Artikel ini membahas kasus menarik pada sebuah perusahaan lokal namun strategis. Berawal dari diangkatnya CEO dengan putusan suara terbanyak, CEO kemudian mengemban tugas dari para Pemegang Saham untuk meningkatkan nilai perusahaan, dengan indikator-indikator finansial dan operasional yang telah ditetapkan sebelumnya. Pencapaian terhadap target indikator tersebut yang akan di-review kembali oleh Pemegang Saham pada akhir kuartal.
Secara hukum, sang CEO telah sah diangkat sebagai Direktur Utama perusahaan, namun bukan berarti permasalahan akan diselesaikan sendiri oleh kepemimpinan sang CEO. Karena yang paling berpengaruh terhadap baik buruknya performa CEO pada kuartal-kuartal mendatang adalah kemampuan sang CEO dalam menggerakkan jajaran perusahaannya dan mengelola perusahaan dengan etika dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jadi, segera setelah sang CEO tersebut diangkat, maka mulailah CEO tersebut mengumpulkan data-data terkait dengan perusahaan, mempelajari aspek teknis operasional perusahaan hingga melakukan kunjungan/ inspeksi ke lapangan. Dari studi awal, CEO kemudian mulai menjalankan janjinya kepada Pemegang Saham berupa program-program untuk merealisasikan indikator kinerja yang disepakati. Sehingga berdasarkan studi pendahuluan tadi, CEO merasa "sangat confidence" karena telah memiliki bekal cukup untuk mengeksekusi projek yang panjang serta ambisius–dan hampir pasti belum pernah dilakukan pada perusahaan ini sebelumnya.
Maka segera setelah gong perubahan dibunyikan, "tim sukses"pun dibentuk untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Pada awalnya tim sukses tidak yakin akan kesuksesan program tersebut. Artinya, ada keraguan tim sukses terhadap bagaimana program tersebut dijalankan dan bagaimana penerimaan program tersebut ketika dijalankan nantinya oleh jajaran perusahaan. Setelah negosiasi yang alot, maka tim suksespun bersedia menjalankan komitmennya untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh sang CEO.
Begitu beberapa tahap pelaksanaan program terlampaui, hingga ke satu tahap yang sedang berada dalam proses penyelesaian, terjadi satu kejadian menarik: program manajemen perubahan yang semula didengung-dengungkan tersebut "berbalik haluan" atau kembali ke "ground zero". Tim sukses yang mengetahui kejadian ini kemudian mulai mencari penyebab mengapa sang CEO yang membawa pembaharuan ini merubah keputusannya.
Para pembaca yang budiman, menyimak kasus di atas ternyata kepemimpinan seorang CEO tidaklah semata-mata hanya karena adanya "status hukum". Artinya pada saat seseorang menduduki tampuk pimpinan, skill berikut kompetensi kepemimpinan tersebut pada kenyataannya tengah "diuji". Setidaknya ada 3 uji kepemimpinan yang harus dilalui:
Ujian Pertama: Uji Intuisi Kepemimpinan
Dengan melakukan pemetaan dan pengamatan terhadap segala aspek di perusahaan, maka pemimpin akan langsung mendapatkan wawasan atau pandangan terhadap bagaimana tantangan/ hambatan perusahaan ke depan dan hal-hal penting apa yang perlu diprioritaskan untuk dibenahi. Intuisi kepemimpinan bukan serta merta didapatkan dari "langit", namun berasal pengalaman pemimpin. Pemetaan dan pengamatan tersebut kemudian diterjemahkan dalam bentuk perencanaan. Tujuannya adalah agar peta permasalahan serta strategi pemecahannya dapat terstruktur dan terukur.
Berkaca pada kasus di atas, perencanaan yang dilakukan ternyata mengabaikan kompleksitas, sejarah organisasi, studi terhadap naik turunnya performa perusahaan dan analisis strategis yang dilakukan kurang mendalam (terkait politis, sosial-ekonomi, dll). Di sisi lain, anak buahnya menerapkan strategi ABS (Asal Bapak Senang). Sudah alami bahwa datangnya "orang baru" ke dalam perusahaan akan membawa ketidakpastian di perusahaan, lalu reaksinya adalah "kehati-hatian" anak buah yang telah lama berada di sana atau bahkan rasa "ketidakpedulian". Sehingga akibatnya orang-orang yang berada di sekeliling pemimpin seringkali "tidak jujur" atau "berpura-pura" meskipun mereka telah memberikan data yang "valid".
Pada saat itu, pimpinan yang baru seharusnya memiliki intuisi serta daya analisis yang tajam dalam menghadapi situasi ini. Sehingga pergerakan ke depan lebih terarah dan memiliki kekuatan. Sehingga kedua hal inilah yang merupakan kegagalan "uji intuisi kepemimpinan" yang sekaligus berdampak pada reformasi di dalam organisasi.
Ujian Kedua: Uji Nyali Kepemimpinan
Ceremonial pengangkatan pimpinan organisasi (CEO) merupakan kebanggaan pribadi tersendiri dan di sisi lain, sejarah di perusahaan lokal namun strategis itu mencatat bahwa pimpinan tersebut telah dipercayakan oleh Pemegang Saham untuk mengelola perusahaan. Tentunya, Pimpinan pada saat itu memiliki kepercayaan diri dan semangat baru untuk memulai periode masa baktinya. Pimpinan dapat melakukan apapun terkait pengelolaan perusahaan melalui kewenangannya. Namun, seringkali kepercayaan diri pimpinan "yang berlebih" membawa dampak yang kurang baik bagi pribadi pimpinan dan anak buah.
Di sisi lain, mengelola dan menggerakkan anak buah tidaklah mudah, apalagi dengan menjalankan mega projek "manajemen perubahan" yang ambisius ini. Kekuatan internal dan eksternal mulai menekan sang pimpinan. Dan pada saat inilah nyali pimpinan diuji. "Intuisi" yang sebelumnya telah didapatkan ditambah "nyali" untuk menundukkan kepentingan segolongan orang atau oknum tertentu di atas kepentingan perusahaan, ini tentunya merupakan salah satu ujian berikutnya menjadi seorang pemimpin. Sehingga keberanian atau nyali untuk melakukan perbuatan hukum dan upaya strategis lainnya sangat diperlukan.
Ujian ketiga: Uji Konsistensi Kepemimpinan
Ujian ketiga yang tidak kalah beratnya adalah "uji konsistensi kepemimpinan". Melatih otot konsistensi kepemimpinan itu tidaklah mudah, pimpinan yang baik akan memperlihatkan sikap konsisten atau pantang mundur terhadap apa yang telah diputuskan. Sebagai tindak lanjutnya ia akan segera melakukan koreksi, menyampaikan teguran kepada segolongan orang atau oknum tertentu, atau bahkan tidak akan mentorelir hal-hal yang menyebabkan program tersebut berubah.
Konflik internal, tekanan politis, pendekatan serta intimidasi adalah hal yang wajar dilalui untuk sebuah perubahan. Masing-masing orang akan belajar bagaimana menerima perubahan tersebut.
Kembali kepada kasus: kinerja, akuntabilitas dan kredibilitas CEO sebagai akibat perubahan keputusan dipertanyakan; performa perusahaan kembali dipertaruhkan; dan semangat dan moral bawahan menurun, karena setiap orang merasa manajemen perubahan tidak membawa perubahan karena mempertahankan status quo segolongan orang atau oknum tertentu.
Dari kasus tersebut, untuk mensukseskan kepemimpinan seseorang, setidaknya ada tiga uji skill berikut kompetensi kepemimpinan yang harus dilalui, pembaca sekalian tentunya sudah pasti menebak apa dan bagaimana akhir cerita (pimpinan) perusahaan ini.
Secara hukum, sang CEO telah sah diangkat sebagai Direktur Utama perusahaan, namun bukan berarti permasalahan akan diselesaikan sendiri oleh kepemimpinan sang CEO. Karena yang paling berpengaruh terhadap baik buruknya performa CEO pada kuartal-kuartal mendatang adalah kemampuan sang CEO dalam menggerakkan jajaran perusahaannya dan mengelola perusahaan dengan etika dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jadi, segera setelah sang CEO tersebut diangkat, maka mulailah CEO tersebut mengumpulkan data-data terkait dengan perusahaan, mempelajari aspek teknis operasional perusahaan hingga melakukan kunjungan/ inspeksi ke lapangan. Dari studi awal, CEO kemudian mulai menjalankan janjinya kepada Pemegang Saham berupa program-program untuk merealisasikan indikator kinerja yang disepakati. Sehingga berdasarkan studi pendahuluan tadi, CEO merasa "sangat confidence" karena telah memiliki bekal cukup untuk mengeksekusi projek yang panjang serta ambisius–dan hampir pasti belum pernah dilakukan pada perusahaan ini sebelumnya.
Maka segera setelah gong perubahan dibunyikan, "tim sukses"pun dibentuk untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Pada awalnya tim sukses tidak yakin akan kesuksesan program tersebut. Artinya, ada keraguan tim sukses terhadap bagaimana program tersebut dijalankan dan bagaimana penerimaan program tersebut ketika dijalankan nantinya oleh jajaran perusahaan. Setelah negosiasi yang alot, maka tim suksespun bersedia menjalankan komitmennya untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh sang CEO.
Begitu beberapa tahap pelaksanaan program terlampaui, hingga ke satu tahap yang sedang berada dalam proses penyelesaian, terjadi satu kejadian menarik: program manajemen perubahan yang semula didengung-dengungkan tersebut "berbalik haluan" atau kembali ke "ground zero". Tim sukses yang mengetahui kejadian ini kemudian mulai mencari penyebab mengapa sang CEO yang membawa pembaharuan ini merubah keputusannya.
Para pembaca yang budiman, menyimak kasus di atas ternyata kepemimpinan seorang CEO tidaklah semata-mata hanya karena adanya "status hukum". Artinya pada saat seseorang menduduki tampuk pimpinan, skill berikut kompetensi kepemimpinan tersebut pada kenyataannya tengah "diuji". Setidaknya ada 3 uji kepemimpinan yang harus dilalui:
Ujian Pertama: Uji Intuisi Kepemimpinan
Dengan melakukan pemetaan dan pengamatan terhadap segala aspek di perusahaan, maka pemimpin akan langsung mendapatkan wawasan atau pandangan terhadap bagaimana tantangan/ hambatan perusahaan ke depan dan hal-hal penting apa yang perlu diprioritaskan untuk dibenahi. Intuisi kepemimpinan bukan serta merta didapatkan dari "langit", namun berasal pengalaman pemimpin. Pemetaan dan pengamatan tersebut kemudian diterjemahkan dalam bentuk perencanaan. Tujuannya adalah agar peta permasalahan serta strategi pemecahannya dapat terstruktur dan terukur.
Berkaca pada kasus di atas, perencanaan yang dilakukan ternyata mengabaikan kompleksitas, sejarah organisasi, studi terhadap naik turunnya performa perusahaan dan analisis strategis yang dilakukan kurang mendalam (terkait politis, sosial-ekonomi, dll). Di sisi lain, anak buahnya menerapkan strategi ABS (Asal Bapak Senang). Sudah alami bahwa datangnya "orang baru" ke dalam perusahaan akan membawa ketidakpastian di perusahaan, lalu reaksinya adalah "kehati-hatian" anak buah yang telah lama berada di sana atau bahkan rasa "ketidakpedulian". Sehingga akibatnya orang-orang yang berada di sekeliling pemimpin seringkali "tidak jujur" atau "berpura-pura" meskipun mereka telah memberikan data yang "valid".
Pada saat itu, pimpinan yang baru seharusnya memiliki intuisi serta daya analisis yang tajam dalam menghadapi situasi ini. Sehingga pergerakan ke depan lebih terarah dan memiliki kekuatan. Sehingga kedua hal inilah yang merupakan kegagalan "uji intuisi kepemimpinan" yang sekaligus berdampak pada reformasi di dalam organisasi.
Ujian Kedua: Uji Nyali Kepemimpinan
Ceremonial pengangkatan pimpinan organisasi (CEO) merupakan kebanggaan pribadi tersendiri dan di sisi lain, sejarah di perusahaan lokal namun strategis itu mencatat bahwa pimpinan tersebut telah dipercayakan oleh Pemegang Saham untuk mengelola perusahaan. Tentunya, Pimpinan pada saat itu memiliki kepercayaan diri dan semangat baru untuk memulai periode masa baktinya. Pimpinan dapat melakukan apapun terkait pengelolaan perusahaan melalui kewenangannya. Namun, seringkali kepercayaan diri pimpinan "yang berlebih" membawa dampak yang kurang baik bagi pribadi pimpinan dan anak buah.
Di sisi lain, mengelola dan menggerakkan anak buah tidaklah mudah, apalagi dengan menjalankan mega projek "manajemen perubahan" yang ambisius ini. Kekuatan internal dan eksternal mulai menekan sang pimpinan. Dan pada saat inilah nyali pimpinan diuji. "Intuisi" yang sebelumnya telah didapatkan ditambah "nyali" untuk menundukkan kepentingan segolongan orang atau oknum tertentu di atas kepentingan perusahaan, ini tentunya merupakan salah satu ujian berikutnya menjadi seorang pemimpin. Sehingga keberanian atau nyali untuk melakukan perbuatan hukum dan upaya strategis lainnya sangat diperlukan.
Ujian ketiga: Uji Konsistensi Kepemimpinan
Ujian ketiga yang tidak kalah beratnya adalah "uji konsistensi kepemimpinan". Melatih otot konsistensi kepemimpinan itu tidaklah mudah, pimpinan yang baik akan memperlihatkan sikap konsisten atau pantang mundur terhadap apa yang telah diputuskan. Sebagai tindak lanjutnya ia akan segera melakukan koreksi, menyampaikan teguran kepada segolongan orang atau oknum tertentu, atau bahkan tidak akan mentorelir hal-hal yang menyebabkan program tersebut berubah.
Konflik internal, tekanan politis, pendekatan serta intimidasi adalah hal yang wajar dilalui untuk sebuah perubahan. Masing-masing orang akan belajar bagaimana menerima perubahan tersebut.
Kembali kepada kasus: kinerja, akuntabilitas dan kredibilitas CEO sebagai akibat perubahan keputusan dipertanyakan; performa perusahaan kembali dipertaruhkan; dan semangat dan moral bawahan menurun, karena setiap orang merasa manajemen perubahan tidak membawa perubahan karena mempertahankan status quo segolongan orang atau oknum tertentu.
Dari kasus tersebut, untuk mensukseskan kepemimpinan seseorang, setidaknya ada tiga uji skill berikut kompetensi kepemimpinan yang harus dilalui, pembaca sekalian tentunya sudah pasti menebak apa dan bagaimana akhir cerita (pimpinan) perusahaan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar