Anda mungkin mengenal sosok Robby Djohan, salah satu dari sedikit pemimpin Indonesia yang sangat fenomenal di bidang ”turn around management”. Rasanya cepat sekali waktu berlalu, ketika Robby Djohan dengan gagah berani ”mengobrak-abrik” tatanan budaya BUMN yang telah berurat dan berakar dengan sangat lama lalu menjadikan perusahaan yang telah sakit menjadi perusahaan yang mencetak laba. Dan 10 tahun telah berlalu setelah proses “Mega Merger Bank Mandiri” dan prestasi beliau berikutnya dalam menerbangkan kembali Garuda Indonesia.
Dalam artikel ini, “cerita lama tapi baru” ini kembali ingin saya ceritakan dengan harapan agar para pembaca dapat meneladani apa yang telah menjadi legacy bagi Robby Djohan dalam bidang kepemimpinan.
Proses restrukturisasi, re-engineering, revitalisasi, merger-akuisisi, atau apapun namanya merupakan proses perubahan yang memerlukan waktu singkat dan sifatnya seperti reaksi berantai nuklir. Kadang kala ada proses restrukturisasi yang berhasil, dan tidak sedikit proses yang gagal dilakukan dan bahkan mengakibatkan perusahaan ditutup karena mengalami kebangkrutan. Untuk menjalankan proses tersebut, aspek terpenting dan sangat menentukan adalah kepemimpinan.
Apa yang menjadi karakteristik atau ciri khas dari kepemimpinan Robby Djohan? Kompetensi apa yang ia miliki sehingga dalam waktu yang cukup singkat perubahan dan pemulihan perusahaan terjadi? Tindakan-tindakan apa yang ia lakukan sehingga seluruh jajaran perusahaan yang ia pimpin melakukan langkah-langkah “restrukturisasi” akan dijelaskan secara terperinci.
Karakteristik 1: Keberanian
Keberanian adalah modal utama yang utama yang dimiliki beliau. Tanpa keberanian, beliau tidak akan mungkin membalikkan keadaan perusahaan yang ”under dog” melalui negosiasi dengan bankir luar negeri yang arogan, institusi keuangan sekelas IMF, supplier, politisi, legislatif atau bahkan tekanan dari ”orang-orang dalam” yang berkepentingan agar perubahan di perusahaan yang sedang beliau benahi menguntungkan mereka. Keberanian dalam memutuskan siapa-siapa saja yang dapat duduk di jajaran direksi, General Manager atau pejabat satu level di bawah direksi dengan proses seleksi yang menjunjung tinggi azas profesionalisme sehingga proses restrukturisasi dapat berjalan. Atau keberanian dalam memecah silo atau kotak-kotak struktural diantara karyawan yang dapat menghambat kemajuan dan percepatan pemulihan perusahaan.
Karakteristik 2, 3, & 4: Jujur, integritas dan keterusterangan
Jujur, integritas dan keterusterangan, adalah karakteristik lain yang beliau miliki. Tiga karakter ini sangat berkaitan: orang yang jujur sekaligus memiliki integritas akan mengatakan secara jelas apa yang ingin dia lakukan (clarity). Hal ini tercermin melalui tindakan-tindakan penyelamatan perusahaan yang langkah-langkahnya jelas, tegas, tanpa berbelok kesana-kemari. Dan keterusterangan, salah satu ciri khas beliau dalam menyampaikan pendapat dan pemikirannya tanpa basa-basi atau diplomasi yang berbelit-belit. Sehingga ketiga karakteristik yang saling melengkapi tersebut merupakan modal utama di dalam mengembalikan rasa ketidakpercayaan, ketidakpastian, ketidakmampuan jajarannya dalam situasi perusahaan yang mendekati collaps. Dan ketiga hal tersebutlah yang menggerakkan, merubah dan membalikkan situasi yang sangat tidak mungkin, menjadi mungkin terjadi.
Karakteristik 5, 6 & 7: Pengetahuan, Keahlian dan Pengalaman
Latar belakang beliau sebagai seorang bankir murni dan daya serap beliau yang sangat cepat untuk mempelajari hal-hal yang baru, menyebabkan beliau dalam waktu singkat dapat menyeimbangkan kondisi keuangan perusahaan yang sangat payah dengan tindakan operasional korektif yang cepat, dimana hal ini sangat berkorelasi dengan peningkatan efisiensi perusahaan. Akibatnya terdapat banyak pos-pos pengeluaran yang tidak produktif dipangkas; struktur organisasi yang lebar dan berlapis-lapis dirubah menjadi relatif lebih ”langsing” tanpa banyak birokrasi; menghapuskan kebiasaan buruk para jajaran secara revolusioner, hingga regenerasi karyawan yang tidak produktif melalui golden shake hand. Sehingga tidak heran balancing pada aspek keuangan dan aspek operational yang beliau lakukan berdampak sangat signifikan bagi peningkatan cash flow perusahaan.
Lalu apa yang memelihara kelangsungan proses perubahan tersebut? Kekuatannya adalah pada keterampilan manajerial kepemimpinan yang harus dimiliki, yakni pengawasan atau monitoring dan eksekusi keputusan yang cepat. Menjadi CEO bukan berarti memberikan delegasi sepenuhnya kepada direktur lainnya, General Manager atau orang-orang kepercayaannya untuk perubahan di dalam organisasi, sebaliknya beliau mencurahkan waktu dan pikirannya secara langsung dalam menyehatkan perusahaan yang sakit. Beliau terjun langsung ke lapangan dalam melakukan pengawasan, rela berkantor di lapangan yang tentunya memiliki fasilitas yang sangat sederhana bagi ukuran direktur pada saat itu, dan bahkan tidak segan-segan menegur/ mencopot langsung staff jika tidak perform.
Sebuah Tantangan bagi para Pimpinan
Secara umum, jaminan bahwa seseorang yang telah berada di puncak pimpinan (misalnya menjadi CEO) dikarenakan mereka memiliki kepemimpinan itu tidak sepenuhnya benar. Ada banyak sekali jabatan yang diisi oleh pimpinan yang tidak memberikan dampak apa-apa bagi perusahaan atau dengan kata lain tidak memiliki kompetensi kepemimpinan. Terdapat banyak pemimpin yang tidak mengetahui bahwa perusahaannya berada di ambang krisis masih tenang-tenang saja, atau mengetahui bahwa di tubuh perusahaannya ada banyak pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan anak buahnya namun tidak ditindak tegas. Sehingga para pemimpin harus terus belajar dalam ”memimpin”, bukan dalam hal ”menjabat”.
Lalu dari langkap-langkah yang telah diambil oleh Robby Djohan kemudian dipetik pelajaran bahwa menjadi pemimpin bukan berarti membuat jabatan saat ini menyebabkan adanya ”security” atau rasa aman karena hanya ”menjabat”, melainkan merubah, menumbuhkan, memberdayakan, meyakinkan dan tetap menggerakkan perusahaan ke arah yang lebih baik.
Tantangan yang dihadapi oleh para CEO sekarang selain operasional perusahaan sehari-hari adalah: mempertahankan kinerja perusahaan, menyelesaikan dan mencegah hal-hal yang melanggar etika di tubuh perusahaan melalui Good Governance di jajaran perusahaan, meningkatkan kinerja dan pengelolaan Sumber Daya Manusia, dan mengatasi berbagai permasalahan strategis lainnya. Pertanyaannya adalah: dapatkah para CEO, atau siapapun yang menjadi pimpinan saat ini meneladani Robby Djohan? Dan bagaimana dengan kompetensi yang dipunyai pemimpin penerus bagi generasi selanjutnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar