Kepemimpinan diibaratkan sebagai seorang kondaktur di tengah permainan sebuah orkestra. Kondaktur memastikan baris-baris melodi berikut harmonisasi alat musik dimainkan dengan sempurna oleh setiap pemain, sesuai dengan perannya di dalam orkestra. Kondaktur melalui gerakan-gerakannya yang khas memberikan aba-aba kepada para pemain orkestra hingga karya klasik komponis ternama tersebut selesai dimainkan.
Namun, apa yang terjadi jika terdapat kesalahan seperti nada sumbang sang pemain solo, kesalahan pemain simbal membunyikan alat musiknya, ataupun harmoni yang tidak sedap terdengar di tengah-tengah orkestra? Siapa yang akan disalahkan dan siapa yang akan bertanggungjawab pada "kesalahan-kesalahan fatal" di dalam orkestra tersebut? Jawabannya tentu saja pimpinan orkestra yang sedang tertimpa sial tersebut.
Dari ilustrasi di atas, kesalahan sekecil apapun tidak dapat ditolerir, karena performa dan citra tim orkestra tengah diperdengarkan dan dipertaruhkan di depan publik. Namun sejatinya untuk mencari penyebab pasti mengapa terjadi ketidakharmonisan "di dunia nyata" antara pimpinan dan anak buah pada kenyataannya memang tidaklah semudah di dalam sebuah orkestra.
Ketika Sandiwara itu Berakhir...
Terdapat banyak sekali kejadian yang "menggelikan" di dalam organisasi dimana pimpinan tidak mengerti atau peka terhadap "kebutuhan azasi" jajarannya. Atau dimana pimpinan mempercayakan segala urusan dan keputusan terkait people management kepada wakil pimpinan atau bahkan kepada orang kepercayaannya. Dan seringkali di akhir cerita pimpinan akhirnya bertanya mengenai sebab-musabab kegagalan implementasi program: "Kenapa teman-teman tidak buy in terhadap program ini? "Mengapa kalian baru mengatakannya sekarang?" "Mengapa kalian tidak mau terbuka?" Kemudian jawaban anak buah tidak kalah tragis di mata pimpinan: "Bapak tidak pernah memberikan kesempatan kepada kami untuk membahas program ini.""Kenapa Bapak baru bertanya kepada kami sekarang?" atau "Bapak terlalu memaksakan diri dengan program semacam itu." Ini adalah sebuah sandiwara tragis "real time" di tengah korporasi yang memakan biaya besar, dan sedari awal sudah menggambarkan betapa tidak seiramanya suara antara pimpinan dengan jajarannya.
Bayangkan jika sandiwara ini dibumbui dengan "subjektifitas pimpinan" yang cenderung mempercayai laporan orang kepercayaannya, atau membedakan seorang terhadap orang-orang lainnya. Sandiwara tersebut akan bertambah seru dan penuh lika-liku bak film India.
Terjadinya subjektifitas pimpiman mengindikasikan komunikasi yang kurang baik atau bahkan secara ekstrim terdapat ketidakpercayaan antara pimpinan dengan jajarannya. Artinya pimpinan menyerahkan pendapat kedua atau second opinion pada orang kurang tepat dalam artian tidak pada level orang untuk menilai kinerja, kapasitas bahkan pribadi seseorang.
Lalu apa akibat dari komunikasi bertingkat tersebut bagi perusahaan? Dalam jangka panjang nilai-nilai open feedback, fairplay, kompetisi yang sehat, innovasi, bahkan proaktifitas menjadi semakin terkikis karena karena adanya kaki-tangan perantara yang menyampaikan informasi yang seharusya tersistematis di dalam sebuah sistem-sistem.
Sandiwara ini seharusnya seharusnya harus segera diakhiri begitu diketahui gejalanya, dimana sebenarnya terdapat banyak mekanisme yang mengukur seberapa besar harmonisasi antara pimpinan dengan jajarannya. Berbagai mekanisme HR yang dimaksud untuk mengukur, memprediksi dan menilai tingkat harmonisasi pimpinan dengan jajarannya di dalam suatu organisasi, adalah: performance appraisal, value measurement system, 360 degree assessment, employee satisfaction survey, employee award, employee counseling, kotak surat, dan perangkat-perangkat objective lainnya.
"See – Do – Get" Effect Pimpinan
Pimpinan yang subjektif adalah pimpinan yang tidak lulus uji intuisi dan uji konsistensi. Tujuan paling utama pimpinan adalah mementingkan power serta "penguatan citra" dirinya. Pimpinan dalam rangka mewujudkan tujuannya memilih berpolemik, memberikan janji-janji dan target yang tak masuk akal kepada Pemegang Saham, hingga memanfaatkan anak buahnya untuk tujuan-tujuan tertentu.
Di sisi personal, status quo kepemimpinan menguat karena berhasil mendepak "para penyanyi sumbang" yang menginginkan perubahan. Di tataran organisasi, terjadilah "kerugian besar perusahaan" sebagai akibat hilangnya ide kreatif & innovasi karyawan dan bahkan eksodus orang-orang pintar untuk mencari perusahaan yang lebih baik dan sehat untuk mecurahkan ide-ide dan perubahan.
Lalu apa hasil yang didapat pimpinan? Anak buah yang semula kreatif dan inovatif cenderung menjadi submisif, masa bodoh, dan bahkan tidak mempertanggungjawabkan pekerjaannya terhadap pimpinan dominan tersebut. Dan yang sangat disayangkan adalah pimpinan tidak lagi mendapatkan feedback/ umpan balik yang ditunggu-tunggu untuk perbaikan kinerja unitnya. Intinya "business as usual".
Di sisi lain, pimpinan yang objektif menggunakan ketiga hal berupa: intuisi, nyali dan konsistensi kepimpinan secara berimbang. Pimpinan yang ingin harmonisasi yang berimbang dengan jajarannya akan selalu mengkomunikasikan harapan-harapan terkait kinerja unit kepada jajarannya melalui cara yang tersistematis, yakni: performance appraisal; lalu secara periodik pimpinan akan menilai secara keseluruhan apakah nilai-nilai korporasi tetap kukuh dipegang melalui value measurement system. Guna mengukur efektifitas atau kekuatan tim di dalam suatu unit/ korporasi, digunakan 360 degree assessment sehingga kekurangan dan kekuatan tim dapat dipetakan. Lalu secara spesifik dan periodik, perusahaan dalam menilai tingkat kepuasan karyawan melakukan employee satisfaction survey, mulai dari karyawan di kantor pusat hingga karyawan di lapangan. Dan ada banyak lagi implementasi yang disesuaikan dengan size organisasi dan event/ ritual organisasi dalam menciptakan hubungan harmonis dengan karyawannya, seperti: employee award, employee counseling, kotak surat dan program lainnya.
Lalu apa hasil yang didapat pimpinan? Anak buah menjadi partisipatif, bersemangat, kreatif, inovatif dan berkembang seiring dengan bertumbuhnya kepemimpinan sang pimpinan serta berkembangnya organisasi.
Penutup
Sebagai penutup, terdapat 2 pembelajaran penting dalam artikel singkat ini: pelajaran pertama, pimpinan yang senantiasa menggunakan intuisi, nyali dan konsistensi kepimpinan secara berimbang akan senantiasa mendapatkan masukan yang objektif yang diharapkan, meskipun hal itu jauh dari ekspektasi sang pimpinan.
Pelajaran kedua, suara-suara sumbang dari para penyanyi sumbang yang terdengar di dalam organisasi sebenarnya bukanlah ancaman atau kemunduran bagi pemimpin dan kepemimpinan di dalam organisasi. Namun suara-suara tersebut adalah representasi dari keberagaman, kekayaan, dan kebijakan hidup yang khas dan dimiliki oleh jajarannya.
Namun, apa yang terjadi jika terdapat kesalahan seperti nada sumbang sang pemain solo, kesalahan pemain simbal membunyikan alat musiknya, ataupun harmoni yang tidak sedap terdengar di tengah-tengah orkestra? Siapa yang akan disalahkan dan siapa yang akan bertanggungjawab pada "kesalahan-kesalahan fatal" di dalam orkestra tersebut? Jawabannya tentu saja pimpinan orkestra yang sedang tertimpa sial tersebut.
Dari ilustrasi di atas, kesalahan sekecil apapun tidak dapat ditolerir, karena performa dan citra tim orkestra tengah diperdengarkan dan dipertaruhkan di depan publik. Namun sejatinya untuk mencari penyebab pasti mengapa terjadi ketidakharmonisan "di dunia nyata" antara pimpinan dan anak buah pada kenyataannya memang tidaklah semudah di dalam sebuah orkestra.
Ketika Sandiwara itu Berakhir...
Terdapat banyak sekali kejadian yang "menggelikan" di dalam organisasi dimana pimpinan tidak mengerti atau peka terhadap "kebutuhan azasi" jajarannya. Atau dimana pimpinan mempercayakan segala urusan dan keputusan terkait people management kepada wakil pimpinan atau bahkan kepada orang kepercayaannya. Dan seringkali di akhir cerita pimpinan akhirnya bertanya mengenai sebab-musabab kegagalan implementasi program: "Kenapa teman-teman tidak buy in terhadap program ini? "Mengapa kalian baru mengatakannya sekarang?" "Mengapa kalian tidak mau terbuka?" Kemudian jawaban anak buah tidak kalah tragis di mata pimpinan: "Bapak tidak pernah memberikan kesempatan kepada kami untuk membahas program ini.""Kenapa Bapak baru bertanya kepada kami sekarang?" atau "Bapak terlalu memaksakan diri dengan program semacam itu." Ini adalah sebuah sandiwara tragis "real time" di tengah korporasi yang memakan biaya besar, dan sedari awal sudah menggambarkan betapa tidak seiramanya suara antara pimpinan dengan jajarannya.
Bayangkan jika sandiwara ini dibumbui dengan "subjektifitas pimpinan" yang cenderung mempercayai laporan orang kepercayaannya, atau membedakan seorang terhadap orang-orang lainnya. Sandiwara tersebut akan bertambah seru dan penuh lika-liku bak film India.
Terjadinya subjektifitas pimpiman mengindikasikan komunikasi yang kurang baik atau bahkan secara ekstrim terdapat ketidakpercayaan antara pimpinan dengan jajarannya. Artinya pimpinan menyerahkan pendapat kedua atau second opinion pada orang kurang tepat dalam artian tidak pada level orang untuk menilai kinerja, kapasitas bahkan pribadi seseorang.
Lalu apa akibat dari komunikasi bertingkat tersebut bagi perusahaan? Dalam jangka panjang nilai-nilai open feedback, fairplay, kompetisi yang sehat, innovasi, bahkan proaktifitas menjadi semakin terkikis karena karena adanya kaki-tangan perantara yang menyampaikan informasi yang seharusya tersistematis di dalam sebuah sistem-sistem.
Sandiwara ini seharusnya seharusnya harus segera diakhiri begitu diketahui gejalanya, dimana sebenarnya terdapat banyak mekanisme yang mengukur seberapa besar harmonisasi antara pimpinan dengan jajarannya. Berbagai mekanisme HR yang dimaksud untuk mengukur, memprediksi dan menilai tingkat harmonisasi pimpinan dengan jajarannya di dalam suatu organisasi, adalah: performance appraisal, value measurement system, 360 degree assessment, employee satisfaction survey, employee award, employee counseling, kotak surat, dan perangkat-perangkat objective lainnya.
"See – Do – Get" Effect Pimpinan
Pimpinan yang subjektif adalah pimpinan yang tidak lulus uji intuisi dan uji konsistensi. Tujuan paling utama pimpinan adalah mementingkan power serta "penguatan citra" dirinya. Pimpinan dalam rangka mewujudkan tujuannya memilih berpolemik, memberikan janji-janji dan target yang tak masuk akal kepada Pemegang Saham, hingga memanfaatkan anak buahnya untuk tujuan-tujuan tertentu.
Di sisi personal, status quo kepemimpinan menguat karena berhasil mendepak "para penyanyi sumbang" yang menginginkan perubahan. Di tataran organisasi, terjadilah "kerugian besar perusahaan" sebagai akibat hilangnya ide kreatif & innovasi karyawan dan bahkan eksodus orang-orang pintar untuk mencari perusahaan yang lebih baik dan sehat untuk mecurahkan ide-ide dan perubahan.
Lalu apa hasil yang didapat pimpinan? Anak buah yang semula kreatif dan inovatif cenderung menjadi submisif, masa bodoh, dan bahkan tidak mempertanggungjawabkan pekerjaannya terhadap pimpinan dominan tersebut. Dan yang sangat disayangkan adalah pimpinan tidak lagi mendapatkan feedback/ umpan balik yang ditunggu-tunggu untuk perbaikan kinerja unitnya. Intinya "business as usual".
Di sisi lain, pimpinan yang objektif menggunakan ketiga hal berupa: intuisi, nyali dan konsistensi kepimpinan secara berimbang. Pimpinan yang ingin harmonisasi yang berimbang dengan jajarannya akan selalu mengkomunikasikan harapan-harapan terkait kinerja unit kepada jajarannya melalui cara yang tersistematis, yakni: performance appraisal; lalu secara periodik pimpinan akan menilai secara keseluruhan apakah nilai-nilai korporasi tetap kukuh dipegang melalui value measurement system. Guna mengukur efektifitas atau kekuatan tim di dalam suatu unit/ korporasi, digunakan 360 degree assessment sehingga kekurangan dan kekuatan tim dapat dipetakan. Lalu secara spesifik dan periodik, perusahaan dalam menilai tingkat kepuasan karyawan melakukan employee satisfaction survey, mulai dari karyawan di kantor pusat hingga karyawan di lapangan. Dan ada banyak lagi implementasi yang disesuaikan dengan size organisasi dan event/ ritual organisasi dalam menciptakan hubungan harmonis dengan karyawannya, seperti: employee award, employee counseling, kotak surat dan program lainnya.
Lalu apa hasil yang didapat pimpinan? Anak buah menjadi partisipatif, bersemangat, kreatif, inovatif dan berkembang seiring dengan bertumbuhnya kepemimpinan sang pimpinan serta berkembangnya organisasi.
Penutup
Sebagai penutup, terdapat 2 pembelajaran penting dalam artikel singkat ini: pelajaran pertama, pimpinan yang senantiasa menggunakan intuisi, nyali dan konsistensi kepimpinan secara berimbang akan senantiasa mendapatkan masukan yang objektif yang diharapkan, meskipun hal itu jauh dari ekspektasi sang pimpinan.
Pelajaran kedua, suara-suara sumbang dari para penyanyi sumbang yang terdengar di dalam organisasi sebenarnya bukanlah ancaman atau kemunduran bagi pemimpin dan kepemimpinan di dalam organisasi. Namun suara-suara tersebut adalah representasi dari keberagaman, kekayaan, dan kebijakan hidup yang khas dan dimiliki oleh jajarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar