Selasa, Agustus 15, 2017

Discipline Corner: Menghidupkan Ritual Budaya Kerja melalui Kekuatan Morning Briefing

Di pagi buta, terdengar pembacaan Visi, Misi, dan nilai-nilai Korporasi dengan lantang berkumandang untuk menyemangati peserta morning briefing. Tak lama kemudian masing-masing perwakilan unit pun menyampaikan update mingguan...

Namun pada prosesnya, ritual ini pun dapat berubah atau bahkan hilang seiring dengan pergantian pimpinan. Beberapa unit kerja yang belum memiliki kebiasaan ini pun berupaya keras dalam menyatukan anggota organisasi untuk berkumpul.


Kegiatan/ ritual mengawali pagi merupakan faktor yang menentukan kinerja seseorang, Unit Kerja dan bahkan masa depan suatu organisasi. Kegiatan morning briefing diibaratkan sebagai jembatan untuk membina keakraban, kekompakan, dan memupuk budaya kedisiplinan. Bahkan sesi ini dapat dijadikan sebagai budaya berbagi pengetahuan.

Sebetulnya, untuk memulai kedisiplinan morning briefing sebetulnya memerlukan waktu dan keberanian. Misalnya inisiatif suatu Unit Kerja melakukan acara “do'a pagi” untuk memulai hari.Setiap hari, pegawai secara bergiliran memimpin do’a. Pegawai kemudian diminta mendoakan karyawan maupun sanak saudara karyawan yang sakit atau tertimpa musibah.

Tak membutuhkan waktu lama, doa bersama ini kemudian menjadi suatu ritual yang menjadi kekhasan unit kerja ini. Di beberapa kesempatan berikutnya, selesai berdo'a pimpinan mulai memberikan arahan dan masukan kepada pegawai untuk perbaikan diri sendiri dan untuk perbaikan bersama. Pegawai lambat laun mulai memiliki keberanian mengutarakan permasalahan yang dialami di lapangan. Pegawai lain, tanpa diminta, mencoba memecahkan masalah dan memberikan masukan kepada pegawai yang tertimpa masalah tsb.
Efek berantai ini kemudian semakin berkembang. Masing-masing pegawai tidak ragu memberikan bantuan, sehingga soliditas tim tanpa disadari mulai terbentuk. 

Peran Pimpinan dalam Morning Briefing
Pimpinan adalah figur sentral yang berperan memberikan arahan guna memastikan penyelarasan, memberikan contoh, dan sharing pengalaman yang terjadi di lapangan. Titik fokus Pimpinan mulai berubah, dari bentuk morning briefing yang informal, menjadi sesuatu yang lebih formal. Pimpinan mulai mengevaluasi kinerja pegawai, begitu komitmen pencapaian jangka pendek diikrarkan pegawai. Seiring dengan proses evaluasi, pimpinan tidak sekedar membandingkan kinerja sebelumnya dengan kinerja berjalan namun juga mendorong pegawai untuk dapat mengusulkan strategi atau inisiatif agar komitmen pencapaian dapat tercapai.

Disinilah cikal bakal terbentuknya Disiplin Eksekusi. Dimana secara mingguan bahkan harian, pegawai bersama-sama atasan baik secara langsung atau tidak langsung berpacu untuk menjadi lebih baik dibanding hari ini.

Hari demi hari, pimpinan tak henti memberikan arahan serta motivasi kepada pegawai. Di sisi lain pimpinan tidak ragu menjadi people’s manager yang efektif dan sekaligus coach yang handal untuk membantu dan bahkan mengajarkan hal-hal baru yang belum pernah diperoleh ataupun terpikirkan oleh pegawai. Perlahan tapi pasti, ritual ini telah berevolusi dari kegiatan sesederhana "Doa Pagi“ dan bertransformasi menuju sesi yang menantang adrenalin pegawai: dimana kinerja pegawai secara transparan dibahas dan dievaluasi dalam satu forum.

Bagaimana agar ritual ini menjadi hal yang ditunggu-tunggu?
Kuncinya adalah konsistensi dan cara mengemas ritual ini menjadi hal yang menyenangkan. Keseruan sesi morning briefing dapat ditambah dengan memberikan reward menarik berupa piala bergilir, voucher, atau hadiah menarik lain mengapresiasi pegawai seperti pegawai “terdisiplin”, “paling rapi”, “paling berkontribusi”. Dimana hal ini diimbangi pemberian punishment/ hukuman yang mendidik kepada pegawai yang melanggar aturan yang telah disepakati bersama.

Laiknya hidup berkeluarga, seorang Ayah/ Ibu tidak akan ragu menanyakan bagaimana kabar dan perkembangan anak-anak mereka: kejadian atau pengalaman baik apa yang mereka alami hari itu, dan hal apa yang harus dilakukan agar pengalaman yang kurang baik tidak terulang kembali. Tidak ada tujuan lain dari jajaran pimpinan selain memastikan anak-anak buahnya menjadi lebih baik dari hari sebelumnya.

Penulis telah mencatat dan menyaksikan, betapa banyak organisasi yang berhasil bertransformasi berbekal satu langkah awal kegiatan yang dinamakan “Morning Briefing”, “One Information A Day”, “Forum Sapa Pagi”, dan berbagai varian/ nama dari ritual pagi ini. Belum ada kata terlambat untuk memulai Disiplin Morning Briefing yang tengah dicanangkan di Perusahaan yang kita cintai ini. Masih banyak ruang untuk  meningkatkan konsistensi atau bahkan intensitas dari ritual ini.
Lalu, bagaimana ritual budaya kerja di unit kerja Anda?  



Discipline Corner: Filosofi Seragam

Mengapa mengenakan seragam? Pada discipline corner kali membahas apa saja manfaat seragam dan “trend kekinian” para tokoh fashion ataupun pebisnis dengan signature style mereka miliki.

Adalah Matilda Kahl, seorang Art Director ternama, mengenakan pakaian yang sama selama 3 tahun berturut-turut. Perilaku “di luar kebiasaan” pekerja fashion ini menimbulkan tanda tanya rekan kerjanya. Meskipun ia diberikan kebebasan dan anggaran untuk mengenakan pakaian trendy ke kantor, namun ia memilih berseragam. Kejadian apa yang memicu perilaku unik Matilda ini?

Hal ini bermula ketika suatu pagi ia harus menghadiri rapat penting bersama klien penting. Pagi itu ia berjibaku mencoba segala macam pakaian terbaik yang merepresentasikan perusahaannya. Ia kemudian berhasil memutuskan pakaian untuk dikenakan pagi itu. Namun Matilda merasa “rutinitas pagi” ini tidak hanya menjadi tekanan tersendiri. Sering ia memikirkan apakah baju yang dikenakan terlalu pendek, apakah terlalu formal, ataukah terlalu santai. Dan berpikir kritis mengapa rekan kerja pria terlihat “santai” dengan pakaian yang mereka kenakan. Rutinitas pagi yang menyiksa matilda inipun dinilai mulai mengalihkan fokus utama pekerjaan yang sebenarnya.

New Yorker tangguh ini menemukan titik balik dengan menemukan kebiasaan baru: mengubah cara berpakaian, memulai menggunakan seragam yang terdiri dari celana panjang hitam, baju berwarna putih, dan jaket kulit (bila cuaca tidak bersahabat). Pada saat Matilda mulai menjalankan kebiasaan mengenakan “seragam” nya, berbagai pertanyaan dan cemoohan dari rekan kerja, atasan hingga bawahan. Matilda bahkan sempat disangka “kalah taruhan”, mengikuti suatu aliran, bahkan dinilai pelit “berinvestasi” baju kerja.

Namun Matilda menepis pertanyaan terkait penampilan barunya dengan jawaban jitu: “Saya ingin dinilai oleh pekerjaan saya, bukan yang lain”.  Hari demi hari, perubahan revolusioner yang dirasakan oleh Matilda berdampak pada kurangnya waktu yang terbuang  untuk menentukan pakaian yang harus dipakai.  Matilda kini memiliki lebih banyak waktu dan energi dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.

Solusi yang sederhana namun efektif: Matilda kini cukup membeli atasan dan bawahan hitam/ putih dalam jumlah besar. Ia menemukan kedamaian dalam bentuk 15 baju atasan sutra putih yang sama dan beberapa pasang celana hitam. Dan sebagai pelengkap, ia pun mengenakan pita yang terbuat dari kulit pada kerah baju. ‘Saya selalu berfikir warna hitam dan putih merupakan warna yang stylish, dan merupakan pilihan warna yang mudah,‘ Matilda pun mengakui ia memerlukan waktu untuk memilih desain baju pilihannya.

Dengan penampilan yang sama, Matilda telah mengikuti tokoh-tokoh ternama dan berpengaruh yang mengenakan “seragam” untuk bekerja, diantaranya: mendiang  Steve Jobs, Mark Zuckerberg – memiliki 20 kaus abu-abu yang sama untuk dikenakan ke kantor. Atau perancang senior yang juga menjadi role model desainer muda lainnya seperti: Karl Lagerfeld, Carolina Herrera, Jean Paul Gaultier, Vera Wang, Michael Kors, Marc Jacob, dan masih banyak lagi. 

Meskipun demikian, keingintahuan klien pun tetap mengemuka… mengapa seorang Matilda tidak dapat memilih pakaiannya sehari sebelumnya? “Menurut saya hal itu hanya akan memindahkan masalah ke hari yang lain, bukan cara memecahkan masalah” Pungkasnya. "Hal ini hanya akan menyebabkan saya terlambat beristirahat, bahkan kurang tidur. Hal ini bahkan mengurangi tekanan untuk mengekspresikan kreatifitas melalui pakaian yang diatasi dengan seragam".

Filosofi berseragam, menurut Matilda tidak hanya menghemat waktu, membantu ia menghemat uang, menghilangkan “sumber stress” secara total, dan bahkan memberikan kontrol lebih terhadap segala sesuatunya.

Kilas balik tiga tahun Matilda Kahl dengan pakaian yang sama, sepertinya ia tidak akan pernah berhenti. "Saya masih merasa hal ini adalah yang terbaik dan saya tidak memiliki alasan untuk berhenti. Namun jika saya harus terbangun suatu hari dan merasa telah membuang waktu memilih pakaian setiap pagi. Saya tidak memiliki masalah untuk berhenti. Seragam ada untuk saya, namun saya tidak untuk diseragamkan".
Matilda sempat mengalami masalah ketika harus me-restock baju yang ia miliki. Sehingga ia harus kembali membeli baju dengan model serupa. Setelah berupaya mencari, barulah ia menemukan baju yang sama di sebuah toko.

Akhirnya upaya Matilda tidaklah sia-sia selama lebih dari tiga tahun ia mengenakan pakaian yang sama dan seragam ini pun tidak hanya trade mark bagi Matilda, namun juga dirayakan rekan kantornya sebagai Matilda Kahl Day (mengenakan seragam hitam putih).

Semoga, dengan kisah inspiratif ini semakin mendorong kedisiplinan insan Professional dalam konsistensi berseragam.

(Disarikan dari berbagai sumber). 


Discipline Corner: 5 R yang mencetuskan perubahan

Sebuah buku menarik yang mengenai Seni Bebersih (5R), berakar dari budaya Jepang, diintepretasikan kembali dalam tips yang sederhana oleh Marie Kondo, seorang konsultan 5 R terkenal.
Melalui buku nya “The Life Changing Magic Of Tidying Up”, buku ini menarik perhatian untuk dibahas pada Discipline Corner kali ini dan mudah-mudahan menjadi disiplin baru dalam kehidupan sehari-hari Professionals.

Marie sedari kecil memiliki passion 5 R, dan ia sangat terobsesi dengan kerapihan mulai dari rumah hingga kantor di tempat ia bekerja. Ia mengakui perilaku bebersih ini berawal dari pengalaman yang tak terlupakan di saat ia akan menghadapi ujian SMP. Ujian merupakan momok kebanyakan siswa di Jepang, dan ia merasa tak tenang menghadapi ujian tersebut. Marie kemudian memeriksa kamarnya yang kecil. Sesaat ia tiba-tiba ingin membersihkan kamarnya, membuang komik, buku cerita, majalah lama yang ia miliki; hingga koleksi barang kecil sewaktu SD, seperti: penghapus, kartu dan pinsil. Berjam-jam berlalu, ia mendapatkan berkardus-kardus barang yang tak berguna.

Marie merasa pikirannya ringan, terang dan siap menerima hal-hal baru, termasuk menghadapi ujian tsb. Ia pun dapat menyelesaikan ujiannya dengan nilai memuaskan.

Beberapa tips Seni Bebersih yang di-share oleh Marie. Diantaranya:
  • Kebiasaan rapih tidak dilakukan dengan cara membersihkan barang sedikit demi sedikit, ruangan per ruangan. Namun dilakukan secara keseluruhan pada satu waktu.
  • Bebersih adalah seni “membuang” barang yang tidak digunakan, baru menyimpan barang.
  • Kategori barang yang dibersihkan diawali oleh baju, buku, barang-barang pajangan/ koleksi, dan diakhiri oleh barang kenangan.
  • Buanglah barang-barang yang tidak membuat kita happy atau tidak memiliki ikatan emosi.
  • Lakukan dialog dengan diri sendiri pada saat membersihkan barang. Bayangkan sebuah visi rumah/ ruangan seperti yang kita inginkan. Dan berhentilah membuang jika barang yang dibuang dirasa sudah sesuai kebutuhan.
  • Sadari lah barang yang “satu saat nanti”akan dipakai/ dibaca/ digunakan bukanlah barang yang layak dipertahankan.

Keenam tips tersebut rupanya merupakan hal yang menantang untuk dipraktikkan, mengingat rumah tinggal pada zaman modern ini semakin kecil, dengan daya tampung barang yang semakin sedikit. Apalagi jika dipraktikkan di negara Jepang yang notabene penduduknya gemar mengoleksi barang, hemat dan menyimpan barang-barang. Namun Marie bukanlah sosok yang pantang menyerah.
Beberapa kebiasaan di rumah yang menurutnya perlu dihindari agar sebuah rumah tetap rapi adalah:
1. Mulailah dari diri sendiri. Terkadang keinginan kita membersihkan kamar anggota keluarga lain ternyata bukan merupakan suatu solusi.
2. Tidak memberikan “barang bekas” kepada anggota sebagai”hadiah”.
3. Tidak mengajak anggota keluarga (terutama Ibu) pada saat membersihkan/ membuang barang.

Pesan utama gerakan bebersih atau minimalism sesungguhnya bukan berarti membuang seluruh barang anda, namun membantu memilah mana yang penting dan menimbulkan kebahagiaan, namun lebih dari itu, ia adalah jalan hidup.


Box: Gerakan Minimalism Suatu Gaya Hidup
Definisi minimalism adalah gaya atau teknik (desain, musik, sastra) yang mencirikan kelapangan dan kesederhanaan yang ekstrim. Dampak gaya hidup minimalis, menurut Joshua Fields Millburn &  Ryan Nicodemus, akan membantu Anda menemukan kebebasan dari rasa bersalah, perasaan lelah, depresi dan kecemasan.

Ditenggarai tuntutan standar hidup yang tinggi, yang kemudian mendorong masyarakat tidak pernah puas akan segala sesuatunya, mendorong seseorang berlomba-lomba membeli dan mengumpulkan barang. Gerakan minimalism kemudian mendobrak kelaziman yang berlaku di dalam masyarakat kebanyakan untuk kembali menemukan makna hidup, berorientasi pada tujuan dan menyingkirkan “hal-hal yang kurang substantif”, menebarkan nilai-nilai "living more deliberately with less."

Demikian juga dengan desain yang sederhana, memiliki tingkat fungsi yang tinggi, menyederhanakan hidup, dan pengakuan bahwa kepemilikan beberapa benda tsb berguna untuk hidup dalam keseharian yang akhirnya memercikkan kebahagiaan.

Kebahagiaan bukan ditunjukkan oleh seberapa banyak barang yang dimiliki, bukan pula sarana untuk menutupi ketidaknyamanan laiknya mengenakan makeup.  










(disarikan dari buku "The Life Changing Magic Of Tidying Up" dan sumber lainnya).

Transformational Leaders: Alan Mulally

Siapa yang tidak mengenal kiprah Alan Mulally, seorang pimpinan BOEING yang berhasil mentransformasikan perusahaan otomotif Ford Motor Company, perusahaan yang jatuh ke jurang kebangkrutan, menjadi perusahaan yang dalam tempo 8 tahun “mobilility” terdepan dan berdaya saing tinggi, selama masa bakti beliau sebagai CEO.

Saat Alan Mulally menjabat sebagai CEO, Ford memiliki portfolio brand terkenal, seperti: Jaguar, Land Rover, Aston Martin dan Volvo. Namun organisasi saat itu membukukan kerugian yang fantastis, sebagai akibat tingginya inefisiensi dan birokrasi yang membelit raksasa produsen mobil Amerika ini.

Kedatangan beliau awalnya tidak mudah diterima pegawai. Berbagai tantangan dan kekhawatiran terkait kompetensi beliau yang malang melintang di dunia aviasi terkemuka. Sehingga untuk meyakinkan jajarannya beliau mengatakan; “An automobile has about 10,000 moving parts right? An airplane has 2 million and it has to stay up in the air”.

Tidak berhenti sampai di situ, Alan Mulally pun menjalankan transformasi perusahaan raksasa ini ke dalam tema besar “ONE FORD”, yang tak lain dan tak bukan semangat inovasi dalam 4 langkah.
1. Mengajak seluruh pegawai menjadi tim global;
2. Meningkatkan pengetahuan dan asset unik ford;
4. Membangun mobil/ truk yang diinginkan konsumen dan bermutu tinggi;
5. Memformulasikan pembiayaan dalam mewujudkan visi tsb. Effort ONE FORD tidak hanya mengintegrasikan produk baru namun juga kemampuan seluruh enterprise menguasai cara berpikir baru dari tim ke tim, fungsi ke fungsi dan partner ke partner.

Mulally kemudian menjalankan simulasi War Gaming di tataran eksekutif untuk membayangkan  masa depan perusahaan.

Langkah-langkah transformatif yang dilakukan oleh Alan Mulally, diantaranya:
1. Mencanangkan  Visi Perusahaan yang bermakna sebagai “Mobility Company”. Ia menyadari bahwa masa depan perusahaan tidak bertumpu sebagai pabrikan kendaraan/ truk namun teknologi di dalamnya. Sehingga perusahaan dapat mengembangkan produk dan bermitra dengan industri elektronik  konsumen yang  akan merubah pengalaman berkendara customer. Dimana terdapat unsur entertainment dan komunikasi berjalan seiring dengan pesatnya penggunaan smart phone dan sosial media. Teknologi My Ford Touch menjamin pengemudi menggunakan teknologi dengan perintah lisan, sync dengan smartphone, aplikasi unik dan sistem music yang diselaraskan dengan kebutuhan konsumen. Hasilnya adalah, perusahaan mobil sejenis menjadi follower Ford.
2. Menciptakan sense of urgency diantara jajaran pimpinan, dimana statement tersebut diucapkan Mulally di setiap kesempatan:“kita/Ford tidak sedang berbisnis selama 40 tahun”. Beliau membangun akuntabilitas dan kolaborasi diantara struktur pimpinan. Sehingga bagaimana cara Ford kembali berbisnis adalah burning platform atau dasar perusahaan untuk berubah/ bertransformasi.
3. Peran kepemimpinan sebagai aspek paling fundamental bagi terciptanya perubahan. Alan Mullaly menerapkan Positive leadership: sekalipun di tengah krisis akan selalu ada jalan keluar/ way forward— situasi ini begitu penting, karena itulah alasan mengapa kita ada di sini, dan menjadi bagian dari solusi— menggerakkan roda perusahaan untuk kemajuan/ move the organization forward. Hal paling kritikal adalah meyakinkan seluruh jajaran bahwa mereka adalah bagian dari tim.

Sehingga andil mereka untuk berpartisipasi dihargai perusahaan. Kepada McKinsey, Alan Mulally menceritakan kisah bagaimana ia memastikan seluruh jajaran Ford  memahami konteks strategi yang lebih besar. Dimana setiap minggu dilakukan pertemuan Business Plan Review atau BPR yang terdiri dari seluruh pimpinan tim global, pimpinan bisnis, pimpinan fungsional, hadir langsung atau melalui video conference (pada box "Kompleksitas BPR"). Mereka membicarakan kondisi bisnis dunia seperti ekonomi, energi & teknologi, masalah pekerja, hubungan dengan pemerintah, trend demografi terkini, inisiatif pesaing, serta apa yang diinginkan pelanggan. Bagi Mually, proses pada BPR merupakan fondasi yang “meluaskan wawasan” seluruh tim untuk mengetahui segala sesuatu. Langkah berikutnya adalah mendiskusikan bagaimana trend ini berubah.

Gaya kepemimpinan yang dijalankan Alan Mulally dalam mengelola Ford adalah memfasilitasi organisasi internal Ford dengan dunia luar. Menyadari bahwa profit maksimum hanya akan bertumbuh di kisaran 10-12 % per tahun jika perusahaan mampu memuaskan pelanggan, maka pimpinan memastikan dirinya sendiri beserta tim akuntabel dalam pegambilan keputusan. Dan akhirnya pimpinan harus mengartikulasikan perilaku dan menjadi role model bagi perilaku yang diinginkan.

Salah satu pekerjaan besar dari seorang pimpinan di Ford adalah memastikan proses yang dijalankan mencapai tujuan perusahaan. Sehingga pada saat sesi BPR, bukan hanya pertanyaan “bagaimana kondisi Ford saat ini” namun “ apakahyang kita lakukan saat ini berlawanan dengan rencana? Hal apa saja yang memerlukan perhatian khusus, apakah rencana kita untuk meningkatkan performa di tahun berikutnya?

Mulally dianggap berhasil membentuk budaya Ford melalui One Ford Plan, yang dinilai penting dalam mencapai visi, misi Ford. Dimana One Team dimaknai lebih dari sekadar kata-kata. Ekspektasi Manajemen Ford ditunjukkan dengan membentuk perilaku komitmen kerja pegawai satu sama lain terhadap perusahaan. Artinya mereka tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri namun menjadi bagian dari perusahaan global. Sehingga di dalam operasional harian Ford banyak pegawai di seluruh dunia terlibat dibandingkan kerja perorangan—dimana hal tsb merubah cara pandang pegawai. Mereka bahkan diberi pilihan mengadaptasi budaya Ford atau mengundurkan diri.

Meskipun dunia otomotif telah berubah drastis, namun Alan Mulally menemukan keselarasan visi Ford saat ini dengan visi yang ditanamkan oleh sang pendahulu: Henry Ford. Dimana Henry Ford memahami kebebasan dalam bergerak adalah sesuatu hal yang abadi dan universal. Sejalan dengan kemajuan ekonomi dan pertumbuhan manusia, hal pertama yang ingin dilakukan manusia adalah bergerak. Sehingga visi Henry Ford merupakan visi yang kuat dalam membuka jalan-jalan bebas hambatan agar terjadi mobilitas dan akses terhadap peluang untuk mencapai kemajuan dengan pengalaman berkendara yang ditawarkan Ford.
 
Visi dapat saja konstan tetapi peran kita dalam merelalisasikan vis i tersebut berbeda. Terdapat peluang yang besar untuk transportasi yang aman dan efisien. Menggabungkan berbagai moda transportasi, Ford dapat saja menggunakan teknologi dan inovasi untuk menciptakan produk dan layanan yang memastikan pengalaman pada tingkat yang paling fundamental.

Box: Kompleksitas Business Plan Review (BPR)
Di BPR dibicarakan hal-hal, seperti: perubahan di dunia dan dampaknya bagi Ford di masa depan. Hal ini ditunjukkan dengan membangun kendaraan mulai dari yang berbasis BBM, gas, hybrid-electric, all-electric, dan kendaraan berbahan hidrogen. Roadmap teknologi dan arah pergerakan trend dunia bahkan diinformasikan dengan jelas dalam BPR.

Proses BPR pada agenda selanjutnya, dijadikan Mulally sebagai bagian dari pengambilan keputusan stratejik dalam kegiatan sehari-hari dengan cara: fokus pada rencana dalam konteks risiko dan peluang yang digambarkan oleh lingkungan bisnis saat ini dan masa depan.

BPR diibaratkan seperti ajang untuk cek status/ posisi saat ini. Sehingga BPR adalah paduan perencanaan stratejik dan rencana implementasi (baca: eksekusi) yang dijalankan tanpa kompromi. Pada proses BPR, setiap elemen dari laporan keuangan dan neraca menjadi perhatian management. Begitu terdapat informasi baru, maka akan dimasukkan ke dalam perencanaan.

Sebagai contoh wilayah Asia Pasifik mengalami penurunan pendapatan, dan perekonomian di industri Ford mencapai tahap tinggal landas, dampaknya pembeli mobil memasuki pasar. Menggunakan data dan riset untuk mendefinisikan faktor yang akan mempengaruhi keputusan pembelian, dan Ford memiliki rencana yang spesifik untuk mendapatkan pelanggan baru dengan memberikan kendaraan keluarga terbaik di kelasnya. Di BPR data-data tersebut senantiasa diihat, jika fakta merubah perencanaan yang telah dibuat, maka seluruh rencana akan berubah. Sekali lagi data menceritakan bagaimana kondisi Ford saat ini, dan data “memberdayakan” senior management dalam pengambilan keputusan.

(disarikan dari berbagai sumber)