Senin, Desember 31, 2007

Kontribusi Job Description bagi Manajemen Risiko Pada Bank

Bank dideskripsikan sebagai the most regulated organization, atau organisasi yang terikat oleh banyak regulasi, sehingga bank haruslah comply dengan peraturan-peraturan yang ada. Pengelolaan perbankan tentunya tidak terlepas dari manajemen risiko (risk management). BI sebagai regulator bank-bank di Indonesia mendefinisikan manajemen risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank. Setidaknya terdapat delapan paparan risiko yang mungkin dihadapi oleh dunia perbankan, yakni: (1) Risiko Kredit; (2) Risiko Pasar; (3) Risiko Likuiditas; (4) Risiko Operasional; (5) Risiko Hukum; (6) Risiko Reputasi; (7) Risiko Stratejik; dan (8) Risiko Kepatuhan.

Penulis dalam tulisan ini akan banyak mengulas salah satu paparan risiko pada bank, yakni Risiko Operasional yang memiliki keterkaitan dengan pentingnya implementasi HCMS pada bank. Risiko Operasional pada bank umumnya disebabkan adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank.

Disadari bahwa seperangkat peraturan tersebut ternyata tidaklah cukup untuk mencegah dan menghindari risiko operasional. Dan juga telah diketahui bahwa faktor yang paling banyak memberikan kontribusi akan terjadinya risiko-risiko di atas adalah manusia. Mengapa demikian? Karena manusia adalah pelaku yang melakukan pengambilan keputusan, menetapkan regulasi dan strategi., menciptakan sistem, hingga melakukan proses eksekusi. Sehingga domain dari risk management selain aspek compliance/ kepatuhan, aspek HRM juga memiliki peranan yang tidak kalah penting.

Setiap bank dalam menjalankan operasionalnya diasumsikan telah memiliki visi, misi dan nilai yang menjadi dasar/ basis perilaku jajaran Bank. Internalisasi visi, misi dan nilai dengan baik akan memberikan output berupa expected behavior yang diperlukan bagi bank. Namun implementasi visi, misi dan nilai tersebut berakibat tidak langsung karena sifat visi, misi dan nilai adalah abstrak, makro dan berada di tataran helicopter view—sehingga sulit untuk diimplementasikan dalam jangka waktu pendek agar bank terhindar dari risiko operasional.

Dibutuhkan suatu mekanisme yang menjamin clarity (kejelasan) dan accountability (akuntabilitas) para pelaku di dalam sistem yang mengatur hubungan transaksional antar jajaran, antar unit dan antar departemen. Wujud dari aspek clarity dan accountability diimplementasikan oleh sub sistem-sub sistem yang saling berkait dan terintegrasi hingga melalui Human Capital Management System (HCMS) pada bank.

Mengapa HCMS?

Terminologi HCMS adalah menjadikan manusia sebagai modal perusahaan, bukan sebagai asset. HC (Human Capital) menerjemahkan inisiatif-inisiatif perusahaan di bidang SDM menjadi satuan keuangan. Sehingga konsekuensi dari aplikasi HCMS adalah integrasi dari sub sistem-sub sistem pembentuk manajemen sumberdaya, seperti Job Description (Distinct Job Profile), PMS, People Planning, Career Management, hingga Value Measurement System.

”Job Description” dalam HCMS dijadikan sebagai bentuk akuntabilitas dan kejelasan (clarity) dari pemangku jabatan dalam menjalankan pekerjaannya. Sehingga Job Description tidak hanya merupakan data administratif, namun merupakan single reference bagi sub sistem-sub sistem lain.

Pemangku jabatan hanya akan mengerjakan pekerjaan yang merupakan tanggungjawabnya, sehingga dia tidak akan melakukan pekerjaan yang bukan kewenangannya. Batasan kewenangan (misalnya approval kredit) telah ditetapkan dan didefinisikan dengan sehingga tidak mungkin terjadi pelanggaran; dimensi pekerjaan terkait pekerjaannya terdefinisi dengan rinci, sehingga kompleksitas pekerjaan dapat dimonitor dan dapat di-review sewaktu-waktu jika diperlukan. Ukuran keberhasilan pemangku jabatan di dalam melaksanakan pekerjaannya dapat diukur melalui Key Performance Indicator (KPI) yang masing-masing berbeda (distinct) untuk setiap pemangku jabatan. Sehingga job description atau Distinct Job Profile ini memberikan kontribusi bagi Divisi Compliance dalam: (1) memonitor kepatuhan jajarannya terhadap regulasi yang mengikat, (2) menelusuri terjadinya pelanggaran yang berpotensi menyebabkan bank mengalami risiko operasional, (3) serta identifikasi risiko yang mungkin terjadi sebagai akibat penerapan prosedur/ kebijakan baru.

Sub sistem penting lain, berupa Performance Management System merupakan bentuk kontrol akuntabilitas dan klaritas dari implementasi Distinct Job Profile ini. Dimana setiap atasan senantiasa menjalankan proses review dan coaching bawahannya demi peningkatan kualitas dan kemajuan perusahaan. Kemudian sub sistem Reward Management yang mempersonalisasikan Reward dalam pilihan skema Reward yang lebih fleksibel--sesuai dengan kebutuhan jajarannya.


Penutup.

HCMS memiliki sub sistem-sub sistem unik yang mengakomodasi aspek Compliance pada setiap sub sistemnya. Sehingga HCMS memberikan kontribusi yang signifikan pada proses monitoring, identifikasi operational risk, dan proses eksekusi di jajaran Bank.

Performance Management System: By Order atau By Design?

Jika pada tulisan sebelumnya telah dibahas mengenai aspek clarity (kejelasan) dan responsibility (tanggung jawab) pada job description. Maka dinamika aspek clarity dan responsibility pada penegakan Performance management System di organisasi akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.

Efektifitas suatu organisasi secara makro dikatakan berhasil jika perusahaan mencapai apa yang diharapkan oleh shareholders, atau secara transaksional jika seluruh jajaran perusahaan telah mencapai target masing-masing dan memiliki kinerja yang baik.

Guna mengukur pencapaian kinerja masing-masing karyawan, sistem yang berjalan disini adalah performance management system yang ditujukan untuk memastikan apakah seluruh jajaran Perusahaan telah melakukan tugas-tugasnya dengan baik dan benar, sehingga target dan pekerjaan yang diharapkan sesuai dengan yang diinginkan oleh atasan serta sejalan dengan kebijakan perusahaan.

Bilamana atau kapankah seseorang dikatakan perform? Karyawan yang selalu melakukan pekerjaan by order ataukah karyawan selalu melakukan pekerjaan by system? Dua hal di atas merupakan 2 ekstrim yang bertolak belakang dan memiliki konsekuensi jika diikuti 100%. By order artinya mengerjakan pekerjaan pada kondisi dimana terjadi perubahan dari acuan semula misalnya: perubahan prioritas pekerjaan mendadak, adanya tugas mendadak, strategi perusahaan yang berubah mendadak, dan pekerjaan-pekerjaan dadakan lainnya. Sedangkan by design berarti setiap pekerjaan dilakukan sesuai dengan rencana, sesuai dengan alokasi dana, waktu dan sumberdaya yang tersedia. Artinya semua pekerjaan telah ditentukan path-nya, terukur, realistis dan bisa diprediksi hasilnya.

Namun pada kenyataannya, dinamika di dalam suatu organisasi tidak mungkin menempatkan seseorang melakukan pekerjaan by order atau sesuai pesanan 100% tanpa melihat prioritas atau performance plan yang telah disetujui. Pada kondisi ini seseorang akan berhadapan dengan trade off: dia adalah seorang eksekutor atau pelaksana semata, akibatnya dia tidak akan mencapai apa-apa karena tidak ada dalam target yang tertulis, atau bahkan tidak akan memperoleh pengakuan professional dari rekan-rekannya dalam jangka panjang. Atau trade off seseorang yang melakukan pekerjaan by design 100%; secara kasat mata adalah seorang profesional sejati yang berdiri sendiri, namun dalam jangka panjang akan menghadapi tantangan dari teman-teman sendiri atau dari bahkan atasan yang memerlukan bantuannya. Sehingga praktis seseorang mengerjakan pekerjaan By design selesai tepat pada waktunya, namun kaku, tanpa memiliki value added secara personal, sosial dan bahkan bagi organisasi.

Kita tidak dapat memungkiri bahwa orang-orang semacam ini ada dan hidup di dalam organisasi, tentunya tidak terlalu ekstrim, namun memiliki kecenderungan mengikuti salah satu skenario ini. Lalu bagaimana menilai orang-orang seperti ini?

Komponen dan Perhitungan Performance Management (PMS)

Human Capital Management System (HCMS) melalui Performance management System (PMS) sebenarnya telah menetapkan batas atau limit pada jenis pekerjaan yang boleh dikerjakannya, dimana hal ini sangat tergantung pada kebutuhan organisasi. Pada umumnya jenis pekerjaan terbagi 3, yakni: (1) pekerjaan individual itu sendiri; (2) pekerjaan yang dilakukan bersama team; dan (3) pekerjaan yang didedikasikan untuk kemajuan organisasi. Sedangkan pekerjaan menurut prioritas terdiri dari yakni: Tugas Utama, Tugas Tambahan; dan Critical Incident. Dimensi lain yang menjadi pertimbangan dalam performance plan adalah (1) kompetensi yang dimiliki karyawan serta (2) tingkat komitmen karyawan terhadap nilai perusahaan dan score lain (berbentuk indeks) yang dinilai secara periodik.

Masing-masing komponen tersebut memiliki proporsi/ bobot tersendiri tergantung dari strategi dan model organisasi itu sendiri. Proporsi inilah yang kemudian dijadikan kontrol kapan seseorang boleh melanjutkan atau segera menghentikan pekerjaannya yang sedang berjalan untuk kepentingan penilaian performance mereka.

Pada akhir tahun kemudian didapat perhitungan pencapaian targetnya. Seperti menghitung sebuah portfolio, kinerjanya secara keseluruhan dilihat kuantitasnya, dan lalu kualitasnya dinilai berdasarkan KPI masing-masing dan dibobotkan sesuai dengan proporsi pekerjaan.

Portfolio ini merupakan performance index, sebagaimana halnya nilai rapor/ IP, yang ditujukan untuk menentukan apakah pemegang jabatan merupakan memiliki prestasi rata-rata, di atas rata-rata, atau masalah bagi perusahaan. Sehingga ini merupakan pertimbangan manajemen perusahaan apakah karyawan ini dapat dipromosikan, dimutasi atau bahkan diterminasi.

Poin Kinerja By order atau By design

Sebagai ilustrasi untuk menghitung kinerja karyawan by design dan karyawan by order dibuatkan contoh kasus sederhana: perusahaan memiliki proporsi penilaian performance: pekerjaan utama 65%, proporsi pekerjaan tambahan 30% dan critical incident 5%. Katakanlah bahwa kedua karyawan dinyatakan achieve oleh atasan, teman-temannya dan atau oleh organisasinya, dengan asumsi perusahaan tidak menegakkan PMS di perusahaannya.

Karyawan A dengan scenario pekerjaan by order 100%, melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan atasan atau atasan-atasan lainnya, memperoleh poin pada akhir tahun sebesar adalah 35%. Sedangkan karyawan B dengan skenario pekerjaan by design pada akhir tahun memperoleh poin sebesar 65%.
Ternyata hasil akhir dari pekerjaan by order dan by design tidaklah memberikan hasil maksimal bagi perusahaan. Karyawan A adalah karyawan yang memiliki performance rendah meskipun dia terlihat sangat sibuk mengikuti rapat demi rapat. Sedangkan karyawan B terlihat sebagai karyawan yang memiliki nilai sedang-sedang saja, meskipun dia telah bekerja memenuhi targetnya sendiri. Sehingga yang terlihat di permukaan ternyata tidak sama jika performance management system diberlakukan. Tentunya temuan sederhana ini perlu mendapatkan perhatian yang serius dari manajemen perusahaan manapun yang belum menerapkan performance management system.

Penutup

Pada akhirnya, penegakan PMS di suatu perusahaan tetaplah merupakan suatu proses eksekusi individu atas prioritas pekerjaan, meskipun pekerjaan by design dan by order merupakan grey area yang bersifat abadi dalam dunia HR. Namun adalah tugas manajer HR dan manajemen untuk meningkatkan produktifitas jajarannya melalui penegakan PMS tentunya memberikan kontribusi maksimal dan win-win result. Semoga.

Selasa, Desember 04, 2007

Tulisan-tulisan

Sudah ada 3 tulisan yang telah berhasil dibuat dan sebentar lagi mungkin dimuat di beberapa media massa. Dengan beberapa reviews dan smoothings dari "guru" saya, akhirnya jadi tulisan yang bisa dibaca di majalah terkemuka. Beliau sendiri menyatakan kalau gaya tulisan saya terlalu berat, kental dengan filosofi. Karena saya akan tergerak menuliskan sesuatu yang ada muatannya. Kalau tidak, menurut saya tulisannya jadi tidak menarik lagi, dan saya tidak tergerak untuk menulis.
Essense dari sebuah tulisan yang saya nilai menarik adalah figure vs ground, simplicity vs complexity, trade off(s), implementasi strategi, solusi dari permasalahan tersebut.
Menyajikan ilustrasi? disinilah kekurangan saya... Jadinya Beliau bekerja keras mencarikan ilustrasi apa yang cocok untuk artikel saya:-)

Jumat, November 23, 2007

Mencari Ceruk Pasar: Ask the Competitor

Hari yang cerah, kami pergi ke pameran yang diadakan competitor kami. Menarik disimak, dan perjalanan ini benar-benar diluar dugaan: perjalanan kami berbuah banyak pencerahan dan masukan baru demi pengembangan produk kami.

Mula-mula memang tidak banyak dibicarakan dalam seminar karena yang kami tunggu-tunggu sebenarnya adalah demo produknya. Dan ketika kesempatannya telah tiba, ini benar-benar saya manfaatkan dengan berbincang-bincang dengan presiden-nya langsung. Wow, benar-benar hari yang luar biasa!

Riset dan pengembangan yang sangat-sangat fokus merupakan kunci kesuksesan mereka serta dukungan finansial, network & marketers yang mumpuni.
Tapi di sisi lain tentunya saya harus mengetahui apa yang tidak bisa mereka provide dan apa akan menjadi ceruk kami dan menjadi kesulitan mereka untuk mereka develop/ garap. Dan ternyata ada banyak hal yang bisa kami kerjakan dan bahkan kerjasama. Intinya, alat, solusi dan proses bisa dibuat, namun untuk user acceptability tetaplah memerlukan proses yang lama, bukan dalam hitungan hari, minggu dan bulan... tapi tahunan! Memang. manusia tidak dapat dengan mudah berubah dan beradaptasi untuk suatu kondisi baru. Diperlukan pengkondisian dan sosialisasi. Inilah ekspertise yang tidak mereka miliki, namun kami miliki.

Pelajaran yang saya dapat hari ini adalah: menyimak dengan baik detail pengembangan produk, lalu berdiri sebagai competitor:mencari dan melihat ceruk pasar yang bisa kami gali lebih jauh.. yang ternyata masih banyak peluang dan segmen pasar yang belum digarap.

Jumat, November 16, 2007

DHAIF-NYA SISTEM FIT & PROPER TEST DIREKSI BUMN INDONESIA

Oleh : Mohamad Fajri M.P dan Dhini Andriani[1]


Mengulas artikel David Ulrich, seorang pakar dan konsultan Sumber Daya Manusia (SDM) ternama yang mengkritik Manajemen SDM sebagai tidak efektif, tidak kompeten dan mahal (Human Resources is Ineffective, Incompetent and Costly) yang terus bergema hingga saat ini, dimana terdapat empat kelemahan dasar dalam bidang manajemen SDM yakni: (1) kurangnya kesepahaman akan definisi; (2) kurangnya kesepahaman dalam metodologi; (3) kurangnya studi empiris; dan (4) deviasi antara ilmu manajemen SDM dengan praktiknya. Kelemahan tersebut kemudian menjadi benang kusut yang menyebabkan variasi dalam pendekatan manajemen SDM yang memakan waktu, biaya dan tenaga yang akhirnya menjadikan Manajemen SDM sebagai tidak efektif, tidak kompeten dan mahal.


Disinyalir kelemahan manajemen SDM tersebut adalah pada penerapan atau implementasinya. Selama ini manajemen SDM beroperasi pada tataran administratif, belum pada tataran strategis sehingga pola manajemen SDM masih dilakukan secara parsial.


Disadari untuk meningkatkan efisiensi, daya saing dan pengembangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maka diperlukan suatu pendekatan manajemen SDM yang tepat, sangkil dan mangkus. Pendekatan ini diperlukan untuk menghindari permasalahan yang telah diulas David Ulrich menjadi permasalahan serupa di Indonesia. Permasalahan yang hangat dibicarakan dan menjadi tantangan oleh para konsultan SDM Indonesia dan Internasional yakni keluarnya Surat Keputusan Menteri BUMN Kep-09A/MBU/2005. Surat Keputusan Menteri BUMN mengatur tentang penilaian kelayakan dan kepatutan terhadap para calon anggota Direksi BUMN. Maraknya tuntutan mundur terhadap beberapa Direksi BUMN akhir-akhir ini menimbulkan pertanyaan di banyak pihak mengenai sistem penilaian kelayakan seseorang menjadi Direksi BUMN.


Pada prinsipnya, dalam proses penilaian kelayakan dan kepatutan direksi BUMN ini diperlukan: (1) input berupa calon direksi; (2) sistem/proses penilaian (assessment) yang baik; (3) serta output (hasil assessment) berupa Dewan Direksi yang memiliki profesionalisme, integritas, dedikasi dan kompetensi yang tinggi serta dalam mengelola BUMN. Tentunya untuk melakukan penilaian kelayakan dan kepatutan terhadap para calon anggota Direksi bukanlah merupakan suatu hal yang mudah.



Sistem Fit & Proper Test


Jika kita tinjau pasal 7 pada SK Menteri BUMN tersebut, maka terdapat 23 kriteria calon direksi yakni: (1) integritas; (2) tidak memiliki benturan kepentingan; (3) tidak pernah divonis atas kecurangan dan terlibat dalam perbuatan melawan hukum; (4) tidak dinyatakan pailit; (5) tidak pernah dihukum atas perbuatan pidana berat; (6) professionalisme/keahlian teknis; (7) memenuhi kemampuan teknis pada jabatan/posisi terkait; (8) kriteria umum utama; (9) keahlian kepemimpinan; (10) kritis, independen dan mempunyai keingintahuan yang tinggi; (11) kemampuan berpikir dan perencanaan secara strategis; (12) secara keuangan cukup mapan; (13) pengalaman manajemen; (14) pengalaman dalam bidang industri yang bersangkutan; (15) berprestasi/pernah menerima penghargaan; (16) pengalaman dalam bidang pemerintahan dan/atau peraturan perundang-undangan; (17) kerjasama tim; (18) citra yang baik dalam lingkungan bisnis; (19) kesuksesan dalam bidang yang sama; (20) pengetahuan di bidang operasional BUMN; (21) berpengalaman dalam manajemen perubahan; (22) kemampuan atau keahlian khusus lainnya; dan (23) sehat lahir dan batin. Jika diamati dalam perspektif manajemen SDM, 23 kriteria yang dipaparkan di atas mencampur-adukkan antara prasyarat utama, kompentensi dasar (threshold competency), dengan kompetensi pembeda (gauge competency) yang mesti dimiliki oleh calon direksi BUMN.


Rasionalisasi adanya pemecahan kriteria-kriteria tersebut terdapat dalam analogi/perumpamaan menempatkan batu, kerikil dan pasir ke dalam suatu bejana. Tentunya agar semua elemen tersebut masuk kedalam bejana, diperlukan teknik tertentu: di mana pada dasar bejana ditempatkan batu (prasyarat utama); kerikil (kompetensi dasar); dan kemudian pasir (kompetensi pembeda) sehingga proses seleksi melalui assessment menjadi semakin mudah, sangkil dan mangkus, karena telah ada screening secara bertahap dan sistematis.


Kelemahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah penilaian calon direksi mula-mula dilakukan secara individual/perorangan, akan tetapi jika dikembalikan kepada AD/ART sebagai landasan atau azas berdirinya suatu Perseroan tersebut adalah bahwa direksi adalah suatu majelis yang kolektif dalam menjalankan fungsi pengelolaan dan kepengurusan Perseroan melalui pengambilan keputusan dan jika keputusan tersebut berakibat pada kerugian Perseroan maka majelis ini terpapar risiko tanggung jawab renteng. Di sini terdapat suatu missing link dalam Surat Keputusan Menteri BUMN Kep-09A/MBU/2005 yang secara mendasar belum dilakukan pada tahapan penilaian kelayakan dan kepatutan terhadap para calon anggota Direksi. Artinya ada suatu kompetensi lain di dalam proses assessment tersebut dimana para calon direksi yang telah terpilih harus dapat bekerjasama selaku suatu majelis atau sebagai Dewan Direksi (collective) tanpa menghilangkan kekhasan (kompetensi pembeda) yang mereka miliki.


Sehingga di dalam dinamika Dewan Direksi dalam sejauh manakah anggota Dewan Direksi memberikan dissenting opinion, bekerja sama serta menempatkan dirinya dalam menghasilkan suatu keputusan-yang nantinya akan tercermin di dalam Risalah Rapat Direksi dan Rapat Gabungan- secara dini seharusnya sudah dapat di exercise/diuji. Sehingga keluaran dari dalam suatu assessment center ini tidak hanya bertujuan memilih satu individu, tetapi “the dream team” suatu Perseroan.

Kesimpulan


Masih banyak perbaikan yang diperlukan untuk memperkuat gaung dari Surat Keputusan Menteri BUMN Kep-09A/MBU/2005 dimana secara jelas dan tegas tidak dijelaskan makna penilaian dan kepatutan yang mendalam dan dijiwai oleh assessment center. Sehingga SK tersebut dikhawatirkan hanya dapat menyelesaikan permasalahan secara parsial atau di permukaan saja. Sehingga jalan untuk menuju “konsep antitesis” dari David Ulrich bahwa Manajemen SDM sebagai metode yang efektif, kompeten dan murah masih jauh perjalanannya.


Besar harapan bahwa direksi yang terpilih dan disahkan melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan “the dream team” yang merupakan “agen perubahan” yang memiliki profesionalisme, integritas, dedikasi dan kompetensi yang tinggi dalam mengelola BUMN yang memberikan angin segar bagi peningkatan efisiensi, daya saing dan pengembangan BUMN Indonesia. Semoga saja.



[1] Mohamad Fajri M.P dan Dhini Andriani adalah Konsultan GCG dan Konsultan SDM di Jakarta

xQ dan Implementasi GCG

Sejak ditetapkannya Kepmen UU no. 117 mengenai penerapan GCG di BUMN Indonesia, implikasi strategis yang diharapkan melalui implementasi GCG adalah peningkatan nilai perusahaan yang tercermin dari meningkatnya nilai saham di pasar modal dan investor yang langsung menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Kurun 4 tahun setelah diberlakukannya Kepmen tersebut, ternyata perubahan yang diharapkan tidak terjadi secara signifikan.

Di sisi lain, disadari bahwa penerapan GCG telah berhasil memberikan kontribusi berupa dokumentasi perusahaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni GCG Code, Board Manual, dan dokumen-dokumen penting lainnya sebagai infrastruktur dasar bagi penerapan GCG. Kemudian kontribusi lain adalah pembenahan organisasi dan yang terpenting adalah semakin baiknya uraian tugas dan tanggung jawab organ perusahaan dalam mengimplementasikan GCG tersebut.

Namun apa yang menjadi masalah sekarang adalah semakin mandegnya pelaksanaan GCG secara riil. Artinya penerapan GCG saat ini bukan hanya pada tataran dokumentasi dan pembenahan dari sisi struktur, tetapi sesuatu yang lebih riil, yakni eksekusi. Menurut Larry Bossidy & Ram Charan dalam bukunya yang berjudul: “Execution: The Discipline of Getting Things Done”, menyatakan bahwa “The Execution Gap is the great unaddressed issue in the business world today.” Artinya banyak perusahaan yang memiliki visi, misi, dan strategi yang canggih dan terukur target dan kerangka waktunya, lalu dibantu oleh tenaga-tenaga ahli yang didatangkan dari luar negeri, namun akhirnya tidak terjadi apa-apa di dalam perusahaan tersebut. Dalam artian semua sumberdara terbaik yang telah dikerahkan dalam membangun perusahaan tersebut sia-sia.

Di sini penulis ingin memperkenalkan alat ukur yang merupakan indeks sejauh mana efektifitas keputusan/ eksekusi yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan tersebut. xQ memiliki elemen-elemen yang sejalan dengan GCG yakni: (1) Clarity/ kejelasan tujuan individu, tim dan fokus tim; (2) Commitment/ kualitas komitmen jajaran manajemen; (3) Translation into Action/ perencanaan dan line of sight organisasi, (4) Enabling/ pemberdayaan tim; (5) Synergy/ komunikasi, kolaborasi dan interdependensi tim; dan terakhir (6) Accountability/ kualitas akuntabilitas. Dimana elemen-elemen tersebut didesain sedemikian rupa untuk melihat dimensi pada lapisan-lapisan jajaran manajemen hingga tingkat pelaksana. Validasi seberapa baiknya xQ juga telah di uji di berbagai perusahaan dengan benchmark yang disesuaikan dengan berbagai sektor industri yang ada.

Akhirnya dengan adanya xQ di sini, penulis mengharapkan adanya alignment diantara xQ dan implementasi Good Corporate Governance di Indonesia sehingga kontribusi implementasi GCG tidak hanya dilihat dari perspektif makro saja, namun lebih kepada pengukuran sejauh mana efektifitas organisasi melalui komunikasi dan kejelasan tugas dan tanggung jawab berbagai hal transaksional lainnya di dalam perusahaan atau di dalam organisasi secara keseluruhan dari waktu ke waktu.

Blogging sampai OD! - Blog tentang Organizational Development -

Adalah ciri Knowledge Worker di Era Knowledge untuk menuangkan pengetahuan yang didapat menjadi explicit knowledge. Sebagian tulisan ini pernah di-upload di media, sebagian berupa ide atau wacana, sebagian telah diimplementasikan oleh klien (lesson learned), dan sebagian merupakan portfolio pekerjaan Penulis berkenaan dengan alat-alat yang Penulis geluti di dunia consulting. Penulis percaya bahwa mekanisme ini akan semakin memperkaya khazanah pengetahuan Penulis jika ilmu ini dibagikan/ dituliskan.

Ketika penulis ditanyakan: buku Organizational Development (OD) manakah yang paling mempengaruhi Penulis, hingga membawa penulis menekuni dunia OD? Maka jawaban Penulis adalah “Reframing Organization: Artistry, Choice & Leadership”, karya Lee G. Boldman & Terrence E. Deal, edisi kedua, yang diterbitkan oleh Jossey Bass Publisher.

Namun pada prosesnya, untuk memahami OD tidaklah sesederhana membaca buku. Tahun demi tahun Penulis mesti melalui berbagai penugasan untuk memahami bab demi bab, mencari berbagai tambahan referensi OD, menggali arsip/ data HR dan kembali menyajikan permasalahan OD dengan kekhasan organisasi Indonesia.

Perjalanan Penulis dalam menguji dan memahami buku kini dapat pembaca nikmati di dalam rangkaian blog OD yang saling berhubungan.