-masing binatang menggunggulkan diri sendiri, bahwasanya merekalah memiliki karakteristik khas, sifat, perilaku, dan etos kerja yang dibutuhkan organisasi ini ke depan. Masing-masing merasa mampu menjadi contoh bagi binatang-binatang lain, sangat professional, dan bahkan masing-masing menyeru sebagai binatang yang terbaik dari binatang lainnya.

Kondisipun kian memanas, masing-masing binatang mulai menjelek-jelekkan karakteristik khas, sifat, perilaku, dan etos kerja binatang lain. Lebah menyatakan Singa si raja hutan bukanlah binatang yang dapat mengayomi binatang lainnya, pada kenyataannya ia adalah binatang buas dan siap menerkam binatang manapun. Singa mencerca Anjing sebagai binatang setia dan cenderung patuh kepada tuannya bukan kepada orang selain tuannya (atau stakeholders lain). Elang menyatakan Lebah sebagai binatang yang paling suka mengeroyok lawan. Dan akhirnya sang Elang pun dikatakan Singa sebagai binatang penyendiri, tidak ramah, sehingga sabda Elang pun sangat susah diterapkan, mengingat cara hidupnya yang sudah “tidak membumi”.

Kemudian berkatalah Sang Anjing Collie yang bijak, “Hai binatang-binatang sekalian, bukankah setiap makhluk hidup ciptaan Tuhan ada manfaatnya?”. Binatang-binatang yang sedang sibuk bertengkar tsb kemudian terdiam, dan membenarkan perkataan Anjing Collie. Lalu Singa si raja hutan pun tidak mau kalah menimpali: “Ya. Kalaupun binatang-binatang lain itu tidak memberi manfaat, sebaiknya kita tanyakan saja kepada Resi yang Bijak.”

Syahdan untuk menengahi panasnya suasana, binatang-binatang pun bertanya kepada resi yang bijak: “Apakah karakteristik khas, sifat, perilaku, dan etos kerja akan diambil dari salah satu atau dari keseluruhan binatang?” "Lalu apa manfaat dari diskusi ini?".

Jawaban dari Sang Resi yang Bijak adalah: kesamaan karakteristik khas, sifat, perilaku, dan etos kerja Perusahaan terbaik yang diwakilkan oleh binatang-binatang tersebut. Lebih lanjut, Resi yang Bijak menjabarkan bahwa dari hasil diskusi karakteristik khas para binatang tersebut, ekspresi “nilai lebih” yang dimiliki masing-masing binatang menjadi lebih konkrit, hidup, dan bahkan diwarnai oleh perilaku apa yang menjadi landasan dari nilai yang dimiliki oleh binatang tersebut bahkan menguatkan perilaku utama apa saja yang wajib dimiliki oleh organisasi tersebut.

Syukurlah, perdebatan ini tidak menjadi diskusi yang berlarut-larut dan bahkan menjadi sesi yang membuahkan inspirasi.

Sebagai penutup, nilai-nilai tersebut hendaknya dijalankan secara konsisten, dimana peranan pimpinan sangat dibutuhkan dalam menjalankan perubahan. Hal ini ditunjukkan dengan usaha pimpinan yang penuh kesungguhan, kontribusi yang genuine, dan “bertindak sesuai kata” secara terus-menerus. Dan pada akhirnya, konsistensi budaya perusahaan akan berjalan konsisten dari waktu ke waktu.

Senin, Mei 30, 2011

Mencegah Lebih Baik dari Mengobati

Seiring dengan berjalannya waktu, sebagian pembaca tentu pernah mendengarkan keluhan/ curhatan teman, rekanan, atau handai taulan mengenai pekerjaan atau organisasi tempat ia bernaung atau bahkan menghadapi situasi itu sendiri… dan mungkin pembaca sekalian merasa tak asing dengan ungkapan seperti:

“Belajar di institusi ini hanya akan merusak mental dalam jangka panjang”
“Kenapa ya sebelum menemui X jantungku selalu berdebar-debar”
“Bapak Y tipe orang temperamental.”
“Jangan harap bekerja di perusahaan Z akan mendapatkan kenaikan gaji & bonus”
“Bekerja dengan orang ini hanya akan membuat sakit hati.”
Dan rasanya sudah tak terhitung keluhan/ curhatan rekanan terngiang di telinga penulis pada berbagai sesi wawancara yang dijalankan.

Aneh rasanya mendengarkan keluhan ini, namun bayangkan bila anda beraktifitas dalam perusahaan/ institusi/ organisasi yang sehari-hari hanya akan menimbulkan stress, depresi, ketegangan, ketidakpastian, keruwetan & kekesalan… Selanjutnya akan mengganggu pekerjaan, makan, tidur, hingga hubungan dengan orang-orang terdekat anda… Dan bayangkan segala tekanan/ gangguan tersebut suatu saat tak lagi “dirasa” dan anda menjadi maklum dengan situasi yang serba salah ini.

Idealnya bekerja dan hidup dalam suatu organisasi setidaknya menumbuhkan ikatan emosional, keinginan berprestasi, bertambahnya pengetahuan dan harapan bagi masa depan yang lebih baik. Namun bagaimana jika yang dihadapi adalah orang/oknum, sistem/ proses kerja, dan aturan tertentu yang di kesehariannya menjadi faktor utama rusaknya mental karyawan?

Penyakit tsb tidak terjadi seketika. Ada sesuatu yang salah, tidak pada tempatnya, serta memerlukan perbaikan; namun senantiasa dibenarkan, dijalankan dan diabaikan. Hingga suatu ketika kegiatan seperti menjalankan bisnis, menangani permasalahan, pengambilan keputusan, dst menjadi suatu hal yang “biasa”. Lama kelamaan, orang/oknum, sistem/ proses kerja, dan aturan yang berjalan yang berjalan tidak pada tempatnya kemudian berakar, menjadi kebiasaan, kebijakan, strategi, bahkan asumsi mendasar dalam menjalankan organisasi.

Bagaikan reaksi berantai, ketidakseimbangan ini dalam jangka panjang akan membawa organisasi menemui kerugian demi kerugian, seperti: tingginya turn over karyawan (terutama karyawan kunci), rendahnya komitmen pimpinan dalam organisasi, menurunnya produktifitas, hingga citra perusahaan.


Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati

Lalu apa yang harus dilakukan Manajemen untuk mencegah terjadinya “efek korosif” yang menyerang dan melumpuhkan organisasi ini? Ada beberapa alat yang digunakan mulai dari yang paling sederhana hingga yang kompleks untuk mengidentifikasikan kejadian yang tidak diinginkan ini secara berkala:
• Bangun dan jalankan coaching & counseling untuk memastikan gerak dan langkah orang-orang, sistem/ proses kerja, aturan yang berjalan “seirama” dan menunjang kinerja perusahaan;
• Lakukan pengukuran terhadap nilai-nilai perusahaan secara kuartalan menggunakan metode 360 degree;
• Lakukan survey terhadap kepuasan karyawan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang membentuk “employee value preposition”;
• Lakukan audit organisasi, untuk mengidentifikasi kebijakan, sistem, atau prosedur apa saja yang memerlukan perbaikan/ penyesuaian/ perombakan.

Diantara serangkaian alternatif diatas, anda tentu telah menemukan alat pencegah bagi efek korosif yang merusak organisasi hingga mental para karyawan. Semoga!

Rabu, Mei 18, 2011

Anda Luar Biasa!

Artikel ini bukan untuk menyaingi sebuah majalah "genre motivasi", namun merupakan pengalaman penulis selama 1 minggu ini mewawancarai pramubakti atau pembantu rumah tangga di sebuah perusahaan ternama. Tugas wawancara kali ini tidak semudah yang dibayangkan, karena kisah mereka akan dituliskan berjajar dengan profil karyawan teladan.

Tercetusnya judul ini berlangsung ketika wawancara, terkait sikap dan cara mereka membawakan diri. Ada beberapa hal yang menyebabkan mereka tidak memiliki kepercayaan diri dan semangat/ ekspresi/ gairah ketika diwawancarai, alasan pertama: karena mereka dianggap sebagai seorang "pesuruh" yang secara langsung "tidak memberikan andil" bagi kinerja perusahaan; alasan kedua: mereka merasa hanya mengerjakan tugasnya-sehingga tidak ada yang "spesial" dibalik penugasan tersebut; dan alasan ketiga: mereka menerima pekerjaan ini sebagai suratan takdir, sehingga yang dapat mereka lakukan adalah "menikmati" pekerjaan mereka hingga pensiun tiba.

Berkali-kali penulis meyakinkan pekerjaan mereka ini pekerjaan mulia, istimewa, luar biasa, dan tidak ternilai bagi perusahaan. Namun berkali-kali mereka meyakinkan penulis bahwa mereka adalah orang biasa, level terbawah dalam perusahaan, dan kurang beruntung.... Sungguh minggu ini bagi penulis adalah minggu yang melemahkan semangat.

Namun ada satu kasus yang membuka mata penulis: ada seorang pramubakti yang "tahu diri" sebagai pramubakti, namun sangat aktif berorganisasi memberdayakan dan memperjuangkan kepentingan pramubakti perusahaan. Di luar perusahaan, pramubakti ini juga aktif di bidang kemasyarakatan. Bahkan beliau dikenal sebagai sosok yang vokal dan sekaligus mampu menyuarakan kepentingan rakyatnya.

Sungguh penulis merasa terharu menghayati kisah-kisah para pramubakti ini. Ada yang percaya pada takdir mereka sehingga tidak akan mampu merubah apapun, meskipun berbagai tantangan dan peluang terbentang di hadapan mereka. Ada yang percaya mereka mampu menjadi yang terbaik, baik di dalam maupun di luar perusahaan, meskipun jabatan mereka... hanyalah seorang pramubakti.

Bagaimana dengan anda?

Jumat, April 29, 2011

GCG Vs Kekokohan Budaya Perusahaan

Ketika konsep-konsep GCG (Good Corporate Governance) serta proses GCG assessment mulai diperkenalkan di korporasi Indonesia, ketika akhir cerita yang diharapkan dari membaiknya implementasi GCG adalah budaya yang kokoh, meningkatnya enterprise value added, hingga perusahaan menjadi tujuan para investor untuk menanamkan modalnya. Namun di kemudian hari, dimana GCG hanya menjadi pajangan di estalase dokumen perusahaan yang mesti dilengkapi oleh sebuah perusahaan, maka gaung GCG mengalami sedikit penurunan pada tahun-tahun belakangan ini.

Pembaca sekalian, kekokohan suatu budaya perusahaan dibangun oleh GCG yang solid. GCG adalah landasan bagi bertahannya budaya perusahaan dan merupakan barometer dari kuat/ lemahnya budaya perusahaan dari masa ke masa. Mengapa GCG? Karena di dalam prinsip dasar GCG ada satu prinsip yang wajib dimiliki oleh jajaran perusahaan, yakni Akuntabilitas.


Kekuatan Akuntabilitas Jajaran Perusahaan

Akuntabilitas sebagai salah satu dari lima Prinsip GCG, yang berarti: sejauhmana kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Perusahaan sehingga terdapat keseimbangan kekuasaan dan pengelolaan Perusahaan secara efektif. Dan tidak hanya sampai di situ, akuntabilitas pemuncak perusahaan diturunkan hingga pada akuntabilitas skala terkecil: para jajaran perusahaan. Akuntabilitas mikro ini terdapat di dalam job description, kontrak kerja, sistem manajemen kinerja dan sistem-sistem lainnya. Secara merata kepatuhan terhadap pemenuhan target-target ditunjukkan oleh jajaran perusahaan kepada manajemen tanpa ada sisipan kata-kata "tetapi" sebagai suatu excuse atau pengecualian.

Pemenuhan akuntabilitas perusahaan dari hari ke hari berbuah pada peningkatan kinerja perusahaan, dimana hal ini ditunjukkan dengan akuntabilitas pimpinan unit yang tinggi terhadap kinerja tim-nya. Efeknya adalah kekuatan intangible yang menggerakkan jajaran lain untuk memberikan yang terbaik.

Tentunya kekuatan akuntabilitas ini tidak terlepas dari pemenuhan dan perimbangan prinsip-prinsip GCG lainnya, yakni: Transparency, Responsibility/ Tanggungjawab, Independency & Fairness.


Kiranya esensi yang membedakan kuat atau lemahnya budaya perusahaan yang satu dengan dengan perusahaan lainnya dapat terjawab dari tulisan ini.

Rabu, April 20, 2011

"Ada banyak jalan menuju ke Roma"

















Pepatah ini agaknya berlaku bagi implementasi Budaya Perusahaan. Budaya Perusahaan sesungguhnya adalah bagaimana perubahan dapat dijalankan oleh perusahaan “by any means” -- di masa mendatang akan membawa perubahan di berbagai aspek. Proses implementasi budaya perusahaan ini tidak melulu didominasi oleh organisasi yang sudah mapan, memiliki sistem yang terintegrasi dan canggih, memiliki SDM dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Program ini dapat dimulai dari organisasi yang baru berdiri, tidak memiliki sistem IT, dan bahkan di organisasi yang sedikit mengalami "chaos".

Mengapa? karena program budaya adalah program yang secara universal membentuk, menyemai, menumbuhkan, hingga memanen cara kerja, perilaku sehari-hari karyawan hingga "asumsi dasar" karyawan secara berkelanjutan. Sehingga setiap anggota organisasi secara bersama-sama dapat menikmati hasil akhir dari terbentuknya budaya, baik ataupun buruk. Dan wajar jika strategi ini dapat dijalankan di organisasi manapun dan pada situasi dan kondisi apapun.

Jalan Menuju Roma
Beragam program tematik budaya perusahaan dapat dijalankan perusahaan yang menyampaikan isyarat, pesan-pesan, dari Manajemen. Salah satu kasus yang akan dibahas dalam artikel ini adalah implementasi Budaya perusahaan melalui "Restrukturisasi Fungsi SDM". Program ini berjalan efektif pada organisasi yang belum mapan, atau organisasi yang baru menuju tahap "dewasa/ mature", atau bahkan organisasi yang baru terbentuk. Pada kasusnya, organisasi ini telah merekrut “talent” dari organisasi manapun, tanpa memperhatikan sejauhmana talent tersebut dikembangkan. Seiring dengan semakin membesarnya organisasi, Manajemen merasa bahwa kebutuhan untuk menata organisasi sudah sangat mendesak, mengingat pesatnya perkembangan organisasi yang mulai memiliki cabang bahkan anak perusahaan di beberapa daerah.

Melalui program ini, Manajemen mulai membenahi fungsi SDM yang secara konsisten menyampaikan pesan kepada karyawan bahwa perusahaan kini tengah serius membenahi sistem internal perusahaan. Untuk itu, sub sistem HR seperti: manajemen kinerja, golongan atau kepangkatan, sistem remunerasi, hingga akuntabilitas jabatan mulai dibenahi. Harapannya adalah karyawan dapat memiliki kejelasan tugas dan tanggung jawab berikut panduan dalam bekerja, serta kinerja yang terukur. Inilah yang terpenting bagi organisasi yang baru berkembang.

Pembaca sekalian mungkin bertanya-tanya: mengapa implementasi Budaya Perusahaan di perusahaan tadi dimulai tahapan yang sederhana? Sebagaimana yang dijelaskan di atas, implementasi Budaya Perusahaan bukanlah merupakan sesuatu hal yang muluk, seperti: meningkatkan image perusahaan, atau melaksanakan event meriah yang diramaikan oleh Direksi, para Stakeholders, bersama karyawan-dimana perusahaan telah memiliki “core values”, logo, emblem, poster, dan sebagainya.

Komitmen yang Menentukan
Program kerja apapun yang bergulir di Perusahaan membutuhkan komitmen. Dimana komitmen adalah perwujudan Manajemen yang dengan penuh kesungguhan menjalankan perubahan. Lebih lanjut, komitmen Manajemen tersebut akan terwujud melalui eksekusi program-program yang akan menggerakkan setiap unsur di dalam perusahaan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja perusahaan. Manajemen selain diharapkan untuk menjadi eksekutor bagi sistem yang akan dijalankan, mereka diharapkan menjadi “role model” dan sekaligus berlaku sebagai “change agent”. Inilah yang terpenting: Manajemen selanjutnya menjadi penggerak dan sekaligus memastikan terlaksananya “Value, System & Behavior” yang secara implisit sudah terkandung di dalam program budaya/ inisiasi/ strategi tersebut.

Beban Manajemen sebagai “role model” dan change agent” pada saat awal strategi implementasi Budaya Perusahaan dijalankan sungguh tidak mudah. Tapi di sinilah kekuatan Manajemen teruji, baik dari sisi kepemimpinan, komunikasi, hingga konsistensi nilai-nilai mendasar atau core value yang dimiliki pimpinan. Selanjutnya memperkenalkan sesuatu yang baru tentunya akan menimbulkan tanda tanya, ketidakpastian, dan bahkan penolakan dari karyawan atau bahkan dari rekan kerja sendiri. Sehingga pembekalan bagi “role model” dan “change agent” harus senantiasa dijalankan perusahaan demi terpeliharanya perbaikan dan perubahan yang berkelanjutan.

Akhir Perjalanan
Akhirnya, tekad dan kekuatan komitmen Manajemen yang secara terus menerus diuji dalam membenahi organisasi kini menemukan jalannya. Pembenahan tata personalia di perusahaan ini mulai membuahkan hasil: karyawan menjadi lebih termotivasi dalam bekerja; akuntabilitas Manajemen yang tersistem menjamin karyawan atau talent yang berprestasi baik akan diganjar dengan reward yang setimpal; kinerja perusahaan baik secara agregat maupun secara unit kerja meningkat; lingkungan kerja yang sehat dan penuh semangat mulai dirasakan di seluruh cabang, dan anak-anak perusahaan bahkan di Kantor Pusat.

Selasa, Maret 22, 2011

Perjalanan Budaya Perusahaan

“The journey of a thousand miles begins with one step.”
Lao Tzu



Sungguh bermakna ungkapan yang dikemukakan oleh filsuf Cina, Lao Tzu. Bahwa untuk memulai sesuatu hendaknya dimulai dari satu langkah, satu fase, atau satu proses yang bermuara pada akhir sebuah perjalanan yang panjang.

Dan demikian juga dengan implementasi Budaya Perusahaan, dimana upaya ini seringkali dipersepsikan sebagai suatu kegiatan korporasi yang berskala besar, berbiaya mahal, dan membutuhkan tenaga ahli yang tidak murah. Besarnya biaya atau investasi ini seringkali menghambat organisasi yang belum mapan, atau organisasi yang baru menuju tahap "dewasa/ mature", atau bahkan organisasi yang baru berdiri untuk mengimplementasikan Budaya Perusahaan.

Persepsi di atas sesungguhnya keliru, bahwasanya implementasi Budaya Perusahaan bisa dilakukan oleh organisasi manapun dengan tidak memandang sejauh mana besaran asset yang dimiliki perusahaan, banyaknya kantor cabang/ anak perusahaan, jumlah SDM atau bahkan infrastruktur yang dimiliki oleh organisasi tersebut. Pada pembahasan ini, bagaimana penyelarasan Budaya Perusahaan yang belum sebesar korporasi yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia seperti: Bank Mandiri, Bank BNI, Indosat, atau PGN misalnya, akan disorot.

Strategi implementasi Budaya Perusahaan kemudian dijalankan Tass Consulting dengan cara: “Focus Directly on Culture Indirectly”, dimana pada tahap awal penyelarasan Budaya Perusahaan dimulai dari validasi Visi dan Misi Perusahaan dan identifikasi core value yang menjadi cikal-bakal Budaya Perusahaan di tataran Manajemen atau Direksi. Sedangkan bagaimana penyelarasan transformasi budaya tersebut dijalankan akan disepakati dalam implementasi program utama yang disadari Perusahaan merupakan tolok ukur keberhasilan perusahaan itu sendiri, seperti: Service Excellent, HR Excellent, Quality Improvement, Good Corporate Governance, dan pencapaian-pencapaian strategis lainnya.

Implementasi Budaya Perusahaan tidaklah memakan biaya besar-sebagaimana yang dihabiskan korporasi setaraf Blue Chip untuk tujuan yang sama, atau menekankan secara langsung pada bagaimana “pohon” Budaya Perusahaan itu bertumbuh. Melainkan dimulai dari bagaimana perusahaan tersebut memiliki lingkungan kerja yang kondusif serta memiliki performa, yang pada akhirnya akan mempengaruhi soliditas Budaya Perusahaan.

Pada pembahasan kali ini, fokus penyelarasan Budaya Perusahaan berawal di suatu organisasi yang tengah menuju fase “dewasa/ mature”. Dimana pada saat berdiri, organisasi ini telah merekrut “talent” dari organisasi manapun, tanpa memperhatikan sejauhmana talent tersebut dikembangkan - seiring dengan semakin membesarnya organisasi. Manajemen merasa bahwa kebutuhan untuk menata organisasi sudah sangat mendesak, mengingat pesatnya perkembangan organisasi yang mulai memiliki cabang bahkan anak perusahaan di beberapa daerah. Kemudian dampak strategi organisasi yang telah berjalan mulai dirasakan Perusahaan: dimana organisasi hingga saat ini belum memiliki tata personalia yang baik, seperti: job grading, sistem remunerasi, pengembangan kompetensi dan bahkan manajemen kinerja. Sehingga pengembangan Budaya Perusahaan ini akan didekati dengan strategi “Pembenahan Tata Personalia”. Berharap melalui pembenahan tata personalia ini, talent yang telah direkrut memiliki arah dan karir dan target kerja yang jelas, remunerasi yang menjamin internal fairness maupun external fairness, hingga lingkungan kerja yang sehat dan kondusif. Melalui strategi ini, nilai-nilai perusahaan pun akan dikomunikasikan.


Komitmen Manajemen yang “Menentukan”
Sebagaimana implementasi Budaya Perusahaan atau inisiasi manapun yang akan bergulir di Perusahaan: maka sebelum program budaya ini berlangsung, Manajemen dihadapkan pada komitmen. Komitmen adalah wujud dari niat Manajemen yang penuh kesungguhan untuk sebuah perubahan. Komitmen Manajemen tersebut akan terwujud pada eksekusi program-program yang akan menggerakkan setiap unsur di dalam perusahaan, yang akhirnya akan meningkatkan kinerja perusahaan. Manajemen selain diharapkan untuk menjadi eksekutor bagi sistem yang akan dijalankan, juga diharapkan sebagai “role model” dan sekaligus sebagai “change agent”. Inilah yang terpenting: Manajemen menjadi penggerak dan sekaligus memastikan terlaksananya “Value, System & Behavior” yang secara implisit sudah ada di dalam program budaya/ strategi tersebut.

Pembaca sekalian mungkin bertanya-tanya: mengapa implementasi Budaya Perusahaan di perusahaan tadi dimulai dari “Pembenahan Tata Personalia”? Sebagaimana yang dijelaskan di atas, implementasi Budaya Perusahaan bukanlah merupakan hal yang muluk, seperti: meningkatkan image perusahaan, atau event meriah bak “Panggung Gembira” yang diramaikan oleh Direksi, para Stakeholders, bersama karyawan-dimana perusahaan telah memiliki “core values”, logo, emblem, poster, dan sebagainya. Budaya Perusahaan sesungguhnya adalah bagaimana perubahan dapat dijalankan di perusahaan “by any means” atau di segala aspek yang membawa perubahan cara kerja, perilaku bahkan asumsi dasar para jajarannya.

Beban sebagai “role model” dan “change agent” pada saat awal strategi implementasi Budaya Perusahaan dijalankan sungguh tidak mudah. Tapi di sinilah kekuatan Manajemen diuji, baik dari sisi kepemimpinan, komunikasi, hingga nilai-nilai mendasar yang dimiliki oleh pimpinan. Memperkenalkan sesuatu yang baru akan menimbulkan tanda tanya, ketidak pastian, dan bahkan penolakan dari karyawan atau bahkan dari teman sendiri. Sehingga pembekalan bagi “role model” dan “change agent” harus senantiasa dijalankan demi terpeliharanya perbaikan dan perubahan yang berkelanjutan.


Perjalanan Budaya Perusahaan

Akhirnya, tekad dan kekuatan komitmen Manajemen yang terus menerus diuji dalam membenahi organisasi menemukan jalannya. Pembenahan tata personalia ini mulai membuahkan hasil: karyawan menjadi lebih termotivasi dalam bekerja; akuntabilitas Manajemen yang tersistem menjamin karyawan atau talent yang berprestasi baik akan diganjar dengan reward yang baik pula; kinerja perusahaan baik secara agregat maupun secara perorangan meningkat; lingkungan kerja yang sehat dan penuh semangat mulai dirasakan di seluruh cabang, dan anak-anak perusahaan bahkan di Kantor Pusat.

Sebuah strategi yang berawal dari pendekatan yang begitu sederhana namun langsung menuju ke jantung permasalahan. Bagaimana dengan perusahaan Anda?

Selasa, Maret 15, 2011

Generation Debt: dan Hilangnya Suatu Generasi

"If you want one year of prosperity, plant seeds.
If you want ten years of prosperity, plant trees.
If you want one hundred years of prosperity, educate people."

Pepatah Cina

Sebuah pepatah yang menggambarkan bagaimana suatu bangsa mendapatkan kemakmuran beratus tahun lamanya dengan mendidik generasinya. Sejalan dengan prinsip yang diajarkan kepada penulis sewaktu sekolah dulu: dimana kewajiban manusia untuk senantiasa menuntut ilmu hingga ke liang lahat. Tidak hanya di sekolah, namun dimanapun ia berada.


















Sebuah buku menarik "Generation Debt" yang ditulis oleh seorang pengarang muda Amerika, Anya Kamenetz (2006), seorang ekonom, blogger, pemerhati pendidikan dan sekaligus representatif generasi Y. Buku yang lahir dari keprihatinan penulis terhadap trend ekonomi, krisis yang melanda keuangan US-yang dampaknya yang masih dirasakan hingga saat ini, dikaitkan dengan pinjaman yang harus dibayarkan pelajar. Buku yang disambut berbagai kritik oleh para ekonom senior namun layak dicermati, dimana luasnya krisis ini akan berimbas pada intangible effect yakni rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya intellectual capital yang merupakan resultante dari rendahnya tingkat pendidikan, bahkan hilangnya generasi suatu bangsa....

Indonesia, surga dimana para orang tua bertanggung jawab penuh dan berjuang membiayai kuliah anak-anaknya sampai lulus, sangat kontras dengan kebanyakan anak muda di luar sana (khususnya Amerika, negara dimana buku ini ditulis). Mereka bekerja serabutan untuk mendapatkan gelar akademis guna membiayai kuliah/ sekolahnya secara mandiri, dan bahkan tak jarang memiliki 10 pekerjaan berbeda. Menurut Kamenetz, jika 20 tahun lalu para generasi muda cukup bekerja pada musim panas/ musim libur sehingga dapat membiayai kuliah 1 semester, kini hal tersebut sudah tidak lagi feasible.
Bahkan mereka semakin terbenam dengan besarnya pengembalian pinjaman pendidikan yang tidak sebanding dengan "gaji pertama" yang mereka terima selepas kuliah. Efek multi krisis yang kian menjalar, yang kemudian berimbas pada satu generasi ini, dimana pemerintah lebih memprioritaskan anggarannya untuk penyehatan ekonomi sehingga dirasa Kamenetz "menyisakan" kepentingan generasi seusianya. Tergerak dengan kondisi tersebut, Kamenetz pun menulis buku mengenai "Generation Debt" dan hingga saat tulisan ini ditulis dia pun terus memikirkan bagaimana solusi/ pendidikan alternatif namun berguna bagi karir generasi tersebut dan melahirkan buku lanjutan (2010) "Edupunks, Edupreneurs, and the Coming Transformation of Higher Education".

Dari sekelumit insight/ kisah di atas, tentu kita tidak bisa membayangkan betapa berat imbas dari krisis keuangan terhadap "penciptaan generasi yang terdidik", betapa berat perjuangan mereka di dalam mencapai "degree" yang setara-setidaknya sejajar atau melebihi orang tuanya.

Berkaca dari kasus ini, memang sudah seharusnya negara memberikan pendidikan murah yang tidak hanya dapat dibiayai orang tua (dengan menguras sumberdaya dan tabungan orang tua selama belasan tahun), bahkan dapat dibiayai oleh mahasiswa/ anak itu secara mandiri demi lahirnya sebuah generasi unggul. Semoga saja!

Kamis, Maret 10, 2011

Asal Hidup

Bagaikan kerakap tumbuh di atas batu:
Hidup segan, mati tak mau..



Mendengar kata "Asal Hidup", kira-kira apa yang dibayangkan oleh pembaca sekalian? Apakah sesosok gelandangan/ peminta-minta; atau tanaman yang sedang dilanda kekeringan; atau krisis; atau jebakan kemiskinan; atau incompetency/ kebodohan. Atau apa lagi?

Kata-kata "asal hidup" ditujukan pada organisasi, keluarga atau bahkan individu yang tidak memiliki perencanaan, contingency plan, bahkan struktur, aturan, hingga prosedur yang jelas. Segala hal yang serba tidak jelas ini menyebabkan orang-orang yang hidup di dalamnya terjerumus ke dalam situasi yang relatif "tidak menguntungkan" dalam jangka panjang.


Ilustrasi Asal Hidup
Tercetusnya kata "asal hidup" diilustrasikan pada kondisi yang memerlukan perubahan ekstrim. Sebuah keluarga yang memiliki anak-anak yang semakin hari tumbuh besar, namun kosong. Anak-anak telah menempuh pendidikan, mengikuti program belajar untuk meningkatkan keterampilan. Karena suatu dan lain hal, mereka "terhenti". Musibah menerpa keluarga, sehingga mereka kehilangan tulang punggung yang menyokong kehidupan sehari-hari. Tidak memiliki rencana ke depan, kini mereka terbentur dengan hilangnya kemampuan ekonomi, sehingga bertumpu pada bantuan kiri-kanan. Tidak berhenti sampai di situ, penyakit kemalasan (rendahnya daya beradaptasi dan kemauan untuk bangkit) dan kebodohan (keengganan belajar hal-hal baru) mulai menjangkiti unit ini. Sikap reaktif seperti berbohong, mengadu domba tetangga, ingin dikasihani, namun tidak ingin bersusah payah mengadopsi perilaku baru adalah bentuk adaptasi baru (negatif).

Asal hidup "dilabel" dengan sikap yang tidak realistis, tidak adaptif, dan malas. Dan jika dianalogikan dengan kehidupan berorganisasi penyakit "Asal Hidup" sesungguhnya dekat sekali dengan cara hidup yang tidak realistis dalam menetapkan perencanaan arah & strategi Perusahaan; dimana para pegawai yang tidak memiliki kompetensi yang memadai dan disyaratkan untuk mencapai strategi perusahaan; dan diperparah oleh resistensi pegawai menuju suatu perubahan.

Kondisi ekstrim yang tergambar dalam ilustrasi tersebut menjadi nyata bilamana tidak ada kekuatan yang "mengganggu", "mengintervensi", atau setidaknya "menggugah" unit, organisasi, keluarga atau individu tersebut.

Menunggu terpuruk hingga suatu saat mengalami kejatuhan yang sejatuh-jatuhnya. Menunggu suatu pembelajaran dan penyadaran yang menjadi cikal bakal "burning platform" dimana unit, organisasi, keluarga atau individu ini bertekad, berikrar, dan berjanji dengan sekuat-kuat janji untuk belajar dan bekerja lebih keras, jujur/ dipercaya, dan menjadikan hari ini lebih baik dari esok hari. Semoga saja.

Jumat, Maret 04, 2011

Leadership Communication

"Leadership communication consists of those messages from a leader that are rooted in the values and culture of an organization and are of significant importance to key stakeholders (employees, customers, strategic partners, shareholders and the media".
John Baldoni, Great Communication of Great Leaders

Sebuah buku yang sudah lama penulis baca (2003) dan menemukan relevansinya pada saat implementasi program manajemen perubahan yang sedang berlangsung (dan ditulis hingga hari ini). Bahwasanya "komunikasi pemimpin terdiri dari pesan pimpinan yang berakar dari nilai dan budaya dari organisasi dan merupakan hal yang penting signifikan bagi stakeholders kunci (seperti: pegawai, pelanggan, rekanan strategis, Pemegang Saham dan media".
Bilamana perusahaan anda telah memiliki "budaya perusahaan yang solid" maka pesan apapun yang disampaikan pimpinan puncak (CEO) akan dipahami semua orang, mulai dari unit bisnis, hingga unit-unit terkecil yang berada 'nun jauh di pelosok sana': menangkapnya dalam frekuensi yang sama, jelas, dan tanpa indikasi adanya "multi tafsir".

Lalu mengapa "skill komunikasi" pimpinan dibutuhkan, muatan komunikasi apa yang mesti ada dalam setiap pesan verbal? dan apa peran pimpinan sesungguhnya dalam menggawang manajemen perubahan? mudah-mudahan buku dari John Baldoni ini merangkum semua pertanyaan di dalam artikel ini.


Komunikasi pimpinan yang solid setidaknya mengandung 4 unsur:
1. Signifikansi: pesan yang disampaikan adalah mengenai issue besar yang merefleksikan kondisi sekarang dan masa depan organisasi (SDM, performa organisasi, produk, dan jasa)
2. Nilai-nilai: pesan yang disampaikan merefleksikan, menguatkan visi, misi dan budaya organisasi
3. Konsistensi: pesan yang disampaikan secara jelas menegaskan nilai dan perilaku
4. Cadence/ Keteraturan: pesan yang disampaikan reguler dan sesering mungkin

Makna komunikasi sesungguhnya bukan hanya pesan verbal (seperti: pidato, memo, email, video, audio, dll) namun juga pesan non verbal pimpinan. Apakah pesan tersebut juga diikuti oleh perubahan sikap pimpinan menjalankan "walk the talk" yang diturunkan oleh inisiasi/ kegiatan, program, hingga berjalannya eksekusi inisiasi/ kegiatan, program tsb.

Sehingga kecanggihan metode/ alat yang digunakan, kompetensi SDM yang fit, ataupun perencanaan yang matang hanyalah pelengkap. Pada titik inilah "kepemimpinan" yang dimiliki pimpinan teruji. Pimpinan memastikan integritas, keterbukaan dan kejujuran di dalam setiap tindak tanduknya, yang sewaktu-waktu siap dipertanyakan, dibantah, ditolak oleh bawahannya.

Pimpinan hendaknya membekali diri dengan 4 elemen komunikasi, yakni:
1. "The Expert", sang pemelihara misi. Hanya orang ini yang memastikan bagaimana eksekusi bisnis tersebut dijalankan, merupakan tipikal orang yang sangat menguasai subjeknya dan sangat tahu bagaimana kondisi di lapangan;
2. "Visioner", dibalik kata-katanya yang terkesan mengawang-awang seperti mimpi, ia mampu diajak bertukar pikiran dan mampu meyakinkan jajarannya, sebaik ia menjalankan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari;
3. "Coach", mereka tidak segan memotivasi jajarannya, memberikan koreksi bilamana sesuatu tidak berada pada tempatnya. Ia tidak segan-segan menunjukkan praktik/ cara yang benar, sehingga perlahan bawahan mulai mengikuti dan menerimanya dengan baik
4. "Transformer", pimpinan yang berupaya "merubah pola pikir" jajarannya. Ia tidak segan menjawab pertanyaan dengan sabar, dan tekun. Ia mampu menjual ide-idenya hingga diterima jajaran.

Catatan ini sangat penting, setelah diluncurkannya program strategic seperti "manajemen perubahan", maka dibutuhkan komitmen yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Pimpinan segera "mentransfer nilai-nilai organisasi" kepada bawahannya, merubah pola pikir, dan tak kenal lelah meyakinkan jajarannya untuk seterusnya disampaikan hingga unit-unit organisasi terkecil.

Tentunya kita tidak ingin pesan mulia untuk kebaikan organisasi hilang di tengah perjalanan, sesuai "pidato strategis pimpinan", kertas-kertas konsep, plan A, B & C, dan bahkan berakhir di laci-- berlabel "case closed" hingga berakhirnya masa bakti pimpinan tersebut. Sungguh menyedihkan...

Bagaimana dengan organisasi anda?

Rabu, Februari 23, 2011

Ketika Lukisan itu Tak lagi Terlihat Indah

Dalam mengapresiasi dan menikmati sebuah lukisan, lukisan dipandang dari berbagai sudut, ditelusuri siapa pelukisnya, disigi goresannya, dan akhirnya apa yang menjadi kekuatan dari lukisan ini. Demikian juga dengan strategi perusahaan, bagaikan lukisan strategi perusahaan dari jauh terlihat "indah, sempurna, visioner, bahkan menghanyutkan" penikmatnya. Namun cobalah untuk melihat lukisan itu dari dekat: begitu banyak goresan, warna-warna yang tak beraturan, goresan yang simpang-siur, bertumpuk dan tidak rata.

Strategi perusahaan bagi jajaran di bawahnya seringkalil dilabel "tidak semudah diatas kertas"; "terlalu mengawang-awang"; "teori yang penuh asumsi" bahkan dianggap sebagai "mimpi indah". Mereka lah yang berada di lapangan menjalankan strategi yang dimaksud, namun tidak diberikan amunisi yang cukup, seperti sosialisasi, training, dan "bantuan-bantuan berfaedah" lainnya. Seringkali mereka (daerah) merasa dilepas sendiri, padahal merekalah ujung tombak perusahaan.

Kondisi ini seringkali didefinisikan sebagai kesenjangan atau gap antara "daerah-pusat". Dan memang tidak ada strategi yang sempurna, namun pada pelaksanaannya toleransi terhadap "goresan" laiknya muatan lokal; "warna-warna yang tak beraturan" laiknya improvisasi dan proaktivitas jajaran yang berada nun jauh di sana; "goresan yang simpang-siur, bertumpuk dan tidak rata" sebagai dinamika di lapangan haruslah mulai disadari dan dicarikan solusinya.





Dan akankah orang-orang strategi ini memiliki kesadaran yang sama akan "lukisan yang tak lagi terlihat indah" tersebut?

Kamis, Februari 10, 2011

Rahasia Sukses Implementasi Budaya Perusahaan: Lesson Learned from CEA 2010

Artikel ini merupakan oleh-oleh dari Culture Fair 2010 yang beberapa waktu lalu penulis hadiri. Ajang internal ini merupakan upaya organisasi dalam merayakan implementasi budaya organisasi. Acara ini mengundang perwakilan change agent unit kerja hingga kantor wilayah di dalam mengekspresikan program budaya berikut kinerja Unit Kerja yang berhasil diraih. Diadakan selama 2 hari berturut-turut, acara tahunan ini sangat tunggu-tunggu karena selain merupakan pemilihan unit kerja terbaik, juga merupakan annual gathering bagi organisasi.
Selama itu pula penulis berkunjung dari stand ke stand, mengobservasi dan mewawancarai unit-unit kerja dalam mengimplementasikan budaya; mendapatkan wawasan mengenai program-program budaya yang membuahkan innovasi, perbaikan proses bisnis, dan perubahan perilaku; unjuk gigi terhadap prestasi/ pengakuan yang berhasil diraih; dan berbagai pengetahuan yang kaya akan khazanah pengetahuan organisasi.

Di setiap kunjungan yang dilakukan, penulis memantau para representatif stand-yang juga merupakan Change Agent-berusaha menjadi yang terbaik dalam merepresentasikan unit kerja. Apabila ditanyakan komitmen pimpinan, secara mendalam tergambar betapa besarnya komitmen jajaran selaku role model untuk meningkatkan kinerja melalui komunikasi terbuka, membangun serta menjaga lingkungan kerja yang kondusif. Jajaran pimpinan pun diberikan semacam tool untuk mewujudkan sasaran unit kerja yang realistis, terukur dan dapat dieksekusi dalam kegiatan sehari-hari. Kemudian berseminya upaya berbagi pengetahuan sebagai enabler yang meningkatkan kompetensi para jajaran di setiap unit kerja, dan kerjasama tim yang solid menggerakkan organisasi ini ke level yang lebih tinggi. Sehingga tidak aneh bagi organisasi ini dimana hampir setiap unit mampu menoreh prestasi mulai dari pengakuan nasional bahkan internasional. Organisasi ini pula yang memenangi Indonesian Most Admired Knowledge Enterprise (MAKE) 2010.

Pengalaman istimewa ini menurut penulis merupakan "inspirational moment" yang rasanya tidak mungkin ditemui di dunia nyata-hanya di literatur. Namun pada kenyataannya di sini strategi-eksekusi strategi-KM berpadu, dibungkus dengan budaya perusahaan berikut nilai-nilai perusahaan, direkatkan dengan ritual-ritual yang melembaga-agaknya menjadi kunci sukses dari transformasi budaya ini. Dan patut disyukuri, buah dari komitmen dan keseriusan Manajemen yang tanpa henti menjalankan transformasi budaya menghasilkan perubahan yang sangat mendasar bagi organisasi, yakni perilaku jajaran. Dimana inilah yang dimaksud oleh Schein, budaya telah meresap di layer ketiga dari budaya perusahaan, yang diyakini the basic underlying assumption.

Jumat, Januari 28, 2011

Reformasi Sistem Remunerasi-Dibalik Pernyataan SBY

Pada pidato penutupan Rapim TNI/ Polri 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merealisasikan peningkatan kesejahteraan prajurit TNI dan Polri. Melalui program remunerasi ini, Presiden berharap adanya peningkatan kesejahteraan prajurit – yang disesuaikan setiap tahun – akan meningkatkan kinerja dan prestasi prajurit. Pidato Presiden pada hari Jumat lalu (21/1/2011) kemudian menuai kritik, karena Presiden menyoal gajinya yang tak kunjung naik dalam kurun waktu tujuh tahun.

Hingga tulisan ini dibuat, berbagai ulasan di media massa: mulai dari kritik tidak tepat sasarannya komunikasi politik Presiden, membandingkan gaji presiden dengan gaji negara besar lainnya (seperti negara Cina dan India), hingga suara pembaca yang menambah semaraknya "insiden" ini.

Lalu, apa dan bagaimana seharusnya sistem remunerasi itu? Bagaimana bentuk peningkatan kesejahteraan yang ideal? Best practice seperti apa yang patut dicontoh oleh negara kita? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab dalam artikel ini.

Sistem remunerasi sesungguhnya merupakan stuktur penggajian karyawan yang mengatur seberapa besar nominal yang diberikan kepada karyawan dalam bentuk gaji. Sesederhana itu. Namun permasalahan remunerasi menjadi semakin kompleks di dalam organisasi yang lebih besar (dalam skala lembaga negara).

Kompleksitas sistem ini kemudian diwarnai oleh masuknya sub sistem-subsistem HR dan aturan-aturan mengikat lainnya: seperti Performance Management System (performa karyawan/ individu, pencapaian unit kerja), Training & Development System (training/ pendidikan tertentu sebagai prasyarat), aturan-aturan penyesuaian untuk karyawan yang baru mutasi dari daerah lain, karyawan yang di-demosi (diturunkan pangkatnya), karyawan yang dipromosi, dan ketentuan-ketentuan lainnya.


Lalu bagaimana menentukan gaji Presiden? Terdapat 3 alternatif yang didapat dari berbagai media dan suara pembaca:
Pilihan 1: Menetapkan gaji presiden yang diukur berdasarkan GDP (Pendapatan Domestic Gross) bisa merupakan alternatif, mengingat GDP negara adalah sebagai tolok ukur profitabilitas/ produktifitas suatu negara. Di dalam perusahaan tolok ukur ini wajar karena gaji CEO ditentukan seberapa besar profitabilitas perusahaan yang dipimpinnya. Semakin besar GDP, semakin besar pemasukan negara, maka semakin besar gaji presiden.

Pilihan 2: Menetapkan gaji presiden berdasarkan kinerja Presiden juga dapat diterima. Karena bilamana di awal masa bhakti presiden telah ada "kontrak kinerja", jika tidak tercapai selama kurun waktu presiden menjabat, maka gaji presiden tidak harus dinaikkan. Di dalam perusahaan hal ini juga wajar, contohnya Bill Ford dari Ford Motor Company tidak menerima gaji sepeserpun semenjak Ford dinyatakan merugi. Rasanya tindakan yang dilakukan pimpinan untuk tidak menaikkan gaji, bahkan tidak menerima gaji sepeserpun patut dicontoh. Selain moralitas warga negara meningkat, presiden juga menunjukkan keprihatinan terhadap kondisi yang dihadapi negara ini.

Pilihan 3: Membandingkan gaji presiden dengan gaji presiden di belahan negara lain rasanya merupakan alternatif yang bagus, karena publik telah melakukan "salary survey" terhadap gaji presiden. Media membandingkan negara yang luas dan penduduknya lebih banyak dari Indonesia seperti India dan Cina, namun ternyata gaji presidennya lebih kecil dari Indonesia.

Sehingga berkaca dari polemik yang muncul akhir-akhir ini, perlu digagas sejauh mana “batas-batas remunerasi” yang wajar diterima Presiden, dan alternatif remunerasi mana yang akan di ambil. Dan kewajaran itu sesungguhnya berpulang pada sejauh mana keseriusan aparatur negara dalam membenahi atau bahkan mereformasi sistem remunerasi di negara kita. Semoga!