Minggu, November 04, 2012

"Stress Test" Budaya Perusahaan

Ini adalah tahun keenam program budaya dijadikan inisiatif strategis bagi lembaga keuangan terbesar, dan merupakan tahun kedua mengkuti proses penjurian bagi ajang yang paling bergengsi dalam organisasi ini. Mungkin pembaca bertanya-tanya, bagaimana mungkin ajang lomba budaya kerja berbalut sedikit "drama” ini menjadi kebutuhan dan sekaligus menjadi “pentas pembuktian” pimpinan unit kerja yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia? Dan mengapa dari tahun ke tahun tuntutan berkinerja tinggi dan sekaligus tuntutan kesempurnaan yang harus diemban oleh para pemangku jabatan tertinggi hingga level pelaksana tidak menyurutkan derap langkah mereka. Bahkan di tengah kesulitan infrastruktur, SDM yang kurang, penempatan pegawai di tempat terpencil, hingga menghadapi masyarakat yang dikatakan asing terhadap jasa yang ditawarkan perusahaan ini tidak menyurutkan langkah, bahkan “membakar” semangat mereka untuk menjadi yang terbaik.

Perusahaan yang pada awalnya mengalami keterpurukan, namun akhirnya bangkit menjadi perusahaan yang disegani. Kondisi awal yang menempatkan seluruh jajarannya berada pada titik nadir menjadi titik balik untuk bersatu padu dan bangkit mengejar keterpurukannya. Perjalanan dirasakan berbatu-batu dan diakui sulit. Berbagai inisiasi strategis hingga operasional yang ditetapkan perusahaan, dimana dari tahun ke tahun seluruh inisiasi tsb diterjemahkan oleh jajaran pimpinan untuk dilaksanakan di unit kerja masing-masing. Ajang bergengsi ini menjadi arena untuk menguji kesempurnaan “strategi dan eksekusi” para pimpinan unit kerja.

Di sisi lain, sebagai catatan tahun ini, ajang ini merupakan semacam stress test bagi seluruh unit kerja yang wajib berpartisipasi dengan mengirimkan perwakilan sebagai representatif terbaiknya.


Tiga Stress Test

“Stress test” di bidang manajemen risiko merupakan "uji kehandalan" model risiko perusahaan pada ekspossure risiko tertentu. Mengapa dikatakan stress test? Uji ini berguna untuk menyakini apakah model yang diimplementasikan perusahaan tsb handal di segala situasi, bahkan pada situasi genting sekalipun. Semakin stabil, semakin baik model tsb, meskipun ditekan oleh kompleksitas faktor maupun skenario kejadian.

Mereka berdatangan dari seluruh pelosok, setelah melewati serangkaian seleksi administratif. Dimana pada tahun ini seleksi administratif ini merupakan stress test pertama bagi seluruh unit kerja. Dalam waktu yang singkat para pimpinan unit kerja dan tim menuliskan narasi, contoh konkrit serta menyediakan bukti-bukti pendukung untuk 9 pilar budaya, kunci sukses pencapaian kinerja yang ditunjang oleh program-progam budaya. Yang membedakan tahun lalu dengan tahun ini, skala penilaian pada seleksi administratif dipertajam. Tidak ada ruang bagi jawaban normatif, bertele-tele, dan jauh dari gambaran realita yang diharapkan, karena tidak disertai data atau bukti pendukung. Oleh sebab itu, peserta yang berhasil bertahan pada seleksi ini hanyalah unit kerja yang secara “advance” menjalankan gebrakan revolusioner dan atau benar-benar mencurahkan seluruh perhatiannya untuk senantiasa mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas kerja, melakukan percepatan proses bisnis, inovasi, memperkokoh soliditas tim, sehingga mencapai kinerja maksimal.

Stress test kedua, pembagian kategori unit kerja yang semakin rapat. Sehingga tahun ini tidak ada excuse bagi unit kerja yang merasa “kalah bersaing” karena menghadapi unit kerja yang memiliki lebih banyak awak. Ataupun mengeluhkan tidak ada waktu mengingat kesibukan/ load pekerjaan.

Hasilnya di luar dugaan, peta persaingan kian memanas. Unit kerja “papan atas” sepertinya terlena dengan keberhasilan yang dicapai selama ini. Unit kerja “papan bawah” yang tak pernah diperhitungkan dari tahun ke tahun kemudian bangkit memimpin klasemen. Sehingga stress test ketiga, merupakan suatu uji yang akan dibuktikan pada akhir tahun nanti, apakah program budaya kerja yang telah diimplementasikan merupakan “auto pilot” yang didukung sistem, ataukah “manual” yang selalu ditentukan bahkan didikte oleh jajaran pimpinan atau pilot yang mengendalikannya.

Mengelola Gen Y

Dari masa ke masa, setiap generasi memiliki ciri khas, karena mereka dibentuk oleh lingkungan sekeliling berupa pendidikan, fasilitas/ infrastruktur, kondisi ekonomi, geo politik, dsb. Kekhasan generasi dari masa ke masa (cohort) ini dikenal sebagai generasi baby boomers, generasi X, generasi Y, dan generasi Z. Generasi Y menjadi pembahasan karena Gen Y merupakan pendatang baru yang mulai berkiprah dalam dunia kerja.

Kehadiran generasi ini pada awalnya cukup merepotkan pimpinan level senior dan mulai dibicarakan di forum pertemuan para Change Agent. Mereka dianggap labil, tidak tahu sopan santun, tidak dimengerti dari sisi bahasa dan karakter, dst. "Label negatif" ini semakin mengemuka karena merekalah yang akan menjadi generasi penerus di perusahaan yang kebanyakan pegawainya akan menghadapi masa pensiun. Keluhan terhadap gen Y ini semakin menjadi, dan mereka bahkan dianggap sebagai biang “kontra produktif” bagi kemajuan perusahaan.

Manajemen tidak berdiam diri dengan situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan tsb. Training bertemakan gen Y pun wajib diikuti oleh para pimpinan senior. Perlahan tapi pasti, datangnya gen Y ini berhasil merubah paradigma pendatang lama. Melalui program pendampingan yang disesuaikan dengan karakteristik gen Y, mereka tidak lagi dianggap sebagai biang kontra produktifitas, namun menjadi hulu ledak bagi kreatifitas. Tidak jarang, generasi yang “melek teknologi informasi” ini secara signifikan mempercepat proses pelaksanaan kerja, di beberapa proses. Di tangan mereka, pola kerja supporting sebagai “inputter” berubah menjadi “controller” dan bahkan menjadi “analis” data bagi unit yang membutuhkan. Di sisi lain, para pegawai senior memberikan ruang bagi “sifat multitasking” gen Y (recharging energy), mengijinkan mereka menyalurkan bakat seni dan olah raga di keseharian, merangkul mereka dan berdialog dengan menjalankan hal-hal yang mereka sukai, dan bahkan berbahasa seperti layaknya bahasa mereka. Dan perlahan tapi pasti, mereka memberikan warna tersendiri bagi unit dimana mereka bekerja. Semangat mereka yang tinggi untuk belajar dan memberikan kontribusi menggugah para seniornya.

Dari hari ke hari, semakin penulis meyakini bahwa penerimaan perusahaan ini terhadap kiprah para gen Y semakin baik. Mereka tidak lagi dianggap sebagai “anak kemarin sore”. Mereka dipercaya sebagai ketua program/ koordinator kegiatan, tim kreatif, dsb. Tidak jarang celetukan dan banyolan lucu dari para senior kepada para junior dan bahkan kesediaan mereka untuk larut dalam “dunia gen Y” menjadikan kesenjangan usia tak lagi berjarak.
Ciuus, miapah?
Bagaimana dengan perusahaan Anda?