Kamis, September 18, 2008

Ritual Teamwork = Penguatan Teamwork?

"Mengherankan!" itulah satu-satunya komentar yang dapat saya berikan ketika teman saya menceritakan kebijakan baru atasannya. Dengan runtun ia bercerita betapa terganggunya ia dengan anjuran lunak si atasan untuk menghadiri acara pertemuan wajib yang diadakan setiap bulan. "Atasan berpendapat bahwa ritual pertemuan ini ditujukan untuk membangun dan memperkuat teamwork. Kita semua wajib datang!" "Saya sendiri tidak ingin datang karena saya merasa sudah cukup berinteraksi di kantor. Saya juga tidak habis pikir mengapa saya mendapatkan cap ‘pembangkang’ hanya dikarenakan ketidakhadiran saya di dalam kegiatan-kegiatan tersebut".


Ya, saya mengenal teman saya ini dengan baik. Tidak diragukan lagi, ia adalah orang yang selalu menepati janji di dalam menyelesaikan tugas/ deadlines; ia adalah orang yang bertanggung jawab dan tidak ragu-ragu memberikan pertolongan bagi team, meskipun itu bukan tugasnya; dan ia adalah orang yang berani mengambil risiko dan bertanggung jawab atas pekerjaan tim. Ya, saya mengenalnya.



Pada kasus ini saya ingin bertanya kepada pembaca sekalian, dapatkah "ritual pertemuan" yang dipercaya dapat memperkokoh teamwork ini benar-benar menghasilkan teamwork? Pembaca yang budiman, pertanyaan "menarik namun sedikit mengganggu" ini akan dibahas dengan gamblang di dalam artikel ini.



Kekokohan dan Kunci Teamwork


Kita semua menyadari bahwa didalam hidup berkelompok terdapat kegiatan saling menerima dan memberi, saling memahami tanpa menghakimi, serta saling membina keharmonisan/ kekompakan. Semakin banyak dan intens kegiatan tersebut, maka semakin baik tingkat teamwork yang ada di dalam kelompok tersebut. Namun (kembali ditanyakan), jika semakin sedikit frekuensi kegiatan/ ritual tersebut dilakukan, apakah derajat kekokohan teamwork tersebut menjadi semakin kecil?


Ritual teamwork secara positif merupakan sebuah ajang untuk saling bertukar pikiran, menyegarkan pikiran dan membangun serta memperkuat semangat kerja tim baru. Namun di sisi lain, terdapat dampak normatif yang berlaku secara kolektif, dimana anggota tim yang seringkali berhalangan hadir dalam pertemuan wajib bulanan tersebut akan mendapatkan "sanksi sosial" atau dengan kata lain orang tersebut mendapatkan kesan-kesan yang kurang baik di mata tim. Pertama, ia dianggap memperlihatkan sikap kurang memiliki rasa setiakawan karena seseorang dengan sengaja menyisihkan diri dari kelompok; dan kedua, ia dianggap mulai diragukan terkait tingkat loyalitas serta kepercayaan kepada atasan, karena tidak turut serta dalam acara "setor muka".


Sebagai pimpinan, saya dapat merasakan betapa terganggunya ego saya jika anak buah saya menolak undangan saya dan tidak hadir karena berbagai alasan. Sehingga wajar saja terdapat sanksi normatif yang diberikan secara kolektif dari kolega yang tergabung di dalam tim. Suatu aksi dan reaksi yang sangat masuk akal dan wajar. tetapi apakah pada kenyataannya demikian?


Ritual yang dilakukan perusahaan menurut Schein hanya ada pada level "artefak". Kita tidak dapat memahami perasaan bahkan nilai/ value yang dianut oleh seseorang secara mendalam (shared values), dan bahkan motif seseorang untuk suatu pekerjaan oleh Mac Clelland diibaratkan ada di dasar gunung es.


Sebagai contoh: seseorang bisa saja mengatakan "ya" kepada sang pimpinan dengan maksud agar ia mendapatkan perhatian, pemahaman dan persetujuan; atau seseorang bisa saja mengatakan "tidak" karena ia yakin pimpinan tersebut mempercayai bahwa ia adalah seseorang loyal dan punya kehidupan pribadi sendiri.


Banyaknya ritual yang dilakukan perusahaan, seperti rapat-rapat yang panjang, coffee morning session, out bond tahunan, dan kegiatan-kegiatan lain yang menghabiskan anggaran perusahaan, waktu dan tenaga personilnya. Kebanyakan pimpinan menganggap bahwa semakin sering bawahan menghadiri pertemuan yang ditentukan, maka semakin tinggi tingkat loyalitas bawahan. Namun pada hakekatnya hal demikian tidak selalu benar karena setiap orang belum tentu memiliki nilai atau bahkan motif yang mendasar bahwa ritual tersebut penting untuk meningkatkan teamwork. Dengan kata lain, tingkat pengertian dan pemahaman terhadap seseorang adalah kunci kekuatan sebuah tim!


Tingkat pengertian dan pemahaman direpresentasikan lagi oleh kekuatan kepercayaan. Dimana ini tidak ditunjukkan dengan tingkat kehadiran, sikap manis, dan tingkah laku yang selalu menyenangkan, mengakomodir atasan atau ABS (asal bapak senang). Kepercayaan ditunjukkan dengan perhatian yang tulus, pemahaman yang mendalam terhadap kebutuhan anggota tim, sikap saling menghormati, sikap dewasa dengan artian saling memberikan koreksi/ feedback, serta komunikasi yang dilakukan dua arah.


Kekuatan kepercayaan tidak memiliki batas atau sekat. Cukup dengan kepercayaan, dinding-dinding pembatas seperti keangkuhan, ketidakpercayaan, sikap menindas kepada bawahan, sikap formil, dan sikap-sikap yang merugikan lainnya – yang dipercaya hanya dapat dileburkan dan dilunturkan dengan ritual-ritual teamwork – menjadi hilang tak berbekas. Kelegaan, perasaan tenang dan mengetahui "di mana kita berpijak saat ini" akan melingkupi atmosfer kerja kita. Kekuatan teamwork dengan sendirinya akan selalu terjaga dan bahkan semakin kokoh.



Penutup

Jika anda merasa sebagai orang yang mengalami permasalahan yang sama dengan teman saya tadi, atau anda adalah seorang pimpinan yang tak tahu harus berbuat apa untuk mengatur para "pembangkang" di atas, maka yakinlah bahwa semua ini berpulang dari tingkat pengertian dan pemahaman dari anggota tim ke atasan dan dari atasan ke anggota tim yang tinggi atau rendahnya direpresentasikan oleh kekuatan kepercayaan. Semoga!