Selasa, Oktober 14, 2008

Kisah "Arus Balik" & Knowledge Management








Sebuah masterpiece karya Pramoedya Ananta Toer yang begitu menginspirasi saya, berjudul “Arus Balik” menceritakan kisah kerajaan-kerajaan yang berdiri setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit. Dikisahkan, Kerajaan Majapahit yang semula merupakan kerajaan maritim, dimana armada lautnya menguasai perairan seluruh nusantara, dan bahkan hampir mencakup seluruh ASEAN. Namun setelah keruntuhannya, Majapahit telah berpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil dimana basis perekonomiannya adalah agraris dan berorientasi pada perdagangan regional & internasional. Gaya bertutur yang mengalir, dan kemudian membawa pembaca untuk menyusuri masa silam.

Cerita setebal 760 halaman ini dibumbui oleh kerinduan para tokoh cerita akan kebangkitan kembali Kerajaan Majapahit, di tengah-tengah keterpurukan yang dialami kerajaan-kerajaan kecil yang akan menghadapi musuh dari luar, yakni Bangsa Portugis dan Spanyol pada masa itu. Namun bobroknya pemerintahan pada zaman itu, seperti: kentalnya semangat KKN di dalam struktur pemerintahan kerajaan; sikap Asal Paduka raja Senang (APS) pejabat kerajaan; hingga maraknya pemberontakan di pedalaman kerajaan semakin memperlemah kerajaan hingga akhirnya terjajah bangsa asing. Inilah yang menjadi ironi pahit suatu kerajaan kecil di pesisir lautan Jawa.


Benang Merah “Arus Balik” dengan Knowledge Management
Pembaca yang budiman, apa yang menjadi benang merah cerita masa lalu dengan masa sekarang ada pada “tantangan knowledge management”.

Kisah “Arus Balik” ini telah membuka mata hati penulis, bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu menguasai teknologi, senantiasa berinovasi di dalam mempertahankan wilayah, dan bahkan “meluaskan” pengaruh. Itulah bangsa yang berkarakter kuat dan pantang menyerah oleh keadaan. Ilmu pembuatan kapal, senjata bermesiu, strategi perang di laut, serta karya cipta yang berasal dari leluhur tak lagi dipraktekkan, dituturkan dan dilestarikan kepada penerusnya. Malahan secara perlahan namun pasti, warisan adiluhung tersebut dimusnahkan dan tergantikan oleh hal-hal yang bersifat kesementaraan yang dibawa oleh penguasa korup yang tidak berfikir jangka panjang, miskin wawasan, berorientasi profit, serta membunuh innovasi dan daya cipta generasi tunas bangsa secara perlahan.

Ya, berkaca dari novel Arus Balik: pasang surut kekaisaran, dinasti, kerajaan, bangsa, atau organisasi ternyata sangat ditentukan oleh perilaku orang-orang yang hidup di dalamnya dalam hal menjaga pengetahuan yang ada. Artinya, dalam perspektif yang lebih sempit, kekuatan suatu organisasi tidaklah terletak pada teknologi yang ter-install pada komputer atau informasi yang terarsip; tidak juga ditentukan oleh seberapa besar database yang dimiliki perusahaan; jumlah bite piranti penyimpan data atau bahkan oleh kecanggihan processor komputer; namun lebih kepada bagaimana orang-orang yang menggunakan data, informasi dan pengetahuan yang tersebar di dalam organisasi.


Melestarikan Pengetahuan
Kehilangan orang-orang yang ahli di dalam organisasi sesungguhnya merupakan kerugian yang sangat besar. Akan lebih rugi lagi jika orang-orang yang nyata-nyata bekerja maupun masih exist di dalam organisasi tidak mempraktekkan pengetahuan, bahkan mentransfer pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang sebetulnya hidup di dalam organisasi tanpa sempat diaplikasikan atau ditransfer secara maksimal sungguh merupakan suatu kesia-siaan.

Dalam dunia knowledge management, terdapat 3 definisi yang harus dipahami, yakni: (1) data, (2) informasi, dan (3) pengetahuan itu sendiri. Lalu apa perbedaan data, informasi dan pengetahuan? Data adalah fakta, arsip, catatan kejadian, atau lembaran lontar dalam suatu kitab pada beberapa abad silam; sedangkan informasi adalah pesan dalam bentuk dokumen atau audio atau seperti nyanyian/ tutur para leluhur. Sedangkan pengetahuan ada pada orang yang telah memiliki pengalaman dan pendidikan terhadap subjek tertentu. Informasi dan data yang telah diolah dan dipraktekkan, perwujudannya direpresentasikan oleh karya cipta manusia dan inovasi tiada henti.

Di dalam organisasi, pengetahuan semacam ini sangatlah pragmatis sifatnya, sehingga hal inilah yang menyebabkan pengetahuan menjadi sangat berharga dan bahkan menjadi sangat sulit untuk dikelola. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan adalah aliran fluida dimana unsur-unsurnya adalah pengalaman, nilai, informasi kontekstual dan wawasan sang ahli yang memberikan cara berpikir guna mengevaluasi dan menggunakan pengalaman yang baru didapatnya serta informasi. Pengetahuan tidak hanya terdapat pada dokumen atau arsip, namun juga di dalam rutinitas, proses, paktik dan nilai dalam suatu organisasi.*

Sehingga untuk melestarikan pengetahuan dibutuhkan keahlian si pemilik pengetahuan dalam “menurunkan” pengetahuan dan sistem di dalam perusahaan yang memastikan jajaran perusahaan menerima dan mengaplikasikan pengetahuan tersebut. Namun tanpa nilai-nilai yang solid di dalam organisasi, seperti budaya belajar dan memelihara lingkungan yang senantiasa melakukan sharing pengetahuan; komitmen serta dukungan manajemen guna memaksimalkan modal intelektual perorangan, mengeksplorasi pengetahuan terhadap pelanggan, menggunakan pengetahuan guna menciptakan nilai tambah barang dan jasa; dan kepercayaan diantara jajaran perusahaan untuk senantiasa menerima dan memberi pengetahuan yang dimiliki tentunya tidak akan menumbuh kembangkan knowledge management.


Penutup
Akhir kata, dari pemaparan di atas, strategi yang dieksekusi untuk tegaknya knowledge management akan bekerja secara efektif dalam mencegah terjadinya penuaan organisasi yang direpresentasikan oleh kemunduran talent, inovasi dan penciptaan nilai tambah. Sehingga bukannya tidak mungkin organisasi yang semula kecil kemudian akan merajai bisnis bak jayanya Kerajaan Majapahit. Semoga!

* Davenport H., Thomas & Prusak, Laurence, Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know, 1998

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Seperti yg tersirat saya tangkap dari PAT, sewaktu jaya jaman majapahit & sriwijaya sbg negara maritim, kita expor tuh nilai2 agung dari budaya kita smp madagaskar & eropa, banyak pelajar dari belahan kerajaan lain dikirim ke trowulan or palembang (arus ke utara) tp kehancuran dimulai ketika "wiranggaleng" "dikhianati" syarif hidayatullah (dengan belok ke selat banten) sewaktu menghadapi portugis di malaka, orientasi negara maritim sudah pudar. Sejarah mencatat, setelah Demak di pesisir, dilanjutkan ke Pajang yg pusat kerajaannya lebih menjorok ke daratan, dan setelah itu mundur lebih ke selatan menjadi Mataram dan disaat bersamaan bangsa2 asing sudah masuk ke nusantara (nusantara terpecah menjadi beberapa kerajaan). dan periode ini lah arus Balik ke Selatan dimulai..
Sampai saat ini pun Arus dari Utara masih berlangsung dgn neokolonial dan neofeodal, weternisasi. .
tokoh2 yg udah mimpin negara ini pun menjadikan nusantara masih berorientasi agraris..dr jaman soekarno sampai sby...
PAT mungkin merindukan bangsa ini beserta manusianya menjadi bangsa besar & maju (arus balik ke utara)... dengan memberikan warisan wawasan kepada generasi stlh PAT untuk melihat nusantara ini dalam perspektif maritim..

Dheeneedaily mengatakan...

Terimakasih atas masukan anda. Sekali lagi, memang novel ini sangat aktual dan kental dengan permasalahan kenegaraan kita-disorientasi.
Bagi penulis, PAT bagaikan Rama cluring, tetua yang diracun kepala desa di dalam cerita Arus Balik. Cerita sang tetua semakin tertelan oleh derasnya arus zaman kesementaraan.