Selasa, Juli 15, 2008

Kepemimpinan: In Harmonia Progressio

Kepemimpinan diibaratkan sebagai seorang kondaktur di tengah permainan sebuah orkestra. Kondaktur memastikan baris-baris melodi berikut harmonisasi alat musik dimainkan dengan sempurna oleh setiap pemain, sesuai dengan perannya di dalam orkestra. Kondaktur melalui gerakan-gerakannya yang khas memberikan aba-aba kepada para pemain orkestra hingga karya klasik komponis ternama tersebut selesai dimainkan.

Namun, apa yang terjadi jika terdapat kesalahan seperti nada sumbang sang pemain solo, kesalahan pemain simbal membunyikan alat musiknya, ataupun harmoni yang tidak sedap terdengar di tengah-tengah orkestra? Siapa yang akan disalahkan dan siapa yang akan bertanggungjawab pada "kesalahan-kesalahan fatal" di dalam orkestra tersebut? Jawabannya tentu saja pimpinan orkestra yang sedang tertimpa sial tersebut.

Dari ilustrasi di atas, kesalahan sekecil apapun tidak dapat ditolerir, karena performa dan citra tim orkestra tengah diperdengarkan dan dipertaruhkan di depan publik. Namun sejatinya untuk mencari penyebab pasti mengapa terjadi ketidakharmonisan "di dunia nyata" antara pimpinan dan anak buah pada kenyataannya memang tidaklah semudah di dalam sebuah orkestra.


Ketika Sandiwara itu Berakhir...

Terdapat banyak sekali kejadian yang "menggelikan" di dalam organisasi dimana pimpinan tidak mengerti atau peka terhadap "kebutuhan azasi" jajarannya. Atau dimana pimpinan mempercayakan segala urusan dan keputusan terkait people management kepada wakil pimpinan atau bahkan kepada orang kepercayaannya. Dan seringkali di akhir cerita pimpinan akhirnya bertanya mengenai sebab-musabab kegagalan implementasi program: "Kenapa teman-teman tidak buy in terhadap program ini? "Mengapa kalian baru mengatakannya sekarang?" "Mengapa kalian tidak mau terbuka?" Kemudian jawaban anak buah tidak kalah tragis di mata pimpinan: "Bapak tidak pernah memberikan kesempatan kepada kami untuk membahas program ini.""Kenapa Bapak baru bertanya kepada kami sekarang?" atau "Bapak terlalu memaksakan diri dengan program semacam itu." Ini adalah sebuah sandiwara tragis "real time" di tengah korporasi yang memakan biaya besar, dan sedari awal sudah menggambarkan betapa tidak seiramanya suara antara pimpinan dengan jajarannya.

Bayangkan jika sandiwara ini dibumbui dengan "subjektifitas pimpinan" yang cenderung mempercayai laporan orang kepercayaannya, atau membedakan seorang terhadap orang-orang lainnya. Sandiwara tersebut akan bertambah seru dan penuh lika-liku bak film India.

Terjadinya subjektifitas pimpiman mengindikasikan komunikasi yang kurang baik atau bahkan secara ekstrim terdapat ketidakpercayaan antara pimpinan dengan jajarannya. Artinya pimpinan menyerahkan pendapat kedua atau second opinion pada orang kurang tepat dalam artian tidak pada level orang untuk menilai kinerja, kapasitas bahkan pribadi seseorang.

Lalu apa akibat dari komunikasi bertingkat tersebut bagi perusahaan? Dalam jangka panjang nilai-nilai open feedback, fairplay, kompetisi yang sehat, innovasi, bahkan proaktifitas menjadi semakin terkikis karena karena adanya kaki-tangan perantara yang menyampaikan informasi yang seharusya tersistematis di dalam sebuah sistem-sistem.

Sandiwara ini seharusnya seharusnya harus segera diakhiri begitu diketahui gejalanya, dimana sebenarnya terdapat banyak mekanisme yang mengukur seberapa besar harmonisasi antara pimpinan dengan jajarannya. Berbagai mekanisme HR yang dimaksud untuk mengukur, memprediksi dan menilai tingkat harmonisasi pimpinan dengan jajarannya di dalam suatu organisasi, adalah: performance appraisal, value measurement system, 360 degree assessment, employee satisfaction survey, employee award, employee counseling, kotak surat, dan perangkat-perangkat objective lainnya.


"See – Do – Get" Effect Pimpinan

Pimpinan yang subjektif adalah pimpinan yang tidak lulus uji intuisi dan uji konsistensi. Tujuan paling utama pimpinan adalah mementingkan power serta "penguatan citra" dirinya. Pimpinan dalam rangka mewujudkan tujuannya memilih berpolemik, memberikan janji-janji dan target yang tak masuk akal kepada Pemegang Saham, hingga memanfaatkan anak buahnya untuk tujuan-tujuan tertentu.

Di sisi personal, status quo kepemimpinan menguat karena berhasil mendepak "para penyanyi sumbang" yang menginginkan perubahan. Di tataran organisasi, terjadilah "kerugian besar perusahaan" sebagai akibat hilangnya ide kreatif & innovasi karyawan dan bahkan eksodus orang-orang pintar untuk mencari perusahaan yang lebih baik dan sehat untuk mecurahkan ide-ide dan perubahan.

Lalu apa hasil yang didapat pimpinan? Anak buah yang semula kreatif dan inovatif cenderung menjadi submisif, masa bodoh, dan bahkan tidak mempertanggungjawabkan pekerjaannya terhadap pimpinan dominan tersebut. Dan yang sangat disayangkan adalah pimpinan tidak lagi mendapatkan feedback/ umpan balik yang ditunggu-tunggu untuk perbaikan kinerja unitnya. Intinya "business as usual".

Di sisi lain, pimpinan yang objektif menggunakan ketiga hal berupa: intuisi, nyali dan konsistensi kepimpinan secara berimbang. Pimpinan yang ingin harmonisasi yang berimbang dengan jajarannya akan selalu mengkomunikasikan harapan-harapan terkait kinerja unit kepada jajarannya melalui cara yang tersistematis, yakni: performance appraisal; lalu secara periodik pimpinan akan menilai secara keseluruhan apakah nilai-nilai korporasi tetap kukuh dipegang melalui value measurement system. Guna mengukur efektifitas atau kekuatan tim di dalam suatu unit/ korporasi, digunakan 360 degree assessment sehingga kekurangan dan kekuatan tim dapat dipetakan. Lalu secara spesifik dan periodik, perusahaan dalam menilai tingkat kepuasan karyawan melakukan employee satisfaction survey, mulai dari karyawan di kantor pusat hingga karyawan di lapangan. Dan ada banyak lagi implementasi yang disesuaikan dengan size organisasi dan event/ ritual organisasi dalam menciptakan hubungan harmonis dengan karyawannya, seperti: employee award, employee counseling, kotak surat dan program lainnya.

Lalu apa hasil yang didapat pimpinan? Anak buah menjadi partisipatif, bersemangat, kreatif, inovatif dan berkembang seiring dengan bertumbuhnya kepemimpinan sang pimpinan serta berkembangnya organisasi.

Penutup

Sebagai penutup, terdapat 2 pembelajaran penting dalam artikel singkat ini: pelajaran pertama, pimpinan yang senantiasa menggunakan intuisi, nyali dan konsistensi kepimpinan secara berimbang akan senantiasa mendapatkan masukan yang objektif yang diharapkan, meskipun hal itu jauh dari ekspektasi sang pimpinan.

Pelajaran kedua, suara-suara sumbang dari para penyanyi sumbang yang terdengar di dalam organisasi sebenarnya bukanlah ancaman atau kemunduran bagi pemimpin dan kepemimpinan di dalam organisasi. Namun suara-suara tersebut adalah representasi dari keberagaman, kekayaan, dan kebijakan hidup yang khas dan dimiliki oleh jajarannya.

Tiga Uji Kekuatan Pimpinan



Artikel ini membahas kasus menarik pada sebuah perusahaan lokal namun strategis. Berawal dari diangkatnya CEO dengan putusan suara terbanyak, CEO kemudian mengemban tugas dari para Pemegang Saham untuk meningkatkan nilai perusahaan, dengan indikator-indikator finansial dan operasional yang telah ditetapkan sebelumnya. Pencapaian terhadap target indikator tersebut yang akan di-review kembali oleh Pemegang Saham pada akhir kuartal.

Secara hukum, sang CEO telah sah diangkat sebagai Direktur Utama perusahaan, namun bukan berarti permasalahan akan diselesaikan sendiri oleh kepemimpinan sang CEO. Karena yang paling berpengaruh terhadap baik buruknya performa CEO pada kuartal-kuartal mendatang adalah kemampuan sang CEO dalam menggerakkan jajaran perusahaannya dan mengelola perusahaan dengan etika dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi, segera setelah sang CEO tersebut diangkat, maka mulailah CEO tersebut mengumpulkan data-data terkait dengan perusahaan, mempelajari aspek teknis operasional perusahaan hingga melakukan kunjungan/ inspeksi ke lapangan. Dari studi awal, CEO kemudian mulai menjalankan janjinya kepada Pemegang Saham berupa program-program untuk merealisasikan indikator kinerja yang disepakati. Sehingga berdasarkan studi pendahuluan tadi, CEO merasa "sangat confidence" karena telah memiliki bekal cukup untuk mengeksekusi projek yang panjang serta ambisius–dan hampir pasti belum pernah dilakukan pada perusahaan ini sebelumnya.

Maka segera setelah gong perubahan dibunyikan, "tim sukses"pun dibentuk untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Pada awalnya tim sukses tidak yakin akan kesuksesan program tersebut. Artinya, ada keraguan tim sukses terhadap bagaimana program tersebut dijalankan dan bagaimana penerimaan program tersebut ketika dijalankan nantinya oleh jajaran perusahaan. Setelah negosiasi yang alot, maka tim suksespun bersedia menjalankan komitmennya untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh sang CEO.

Begitu beberapa tahap pelaksanaan program terlampaui, hingga ke satu tahap yang sedang berada dalam proses penyelesaian, terjadi satu kejadian menarik: program manajemen perubahan yang semula didengung-dengungkan tersebut "berbalik haluan" atau kembali ke "ground zero". Tim sukses yang mengetahui kejadian ini kemudian mulai mencari penyebab mengapa sang CEO yang membawa pembaharuan ini merubah keputusannya.

Para pembaca yang budiman, menyimak kasus di atas ternyata kepemimpinan seorang CEO tidaklah semata-mata hanya karena adanya "status hukum". Artinya pada saat seseorang menduduki tampuk pimpinan, skill berikut kompetensi kepemimpinan tersebut pada kenyataannya tengah "diuji". Setidaknya ada 3 uji kepemimpinan yang harus dilalui:

Ujian Pertama: Uji Intuisi Kepemimpinan

Dengan melakukan pemetaan dan pengamatan terhadap segala aspek di perusahaan, maka pemimpin akan langsung mendapatkan wawasan atau pandangan terhadap bagaimana tantangan/ hambatan perusahaan ke depan dan hal-hal penting apa yang perlu diprioritaskan untuk dibenahi. Intuisi kepemimpinan bukan serta merta didapatkan dari "langit", namun berasal pengalaman pemimpin. Pemetaan dan pengamatan tersebut kemudian diterjemahkan dalam bentuk perencanaan. Tujuannya adalah agar peta permasalahan serta strategi pemecahannya dapat terstruktur dan terukur.

Berkaca pada kasus di atas, perencanaan yang dilakukan ternyata mengabaikan kompleksitas, sejarah organisasi, studi terhadap naik turunnya performa perusahaan dan analisis strategis yang dilakukan kurang mendalam (terkait politis, sosial-ekonomi, dll). Di sisi lain, anak buahnya menerapkan strategi ABS (Asal Bapak Senang). Sudah alami bahwa datangnya "orang baru" ke dalam perusahaan akan membawa ketidakpastian di perusahaan, lalu reaksinya adalah "kehati-hatian" anak buah yang telah lama berada di sana atau bahkan rasa "ketidakpedulian". Sehingga akibatnya orang-orang yang berada di sekeliling pemimpin seringkali "tidak jujur" atau "berpura-pura" meskipun mereka telah memberikan data yang "valid".

Pada saat itu, pimpinan yang baru seharusnya memiliki intuisi serta daya analisis yang tajam dalam menghadapi situasi ini. Sehingga pergerakan ke depan lebih terarah dan memiliki kekuatan. Sehingga kedua hal inilah yang merupakan kegagalan "uji intuisi kepemimpinan" yang sekaligus berdampak pada reformasi di dalam organisasi.

Ujian Kedua: Uji Nyali Kepemimpinan

Ceremonial pengangkatan pimpinan organisasi (CEO) merupakan kebanggaan pribadi tersendiri dan di sisi lain, sejarah di perusahaan lokal namun strategis itu mencatat bahwa pimpinan tersebut telah dipercayakan oleh Pemegang Saham untuk mengelola perusahaan. Tentunya, Pimpinan pada saat itu memiliki kepercayaan diri dan semangat baru untuk memulai periode masa baktinya. Pimpinan dapat melakukan apapun terkait pengelolaan perusahaan melalui kewenangannya. Namun, seringkali kepercayaan diri pimpinan "yang berlebih" membawa dampak yang kurang baik bagi pribadi pimpinan dan anak buah.

Di sisi lain, mengelola dan menggerakkan anak buah tidaklah mudah, apalagi dengan menjalankan mega projek "manajemen perubahan" yang ambisius ini. Kekuatan internal dan eksternal mulai menekan sang pimpinan. Dan pada saat inilah nyali pimpinan diuji. "Intuisi" yang sebelumnya telah didapatkan ditambah "nyali" untuk menundukkan kepentingan segolongan orang atau oknum tertentu di atas kepentingan perusahaan, ini tentunya merupakan salah satu ujian berikutnya menjadi seorang pemimpin. Sehingga keberanian atau nyali untuk melakukan perbuatan hukum dan upaya strategis lainnya sangat diperlukan.

Ujian ketiga: Uji Konsistensi Kepemimpinan

Ujian ketiga yang tidak kalah beratnya adalah "uji konsistensi kepemimpinan". Melatih otot konsistensi kepemimpinan itu tidaklah mudah, pimpinan yang baik akan memperlihatkan sikap konsisten atau pantang mundur terhadap apa yang telah diputuskan. Sebagai tindak lanjutnya ia akan segera melakukan koreksi, menyampaikan teguran kepada segolongan orang atau oknum tertentu, atau bahkan tidak akan mentorelir hal-hal yang menyebabkan program tersebut berubah.

Konflik internal, tekanan politis, pendekatan serta intimidasi adalah hal yang wajar dilalui untuk sebuah perubahan. Masing-masing orang akan belajar bagaimana menerima perubahan tersebut.

Kembali kepada kasus: kinerja, akuntabilitas dan kredibilitas CEO sebagai akibat perubahan keputusan dipertanyakan; performa perusahaan kembali dipertaruhkan; dan semangat dan moral bawahan menurun, karena setiap orang merasa manajemen perubahan tidak membawa perubahan karena mempertahankan status quo segolongan orang atau oknum tertentu.

Dari kasus tersebut, untuk mensukseskan kepemimpinan seseorang, setidaknya ada tiga uji skill berikut kompetensi kepemimpinan yang harus dilalui, pembaca sekalian tentunya sudah pasti menebak apa dan bagaimana akhir cerita (pimpinan) perusahaan ini.

Rabu, Juli 09, 2008

workforce planning pada organisasi matrix: studi kasus

Pengembangan kompetensi karyawan bagi organisasi matrix adalah gampang-gampang susah. Dikatakan gampang karena mereka didesain untuk multi tasking dengan menguasai beberapa pokok permasalahan atau mengerjakan beberapa project. Dikatakan sulit karena terdapat hambatan terlihat (visible barrier) dan hambatan tidak terlihat (invisible barrier).

Dikatakan Visible Barrier karena tugas-tugas atau pekerjaan terdistribusi secara bersamaan menyebabkan sulit untuk mengukur kinerja karyawan, karena mereka bergerak secara bersamaan. Sebagai konsekuensinya adalah kemajuan orang-perorang yang memberikan kontribusi kepada tim adalah prestasi tim. Sedangkan distinct contribution bagi tim akan sulit terukur.

Namun untunglah ada teknologi informasi yang mengelola hal ini, dimana terdapat sistem yang memantau penyelesaian tugas-tugas administratif, laporan kegiatan, banyaknya jam kerja serta meeting yang dihabiskan dalam melakukan delivery-bagi tim yang terhubung langsung dengan client.
System kemudian merekap aktifitas selama satu tahunan dan melalui system akan diketahui tingkat produktifitas. secara kasat mata hal tersebut sudah sangat membantu untuk mengelola performa serta workforce evaluation pada matrix organization.

Sayangnya semangat untuk mengelola performa terhalang oleh budaya "new comers" yang masih gagap teknologi. Di sisi lain pada tataran organisasi sosialisasi sistem kurang memadai, sehingga konsekuensinya adalah pemanfaatan sistem yang jauh berada dibawah potensi sistem. Hal tersebut diperparah oleh kurangnya keselarasan strategi dari workgroup tim leader yang mengedepankan strategi "forward strategy" lebih besar dibandingkan dengan inward strategy".

Akibat fatal dari ketidakselarasan strategi ini adalah sia-sianya teknologi yang sudah sangat membantu ini, performa tim yang tidak memiliki tata kelola yang baik, perencanaan work force yang kurang memadai hingga berdampak pada pengelolaan sub sistem lain seperti traning & career development, PMS, compensation and benefit, dll.

Bagaimana agar workforce planning menjadi lebih efektif pada organisasi matrix?

Jadikan setiap atasan bertanggungjawab atas "pengembangan diri" direct report-nya. Artinya atasan tidak hanya memberikan tugas yang multi tasking, atau apresiasi kepada direct report atas prestasi menyelesaikan pekerjaan yang tepat waktu dan berkualitas, namun memperhatikan pengembangan kompetensi, potensi dan aspirasi direct report-nya. Enforcement organisasi di sini adalah dengan mensejajarkan "bobot" pengembangan direct report dengan bobot kapasitas atasan dalam mencetak laba atau target strategis lainnya maka atasan dapat dikatakan "perform".


Lakukan "pengelompokan kualifikasi" karyawan berdasarkan performa bagi pengambilan keputusan yang bersifat "people management". Hal ini bermanfaat untuk menggerakkan workforce di dalam organisasi untuk membentuk apa yang diharapkan dari kelompok-kelompok kualifikasi tersebut.

Kualifikasi ini berdasarkan:
  • Performance workforce
  • Posisi dalam struktur organisasi
  • Kompetensi & Perilaku workforce
  • Budaya/ mindset workforce

Kemudian bangunlah "indeks workforce" guna memastikan tercapainya target-target workforce planning berjalan selama satu tahun atau satu periode performance appraisal. Dengan memantau indeks-indeks tersebut workforce planning pada organisasi matrix akan lebih terkelola akuntabilitasnya serta perkembangan workforce.