Jumat, Desember 29, 2017

Memahami Parenting berbasis Neuroscience & Talent Management


Anak adalah anugrah dan sekaligus amanah yang tak ternilai bagi keluarga, dimana sedari kecil anak-anak oleh orang tua diberikan kasih sayang, perhatian, fasilitas, pendidikan-sesuai dengan milestones sang anak. Kelimpahan perhatian dan kasih sayang kepada sang anak semata-mata agar sang anak berhasil dan sukses menyongsong masa depan.

Neuroscience telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi perkembangan ilmu parenting, bahwa otak manusia sebagai karunia tak ternilai Yang Kuasa. Maka otak haruslah dilatih, distimulasi, diisi dan dijaga dengan hal-hal yang bermanfaat. Ketika lahir, masing-masing komponen otak manusia belum dalam keadaan lengkap dan berfungsi dengan sempurna. Anak yang masih bayi, balita, anak pra-sekolah, dan anak SD-SMP-SMA memiliki kelengkapan komponen otak dan kematangan komponen otak yang berbeda-beda.

Sehingga dalam ilmu parenting, wajib hukumnya bagi para orang tua untuk memahami perkembangan otak anak, dan di sinilah peran orangtua mengisi waktu dengan kegiatan-kegiatan bersama mereka dan membentuk mereka menjadi manusia yang tangguh, mandiri dan berakhlak mulia. Bagaimana mendidik anak dari sisi neuroscience sesuai dengan perkembangan kelengkapan dan kematangan komponen komponen otak masing-masing:


  • Bayi yang baru lahir tidak bisa berbicara untuk mengatakan ingin minum, merasa panas/ basah, atau ingin digendong. Sehingga orang tua memberikan perhatian secara ekstra kepada sang anak. Kebersamaan atau bonding yang kokoh dengan orang tua membentuk Amigdala anak yang sehat. Dimana orang tua selalu melakukan kontak dan hadir secara emosi bersama sang anak dengan memberikan rasa aman, nyaman, dan kasih sayang. Ketidakhadiran emosi orangtua, dimana orang tua abai dalam memberikan perhatian kasih sayang, dan kebutuhan dasar sang anak. Ataupun lalai dalam memberikan lingkungan yang nyaman dan bersahabat, seperti: terus-menerus bertengkar dengan pasangan di hadapan sang anak, atau sibuk sehingga menelantarkan sang anak. Maka dalam jangka 10-15 tahun ke depan, anak akan mengalami “gangguan” dalam pengendalian dan memaknai emosi.

Orang tua selanjutnya menstimulasi pancaindra sang anak (indra pendengaran, indra penglihatan, indra penciuman, dan indra perasa, indra peraba), sehingga sang anak belajar langsung hingga mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan di sekitar. Melibatkan anak untuk merasakan perubahan lingkungan, seperti: makanan alami vs makanan olahan, merasakan panas/ keringat vs kesejukan, keramaian vs sepi, gelap vs terang, atau lebih advance lagi suasana desa vs kota, keterbatasan vs keberlimpahan, dan sebagainya. Semakin fleksibel lingkungan yang dihadapi sang anak, maka semakin tangguh sang anak ke depan.


  • Anak balita membutuhkan stimulasi lebih, seperti mengajari dan mengajak anak memahami bahasa dan berbicara dengan bahasa rasa bahasa yang baik dan benar (Area Broca & Wernicke). Pastikan anak dapat berbicara dengan bahasa dan pengucapan yang dapat dipahami orang lain. Orang tua diharapkan tidak ikut-ikut meniru bahasa yang diutarakan sang anak (cadel & mengikuti bahasa sang anak), atau bahkan tidak berbicara sama sekali karena orangtua pulang sudah larut malam karena lembur/ kantor jauh. Anak pun akan sangat kesulitan belajar bahasa dan mengucapkan dengan baik dan benar. Anak balita pun mulai dibentuk melalui rutinitas dan kebiasaan-kebiasaan positif (Basal Ganglia). Seperti: menggosok gigi setelah makan, mencuci kaki dan tangan sebelum tidur, berdoa, puasa, shalat pada waktunya, dan sebagainya. Kebiasaan–kebiasaan baik yang dikenalkan dan ditanamkan orang tua akan melekat pada sang anak hingga tua.



  • Bagi anak pra-sekolah, stimulasi otak mulai diintensifkan dengan permainan mendidik yang rasional dan menstimulasi kognitif anak, seperti: berhitung, membaca, memilih, menilai (Hippocampus). Anak dibacakan cerita untuk dilatih memaknai cerita sederhana. Dan akhirnya mulai melatih kemandirian sang anak dengan memberikan kewenangan yang terbatas-sesuai dengan perkembangan sang anak (Pre Frontal Cortex/ PFC). Sehingga dengan PFC sang anak diharapkan secara mandiri mampu melakukan pengambilan keputusan; pemaknaan nilai-nilai; merencanakan, pengambilan keputusan; berkonsentrasi; pengendalian diri/ ketekunan; berempati; (sabar) dalam menunda kenikmatan; serta menyelaraskan pikiran dan tindakan dengan tujuan. Dan akhirnya memastikan sang anak mampu mengenali dan mengungkapkan jenis emosi (senang, sedih, marah), hingga mengendalikan diri dari emosi internal yang bersifat negatif (marah, sedih, takut) dan emosi dari lingkungan eksternal (teman/ guru/ orang terdekat) yang menekan, seperti: rasa stress dan depresi atau rasa senang yang berlebihan (Hypothalamus).



  • Untuk anak berusia di atas 7 tahun hingga usia 21 tahun adalah bagaimana melatih PFC. Orang tua membangun komunikasi yang interaktif dengan menjadi content manager di rumah. Orangtua diharapkan mampu memilah/ memilih/ membatasi acara TV, fasilitas / wifi/ internet serta penggunaan smart phone bagi PFC yang sehat. Orangtua mengenalkan dan mengajarkan anak dalam mengapresiasi buku-buku/ film/ musik berkualitas; mengenalkan ilmu sejarah, filsafat, ekonomi dan ilmu berguna lainnya; dan mengenalkan seni berdebat/ argumentasi sederhana. Sehingga anak terbiasa melakukan cross check atas informasi hingga cross reference hingga mendemonstrasikan ilmu yang telah mereka pelajari. 




Talent management yang programnya telah Anda dapatkan di Perusahaan tidak kalah penting berkontribusi pada ilmu parenting, dimana anak diidentifikasi kemampuan dan minatnya. Seiring bertambahnya usia mereka akan terus dikembangkan sesuai dengan potensinya. Oleh sekolah, mereka diberikan kurikulum baku sehingga mereka bisa berkembang dan mencapai potensi optimal.
Demikian juga dengan orang tua, idealnya mereka menyiapkan strategi dan pola pengasuhan dilengkapi kurikulum yang sederhana, mulai dari jadwal, check list, target yang harus dicapai sang anak, bekal ilmu pengetahuan yang diturunkan langsung dari orang tua ke anak, hingga review saat tahun ajaran berakhir-selain raport. Ritual percakapan harian (dalam bahasa korporasi: Engaging Conversation) tidak kalah penting: tak habis-habisnya sang orangtua (ibu) bertanya: apa yang dipelajari sang anak hari ini, bagaimana kegiatan dengan teman-teman, apa tugas/ PR (Pekerjaan Rumah) hari ini, berapa nilai ulangan, dan sederet pertanyaan lain. Dan yang tak kalah penting menyediakan tenaga, waktu, dan pikiran untuk dicurhati sang anak (dalam bahasa korporasi: Coaching & Mentoring). Sang ayah pun mengenalkan ilmu praktis (mulai dari olah raga, IT & pemrograman aplikasi, hingga pekerjaan/ perbaikan ringan) yang bisa dilakukan anak-anak (dalam bahasa korporasi: on the job training).


Menghabiskan hari libur tidak kalah penting, beberapa orang tua mengirimkan anak-anak untuk berlibur di rumah kakek/ nenek, atau sekedar beristirahat di rumah dan mempedalam minat/ hobby, atau bagi orang tua yang mapan secara ekonomi mampu mengirimkan mereka kursus/ belajar di sekolah pada negara tertentu, ataupun magang di perusahaan orang tua/ perusahaan kolega mereka. Mereka diberikan tantangan lingkungan dan persoalan baru dengan harapan mereka menjadi lebih sukses dibandingkan dengan orang tua mereka (dalam bahasa korporasi: Non Monetary Rewards).


Ibarat investasi yang mendukung program talent management perusahaan, orang tua menyerahkan pendidikan dan pelatihan anak sepenuhnya pada sekolah dengan harga yang tidak murah. Namun seringkali effort maksimal tersebut tidak dibarengi oleh peran orang tua untuk turut serta mewarnai pola pengasuhan sang anak sehari-hari. Anak terus-menerus dijejali dengan kesibukan ekstrakulikuler-sesuai dengan bidang yang mereka minati, ritual harian untuk menghabiskan sisa waktu after school mereka, dan interaksi dengan orang tua dan lingkungan di akhir hari-tanpa evaluasi apakah kesibukan tersebut memberikan makna atau bahkan membentuk karakter mereka. Seringkali setelah seluruh check list tugas dan kelakuan baik mereka di atas kertas sudah terpenuhi, maka mereka berhak mendapatkan reward/ fasilitas/ benda-benda yang mereka idam-idamkan selama ini. Begitu seterusnya, sehingga seiring bertambahnya usia mereka, tanpa disadari mereka tumbuh seperti “robot” yang minus karakter, minus kebijakan dan kebajikan.


Segala sesuatu yang terbaik telah diberikan oleh orangtua, namun hasil yang diharapkan sangat jauh dari yang di harapkan. Mereka menjadi anak yang kurang berbakti, tidak sopan kepada orang yang lebih tua, berkata-kata kasar, menyusahkan dan sangat tergantung pada fasilitas orangtua (dominasi limbic system). Ingatlah pada kegunaan PFC dalam ilmu neuroscience: anak memiliki PFC, kapasitas yang tak terbatas untuk berfikir. Peran orang tua yang sangat monoton bahkan cenderung berjarak/ menjauh-menyebabkan mereka tumbuh menjadi pribadi yang sulit dimengerti.


Perjalanan hidup tidak ada yang sempurna. Kebanyakan anak-anak telah melalui banyak hal tanpa adanya pengawasan dan bimbingan yang memadai. Tak jauh dari rumah Anda, ada keluarga yang memiliki tontonan TV kabel yang tak disensor & tak layak ditonton sang anak, atau acara TV reguler yang tidak memenuhi standar untuk ditonton anak-anak. Fasilitas wifi yang tak berbatas memperparah keadaan, dimana anak dengan bebas memilih tontonan, berita dan hiburan yang disukai. Di samping rumah Anda, ada keluarga yang sangat memanjakan anaknya tanpa pernah mengajari mereka konsekuensi (baca: punishment) atas tindakan mereka.


Apakah hal ini merusak PFC? Anda sangat tahu apa jawabannya berikut akibat yang akan menimpa mereka di kemudian hari.


Ada apa yang salah di sini? Mengandalkan parenting pada sistem pendidikan, teknologi, televisi dan entertainment yang serba instan. Informasi datang hanya dari satu arah, mempengaruhi limbic system, yang tidak disadari sang anak. Hasilnya, kemampuan PFC otak untuk melakukan fungsi-fungsi pemaknaan nilai-nilai; berkonsentrasi; menyelaraskan pikiran dan tindakan dengan tujuan; pengendalian diri/ ketekunan; berempati; (sabar) dalam menunda kenikmatan; serta pengambilan keputusan dan perencanaan menjadi kurang terasah.


Dari sisi neuroscience, pengalaman emosi apapun yang dialami sang anak melibatkan indra pendengaran, indra penglihatan, indra penciuman, dan indra perasa, indra peraba akan disimpan otak berupa “data”, ia adalah “makanan otak”. Jangan biarkan piranti yang merupakan karunia yang membedakan manusia dengan binatang ini diisi oleh sampah, spam, tontonan dan content yang tidak berkualitas dan tidak memberikan nilai tambah. Saat ini ada banyak sekali bahan-bahan ringan sarat hiburan di genggaman Anda dan anak Anda, dan terkadang menjadi bahan tertawaan yang lucu, tapi percayalah ke depan hal/ kebiasaan saat ini dianggap kecil dan tak terlihat ini akan menjadi sumber kekecewaan dan penyesalan di kemudian hari.


Ibarat mengabaikan dan melanggar kaidah dan hukum alam: proses mematangkan dan mencerdaskan anak melalui pola pengasuhan yang berbasis neuroscience dan talent management-yang seharusnya membutuhkan waktu tahunan-telah dicederai oleh upaya-upaya “mem-bypass proses” agar mereka secara instant menjadi cerdas, namun miskin satu hal: kebijakan dan kebajikan. Melatih PFC yang sehat dibutuhkan kesadaran atau mindfulness para orang tua dalam memilah content dan mengajarkan pemaknaan kepada mereka. Baca dan pahamilah situasi dan kondisi emosi mereka.


Ajaklah mereka berfikir menggunaan PFC, mengajak berdialog sesuai dengan nilai-nilai keluarga dan agama Anda, dan bimbinglah mereka dengan menjadi role model yang baik bagi mereka. Bagaimana dengan keluarga Anda?



Sumber:
Seminar NeuroParenting, oleh Dr. Amir Zuhdi
Buku “Rahasia Anak Super: Personal Conditioning” oleh Shifu Yonathan Purnomo
Buku dan jurnal Talent Management