Jumat, Maret 22, 2013

Fenomena "Piercing Corporate Veil"

Fenomena "Piercing Corporate Veil" sebagai akibat "Pengabaian Struktur Pemegang Saham" yang mengakibatkan terjadinya tumpang tindih peran BOD (maupun BOC) di lintas korporasi. Tumpang tindihnya struktur kepemilikan tersebut sebagai syarat pengambilan suara dan suatu representasi kekuatan suara BOD, akan mengakibatkan terjadimya ketimpangan komunikasi, arahan strategi, hingga mekanisme pengambilan keputusan BOD - pada tataran korporat. Sedangkan dalam tataran organisasi, akan terjadi ketidakjelasan dalam garis komando, garis koordinasi/ pertanggungjawaban/ pembagian tugas hingga komunikasi akan terjadi diantara jajaran perusahaan induk yang memiliki beberapa perusahaan anak, dan perusahaan anak memiliki beberapa turunan (perusahaan anak). Kompleksitas tersebut bila dibiarkan akan berdampak pada komunikasi lintas korporat.

Fenomena ini pula merupakan pengingat pengalaman penulis sebagai GCG Assessor, dimana terjadinya "Piercing Corporate Veil" ini menimbulkan kebingungan ataupun misconduct diantara Direksi Holding, Direksi Perusahaan Anak, Direksi Anak dari Perusahaan Anak yang saling tumpang tindih. Dampaknya bagi jajaran perusahaan anak dan anak dari perusahaan anak akan timbul permasalahan: siapa yang harus dipatuhi, bagaimana menyikapi bilamana antar Direktur tidak ada kecocokan, bagaimana mempertanggungjawabkan pekerjaan, kepada siapa harus mengekskalasi permasalahan atau mendapatkan arahan, hingga bagaimana menyelesaikan tugas/ pekerjaan yang diminta oleh para atasan. Pertanyaan-pertanyaan ini kembali mengemuka ditengah-tengah site visit penulis. 
Satu kejadian kecil pemicu fenomena ini, dimana kebijakan HR Holding tidak dikomunikasikan dengan baik ke perusahaan anak, dimana mereka adalah ujung tombak operasional dan lumbung pendapatan perusahaan. Menariknya, permasalahan komunikasi ini didiamkan begitu lama, yang kemudian menimbulkan, konflik, tarik ulur, karena suara-suara pegawai tidak terdengar dengan baik hingga ke Kantor Pusat. Kurangnya transparansi ini kemudian menyebabkan kemandegan pelaksanaan strategi dan kebijakan perusahaan.

Belajar dari kasus ini, pelaksanaan kepatuhan terhadap GCG tidak melulu berada pada tataran document compliance, SOP yang dimiliki perusahaan, dan aspek-aspek lain yang diaudit oleh para auditor GCG. Bahkan lebih dari itu. GCG dapat dijadikan sebagai alat diagnosis untuk mendeteksi sehat atau tidaknya suatu perusahaan, yang diperlihatkan dari struktur Pemegang Saham, Struktur BOD/ BOC yang berdampak pada terciptanya bottle neck pada alur pengambilan keputusan, independensi Direksi, hingga pengelolaan terhadap risiko. Tidak hanya sampai di situ, hasil dari diagnosis GCG akan melihat sejauhmana garis komando hubungan antar stakeholders, atau pegawai.

Memasuki tataran organisasi, kurangnya transparansi ini akan dapat dirasakan pegawai level atas, lalu menjalar hingga ke level pegawai terbawah. Sehingga dari tataran mikro ini akan berakibat pula pada aspek operasional, pencapaian target growth perusahaan, lebih lanjut menimbulkan distrust antar pegawai, yang akhirnya berpengaruh pada kesejahteraan pegawai.

Ditengah-tengah desingan kumbang yang ramai, penulis berharap agar misconduct GCG ini akan segera terurai, dan betapa besar harga yang harus dibayar dari Piercing Corporate Veil ini. Semoga saja.