
Seorang motivator ulung, Mario Teguh menyatakan orang yang bekerja pada perusahaan memiliki kekuatan hati, harapan dan cita-cita jauh diatas kekuatan si pemilik perusahaan (owner). Karena orang-orang yang bekerja dari hari ke hari merupakan penyangga bagi organisasi. Mereka yang merasakan jatuh/ bangun hingga susah dan senang selama bekerja di dalam organisasi. Secara transaksional, kuat atau lemahnya penyangga tersebut berpulang sejauh mana faith yang dimiliki oleh jajaran perusahaan tersebut dan faith yang dimiliki pemilik perusahaan.
Tulisan ini bukannya bermaksud melakukan provokasi atau menghasut anak buah untuk melawan para “atasan” tersebut, namun lebih kepada sebuah refleksi guna merubah cara pandang dan berfikir secara transaksional menjadi stratejik-holistik terkait pengelolaan performa perusahaan (PMS), unit kerja, hingga perorangan.
Bayangkan: Organisasi Tanpa PMS!
Pengelolaan organisasi tanpa sesi feedback dalam PMS adalah ibarat ”makanan tanpa garam”. Tanpa PMS, dinamika, kinerja dan prestasi orang-orang yang bekerja hingga milestone atau pencapaian perusahaan/ unit/ perorangan yang membanggakan tidak dapat teridentifikasi/ terdeteksi. PMS yang teradministrasi dengan rapi, dimana sang atasan dan bawahan dengan penuh kesadaran membukukan pencapaian target melalui KPI, memberikan laporan kegiatan pekerjaan secara sistematis, hingga mencatatkan kejadian kritikal yang membanggakan–yang layak dicatatkan oleh tinta emas perusahaan.

Di sisi lain, para atasan, manajer, atau pimpinan tidak memiliki ingatan yang baik mengenai apa yang dilakukan secara persis oleh anak buahnya, bahkan pencapaian/kesuksesan anak buah dalam kurun waktu 8 minggu pun tidak dapat diingat dengan baik. Sungguh disayangkan, sebelum ia mendapatkan apresiasi perusahaan yang layak, sang atasanlah yang diapresiasi terlebih dahulu oleh ”atasannya atasan”. Sungguh tidak adil! Sehingga lengkaplah sudah cerita ”Feedback yang Mengancam” ini. Tidak hanya mengancam harapan dan cita-cita si anak buah ke depan, bahkan ini sudah selangkah lebih maju dalam ”mematikan” karirnya. Efek demonstratif dan manipulatif sang atasan kepada ”atasannya atasan” semakin membuat si anak buah terpuruk jauh.
Ini bukanlah best practice PMS yang baik, bahkan praktik ini dapat menjadi virus yang menular kepada jajaran lain. Dalam tataran organisasi akan ditunjukkan dengan gejala-gejala: terjadinya penurunan moral, produktifitas, mengeringnya sumber daya dan mandeg-nya pelaksanaan best practice PMS itu sendiri. Result/ KPI/ pencapaian orang per orang menjadi semakin tidak reliable atau bahkan tidak wajar karena data, informasi tidak tercatat. Di sisi lain tingkat akuntabilitas seseorang di dalam melaksanakan pekerjaan tidak berimbang dengan tanggungjawab yang diemban. Artinya ada orang-orang yang dirugikan dan ada orang-orang yang diuntungkan oleh rezim ini.
Kembali si anak buah berharap agar atasan mencatatkan prestasi, pencapaian, dan karakter personal yang berhasil ia capai selama pekerjaan tersebut. Namun sang atasan entah berpura-pura lupa atau tidak peduli, bahkan tak kunjung melirik apa-apa yang telah ia lakukan.
Gol-gol tercantik telah tercatat di dalam tinta emas dunia persepakbolaan, namun apakah untuk mengeluartampilkan data-data performa terbaik di dalam perusahaan dapat dilakukan semudah statistik bola? Inilah sebuah tanda tanya besar bagi permainan yang menjunjung tinggi kerjasama dan sportifitas: di dalam suatu perusahaan/ korporasi sendiri!
PMS dan Level of Engagement Karyawan

Survey Gallup di AS menunjukkan perpindahan karyawan membebani perekonomian senilai $ 300 miliar dan sebesar 17% karyawan secara aktif tidak memiliki engagement dengan perusahaannya, dimana per hari perusahaan merugi akibat kehilangan produktifitas sebesar $13.000 per tahun.
Adapun ciri-ciri rendahnya level of engagement karyawan adalah:
1. Menghindari tanggungjawab
2. Menghindari komitmen untuk menyelesaikan pekerjaan
3. Menyimpan/ menutup-nutupi informasi
4. Menjaga jarak (tidak ikut bertanggung jawab) dari kegagalan seseorang
5. Menghindari diri untuk memberikan/ sharing informasi
Guna meningkatkan ”level of engagement” karyawan tidak hanya diupayakan oleh sistem absent yang ketat, adanya ritual meeting/ gathering, inisiasi promosi atau reward kepada karyawan, namun lebih kepada cara pandang stratejik-holistik menyangkut soft skill atasan, manager atau pimpinan perusahaan. Salah satu yang patut diteladani adalah Jack Welsh, dengan mendukung dan membicarakan orang-orang yang berprestasi di perusahaannya pada kesempatan rapat-rapat, namun di sisi lain memangkas orang-orang yang terbukti menjadi “tirani” di dalam organisasi. Yaitu orang-orang yang tidak menjalankan bahkan “mematikan” nilai-nilai fairness dalam perusahaan.
Artinya bagi Jack Welsh, program kerja, projek dan desain pekerjaan tidak hanya dilaksanakan berbasis tahun finansial, basis kontrak, dan kebutuhan perusahaan semata, namun lebih dari itu. Dalam jangka panjang hal tersebut bertujuan agar karyawan terus menerus memperlihatkan kinerja terbaik, mampu bekerja sama/ teamwork, dan mampu mengaktualisasikan diri. Sehingga semangat menjadi yang terbaik melalui kompetisi secara sehat, semangat sportifitas dan fairplay akan semakin mewarnai keseharian jajaran perusahaan. Dan akhirnya, sesi feedback bukan lagi menjadi sesi yang mengancam karir anak buah. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar