Rabu, Desember 29, 2010
Kamis, Desember 23, 2010
Sebuah Resolusi di Akhir Tahun
Rasanya tahun 2010 berakhir dengan cepat, dan tahun 2011 mulai menemukan titik terangnya. Beberapa pekerjaan rumah dan target personal lain yang ingin diselesaikan hingga berakhirnya tahun 2011 seperti: memantapkan skill tulis menulis dengan merangkum makalah/ manuskrip/ pengetahuan yang akan dibukukan... mengerjakan "projek prestisius dan ambisius" di bulan-bulan mendatang... berdamai dengan diri sendiri... menjadi manusia yang lebih baik (fungsional)... dan menjadi ahli ibadah yang konsisten...
Sebuah resolusi yang tidak mudah dijalankan, namun akan menyenangkan sekaligus memberi nilai tambah bilamana di akhir tahun 2011 kerja keras ini membuahkan hasil. Semoga!
Sebuah resolusi yang tidak mudah dijalankan, namun akan menyenangkan sekaligus memberi nilai tambah bilamana di akhir tahun 2011 kerja keras ini membuahkan hasil. Semoga!
Kamis, Desember 02, 2010
Wikileaks: Ketika Whistle Blower berada di Tangan Hacker
"WikiLeaks is the first global Samizdat movement. The truth will surface even in the face of total annihilation”
www.Wikileaks.org
Menghangatnya gerakan Wikileaks, situs yang tidak memiliki hubungan dengan Wikipedia, benar-benar menyita perhatian dunia. Aktifitas Wikileaks yang membeberkan berbagai dokumen rahasia Negara ini kemudian dikecam oleh politisi, media dan lembaga-lembaga pemerintahan yang berkepentingan.
Sebagai organisasi yang mengklaim sebagai “gerakan global samidzat*” pertama, Wikileaks dianggap membahayakan pasukan asing yang sedang bertugas di timur tengah, menghancurkan kredibilitas negara AS dan sekutu-sekutunya, hingga membatasi gerak diplomatik antar negara.
Dan saat penulisan blog ini, salah satu pendiri Wikileaks pun tengah diburu interpol untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
The Global Samidzat*
Sebetulnya apa visi dan misi Wikileaks membocorkan dokumen rahasia negara? Apa manfaatnya bagi publik? Dan tatanan seperti apa yang diinginkan Wikileaks bagi dunia jurnalisme?
Misi didirikannya Wikileaks adalah untuk memberikan berita dan informasi kepada publik. Prinsip yang mendasari kegiatan Wikileaks adalah kebebasan berbicara dan media penerbitan, memperbaiki sejarah, dan mendukung hak-hak manusia menciptakan/ mencetak sejarah baru, sebagaimana termaktub dalam deklarasi HAM pasal 19.
Wikileaks telah mengungkap setidaknya tentang (1) perang, pembunuhan, tindak penahanan; (2) pemerintahan, perdagangan dan transparansi korporasi;(3) tekanan terhadap kebebasan berbicara dan pers bebas; (4) diplomasi, mata-mata dan konter-intelijen;(5) ekologi, iklim, alam, dan ilmu pengetahuan; korupsi, keuangan, pajak dan perdagangan;(6) proses sensor teknologi dan filtrasi internet; (7) perkumpulan dan organisasi keagamaan lainnya; dan (8) tindak kejahatan, kekerasan, pengrusakan.
Melalui aktifitasnya, situs Wikileaks menginginkan adanya “good governance” yang terbangun melalui “kekuatan jurnalisme”.
Sesuai dengan judul artikel di atas, Wikileaks berani membuka aib AS dan para negara sekutu dalam menyerang Irak dan Afganistan, berikut tindakan-tindakan represif yang mereka lakukan. Belum lagi pengungkapan dokumen di bidang-bidang lain.
Refleksi Wikileaks Vs. GCG
Sesuai dengan 4 prinsip utama GCG, yakni: Transparansi, Akuntabilitas, Tanggungjawab, Independensi, dan Kewajaran, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan Wikileaks. Organisasi ini dengan teguh menyandang prinsip tersebut. Namun dari praktik GCG saat ini, aktifitas Wikileaks merusak tatanan GCG yang berjalan saat ini. Wikileaks seolah-olah merupakan kekuatan dari luar yang berusaha mengungkapkan “kebenaran” dibalik kebenaran yang kita yakini saat ini melalui publikasi dokumen yang disajikan situs Wikileaks. Sehingga keberanian Wikileaks di dalam mengungkapkan informasi dari sisi “GCG yang dipahami Wikileaks” sangatlah berisiko besar, baik bagi negara-negara dimana data-data tsb berasal, maupun keselamatan pendiri dan aktifis Wikileaks.
Dibalik kontroversi Wikileaks, terdapat lesson learned, trend, new wave yang penulis dapatkan hari ini, yakni:
1. Whistle Blower sesungguhnya tidak lagi menggenal batas-batas geografis.
2. Fungsi check and balance kini menemukan babak baru, tidak hanya di tangan lembaga/ institusi sebagaimana yang diatur perundang-undangan suatu negara, namun berada di tangan sekelompok hacker.
3. Kaidah jurnalistik semakin dipahami sebagai jurnalistik "tanpa sensor", riil, tanpa mengenal apakah informasi tsb memiliki klasifikasi dokumen (rahasia/ publik), merupakan data primer.
4. Good governance negara-negara semakin dituntut untuk berlaku transparan, adil, dan bertanggung jawab sebagai akibat adanya tekanan gerakan ini.
=========
*Samidzat: istilah yang berasal dari bahasa Rusia. Merupakan gerakan jurnalistik/ publikasi bawah tanah yang menyuarakan aspirasi rakyat. Dokumen rahasia dibuat/ disalin/ diperbanyak secara perorangan, dibaca dari tangan ke tangan. Begitu rahasianya dokumen tersebut diperlakukan, karena jika tertangkap polisi rahasia, hukumannya sangat berat.
Lebih lengkap, simak:
* Definisi Samidzat di Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Samizdat
* Situs Wikileaks: http://wikileaks.org/
* Tentang Wikileaks: http://wikileaks.org/about.html
* "Bocoran" Wikileaks: http://cablegate.wikileaks.org/
www.Wikileaks.org
Menghangatnya gerakan Wikileaks, situs yang tidak memiliki hubungan dengan Wikipedia, benar-benar menyita perhatian dunia. Aktifitas Wikileaks yang membeberkan berbagai dokumen rahasia Negara ini kemudian dikecam oleh politisi, media dan lembaga-lembaga pemerintahan yang berkepentingan.
Sebagai organisasi yang mengklaim sebagai “gerakan global samidzat*” pertama, Wikileaks dianggap membahayakan pasukan asing yang sedang bertugas di timur tengah, menghancurkan kredibilitas negara AS dan sekutu-sekutunya, hingga membatasi gerak diplomatik antar negara.
Dan saat penulisan blog ini, salah satu pendiri Wikileaks pun tengah diburu interpol untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
The Global Samidzat*
Sebetulnya apa visi dan misi Wikileaks membocorkan dokumen rahasia negara? Apa manfaatnya bagi publik? Dan tatanan seperti apa yang diinginkan Wikileaks bagi dunia jurnalisme?
Misi didirikannya Wikileaks adalah untuk memberikan berita dan informasi kepada publik. Prinsip yang mendasari kegiatan Wikileaks adalah kebebasan berbicara dan media penerbitan, memperbaiki sejarah, dan mendukung hak-hak manusia menciptakan/ mencetak sejarah baru, sebagaimana termaktub dalam deklarasi HAM pasal 19.
Wikileaks telah mengungkap setidaknya tentang (1) perang, pembunuhan, tindak penahanan; (2) pemerintahan, perdagangan dan transparansi korporasi;(3) tekanan terhadap kebebasan berbicara dan pers bebas; (4) diplomasi, mata-mata dan konter-intelijen;(5) ekologi, iklim, alam, dan ilmu pengetahuan; korupsi, keuangan, pajak dan perdagangan;(6) proses sensor teknologi dan filtrasi internet; (7) perkumpulan dan organisasi keagamaan lainnya; dan (8) tindak kejahatan, kekerasan, pengrusakan.
Melalui aktifitasnya, situs Wikileaks menginginkan adanya “good governance” yang terbangun melalui “kekuatan jurnalisme”.
Sesuai dengan judul artikel di atas, Wikileaks berani membuka aib AS dan para negara sekutu dalam menyerang Irak dan Afganistan, berikut tindakan-tindakan represif yang mereka lakukan. Belum lagi pengungkapan dokumen di bidang-bidang lain.
Refleksi Wikileaks Vs. GCG
Sesuai dengan 4 prinsip utama GCG, yakni: Transparansi, Akuntabilitas, Tanggungjawab, Independensi, dan Kewajaran, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan Wikileaks. Organisasi ini dengan teguh menyandang prinsip tersebut. Namun dari praktik GCG saat ini, aktifitas Wikileaks merusak tatanan GCG yang berjalan saat ini. Wikileaks seolah-olah merupakan kekuatan dari luar yang berusaha mengungkapkan “kebenaran” dibalik kebenaran yang kita yakini saat ini melalui publikasi dokumen yang disajikan situs Wikileaks. Sehingga keberanian Wikileaks di dalam mengungkapkan informasi dari sisi “GCG yang dipahami Wikileaks” sangatlah berisiko besar, baik bagi negara-negara dimana data-data tsb berasal, maupun keselamatan pendiri dan aktifis Wikileaks.
Dibalik kontroversi Wikileaks, terdapat lesson learned, trend, new wave yang penulis dapatkan hari ini, yakni:
1. Whistle Blower sesungguhnya tidak lagi menggenal batas-batas geografis.
2. Fungsi check and balance kini menemukan babak baru, tidak hanya di tangan lembaga/ institusi sebagaimana yang diatur perundang-undangan suatu negara, namun berada di tangan sekelompok hacker.
3. Kaidah jurnalistik semakin dipahami sebagai jurnalistik "tanpa sensor", riil, tanpa mengenal apakah informasi tsb memiliki klasifikasi dokumen (rahasia/ publik), merupakan data primer.
4. Good governance negara-negara semakin dituntut untuk berlaku transparan, adil, dan bertanggung jawab sebagai akibat adanya tekanan gerakan ini.
=========
*Samidzat: istilah yang berasal dari bahasa Rusia. Merupakan gerakan jurnalistik/ publikasi bawah tanah yang menyuarakan aspirasi rakyat. Dokumen rahasia dibuat/ disalin/ diperbanyak secara perorangan, dibaca dari tangan ke tangan. Begitu rahasianya dokumen tersebut diperlakukan, karena jika tertangkap polisi rahasia, hukumannya sangat berat.
Lebih lengkap, simak:
* Definisi Samidzat di Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Samizdat
* Situs Wikileaks: http://wikileaks.org/
* Tentang Wikileaks: http://wikileaks.org/about.html
* "Bocoran" Wikileaks: http://cablegate.wikileaks.org/
Dinamika Citizen Journalism
Pesatnya perkembangan citizen journalism yang penulis ikuti secara harian dan kini menjadi "ritual wajib" bahwa "news maker" bukan hanya dari media namun dapat berasal dari individu atau perorangan.
Ide orisinil citizen journalism menjadikan WNI perantauan, WNI yang beralih menjadi WNA, dan WNI yang berada di dalam teritori Indonesia berbaur menyampaikan pengalaman, pendapat, aspirasi, saran dan keluhan/ masukan yang menggugah bagi kemajuan bangsa. Bagaikan suatu melting pot, pembaca diajak untuk mempelajari budaya di luar negeri (perayaan, karakter bangsa, dst); bagaimana si penulis (kontributor) mengadaptasi budaya tersebut di dalam kesehariannya; memupuk rasa toleransi terhadap issue yang mengandung SARA; menyeberangi batas-batas teritori dan menjadi bagian dari warga dunia; hingga menelusuri minat, dan karakter masing-masing kontributor.
Dan tanpa terasa, bertahun-tahun sudah penulis mengikuti koki (kolom kita); global community nusantara (baltyra) sebagai silent reader, dan memiliki beberapa kontributor favorit.
Hidupnya citizen journalism serta jejaring pertemanan sosial, menggagas bahwa kita tidak lagi tergantung pada media, bahwa setiap orang dapat membuat berita, menyuarakan pendapat pribadi, hingga mengungkapkan fakta-fakta langsung dari tempat kejadian.
Sehingga membaca artikel yang langsung diceritakan oleh world citizen hendaknya semakin memperkaya khazanah pengetahuan serta karakter bangsa kita. Semoga!
Ide orisinil citizen journalism menjadikan WNI perantauan, WNI yang beralih menjadi WNA, dan WNI yang berada di dalam teritori Indonesia berbaur menyampaikan pengalaman, pendapat, aspirasi, saran dan keluhan/ masukan yang menggugah bagi kemajuan bangsa. Bagaikan suatu melting pot, pembaca diajak untuk mempelajari budaya di luar negeri (perayaan, karakter bangsa, dst); bagaimana si penulis (kontributor) mengadaptasi budaya tersebut di dalam kesehariannya; memupuk rasa toleransi terhadap issue yang mengandung SARA; menyeberangi batas-batas teritori dan menjadi bagian dari warga dunia; hingga menelusuri minat, dan karakter masing-masing kontributor.
Dan tanpa terasa, bertahun-tahun sudah penulis mengikuti koki (kolom kita); global community nusantara (baltyra) sebagai silent reader, dan memiliki beberapa kontributor favorit.
Hidupnya citizen journalism serta jejaring pertemanan sosial, menggagas bahwa kita tidak lagi tergantung pada media, bahwa setiap orang dapat membuat berita, menyuarakan pendapat pribadi, hingga mengungkapkan fakta-fakta langsung dari tempat kejadian.
Sehingga membaca artikel yang langsung diceritakan oleh world citizen hendaknya semakin memperkaya khazanah pengetahuan serta karakter bangsa kita. Semoga!
Selasa, November 16, 2010
Ted.com: Berbagi Pengetahuan secara Global
Belakangan, trend "knowledge sharing" atau berbagi pengetahuan tidak hanya terfokus di lingkungan korporasi, yang dampaknya akan memperkaya intellectual capital korporasi. Namun trend ini semakin tersebar merata bagi masyarakat luas (society).
Belakangan ini penulis menyimak sebuah website menarik pembaca sekalian ikuti: www.Ted.com, sebuah lembaga non-profit yang ingin menyebarkan ide-ide dari dan ke seluruh belahan dunia. Pembicara direkam dalam sebuah acara knowledge sharing, mempresentasikan ide yang didapat dari temuan, pengamatan, pengalaman, perjalanan, dst, dalam durasi 7, 8 hingga 18 menit. Dibagikan secara jenaka, serius, santai, hingga yang menimbulkan perasaan haru. Berikut ini beberapa acara knowledge sharing yang menarik, pilihan penulis:
Simak bagaimana Melinda Gates (istri dari Bill Gates) berbagi pengalamannya selama bekerja di NGO, dan keinginannya agar NGO dapat memberikan layanan seefektif dan seefisien "Coca Cola". Menurut observasi Gates, minuman Coca Cola mampu mencapai gurun afrika yang terpencil sekalipun sebagai penawar haus, lalu mengapa bantuan NGO tidak bisa? Pesan kampanye kesehatan bahkan dikritik, diulas dan dibandingkan dengan marketing Coca Cola.
Seorang ilmuwan eksentrik, Shimon Steinberg, yang berbagi pengetahuannya di bidang serangga. Beliau ingin menyeimbangkan alam dengan penggunaan "serangga predator", sang "pemangsa hama" alami. Sehingga untuk merawat tanaman tidak lagi memerlukan bahan kimia: cukup dengan menyebarkan beberapa kapsul yang berisikan "serangga predator mikro" yang tak terhitung banyaknya untuk beberapa hektar tanaman.
Seorang psikolog Inge Missmahl, membagikan pengalamannya sepulang dari Afganistan. Dedikasinya untuk memberikan konseling kepada janda-janda dan para korban perang lainnya (wanita dan anak-anak) menggugah penulis. Ia membentuk kelompok konseling masyarakat semacam multilevel konseling. Beliau mengharapkan kelompok konseling mandiri ini mampu mengobati mereka dari luka-luka bathin yang diakibatkan oleh peperangan.
Juga seorang ilmuwan Nicholas Christakis, melakukan percobaan dengan menyebarkan "virus flu" jinak untuk dapat diaplikasikan ke dalam metode marketing. Ia menyatakan jika "virus" tersebut berupa produk/ jasa baru, dengan menggunakan metode penyebaran ini, berapa banyak orang yang akan tertular dapat diperkirakan menggunakan software yang ia miliki.
Simak juga Patrick Chappatte, yang menceritakan tentang kekuatan dari kartun; bagaimana penerimaan kartun di beberapa negara; dan masa depan kartun ke depan-mengingat semakin terbatasnya oplah media cetak-sebagai media ekspresi dan profesi kartunis.
Dan masih banyak lagi ide-ide menarik yang dipersentasikan secara langsung di ted.com.
Penulis rasa trend "berbagi pengetahuan" secara live melalui situs-situs semacam www.ted.com akan menjadi trend di tahun-tahun mendatang. Di mana ide-ide akan disebar secara gratis, mencetuskan masuknya para enterpreneur, para dermawan dan penggiat sosial kemasyarakatan bagi terciptanya dunia yang lebih baik. Semoga Saja!
Belakangan ini penulis menyimak sebuah website menarik pembaca sekalian ikuti: www.Ted.com, sebuah lembaga non-profit yang ingin menyebarkan ide-ide dari dan ke seluruh belahan dunia. Pembicara direkam dalam sebuah acara knowledge sharing, mempresentasikan ide yang didapat dari temuan, pengamatan, pengalaman, perjalanan, dst, dalam durasi 7, 8 hingga 18 menit. Dibagikan secara jenaka, serius, santai, hingga yang menimbulkan perasaan haru. Berikut ini beberapa acara knowledge sharing yang menarik, pilihan penulis:
Simak bagaimana Melinda Gates (istri dari Bill Gates) berbagi pengalamannya selama bekerja di NGO, dan keinginannya agar NGO dapat memberikan layanan seefektif dan seefisien "Coca Cola". Menurut observasi Gates, minuman Coca Cola mampu mencapai gurun afrika yang terpencil sekalipun sebagai penawar haus, lalu mengapa bantuan NGO tidak bisa? Pesan kampanye kesehatan bahkan dikritik, diulas dan dibandingkan dengan marketing Coca Cola.
Seorang ilmuwan eksentrik, Shimon Steinberg, yang berbagi pengetahuannya di bidang serangga. Beliau ingin menyeimbangkan alam dengan penggunaan "serangga predator", sang "pemangsa hama" alami. Sehingga untuk merawat tanaman tidak lagi memerlukan bahan kimia: cukup dengan menyebarkan beberapa kapsul yang berisikan "serangga predator mikro" yang tak terhitung banyaknya untuk beberapa hektar tanaman.
Seorang psikolog Inge Missmahl, membagikan pengalamannya sepulang dari Afganistan. Dedikasinya untuk memberikan konseling kepada janda-janda dan para korban perang lainnya (wanita dan anak-anak) menggugah penulis. Ia membentuk kelompok konseling masyarakat semacam multilevel konseling. Beliau mengharapkan kelompok konseling mandiri ini mampu mengobati mereka dari luka-luka bathin yang diakibatkan oleh peperangan.
Juga seorang ilmuwan Nicholas Christakis, melakukan percobaan dengan menyebarkan "virus flu" jinak untuk dapat diaplikasikan ke dalam metode marketing. Ia menyatakan jika "virus" tersebut berupa produk/ jasa baru, dengan menggunakan metode penyebaran ini, berapa banyak orang yang akan tertular dapat diperkirakan menggunakan software yang ia miliki.
Simak juga Patrick Chappatte, yang menceritakan tentang kekuatan dari kartun; bagaimana penerimaan kartun di beberapa negara; dan masa depan kartun ke depan-mengingat semakin terbatasnya oplah media cetak-sebagai media ekspresi dan profesi kartunis.
Dan masih banyak lagi ide-ide menarik yang dipersentasikan secara langsung di ted.com.
Penulis rasa trend "berbagi pengetahuan" secara live melalui situs-situs semacam www.ted.com akan menjadi trend di tahun-tahun mendatang. Di mana ide-ide akan disebar secara gratis, mencetuskan masuknya para enterpreneur, para dermawan dan penggiat sosial kemasyarakatan bagi terciptanya dunia yang lebih baik. Semoga Saja!
Selasa, November 09, 2010
Antara Proses, KPI dan PIC dalam Manajemen Kinerja
Siang yang cukup panas, kami membahas lesson learned dari suatu organisasi yang baru saja menerapkan manajemen kinerja secara tersistem. Kemudian di tengah-tengah diskusi terdapat beberapa pembahasan, seperti:
(1) Bagaimana memperkenalkan manajemen kinerja di tengah budaya kerja yang masih komunal/ kekeluargaan? Mengingat segala sesuatunya dikerjakan bersama-sama;
(2) Bagaimana agar sistem pengelolaan manajemen kinerja berjalan secara tepat guna, dimana setiap jajaran atau insan organisasi secara akuntabel memenuhi target-target yang disyaratkan di setiap sesi pertanggungjawaban kinerja?;
(3) Bagaimana para PIC atau "penanggung jawab" pekerjaan tidak saling menyalahkan, bilamana mereka tidak mampu mencapai target yang diharapkan?
Menerapkan manajemen kinerja secara tersistem terkadang menyebabkan berbagai penyesuaian, gejolak, bahkan penolakan. Pengelolaan kinerja diukur dengan menggunakan KPI (key performance indicator) mulai dari tataran direktorat, divisi, departemen/ unit hingga individual. Ia juga memiliki dua sisi: pengelolaan kinerja mampu meningkatkan moral/ semangat jajaran perusahaan bilamana memiliki "dampak rupiah langsung" terhadap karyawan (seperti: promosi, bonus dan benefit lain)... Namun di sisi lain, kegagalan memenuhi KPI dapat dijadikan sebagai "alat represi" bagi karyawan (seperti: memberlakukan sanksi, mutasi, demosi, dll).
Beberapa kali penulis mendapatkan pengalaman di dalam menerapkan manajemen kinerja secara tersistem, dimana akibat penerapan tersebut suasana kerja yang semula tenang menjadi keruh dan penuh dengan permusuhan. Sehingga ada yang salah di balik penerapan manajemen kinerja tersebut.
Antara Proses, KPI dan PIC dalam Manajemen Kinerja
Mula-mula, untuk menyelesaikan suatu pekerjaan diperlukan serangkaian tahap pekerjaan yang terangkum di dalam prosedur.... Ada kalanya pada saat menyelesaikan pekerjaan diperlukan beberapa orang, hingga pekerjaan tersebut terselesaikan. Setiap orang yang terlibat di dalam proses tersebut diikat oleh KPI, dan orang yang diikat oleh KPI tersebut merupakan penanggung jawab/ PIC dari penugasan tersebut.
Bilamana tidak ada klaritas atau kejelasan antara proses, KPI dan PIC di dalam menyelesaikan pekerjaan, maka yang akan terjadi adalah ketidak pastian dan berakibat keruhnya suasana kerja.
Untuk menguji kembali apakah tahapan pekerjaan diselesaikan secara baik dan taat prosedur, maka kegiatan yang lazim dilakukan adalah proses audit. Hal yang menjadi bahan audit mula-mula adalah apakah proses/ prosedur/ instruksi pekerjaan telah dimiliki unit kerja/ departemen, divisi, hingga direktorat ybs. Lalu tahap kedua adalah apakah PIC atau penanggung jawab dari pekerjaan ini telah ditunjuk dan mencukupi; dan ketiga adalah apakah ada ukuran/ standar bahwa pekerjaan ini dilaksanakan/ berhasil baik.
Sehingga ke depan tidak ada lagi perdebatan, pertengkaran yang berakar dari ketidak jelasan penentuan PIC, KPI dan proses. Karena sedari awal telah ada kejelasan mengenai sebatas mana menjadi tanggung jawab para PIC, hal-hal apa yang harus dilaksanakan PIC, berikut proses/ prosedur yang mengaturnya. Semoga.
(1) Bagaimana memperkenalkan manajemen kinerja di tengah budaya kerja yang masih komunal/ kekeluargaan? Mengingat segala sesuatunya dikerjakan bersama-sama;
(2) Bagaimana agar sistem pengelolaan manajemen kinerja berjalan secara tepat guna, dimana setiap jajaran atau insan organisasi secara akuntabel memenuhi target-target yang disyaratkan di setiap sesi pertanggungjawaban kinerja?;
(3) Bagaimana para PIC atau "penanggung jawab" pekerjaan tidak saling menyalahkan, bilamana mereka tidak mampu mencapai target yang diharapkan?
Menerapkan manajemen kinerja secara tersistem terkadang menyebabkan berbagai penyesuaian, gejolak, bahkan penolakan. Pengelolaan kinerja diukur dengan menggunakan KPI (key performance indicator) mulai dari tataran direktorat, divisi, departemen/ unit hingga individual. Ia juga memiliki dua sisi: pengelolaan kinerja mampu meningkatkan moral/ semangat jajaran perusahaan bilamana memiliki "dampak rupiah langsung" terhadap karyawan (seperti: promosi, bonus dan benefit lain)... Namun di sisi lain, kegagalan memenuhi KPI dapat dijadikan sebagai "alat represi" bagi karyawan (seperti: memberlakukan sanksi, mutasi, demosi, dll).
Beberapa kali penulis mendapatkan pengalaman di dalam menerapkan manajemen kinerja secara tersistem, dimana akibat penerapan tersebut suasana kerja yang semula tenang menjadi keruh dan penuh dengan permusuhan. Sehingga ada yang salah di balik penerapan manajemen kinerja tersebut.
Antara Proses, KPI dan PIC dalam Manajemen Kinerja
Mula-mula, untuk menyelesaikan suatu pekerjaan diperlukan serangkaian tahap pekerjaan yang terangkum di dalam prosedur.... Ada kalanya pada saat menyelesaikan pekerjaan diperlukan beberapa orang, hingga pekerjaan tersebut terselesaikan. Setiap orang yang terlibat di dalam proses tersebut diikat oleh KPI, dan orang yang diikat oleh KPI tersebut merupakan penanggung jawab/ PIC dari penugasan tersebut.
Bilamana tidak ada klaritas atau kejelasan antara proses, KPI dan PIC di dalam menyelesaikan pekerjaan, maka yang akan terjadi adalah ketidak pastian dan berakibat keruhnya suasana kerja.
Untuk menguji kembali apakah tahapan pekerjaan diselesaikan secara baik dan taat prosedur, maka kegiatan yang lazim dilakukan adalah proses audit. Hal yang menjadi bahan audit mula-mula adalah apakah proses/ prosedur/ instruksi pekerjaan telah dimiliki unit kerja/ departemen, divisi, hingga direktorat ybs. Lalu tahap kedua adalah apakah PIC atau penanggung jawab dari pekerjaan ini telah ditunjuk dan mencukupi; dan ketiga adalah apakah ada ukuran/ standar bahwa pekerjaan ini dilaksanakan/ berhasil baik.
Sehingga ke depan tidak ada lagi perdebatan, pertengkaran yang berakar dari ketidak jelasan penentuan PIC, KPI dan proses. Karena sedari awal telah ada kejelasan mengenai sebatas mana menjadi tanggung jawab para PIC, hal-hal apa yang harus dilaksanakan PIC, berikut proses/ prosedur yang mengaturnya. Semoga.
Senin, November 08, 2010
Catatan Perjalanan di KA
2 minggu terakhir ini, penulis berkesempatan menempuh perjalanan via KRL. Perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan, mengingat ini bukan rute KRL yang biasa penulis tempuh. Namun di sepanjang perjalanan terdapat banyak pelajaran yang penulis dapati.
Pembangunan daerah di sepanjang KRL berkembang sangat pesat, dalam jangka 3 tahun: jembatan, jalan, perombakan lahan pertanian menjadi perumahan biasa ditemui. Demikian juga dengan penduduknya yang kian berbenah mengingat adanya kemudahan akses ke dan dari Ibu Kota untuk keperluan bisnis.
Scene 1:
Daerah yang penulis kunjungi cukup padat dan berkembang pesat. Penulis menemui sebuah keluarga yang cukup terpandang dan dapat dikatakan sebagai sesepuh di daerah tsb. Penulis kemudian menyempatkan bercakap-cakap dengan anak-anak beliau yang lulus SMU. Dari percakapan, mereka telah menamatkan SMU dan menganggur cukup lama, mengingat mereka sangat ingin mengikuti perkuliahan di Ibu Kota. Hanya saja mahalnya biaya pendidikan membuat mereka memendam keinginan melanjutkan sekolah. Tak berhenti sampai di situ, penulis kemudian menanyakan apa saja kegiatan mereka selama menganggur.
Penulis tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Karena penulis merasa mereka anak-anak yang malas berusaha, menyalahkan jerih payah orang tua yang tidak mampu memfasilitasi mereka untuk melanjutkan kuliah. Atau sebaliknya: mereka tidak dapat menjalankan aspirasi mereka sehingga kalah suara dari orang tua. Dan dari pengamatan, mereka cukup senang dengan menikmati "masa-masa tanpa kegiatan" ini, sedangkan di kiri-kanan jalan, terdapat begitu banyak peluang usaha yang dapat mereka jajaki.
Scene 2:
Dalam perjalanan pulang, bertemu pula penulis dengan pemuda-pemudi yang ingin meramaikan stadiun sepak bola. Dengan bergerombol, mereka menyanyikan yel-yel yang kurang pantas didengar telinga dan merokok sesukanya. Di tengah sesaknya penumpang, penulis memenuhi rasa ingin tahu dengan bertanya pada koordinator-yang kebetulan duduk di sebelah penulis: "Mengapa mereka tidak menonton TV saja di rumah. Toh mereka tidak perlu berdesak-desakan di sini?" Koordinator tsb menjawab: "Di stadiun kami dapat mengekspresikan diri, berteriak, bernyanyi bersama teman-teman & merasakan kebersamaan... hal yang tidak dapat kami lakukan jika berada sendiri di depan TV".
Penulis mengangguk-angguk tanda setuju. Bisa jadi begitu... Karena penulis sangat memahami di usia seperti mereka kebutuhan yang mendominasi adalah kebutuhan kebutuhan untuk diterima di suatu kelompok (berkumpul bersama teman-teman).
Kebutuhan untuk berkumpul bersama teman-teman menjadi kegiatan salah kaprah dan ditunjukkan dengan "mengekspresikan diri", dengan bergabung menjadi anggota "hooligan" fanatik sepak bola pada usia yang sangat muda.
Scene 3:
"Mereka adalah mahasiswa siap acting!" sahabat penulis memaparkan pengalaman pribadinya selama beberapa semester menjadi dosen di suatu perguruan tinggi swasta.
"Mereka hidup dalam ilusi. Karena angan-angan, mereka terjebak dalam hidup yang kurang sehat & tidak realistis...."
Penulis menanyakan mengapa mereka bisa sampai seperti ini, mengapa tidak menekuni sekolah acting atau masuk ke dunia teater?
Dan jawabannya adalah mereka kuliah karena keinginan/ paksaan orang tua. Mereka tidak dapat memilih atau menyuarakan aspirasinya, sehingga mereka secara perorangan sangat giat mengikuti berbagai sesi casting.
Dari ketiga fragmen atau scene di atas, meskipun terlihat acak, namun sesungguhnya 3 kejadian di atas sangat berhubungan dengan issue Parenting: hubungan harmonis antara anak & orang tua. Bagaimana anak-anak memilih meluangkan waktu, berteman, menentukan jalan hidup mereka dan bagaimana orang tua berkomunikasi, menanamkan nilai-nilai, dan memahami anak-anak mereka...
Tidak tercapainya kesepakatan antara si anak dengan orang tua menimbulkan kondisi di mana si anak memilih hidup di tengah-tengah "Kesepakatan untuk Tidak Sepakat, pemberontakan, dsb"... yang diekspresikan mereka dengan berbagai cara, bergerombol tak tentu arah untuk menentukan "nasib sendiri", syukur-syukur "secara kebetulan" seorang agen/ pencari bakat/ investor, dsb akan merekrut mereka mencapai pekerjaan/ cita-cita yang mereka impi-impikan.
Penutup
Perjalanan dalam 2 minggu ini menarik penulis pada pelajaran bahwa semua berpulang dari bagaimana budaya dalam keluarga diterapkan, komunikasi dan pengertian antara kedua belah pihak. Tentunya kita tidak ingin melihat generasi muda yang seharusnya sarat dengan idea dan produktif ini jatuh ke dalam lembah keterpurukan, bahkan merusak diri sendiri.
Orang tua hendaknya lebih memahami apa yang mereka inginkan, sambil mengarahkan mereka sedari usia dini bahwa di setiap pilihan ada risiko & harga yang harus diambil.
Dan untuk mencapai cita-cita dan atau pilihan karir yang diinginkan tidak ada cara yang instan, tentunya ada proses yang harus dilalui.
Orang tua bersama anak sedapat mungkin menyusun strategi jangka panjang dalam bentuk "langkah-langkah realistis" yang harus diambil. Paling baik jika aspirasi anak2 dapat teridentifikasi di usia sedini mungkin...
Dan tentunya pilihan-pilihan tsb hendaknya senantiasa dikomunikasikan bersama orang tua.
Besar harapan penulis anak-anak tsb dapat menghabiskan waktunya melalui kegiatan yang bermanfaat, menemukan aspirasi mereka, tersalurkan secara positif, dan didukung sepenuhnya oleh orang tuanya. Semoga saja!
Pembangunan daerah di sepanjang KRL berkembang sangat pesat, dalam jangka 3 tahun: jembatan, jalan, perombakan lahan pertanian menjadi perumahan biasa ditemui. Demikian juga dengan penduduknya yang kian berbenah mengingat adanya kemudahan akses ke dan dari Ibu Kota untuk keperluan bisnis.
Scene 1:
Daerah yang penulis kunjungi cukup padat dan berkembang pesat. Penulis menemui sebuah keluarga yang cukup terpandang dan dapat dikatakan sebagai sesepuh di daerah tsb. Penulis kemudian menyempatkan bercakap-cakap dengan anak-anak beliau yang lulus SMU. Dari percakapan, mereka telah menamatkan SMU dan menganggur cukup lama, mengingat mereka sangat ingin mengikuti perkuliahan di Ibu Kota. Hanya saja mahalnya biaya pendidikan membuat mereka memendam keinginan melanjutkan sekolah. Tak berhenti sampai di situ, penulis kemudian menanyakan apa saja kegiatan mereka selama menganggur.
Penulis tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Karena penulis merasa mereka anak-anak yang malas berusaha, menyalahkan jerih payah orang tua yang tidak mampu memfasilitasi mereka untuk melanjutkan kuliah. Atau sebaliknya: mereka tidak dapat menjalankan aspirasi mereka sehingga kalah suara dari orang tua. Dan dari pengamatan, mereka cukup senang dengan menikmati "masa-masa tanpa kegiatan" ini, sedangkan di kiri-kanan jalan, terdapat begitu banyak peluang usaha yang dapat mereka jajaki.
Scene 2:
Dalam perjalanan pulang, bertemu pula penulis dengan pemuda-pemudi yang ingin meramaikan stadiun sepak bola. Dengan bergerombol, mereka menyanyikan yel-yel yang kurang pantas didengar telinga dan merokok sesukanya. Di tengah sesaknya penumpang, penulis memenuhi rasa ingin tahu dengan bertanya pada koordinator-yang kebetulan duduk di sebelah penulis: "Mengapa mereka tidak menonton TV saja di rumah. Toh mereka tidak perlu berdesak-desakan di sini?" Koordinator tsb menjawab: "Di stadiun kami dapat mengekspresikan diri, berteriak, bernyanyi bersama teman-teman & merasakan kebersamaan... hal yang tidak dapat kami lakukan jika berada sendiri di depan TV".
Penulis mengangguk-angguk tanda setuju. Bisa jadi begitu... Karena penulis sangat memahami di usia seperti mereka kebutuhan yang mendominasi adalah kebutuhan kebutuhan untuk diterima di suatu kelompok (berkumpul bersama teman-teman).
Kebutuhan untuk berkumpul bersama teman-teman menjadi kegiatan salah kaprah dan ditunjukkan dengan "mengekspresikan diri", dengan bergabung menjadi anggota "hooligan" fanatik sepak bola pada usia yang sangat muda.
Scene 3:
"Mereka adalah mahasiswa siap acting!" sahabat penulis memaparkan pengalaman pribadinya selama beberapa semester menjadi dosen di suatu perguruan tinggi swasta.
"Mereka hidup dalam ilusi. Karena angan-angan, mereka terjebak dalam hidup yang kurang sehat & tidak realistis...."
Penulis menanyakan mengapa mereka bisa sampai seperti ini, mengapa tidak menekuni sekolah acting atau masuk ke dunia teater?
Dan jawabannya adalah mereka kuliah karena keinginan/ paksaan orang tua. Mereka tidak dapat memilih atau menyuarakan aspirasinya, sehingga mereka secara perorangan sangat giat mengikuti berbagai sesi casting.
Dari ketiga fragmen atau scene di atas, meskipun terlihat acak, namun sesungguhnya 3 kejadian di atas sangat berhubungan dengan issue Parenting: hubungan harmonis antara anak & orang tua. Bagaimana anak-anak memilih meluangkan waktu, berteman, menentukan jalan hidup mereka dan bagaimana orang tua berkomunikasi, menanamkan nilai-nilai, dan memahami anak-anak mereka...
Tidak tercapainya kesepakatan antara si anak dengan orang tua menimbulkan kondisi di mana si anak memilih hidup di tengah-tengah "Kesepakatan untuk Tidak Sepakat, pemberontakan, dsb"... yang diekspresikan mereka dengan berbagai cara, bergerombol tak tentu arah untuk menentukan "nasib sendiri", syukur-syukur "secara kebetulan" seorang agen/ pencari bakat/ investor, dsb akan merekrut mereka mencapai pekerjaan/ cita-cita yang mereka impi-impikan.
Penutup
Perjalanan dalam 2 minggu ini menarik penulis pada pelajaran bahwa semua berpulang dari bagaimana budaya dalam keluarga diterapkan, komunikasi dan pengertian antara kedua belah pihak. Tentunya kita tidak ingin melihat generasi muda yang seharusnya sarat dengan idea dan produktif ini jatuh ke dalam lembah keterpurukan, bahkan merusak diri sendiri.
Orang tua hendaknya lebih memahami apa yang mereka inginkan, sambil mengarahkan mereka sedari usia dini bahwa di setiap pilihan ada risiko & harga yang harus diambil.
Dan untuk mencapai cita-cita dan atau pilihan karir yang diinginkan tidak ada cara yang instan, tentunya ada proses yang harus dilalui.
Orang tua bersama anak sedapat mungkin menyusun strategi jangka panjang dalam bentuk "langkah-langkah realistis" yang harus diambil. Paling baik jika aspirasi anak2 dapat teridentifikasi di usia sedini mungkin...
Dan tentunya pilihan-pilihan tsb hendaknya senantiasa dikomunikasikan bersama orang tua.
Besar harapan penulis anak-anak tsb dapat menghabiskan waktunya melalui kegiatan yang bermanfaat, menemukan aspirasi mereka, tersalurkan secara positif, dan didukung sepenuhnya oleh orang tuanya. Semoga saja!
Jumat, Oktober 22, 2010
Employee Engagement : Menyentuh Hati & Meningkatkan Kinerja
Employee Engagement Survey merupakan alat yang mengukur "indeks motivasi karyawan", memotret temperatur dan lingkungan kerja karyawan secara umum, sehingga mereka dapat berkontribusi dan memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Dinamakan "Engagement" karena survey ini tidak hanya mengukur faktor penyebab terjadinya kepuasan karyawan, namun juga bagaimana produktifitas unit dan organisasi secara keseluruhan, kompleksitas pekerjaan, efektifitas fungsi SDM, penilaian konsumen terhadap perusahaan, dan faktor-faktor lain yang menyebabkan karyawan dapat memberikan yang terbaik bagi perusahaan.
Inti dari Enggagement karyawan di suatu perusahaan sesungguhnya berada "di bawah permukaan es" yang harus terus digali dan dikenali selama karyawan bekerja di perusahaan. Dalam suatu tugas/ misi/ pekerjaan, idealnya karyawan dapat senantiasa menyalurkan apa yang menjadi minat, bakat, dan aspirasi sehingga pekerjaan yang dikerjakan karyawan menjadi pekerjaan yang disukai, "effortless", bernilai (produktif) dan bahkan menambah semangat. Sehingga sudah seharusnya menjadi tugas pokok Manajemen, manajer lini, dan fungsi SDM agar dapat mengenali, menggali apa-apa yang sesungguhnya menjadi "motif" atau "compass" dimana karyawan mendedikasikan "energi" yang mereka miliki.
Terdapat 3 faktor utama yang menjadi besaran "mengapa" karyawan memiliki sinergi yang kuat kepada perusahaan:
1. Faktor Autonomi
2. Faktor Kreatifitas
3. Faktor Pengakuan
Jikalau tanaman diberikan cahaya, air atau zat makanan yang cukup, maka ia akan tumbuh subur, berkembang, dan menyegarkan mata orang-orang yang memandangnya.
Dan adalah sifat alami manusia untuk diberikan ruang, tempat, waktu selama bekerja agar ia dapat mengembangkan diri dan memberikan yang terbaik untuk perusahaan. Pengakuan manajemen terhadap otonomi, dalam artian karyawan diberi kepercayaan dalam memprioritaskan pekerjaan, mendelegasikan, bahkan bermitra dengan rekanan kerja. Pengakuan terhadap otonomi diekspresikan para atasan/ manajemen dengan tulus dengan mempercayakan pekerjaan sepenuhnya, dan sedapat mungkin "mengurangi frekuensi" mempertanyakan sampai di mana pekerjaan tsb terselesaikan.
Otonomi yang membangun akan membangkitkan "kreativitas" yang ada dalam diri karyawan, dimana mereka dapat mengekspresikan diri (dalam artian positif), mencurahkan ide-ide bagaimana lingkungan pekerjaan, pekerjaan, bahkan bagaimana perusahaan dapat menjadi lebih baik, tanpa takut ide-ide tersebut ditertawakan, “dicuri”, atau bahkan dilecehkan.
Pengakuan adalah penting, sekecil apapun itu. Mungkin saja yang dilakukan oleh karyawan tsb adalah hal yang sepele, namun bagi atasan yang jeli (secara lisan memuji dan mendukung tindakan karyawan tsb), maka tindakan itu akan terus dikenang oleh karyawan. Ke depan, pengakuan atau penghargaan manajemen akan memberikan dampak bagi produktifitas serta peningkatan kualitas perusahaan dalam jangka panjang.
Sebagai penutup: dari ketiga faktor yang meningkatkan dan mempererat ikatan karyawan pada perusahaan, faktor mana yang menyentuh hati karyawan anda?
Inti dari Enggagement karyawan di suatu perusahaan sesungguhnya berada "di bawah permukaan es" yang harus terus digali dan dikenali selama karyawan bekerja di perusahaan. Dalam suatu tugas/ misi/ pekerjaan, idealnya karyawan dapat senantiasa menyalurkan apa yang menjadi minat, bakat, dan aspirasi sehingga pekerjaan yang dikerjakan karyawan menjadi pekerjaan yang disukai, "effortless", bernilai (produktif) dan bahkan menambah semangat. Sehingga sudah seharusnya menjadi tugas pokok Manajemen, manajer lini, dan fungsi SDM agar dapat mengenali, menggali apa-apa yang sesungguhnya menjadi "motif" atau "compass" dimana karyawan mendedikasikan "energi" yang mereka miliki.
Terdapat 3 faktor utama yang menjadi besaran "mengapa" karyawan memiliki sinergi yang kuat kepada perusahaan:
1. Faktor Autonomi
2. Faktor Kreatifitas
3. Faktor Pengakuan
Jikalau tanaman diberikan cahaya, air atau zat makanan yang cukup, maka ia akan tumbuh subur, berkembang, dan menyegarkan mata orang-orang yang memandangnya.
Dan adalah sifat alami manusia untuk diberikan ruang, tempat, waktu selama bekerja agar ia dapat mengembangkan diri dan memberikan yang terbaik untuk perusahaan. Pengakuan manajemen terhadap otonomi, dalam artian karyawan diberi kepercayaan dalam memprioritaskan pekerjaan, mendelegasikan, bahkan bermitra dengan rekanan kerja. Pengakuan terhadap otonomi diekspresikan para atasan/ manajemen dengan tulus dengan mempercayakan pekerjaan sepenuhnya, dan sedapat mungkin "mengurangi frekuensi" mempertanyakan sampai di mana pekerjaan tsb terselesaikan.
Otonomi yang membangun akan membangkitkan "kreativitas" yang ada dalam diri karyawan, dimana mereka dapat mengekspresikan diri (dalam artian positif), mencurahkan ide-ide bagaimana lingkungan pekerjaan, pekerjaan, bahkan bagaimana perusahaan dapat menjadi lebih baik, tanpa takut ide-ide tersebut ditertawakan, “dicuri”, atau bahkan dilecehkan.
Pengakuan adalah penting, sekecil apapun itu. Mungkin saja yang dilakukan oleh karyawan tsb adalah hal yang sepele, namun bagi atasan yang jeli (secara lisan memuji dan mendukung tindakan karyawan tsb), maka tindakan itu akan terus dikenang oleh karyawan. Ke depan, pengakuan atau penghargaan manajemen akan memberikan dampak bagi produktifitas serta peningkatan kualitas perusahaan dalam jangka panjang.
Sebagai penutup: dari ketiga faktor yang meningkatkan dan mempererat ikatan karyawan pada perusahaan, faktor mana yang menyentuh hati karyawan anda?
Kamis, Oktober 07, 2010
Whistle Blower dan Penerapannya di dalam Perusahaan
Pembaca sekalian, berkaca dari mega skandal yang menimpa pemerintahan maupun korporasi di dunia, peran whistle blower tidak bisa dipisahkan. Per definisi, whistle blower merupakan orang yang melaporkan tindakan yang dianggap melanggar hukum, ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada pihak yang berwenang. Tindakan yang dimaksud akan mengancam kepentingan korporasi (dimana karyawan itu bekerja) maupun bagi kepentingan publik (dimana warga negara tsb berada). Pelanggaran ini termasuk pelanggaran kode etik, pelanggaran atas keselamatan kerja, korupsi, dll.
Secara esensial, tindakan sang whistle blower ini mendukung penegakan hukum, memperkuat jejaring pengaman bagi penegakan etika dan kepatuhan terhadap undang-undang yang berlaku dan sekaligus meningkatkan kinerja para penegak hukum.
Di sisi lain, untuk memperkuat mekanisme whistle blower tersebut suatu mekanisme perlindungan perlu diciptakan dan diperkenalkan. Bahwa identitas, jabatan bahkan keselamatan hidup sang whistle blower tersebut wajib dilindungi dan dijamin. Jika tidak, pelanggaran dan pelecehan terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku akan terus berjalan.
Whistle Blower di dalam Perusahaan
Di dalam lingkungan kerja yang relatif "terkendali", mekanisme whistle blower menjamin terjadinya lingkungan kerja yang kondusif dan berkinerja tinggi. Media whistle blower dapat berupa kotak post, mail box, atau departemen/section tersendiri yang menjamin informasi tidak bocor ke "pihak-pihak yang berkepentingan" dengan pelaporan tersebut. Dan hasil akhir yang terpenting adalah "tindakan" yang berwenang untuk segera menuntaskan issue atau informasi yang disampaikan sang whistle blower tsb.
Pengalaman penulis sebagai "pelaku whistle blower " sewaktu menjadi civitas academia sangatlah berkesan. Laporan yang penulis sampaikan ke institusi dengan mencantumkan no HP penulis langsung ditanggapi kurang dari 2 x 24 jam. Dan "pelaku" yang penulis laporkan langsung mendapatkan ganjaran. Dari pengalaman tersebut, rasanya sangat wajar bagi setiap anggota organisasi untuk memberikan yang terbaik dan sekaligus mendapatkan lingkungan yang sehat dan kompetitif.
Bagaimana dengan organisasi yang lebih besar? Mayoritas peraturan perusahaan telah mencantumkan dan melengkapi hal-hal apa yang menjadi hak & kewajiban karyawan dan hal-hal apa yang menjadi hak & kewajiban perusahaan. Namun ditengah-tengah "2 kepentingan besar" tersebut terdapat mekanisme-mekanisme yang menjadi issue, yang selanjutnya dituangkan dalam klausul-klausul industrial relation. Klausul yang relevan dengan bahasan artikel kali ini tertuang dalam: penyampaian dan mekanisme keluh kesah karyawan dan mekanisme whistle blower beserta perlindungannya.
Yang perlu digalakkan di dalam organisasi adalah sosialisasi mulai dari prosedur/ peraturan yang berlaku dan manfaatnya bagi perusahaan dan membudayakan lingkungan yang sehat, kondusif dan kompetitif. Karena dengan adanya mekanisme ini "aturan sosial" yang dibakukan dalam Peraturan Perusahaan berlaku benar-benar ditegakkan dan menjamin setiap anggota organisasi. Bagaimana dengan organisasi Anda?
Secara esensial, tindakan sang whistle blower ini mendukung penegakan hukum, memperkuat jejaring pengaman bagi penegakan etika dan kepatuhan terhadap undang-undang yang berlaku dan sekaligus meningkatkan kinerja para penegak hukum.
Di sisi lain, untuk memperkuat mekanisme whistle blower tersebut suatu mekanisme perlindungan perlu diciptakan dan diperkenalkan. Bahwa identitas, jabatan bahkan keselamatan hidup sang whistle blower tersebut wajib dilindungi dan dijamin. Jika tidak, pelanggaran dan pelecehan terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku akan terus berjalan.
Whistle Blower di dalam Perusahaan
Di dalam lingkungan kerja yang relatif "terkendali", mekanisme whistle blower menjamin terjadinya lingkungan kerja yang kondusif dan berkinerja tinggi. Media whistle blower dapat berupa kotak post, mail box, atau departemen/section tersendiri yang menjamin informasi tidak bocor ke "pihak-pihak yang berkepentingan" dengan pelaporan tersebut. Dan hasil akhir yang terpenting adalah "tindakan" yang berwenang untuk segera menuntaskan issue atau informasi yang disampaikan sang whistle blower tsb.
Pengalaman penulis sebagai "pelaku whistle blower " sewaktu menjadi civitas academia sangatlah berkesan. Laporan yang penulis sampaikan ke institusi dengan mencantumkan no HP penulis langsung ditanggapi kurang dari 2 x 24 jam. Dan "pelaku" yang penulis laporkan langsung mendapatkan ganjaran. Dari pengalaman tersebut, rasanya sangat wajar bagi setiap anggota organisasi untuk memberikan yang terbaik dan sekaligus mendapatkan lingkungan yang sehat dan kompetitif.
Bagaimana dengan organisasi yang lebih besar? Mayoritas peraturan perusahaan telah mencantumkan dan melengkapi hal-hal apa yang menjadi hak & kewajiban karyawan dan hal-hal apa yang menjadi hak & kewajiban perusahaan. Namun ditengah-tengah "2 kepentingan besar" tersebut terdapat mekanisme-mekanisme yang menjadi issue, yang selanjutnya dituangkan dalam klausul-klausul industrial relation. Klausul yang relevan dengan bahasan artikel kali ini tertuang dalam: penyampaian dan mekanisme keluh kesah karyawan dan mekanisme whistle blower beserta perlindungannya.
Yang perlu digalakkan di dalam organisasi adalah sosialisasi mulai dari prosedur/ peraturan yang berlaku dan manfaatnya bagi perusahaan dan membudayakan lingkungan yang sehat, kondusif dan kompetitif. Karena dengan adanya mekanisme ini "aturan sosial" yang dibakukan dalam Peraturan Perusahaan berlaku benar-benar ditegakkan dan menjamin setiap anggota organisasi. Bagaimana dengan organisasi Anda?
Kamis, September 23, 2010
KM dalam Keluarga
Setelah beberapa lama mendalami Knowledge Management, secara sistematis penulis mulai mengaplikasikan di dalam korporasi melalui HR strategic roadmap, knowledge sharing, pembuatan SOP, menuliskan pengalaman sehari-hari melalui blog ini, hingga berbagi ebook dengan relasi atau rekanan kerja.
Namun ada satu hal yang cukup mengganggu penulis, jika korporasi "bertambah kaya" dengan asset intelektual dan kehadiran para "knowledge workers", lalu bagaimana dengan KM di tengah-tengah keluarga? Dapatkah pembaca sekalian dapat menghadirkan suasana knowledge sharing di dalam keluarga?
Jawabannya: tentu saja bisa dan hal ini bukanlah hal yang sulit dilakukan. Menghangatkan suasana keluarga dengan knowledge sharing adalah dengan membuka komunikasi terbuka diantara anggota keluarga. Bercengkrama, menceritakan pengalaman sehari-hari, hingga mendemonstrasikan apa yang mereka (balita atau anak-anak) dapatkan pada hari itu. Lebih lanjut, keahlian mendengarkan secara aktif, kesiapan anggota keluarga memberikan saran, masukan atau dukungan akan semakin mengefektifkan proses knowledge sharing sehari-hari. Knowledge sharing akan berbeda takarannya, dan dilakukan dengan cara berbeda sesuai dengan tingkatan usia.
Untuk balita atau anak-anak, orang tua sepulang kerja bercengkrama sambil menanyakan: "Ananda di sekolah belajar apa?" "tadi di sekolah ananda berenang ya?" "Ananda sudah menghafal surat apa? coba mama dengar.." Si anak tentunya akan sangat antusias-tanpa ditanya akan menceritakan pengalaman yang mereka alami dan mendemonstrasikan "kepandaian baru" mereka. Mendengarkan secara aktif juga membantu si anak untuk lebih banyak mengeksplor hal-hal apa yang mereka sukai, bagaimana perasaan mereka pada saat berada di kolam renang, dsb.
Untuk yang lebih dewasa, metodenya tentu berbeda. Baru-baru ini penulis bereksperimen mengajarkan penggunaan "jejaring web 2.0" kepada baby siter di rumah. Singkat cerita, "demam" jejaring pertemanan sosial berbasis web tersebut melanda para baby siter di sekitar tempat tinggal penulis. Setelah penulis perhatikan beberapa lama, ternyata terdapat "etika tak tertulis" yang kurang lebih sama dengan para pengguna jejaring web yang relatif berpendidikan tinggi: bahwa mereka lebih menyukai info yang bermanfaat dan memotivasi, daripada menjadikan sesi "update status" sebagai ajang untuk berkeluh-kesah.
Bagaimana dengan anak-anak sekolah? Membiasakan mereka membaca buku, mengenalkan mereka dengan berbagai media (tulis, cetak, TV), berdiskusi secara aktif untuk mengasah daya analisis mereka, menanggapi pertanyaan-pertanyaan kritis mereka, dan meningkatkan keingintahuan mereka; ini merupakan cara-cara yang sederhana (dan tidak banyak mengeluarkan biaya).
Jadi, siapa bilang KM itu hanya milik korporasi?
Namun ada satu hal yang cukup mengganggu penulis, jika korporasi "bertambah kaya" dengan asset intelektual dan kehadiran para "knowledge workers", lalu bagaimana dengan KM di tengah-tengah keluarga? Dapatkah pembaca sekalian dapat menghadirkan suasana knowledge sharing di dalam keluarga?
Jawabannya: tentu saja bisa dan hal ini bukanlah hal yang sulit dilakukan. Menghangatkan suasana keluarga dengan knowledge sharing adalah dengan membuka komunikasi terbuka diantara anggota keluarga. Bercengkrama, menceritakan pengalaman sehari-hari, hingga mendemonstrasikan apa yang mereka (balita atau anak-anak) dapatkan pada hari itu. Lebih lanjut, keahlian mendengarkan secara aktif, kesiapan anggota keluarga memberikan saran, masukan atau dukungan akan semakin mengefektifkan proses knowledge sharing sehari-hari. Knowledge sharing akan berbeda takarannya, dan dilakukan dengan cara berbeda sesuai dengan tingkatan usia.
Untuk balita atau anak-anak, orang tua sepulang kerja bercengkrama sambil menanyakan: "Ananda di sekolah belajar apa?" "tadi di sekolah ananda berenang ya?" "Ananda sudah menghafal surat apa? coba mama dengar.." Si anak tentunya akan sangat antusias-tanpa ditanya akan menceritakan pengalaman yang mereka alami dan mendemonstrasikan "kepandaian baru" mereka. Mendengarkan secara aktif juga membantu si anak untuk lebih banyak mengeksplor hal-hal apa yang mereka sukai, bagaimana perasaan mereka pada saat berada di kolam renang, dsb.
Untuk yang lebih dewasa, metodenya tentu berbeda. Baru-baru ini penulis bereksperimen mengajarkan penggunaan "jejaring web 2.0" kepada baby siter di rumah. Singkat cerita, "demam" jejaring pertemanan sosial berbasis web tersebut melanda para baby siter di sekitar tempat tinggal penulis. Setelah penulis perhatikan beberapa lama, ternyata terdapat "etika tak tertulis" yang kurang lebih sama dengan para pengguna jejaring web yang relatif berpendidikan tinggi: bahwa mereka lebih menyukai info yang bermanfaat dan memotivasi, daripada menjadikan sesi "update status" sebagai ajang untuk berkeluh-kesah.
Bagaimana dengan anak-anak sekolah? Membiasakan mereka membaca buku, mengenalkan mereka dengan berbagai media (tulis, cetak, TV), berdiskusi secara aktif untuk mengasah daya analisis mereka, menanggapi pertanyaan-pertanyaan kritis mereka, dan meningkatkan keingintahuan mereka; ini merupakan cara-cara yang sederhana (dan tidak banyak mengeluarkan biaya).
Jadi, siapa bilang KM itu hanya milik korporasi?
Kamis, September 16, 2010
Menanamkan Nilai-Nilai di Tengah Keluarga
Setiap organisasi, termasuk organisasi keluarga, perlu menanamkan nilai-nilai kepada anggotanya. Pentingnya nilai, dari sisi organisasi, karena mereka adalah haluan atau “true north” organisasi ditengah perubahan kondisi dan situasi lingkungan yang cenderung berubah. Dalam perjalanan waktu, setiap anggota organisasi bahkan anggota keluarga tidak akan mudah kehilangan arah dan akan terus mempraktikkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang telah ditanamkan dan bertumbuh dalam dirinya, meskipun hal tersebut sulit dijalankan atau bahkan akan menyulitkan dirinya.
Baru-baru ini penulis terlibat dalam sebuah pembicaraan hangat dan menjadi topik kali ini. Pasangan keluarga yang sudah cukup lama penulis kenal membahas seputar anak-anak mereka. Setelah lama bercengkrama, pasangan tersebut kemudian menanyakan 3 pertanyaan kepada penulis:
• Mengapa si Buyung tidak mau belajar?
• Mengapa si Upik tidak berprestasi, meskipun kami telah habis-habisan berinvestasi pendidikan di tempat-tempat terbaik?
• Lalu ada apa dengan mereka?
Penulispun menjawab pertanyaan mereka dengan memberikan 3 pertanyaan:
• Apakah ada lingkungan yang memungkinkan mereka belajar? Ruangan yang memberikan ketenangan, orang yang senantiasa mengingatkan & menyemangati mereka untuk terus belajar?
• Apakah orang tua mengontrol "output" dari investasi pendidikan tsb dan memberikan arahan?
• Apakah orang tua memperkenalkan "konsekuensi hidup" kepada mereka (disiplin)?
Sesaat merekapun terdiam, namun berusaha menjawab pertanyaan penulis dengan berbagai argumen, solusi, dan dilema yang mereka alami ketika mengeksekusi 3 hal yang telah penulis tanyakan. Ananda telah diberikan fasilitas, ruangan belajar, privasi, line internet 24 jam, kegiatan ekstra kulikuler yang terstruktur. Imbuh mereka: ananda telah diberikan nasihat dan arahan setelah melihat laporan pendidikan yang sedang/telah mereka ambil dan bahkan merekapun tak sempat memiliki waktu untuk diri mereka sendiri... Semua pengorbanan ini demi masa depan ananda.
Penulis lalu terlibat pembicaraan dengan anaknya:
“Kamu tahu nanti sudah besar ingin jadi apa?”
Sejenak dia terdiam dan menjawab-yang penulis rasa merupakan jawaban sekenanya: “Hmmm, aku mau jadi dokter.”
"Kamu tahu apa yang harus dilakukan jika ingin jadi dokter?"
“Nilai IPA-ku harus tinggi... Aku harus bisa IPA”
“Bagus, apakah sekarang apakah nilai IPA-mu tinggi?"
“Nggak..”
“Kamu punya cita-cita lain?”
“Ada, aku mau jadi psikolog.”
“Apa yang harus kamu lakukan jika kamu ingin jadi psikolog?”
Hening sesaat....
Penulis katakan: “Kamu harus bisa matematika, kamu harus tahu tentang "sebab dan akibat" atau logika. Karena itu menjadi psikolog yang hebat matematika-nya harus hebat”
Dari percakapan tersebut mereka cukup kaget dengan tutur kata anaknya yang mengalir dengan jernih ini. Penulis meyakini ia adalah produk sebuah lingkungan, produk budaya sebuah keluarga.
Jadi, jika sang anak suatu saat ditanya tentang cita-cita namun sang anak tidak tahu mau jadi apa. Maka waspadalah, sang anak belum punya bayangan atau strategi bagaimana untuk mencapai cita-cita tsb, apalagi jika mereka tidak dikelilingi oleh "contoh teladan" yang biasa mengajari dan menyemangati mereka.
Dan di sisi lain, jika orang tua tidak tahu batas-batas mana yang "pantas" dan yang "sudah melampaui batas" untuk mengukur tolok ukur keberhasilan sesuai dengan dengan tingkat perkembangan usia mereka, maka merekapun tidak akan paham kapan cut-off investasi dilakukan. Dan ini diperparah lagi dengan ketidaktegasan dalam memberikan konsekuensi kepada anak dan seperti apa bentuk investasinya (apakah mendidik dan sejalan dengan tingkat perkembangan usia?).
Dalam lamunan perjalanan pulang, penulis tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Penulis melihat ini adalah "potret derivatif" dari nilai yang diturunkan dari generasi ke generasi: mereka akan pergi kemanapun angin bertiup, mengikuti apa yang dimiliki orang-orang kebanyakan tanpa tahu bagaimana memanfaatkan atau mendapatkan nilai tambah dari fasilitas dan kemudahan yang diberikan...
Di sisi lain orang tua secara konsisten merefleksikan kepada mereka bahwa esensi menjalankan hidup adalah "seperti" kebanyakan orang, dari pada “menjadi” diri sendiri dan mandiri.
Lalu, bagaimana dengan nilai keluarga anda?
Baru-baru ini penulis terlibat dalam sebuah pembicaraan hangat dan menjadi topik kali ini. Pasangan keluarga yang sudah cukup lama penulis kenal membahas seputar anak-anak mereka. Setelah lama bercengkrama, pasangan tersebut kemudian menanyakan 3 pertanyaan kepada penulis:
• Mengapa si Buyung tidak mau belajar?
• Mengapa si Upik tidak berprestasi, meskipun kami telah habis-habisan berinvestasi pendidikan di tempat-tempat terbaik?
• Lalu ada apa dengan mereka?
Penulispun menjawab pertanyaan mereka dengan memberikan 3 pertanyaan:
• Apakah ada lingkungan yang memungkinkan mereka belajar? Ruangan yang memberikan ketenangan, orang yang senantiasa mengingatkan & menyemangati mereka untuk terus belajar?
• Apakah orang tua mengontrol "output" dari investasi pendidikan tsb dan memberikan arahan?
• Apakah orang tua memperkenalkan "konsekuensi hidup" kepada mereka (disiplin)?
Sesaat merekapun terdiam, namun berusaha menjawab pertanyaan penulis dengan berbagai argumen, solusi, dan dilema yang mereka alami ketika mengeksekusi 3 hal yang telah penulis tanyakan. Ananda telah diberikan fasilitas, ruangan belajar, privasi, line internet 24 jam, kegiatan ekstra kulikuler yang terstruktur. Imbuh mereka: ananda telah diberikan nasihat dan arahan setelah melihat laporan pendidikan yang sedang/telah mereka ambil dan bahkan merekapun tak sempat memiliki waktu untuk diri mereka sendiri... Semua pengorbanan ini demi masa depan ananda.
Penulis lalu terlibat pembicaraan dengan anaknya:
“Kamu tahu nanti sudah besar ingin jadi apa?”
Sejenak dia terdiam dan menjawab-yang penulis rasa merupakan jawaban sekenanya: “Hmmm, aku mau jadi dokter.”
"Kamu tahu apa yang harus dilakukan jika ingin jadi dokter?"
“Nilai IPA-ku harus tinggi... Aku harus bisa IPA”
“Bagus, apakah sekarang apakah nilai IPA-mu tinggi?"
“Nggak..”
“Kamu punya cita-cita lain?”
“Ada, aku mau jadi psikolog.”
“Apa yang harus kamu lakukan jika kamu ingin jadi psikolog?”
Hening sesaat....
Penulis katakan: “Kamu harus bisa matematika, kamu harus tahu tentang "sebab dan akibat" atau logika. Karena itu menjadi psikolog yang hebat matematika-nya harus hebat”
Dari percakapan tersebut mereka cukup kaget dengan tutur kata anaknya yang mengalir dengan jernih ini. Penulis meyakini ia adalah produk sebuah lingkungan, produk budaya sebuah keluarga.
Jadi, jika sang anak suatu saat ditanya tentang cita-cita namun sang anak tidak tahu mau jadi apa. Maka waspadalah, sang anak belum punya bayangan atau strategi bagaimana untuk mencapai cita-cita tsb, apalagi jika mereka tidak dikelilingi oleh "contoh teladan" yang biasa mengajari dan menyemangati mereka.
Dan di sisi lain, jika orang tua tidak tahu batas-batas mana yang "pantas" dan yang "sudah melampaui batas" untuk mengukur tolok ukur keberhasilan sesuai dengan dengan tingkat perkembangan usia mereka, maka merekapun tidak akan paham kapan cut-off investasi dilakukan. Dan ini diperparah lagi dengan ketidaktegasan dalam memberikan konsekuensi kepada anak dan seperti apa bentuk investasinya (apakah mendidik dan sejalan dengan tingkat perkembangan usia?).
Dalam lamunan perjalanan pulang, penulis tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Penulis melihat ini adalah "potret derivatif" dari nilai yang diturunkan dari generasi ke generasi: mereka akan pergi kemanapun angin bertiup, mengikuti apa yang dimiliki orang-orang kebanyakan tanpa tahu bagaimana memanfaatkan atau mendapatkan nilai tambah dari fasilitas dan kemudahan yang diberikan...
Di sisi lain orang tua secara konsisten merefleksikan kepada mereka bahwa esensi menjalankan hidup adalah "seperti" kebanyakan orang, dari pada “menjadi” diri sendiri dan mandiri.
Lalu, bagaimana dengan nilai keluarga anda?
Rabu, September 15, 2010
Meningkatkan Nilai Tambah Modal Intelektual melalui E-learning
Lama tidak mendengar kabar dari teman lama, penulispun terlibat percakapan yang menjadi inspirasi artikel kali ini. Seorang teman lama pindah kerja (alasan: tidak mendapatkan akses internet dan merasa hidupnya seperti berada di wilayah terpencil); dan seorang lagi berada dalam kondisi "lucu-lucunya": diburu banyak head hunter (s).
Pembaca sekalian, perkembangan teknologi informasi secara global telah banyak sekali memberikan kemudahan. Didukung infrastruktur (jaringan internet) yang memadai, teknologi ini mampu menghubungkan orang maupun mesin dari berbagai belahan dunia, memudahkan para penggunanya untuk berbagi maupun memperoleh pengetahuan, bahkan dapat menciptakan bisnis.
Namun dampak dari kemudahan yang dijanjikan dan didengung-dengungkan selama ini tidaklah dimanfaatkan secara maksimal, bahkan dirasakan secara merata oleh para pengguna internet. Mengapa? Karena hal ini tidak diimbangi dengan pengembangan soft skill pengguna internet, seperti: (1) e-learning, (2) browsing/ surfing , mencari links yang bermanfaat bagi peningkatan kompetensi (baca: aktualisasi diri), hingga (3) mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan bisnis, bakat-bakat tersembunyi dan bahkan menimba ilmu pengetahuan baru secara mandiri maupun berkelompok.
(1) E-learning merupakan metode belajar virtual, dilakukan baik secara formal maupun informal, meningkatkan kekayaan "intangible asset" perorangan dan bahkan perusahaan. E-learning membutuhkan kedisiplinan, karena yang menentukan apakah bermanfaat atau tidaknya e-learning tersebut berpulang pada para pengguna internet.
(2) Menumbuhkan kebiasaan browsing/ surfing links secara teratur, terstruktur, dan memiliki tujuan tertentu (seperti pengembangan karir, pengembangan bisnis, pengembangan minat dan kompetensi anak2, dst) akan sangat bermanfaat bagi pengguna internet dalam jangka panjang. Seringkali bahasa, minat dan ketekunan menjadi keterbatasan pengguna karena karakteristik pengguna internet yang hanya ingin "informasi", "sensasi", dst, bukan pengetahuan. Sehingga seringkali pengguna terjebak dalam kegiatan memiliki dampak pada jangka pendek yang tentunya menguras waktu dan energi, namun untuk manfaat yang "sesaat". Bandingkan jika pemanfaatan sumberdaya tersebut untuk membentuk kebiasaan "meningkatkan nilai tambah" Modal Intelektual.
(3) Membentuk kebiasaan untuk mengkesplorasi batas-batas pengetahuan pengguna internet. Percayalah, merentangkan dan menambah wawasan membuat hidup semakin kaya dan berarti. Hal ini memungkinkan berkembangnya minat-minat baru, menumbuhkan bakat-bakat yang tidak disadari ada, dan mendapatkan rekanan/ teman-teman baru yang sama-sama memiliki minat dan sebagai tempat berbagi pengetahuan.
Peningkatan Modal Intelektual tidak akan terjadi tanpa adanya disiplin, kemandirian dan kemauan untuk mendapatkan hasil akhir (tujuan/ target) yang diinginkan. Peningkatan Modal Intelektual hendaknya didukung oleh skill, seperti: (1) pintar memilah mana yang informasi dan mana yang pengetahuan; (2) menciptakan rutinitas bagi pengembangan soft skill (mana yang memiliki bermanfaat jangka panjang dan mana yang memiliki manfaat jangka pendek; dan mana yang bernilai dan mana yang tidak).
Akhir kata, sudahkah Anda meningkatkan nilai tambah Modal Intelektual hari ini?
Pembaca sekalian, perkembangan teknologi informasi secara global telah banyak sekali memberikan kemudahan. Didukung infrastruktur (jaringan internet) yang memadai, teknologi ini mampu menghubungkan orang maupun mesin dari berbagai belahan dunia, memudahkan para penggunanya untuk berbagi maupun memperoleh pengetahuan, bahkan dapat menciptakan bisnis.
Namun dampak dari kemudahan yang dijanjikan dan didengung-dengungkan selama ini tidaklah dimanfaatkan secara maksimal, bahkan dirasakan secara merata oleh para pengguna internet. Mengapa? Karena hal ini tidak diimbangi dengan pengembangan soft skill pengguna internet, seperti: (1) e-learning, (2) browsing/ surfing , mencari links yang bermanfaat bagi peningkatan kompetensi (baca: aktualisasi diri), hingga (3) mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan bisnis, bakat-bakat tersembunyi dan bahkan menimba ilmu pengetahuan baru secara mandiri maupun berkelompok.
(1) E-learning merupakan metode belajar virtual, dilakukan baik secara formal maupun informal, meningkatkan kekayaan "intangible asset" perorangan dan bahkan perusahaan. E-learning membutuhkan kedisiplinan, karena yang menentukan apakah bermanfaat atau tidaknya e-learning tersebut berpulang pada para pengguna internet.
(2) Menumbuhkan kebiasaan browsing/ surfing links secara teratur, terstruktur, dan memiliki tujuan tertentu (seperti pengembangan karir, pengembangan bisnis, pengembangan minat dan kompetensi anak2, dst) akan sangat bermanfaat bagi pengguna internet dalam jangka panjang. Seringkali bahasa, minat dan ketekunan menjadi keterbatasan pengguna karena karakteristik pengguna internet yang hanya ingin "informasi", "sensasi", dst, bukan pengetahuan. Sehingga seringkali pengguna terjebak dalam kegiatan memiliki dampak pada jangka pendek yang tentunya menguras waktu dan energi, namun untuk manfaat yang "sesaat". Bandingkan jika pemanfaatan sumberdaya tersebut untuk membentuk kebiasaan "meningkatkan nilai tambah" Modal Intelektual.
(3) Membentuk kebiasaan untuk mengkesplorasi batas-batas pengetahuan pengguna internet. Percayalah, merentangkan dan menambah wawasan membuat hidup semakin kaya dan berarti. Hal ini memungkinkan berkembangnya minat-minat baru, menumbuhkan bakat-bakat yang tidak disadari ada, dan mendapatkan rekanan/ teman-teman baru yang sama-sama memiliki minat dan sebagai tempat berbagi pengetahuan.
Peningkatan Modal Intelektual tidak akan terjadi tanpa adanya disiplin, kemandirian dan kemauan untuk mendapatkan hasil akhir (tujuan/ target) yang diinginkan. Peningkatan Modal Intelektual hendaknya didukung oleh skill, seperti: (1) pintar memilah mana yang informasi dan mana yang pengetahuan; (2) menciptakan rutinitas bagi pengembangan soft skill (mana yang memiliki bermanfaat jangka panjang dan mana yang memiliki manfaat jangka pendek; dan mana yang bernilai dan mana yang tidak).
Akhir kata, sudahkah Anda meningkatkan nilai tambah Modal Intelektual hari ini?
Senin, September 06, 2010
Krisis Wawasan Nusantara
Akhir-akhir ini bahasan tentang “Wawasan Nusantara” menghangat di tengah-tengah terjadinya krisis moral. Multi krisis yang terjadi saat ini adalah gabungan dari ketidakpedulian, sempitnya pikiran yang bermuara pada semakin terpuruknya Indonesia di kancah pergaulan internasional.
Baru saja Indonesia memperingati kemerdekaan yang ke-65, atas nama kapitalisme negara dijual, tanah tumpah darah Indonesia. Dari sisi karakteristik generasi atau cohort, (corporate) culture dan knowledge management, tali temali krisis ini akan penulis coba uraikan.
Generasi/ cohort pada saat saat penulis dibesarkan lagu-lagu perjuangan biasa dikumandangkan di sekolah-sekolah; penulis masih banyak mendapati saksi hidup, para pejuang kemerdekaan Indonesia yang menceritakan suka-duka kehidupan pra-kemerdekaan; masih solidnya ritual kebangsaan, seperti: upacara bendera, program P 4, pembacaan teks dan aktualisasi Pancasila, mata kuliah mengenai kewiraan (tentang wawasan nusantara), dst. Lebih lanjut, apresiasi terhadap sejarah dan sastra Indonesia yang masih selaras dengan perkembangan sastra saat penulis bersekolah.
Dari sisi Budaya, ritual di atas hanyalah kulit luar saja, belum dari sisi internalisasi atau penyemaian nilai-nilai dan dijalankannya nilai-nilai dengan utuh, dimana ini merupakan tanggung jawab setiap keluarga dan masyarakat.
Seiring dengan laju pembangunan Indonesia, generasi tua pun berganti dengan "generasi penerus". Lalu apa-apa yang dulu dialami dan dirasakan oleh cohort/ generasi penulis, pada generasi yang lebih muda semakin kurang dipraktikkan dan dirasakan.
Ini bisa dimengerti karena "generasi penerus" mengekspresikan kemerdekaan dengan pembangunan yang berkesinambungan. Kesibukan "generasi penerus" ini ternyata mengesampingkan nilai-nilai kecintaan kepada Tanah Air, rasa bangga dengan produksi berikut intelectual capital dalam negeri, karena mereka telah dibombardir dengan konsep modernisasi dari luar. Akibatnya budaya konsumerism (demonstration effect) kian menjamur. Sehingga tidak heran, berbelanja barang bermerk/ "branded", berlibur ke luar negeri, dst menjadi sangat wajar bahkan wajib dilakoni.
Dari sisi knowledge management, bangsa yang secara geografis berada di persimpangan ini semakin mengalami krisis. Tiadanya filter yang kuat, menjadikan lagu-lagu perjuangan menjadi asing di telinga anak-anak, berganti dengan lagu-lagu orang dewasa serta trend "kekinian" yang kurang mendidik; nilai-nilai serta apresiasi terhadap sejarah dan sastra Indonesia tidak lagi diperbaharui dan diaktualisasikan sesuai dengan tantangan yang ada pada saat ini; pendidikan moral di ranah publik sangat buruk, banyak menampilkan budaya permisif; lalu pengajaran yang berkaitan dengan konsep kebangsaan dianggap kuno, kolot, bahkan dihilangkan karena dianggap sebagai produk Orde Baru.
Sekarang kita menuai akibatnya, kecintaan kepada negara ini kian meluntur, berganti dengan kepentingan segolongan kecil di atas golongan yang besar; toleransi dan tepa selira terhadap sesama semakin berkurang, ini ditunjukkan semakin banyaknya kerusuhan yang terjadi dan timpangnya perekonomian (baca: gap antara si kaya dengan si miskin); mekanisme pertahanan dan ketahanan ekonomi dimaknai dengan mementingkan kepentingan sendiri, ditandai melonggarnya peran dan keberpihakan pemerintah di sektor riil.
Sepertinya tidak ada lagi nilai-nilai yang mengikat, dan menjernihkan pikiran orang-orang yang berada di puncak-puncak kekuasaan. Sepertinya tidak ada lagi rem yang mengontrol orang-orang yang memiliki "kekuatan absolut" ini.. dan sepertinya, nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh generasi terdahulu hilang entah ke mana, berganti dengan boneka-boneka yang dikontrol "orang luar" atau ikut pusaran arus kesementaraan. Semoga saja menjelang akhir bulan suci ini menjadi perenungan bagi para Bapak Bangsa yang berdiri memimpin bangsa ini, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya... Karena bangsa yang berdaulat berani membela kebenaran... Dan pemimpin yang besar siap berkorban untuk bangsa dan negaranya. Semoga saja.
Baru saja Indonesia memperingati kemerdekaan yang ke-65, atas nama kapitalisme negara dijual, tanah tumpah darah Indonesia. Dari sisi karakteristik generasi atau cohort, (corporate) culture dan knowledge management, tali temali krisis ini akan penulis coba uraikan.
Generasi/ cohort pada saat saat penulis dibesarkan lagu-lagu perjuangan biasa dikumandangkan di sekolah-sekolah; penulis masih banyak mendapati saksi hidup, para pejuang kemerdekaan Indonesia yang menceritakan suka-duka kehidupan pra-kemerdekaan; masih solidnya ritual kebangsaan, seperti: upacara bendera, program P 4, pembacaan teks dan aktualisasi Pancasila, mata kuliah mengenai kewiraan (tentang wawasan nusantara), dst. Lebih lanjut, apresiasi terhadap sejarah dan sastra Indonesia yang masih selaras dengan perkembangan sastra saat penulis bersekolah.
Dari sisi Budaya, ritual di atas hanyalah kulit luar saja, belum dari sisi internalisasi atau penyemaian nilai-nilai dan dijalankannya nilai-nilai dengan utuh, dimana ini merupakan tanggung jawab setiap keluarga dan masyarakat.
Seiring dengan laju pembangunan Indonesia, generasi tua pun berganti dengan "generasi penerus". Lalu apa-apa yang dulu dialami dan dirasakan oleh cohort/ generasi penulis, pada generasi yang lebih muda semakin kurang dipraktikkan dan dirasakan.
Ini bisa dimengerti karena "generasi penerus" mengekspresikan kemerdekaan dengan pembangunan yang berkesinambungan. Kesibukan "generasi penerus" ini ternyata mengesampingkan nilai-nilai kecintaan kepada Tanah Air, rasa bangga dengan produksi berikut intelectual capital dalam negeri, karena mereka telah dibombardir dengan konsep modernisasi dari luar. Akibatnya budaya konsumerism (demonstration effect) kian menjamur. Sehingga tidak heran, berbelanja barang bermerk/ "branded", berlibur ke luar negeri, dst menjadi sangat wajar bahkan wajib dilakoni.
Dari sisi knowledge management, bangsa yang secara geografis berada di persimpangan ini semakin mengalami krisis. Tiadanya filter yang kuat, menjadikan lagu-lagu perjuangan menjadi asing di telinga anak-anak, berganti dengan lagu-lagu orang dewasa serta trend "kekinian" yang kurang mendidik; nilai-nilai serta apresiasi terhadap sejarah dan sastra Indonesia tidak lagi diperbaharui dan diaktualisasikan sesuai dengan tantangan yang ada pada saat ini; pendidikan moral di ranah publik sangat buruk, banyak menampilkan budaya permisif; lalu pengajaran yang berkaitan dengan konsep kebangsaan dianggap kuno, kolot, bahkan dihilangkan karena dianggap sebagai produk Orde Baru.
Sekarang kita menuai akibatnya, kecintaan kepada negara ini kian meluntur, berganti dengan kepentingan segolongan kecil di atas golongan yang besar; toleransi dan tepa selira terhadap sesama semakin berkurang, ini ditunjukkan semakin banyaknya kerusuhan yang terjadi dan timpangnya perekonomian (baca: gap antara si kaya dengan si miskin); mekanisme pertahanan dan ketahanan ekonomi dimaknai dengan mementingkan kepentingan sendiri, ditandai melonggarnya peran dan keberpihakan pemerintah di sektor riil.
Sepertinya tidak ada lagi nilai-nilai yang mengikat, dan menjernihkan pikiran orang-orang yang berada di puncak-puncak kekuasaan. Sepertinya tidak ada lagi rem yang mengontrol orang-orang yang memiliki "kekuatan absolut" ini.. dan sepertinya, nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh generasi terdahulu hilang entah ke mana, berganti dengan boneka-boneka yang dikontrol "orang luar" atau ikut pusaran arus kesementaraan. Semoga saja menjelang akhir bulan suci ini menjadi perenungan bagi para Bapak Bangsa yang berdiri memimpin bangsa ini, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya... Karena bangsa yang berdaulat berani membela kebenaran... Dan pemimpin yang besar siap berkorban untuk bangsa dan negaranya. Semoga saja.
Rabu, Agustus 25, 2010
Kepemimpinan dalam Kitab Mahabharata
Penulis berharap pembaca sekalian “dibesarkan” oleh kisah-kisah yang berada di dalam komik (disadur dari kitab Mahabharata) karya RA Kosasih. Sungguh, meskipun kisah-kisah tersebut sangat panjang, rumit dan memakan waktu lama untuk dipahami, namun penulis sangat menikmati kisah yang dibawakan dengan utuh oleh RA Kosasih ini.
Meskipun Kitab Mahabharata berasal dari agama Hindu, namun kisah-kisah berikut penokohan yang ada di dalam kitab tersebut sangat relevan di dalam memahami subjek kepemimpinan. Kisah kepahlawan, riwayat hidup raja-raja; keruntuhan dan berdirinya kerajaan; kebijaksanaan dalam memerintah kerajaan, nilai atau peri hidup yang dianut manusia pada zaman dahulu, digambarkan dengan rinci dalam kisah Mahabharata ini. Dibangun dengan rangkaian cerita berlapis yang penuh konflik dan intrik, kisah anak manusia selama 4 hingga 5 generasi lebih dituturkan dalam 16 buku.
Penulis dalam pemahaman kanak-kanak menerjemahkan arti kisah tersebut dengan sangat sederhana, yakni “tidak meniru karakter antagonis/jahat”. Karakter jahat yang penulis maksud seperti: suka berbohong, licik, menindas dan memperdaya orang lemah, dan berlaku tidak adil. Di dalam Mahabharata dikisahkan bagaimana kesudahan orang-orang yang "berkarakter jahat" tersebut. Lalu pelajaran yang kedua adalah senantiasa berbuat baik dan berlaku adil karena keadilan dan kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan.
Namun semakin bertambahnya usia, pandangan kanak-kanak tersebut semakin jauh berkembang. Esensi cerita bukan lagi tentang masalah karakter “antagonis/ jahat” yang mesti dijauhi, namun kisah tersebut berkembang menjadi lebih kompleks:
• Bagaimana memahami berbagai tipologi kerajaan/ organisasi/ negara, seperti “Hastinapura vs Indraprasta”;
• Bagaimana sejatinya sifat kepemimpinan itu? Apakah seperti: “Sri Kresna Sang Pembawa Kebijakan”;
• Bagaimana karakter kepemimpinan kitab Mahabharata? Apakah seperti: “Yudistira yang Jujur”, “Sangkuni sang Penjilat”, atau “Duryudana sang Penjahat”? dst.
Kepemimpinan dalam Kitab Mahabharata
Dalam kisah Mahabharata, yang sudah ditulis ribuan tahun yang lalu, sudah ditulis runtun bahwa kepemimpinan yang adil dan bijaksana akan membawa kemakmuran dan ketentraman bagi rakyatnya. Di bawah pemerintahan “Yudhistira yang jujur”, adanya penegakan dan kepastian hukum akan menarik para saudagar dari kerajaan-kerajaan lain. Sehingga kerajaan dipimpin raja yang senantiasa mengayomi raknyatnya akan semakin maju dan tumbuh sebagai pusat kegiatan perekonomian.
Meskipun kerajaan semula dipimpin oleh raja yang bijaksana, oknum-oknum yang berpotensi “melemahkan kerajaan” senantiasa ada. “Duryudana sang Penjahat” yang saat itu belum menjadi raja dapat dijadikan contoh: sebagai pimpinan “klan Kurawa”, ia secara jelas menunjukkan bahwa ia bukanlah karakter pimpinan yang baik. Ia adalah orang yang selalu melanggar hukum dan etika. Ia akan senantiasa mengakali sistem, dan membuat sistem tersebut lemah, bahkan tunduk atas kehendaknya. “Duryudana sang Penjahat” memiliki basis kroni yang kuat: bersama 98 saudaranya, ia membentuk kerajaan yang terus berekspansi, namun dibangun di atas sistem yang korup.
Di bawah "kepemimpinan Duryudana", dibalik kemajuan negara/ kerajaan yang dia pimpin, rakyat gelisah karena tidak dilindungi hukum; ketimpangan ekonomi terjadi, dimana seringkali terjadi penjarahan dan perampokan di pintu-pintu perbatasan kerajaan; punggawa-punggawa dan petinggi seringkali melanggar hukum dan korup; sehingga terjadi arus migrasi ke kerajaan-kerajaan lain yang memberikan kepastian dan perlindungan hukum.
Oknum lain yang melemahkan kerajaan adalah “Sangkuni sang Penjilat”. Ia adalah oportunis yang sangat licik dan tamak. Asalkan kepentingannya didahulukan, Ia tidak ragu memihak kepada siapapun, meskipun itu akan menyakiti lawan maupun kawan. Lambat laun, iapun membangun kekuatan yang secara korosif merusak organisasi. Kerusakan moralpun semakin menjadi, dimana anggota organisasi menjadi semakin permisif melakukan pelanggaran, korupsi bahkan perampokan semakin meraja-lela di tengah-tengah masyarakat. Karena itulah di tengah-tengah pemerintahan sang Raja yang bijaksana, kehadiran “Sangkuni sang Penjilat” tidak dirasakan dalam waktu yang lama. Namun ibarat bom waktu atau penyakit kanker, ia akan melumpuhkan kerajaan begitu ia memperoleh kekuatan. Dan secara kebetulan, kisah yang sudah ribuan tahun ditulis ini terjadi tidak jauh dari halaman rumah kita.
Penutup
Tentunya pembaca senantiasa ingin agar kebangunan organisasi/ kerajaan/ negara dapat bertahan lama, tidak diganggu oleh efek “korosif” dan “korup” yang dipraktikan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Kisah Mahabharata memberikan banyak sekali perumpamaan bagi pembaca sekalian dan dirasa sangat relevan dengan kompleksitas organisasi modern.
Bagaimana dengan organisasi anda?
Meskipun Kitab Mahabharata berasal dari agama Hindu, namun kisah-kisah berikut penokohan yang ada di dalam kitab tersebut sangat relevan di dalam memahami subjek kepemimpinan. Kisah kepahlawan, riwayat hidup raja-raja; keruntuhan dan berdirinya kerajaan; kebijaksanaan dalam memerintah kerajaan, nilai atau peri hidup yang dianut manusia pada zaman dahulu, digambarkan dengan rinci dalam kisah Mahabharata ini. Dibangun dengan rangkaian cerita berlapis yang penuh konflik dan intrik, kisah anak manusia selama 4 hingga 5 generasi lebih dituturkan dalam 16 buku.
Penulis dalam pemahaman kanak-kanak menerjemahkan arti kisah tersebut dengan sangat sederhana, yakni “tidak meniru karakter antagonis/jahat”. Karakter jahat yang penulis maksud seperti: suka berbohong, licik, menindas dan memperdaya orang lemah, dan berlaku tidak adil. Di dalam Mahabharata dikisahkan bagaimana kesudahan orang-orang yang "berkarakter jahat" tersebut. Lalu pelajaran yang kedua adalah senantiasa berbuat baik dan berlaku adil karena keadilan dan kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan.
Namun semakin bertambahnya usia, pandangan kanak-kanak tersebut semakin jauh berkembang. Esensi cerita bukan lagi tentang masalah karakter “antagonis/ jahat” yang mesti dijauhi, namun kisah tersebut berkembang menjadi lebih kompleks:
• Bagaimana memahami berbagai tipologi kerajaan/ organisasi/ negara, seperti “Hastinapura vs Indraprasta”;
• Bagaimana sejatinya sifat kepemimpinan itu? Apakah seperti: “Sri Kresna Sang Pembawa Kebijakan”;
• Bagaimana karakter kepemimpinan kitab Mahabharata? Apakah seperti: “Yudistira yang Jujur”, “Sangkuni sang Penjilat”, atau “Duryudana sang Penjahat”? dst.
Kepemimpinan dalam Kitab Mahabharata
Dalam kisah Mahabharata, yang sudah ditulis ribuan tahun yang lalu, sudah ditulis runtun bahwa kepemimpinan yang adil dan bijaksana akan membawa kemakmuran dan ketentraman bagi rakyatnya. Di bawah pemerintahan “Yudhistira yang jujur”, adanya penegakan dan kepastian hukum akan menarik para saudagar dari kerajaan-kerajaan lain. Sehingga kerajaan dipimpin raja yang senantiasa mengayomi raknyatnya akan semakin maju dan tumbuh sebagai pusat kegiatan perekonomian.
Meskipun kerajaan semula dipimpin oleh raja yang bijaksana, oknum-oknum yang berpotensi “melemahkan kerajaan” senantiasa ada. “Duryudana sang Penjahat” yang saat itu belum menjadi raja dapat dijadikan contoh: sebagai pimpinan “klan Kurawa”, ia secara jelas menunjukkan bahwa ia bukanlah karakter pimpinan yang baik. Ia adalah orang yang selalu melanggar hukum dan etika. Ia akan senantiasa mengakali sistem, dan membuat sistem tersebut lemah, bahkan tunduk atas kehendaknya. “Duryudana sang Penjahat” memiliki basis kroni yang kuat: bersama 98 saudaranya, ia membentuk kerajaan yang terus berekspansi, namun dibangun di atas sistem yang korup.
Di bawah "kepemimpinan Duryudana", dibalik kemajuan negara/ kerajaan yang dia pimpin, rakyat gelisah karena tidak dilindungi hukum; ketimpangan ekonomi terjadi, dimana seringkali terjadi penjarahan dan perampokan di pintu-pintu perbatasan kerajaan; punggawa-punggawa dan petinggi seringkali melanggar hukum dan korup; sehingga terjadi arus migrasi ke kerajaan-kerajaan lain yang memberikan kepastian dan perlindungan hukum.
Oknum lain yang melemahkan kerajaan adalah “Sangkuni sang Penjilat”. Ia adalah oportunis yang sangat licik dan tamak. Asalkan kepentingannya didahulukan, Ia tidak ragu memihak kepada siapapun, meskipun itu akan menyakiti lawan maupun kawan. Lambat laun, iapun membangun kekuatan yang secara korosif merusak organisasi. Kerusakan moralpun semakin menjadi, dimana anggota organisasi menjadi semakin permisif melakukan pelanggaran, korupsi bahkan perampokan semakin meraja-lela di tengah-tengah masyarakat. Karena itulah di tengah-tengah pemerintahan sang Raja yang bijaksana, kehadiran “Sangkuni sang Penjilat” tidak dirasakan dalam waktu yang lama. Namun ibarat bom waktu atau penyakit kanker, ia akan melumpuhkan kerajaan begitu ia memperoleh kekuatan. Dan secara kebetulan, kisah yang sudah ribuan tahun ditulis ini terjadi tidak jauh dari halaman rumah kita.
Penutup
Tentunya pembaca senantiasa ingin agar kebangunan organisasi/ kerajaan/ negara dapat bertahan lama, tidak diganggu oleh efek “korosif” dan “korup” yang dipraktikan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Kisah Mahabharata memberikan banyak sekali perumpamaan bagi pembaca sekalian dan dirasa sangat relevan dengan kompleksitas organisasi modern.
Bagaimana dengan organisasi anda?
Rabu, Agustus 18, 2010
Efek Intangible vs Tangible dalam Pengembangan Organisasi
Masih mengenai lesson learned perjalanan penulis ke Indonesia timur beberapa waktu yang lalu, artikel kali ini mengenai pemahaman intangible vs tangible effect Perusahaan dalam Pengembangan Organisasi.
Asset tangible dalam terminologi akuntansi merupakan asset bergerak maupun yang tak bergerak, (seperti: kendaraan, mesin, bangunan, tanah, dll). Sedangkan asset intangible adalah asset yang tidak dapat dilihat, namun memiliki efek dalam laporan keuangan, seperti: hak cipta (dalam wujud merk/logo, lisensi), good will, dll.
Tangible Effect dalam Keseharian
Dalam beberapa tulisan, penulis seringkali memaparkan "efek intangible", namun biasanya efek-efek intangible tersebut luput dari perhatian pembaca sekalian. Hal ini disebabkan begitu banyaknya transaksi dan eksekusi sederhana yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari secara sadar dan berdasarkan pengetahuan yang pembaca miliki, seperti: menabung, berinvestasi, menjalankan networking, menyekolahkan anak, membaca buku (termasuk blog ini), bergabung dalam beberapa komunitas, dll. Kesemua kegiatan di atas belum dapat dirasakan saat ini bahkan merupakan biaya (cost). Namun dampaknya baru dirasakan pada masa yang akan datang (the later effect).
Tahukah pembaca, jika secara agregat seluruh transaksi serta eksekusi kecil hingga eksekusi berskala besar dikumpulkan – berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh populasi bangsa ini, maka benang merahnya adalah “pembangunan asset intangible bangsa”.
Namun sebelum sampai ke sana, seberapa banyak pembangunan/ pengembangan organisasi yang berorientasi pengembangan asset intangible terhadap asset tangible di perusahaan/ organisasi anda?
Pengembangan Organisasi berorientasi Asset Tangible
Terkait pertumbuhan asset tangible (dengan asumsi tidak ada pertambahan asset intangible):
- Seberapa banyak infrastruktur bergerak/tak bergerak diinvestasikan perusahaan?
- Apakah image perusahaan dibangun berdasarkan prestise/ penampakan?
- Apakah kemajuan perusahaan (oleh manajemen) didefinisikan dengan bertambahnya jumlah gedung kantor, tanah, serta akuisisi asset tak bergerak lainnya?
- Apakah keputusan strategis penting di dalam perusahaan didorong oleh “trend sesaat” atau strategi kompetitor, tanpa mempertimbangkan pengembangan kapasitas internal serta dampak jangka panjang perusahaan?
- Apakah penghargaan, bonus, remunerasi, dll, diberikan kepada pemenang (usual suspect): seperti: sales of the year, best employee, dst?
Pengembangan Organisasi berorientasi Asset Intangible
Terkait pertumbuhan asset intangible (dengan asumsi tidak ada pertambahan asset tangible):
- Seberapa banyak investasi perusahaan dilakukan terhadap infrastruktur intangible (pembangunan jaringan IT, penggunaan aplikasi software/ otomasi, pelatihan SDM, dll)?
- Apakah image perusahaan dibangun berdasarkan kekuatan personal atau aspek intelektual yang dimiliki perusahaan?
- Apakah kemajuan perusahaan (oleh manajemen) didefinisikan dengan bertambahnya jumlah personil yang memiliki sertifikasi profesi (internasional maupun lokal), penggunaan sistem ter-update, dan kecepatan (percepatan kompetensi SDM)?
- Apakah keputusan penting dan paling strategis yang dilakukan perusahaan sering kali di dorong oleh pengembangan kapasitas internal dan memiliki horizon jangka panjang?
- Apakah penghargaan, bonus, remunerasi, dll, diberikan kepada inventor: inovasi karyawan/ hak cipta karyawan?
Penutup
Sebagai penutup, berkaca dari beberapa pertanyaan di atas, jika kecenderungan perusahaan bertumpu pada pembangunan aspek tangible dibandingkan intangible, maka berhati-hatilah:
Bagi manajemen, strategi yang dibangun berdasarkan prestise/ penampakan, tanpa memperhatikan kapasitas internal dalam jangka pendek akan berhasil baik, namun dalam jangka panjang akan menimbulkan stagnasi, karena bangunan dibangun di atas fondasi yang keropos.
Bagi para anda para pekerja pengetahuan (knowledge workers): ini merupakan zona kuning bagi anda. Karena selama bekerja di perusahaan, hanya anda selaku knowledge worker yang melakukan self-appraisal terhadap asset-asset intelektual yang anda miliki.
Asset tangible dalam terminologi akuntansi merupakan asset bergerak maupun yang tak bergerak, (seperti: kendaraan, mesin, bangunan, tanah, dll). Sedangkan asset intangible adalah asset yang tidak dapat dilihat, namun memiliki efek dalam laporan keuangan, seperti: hak cipta (dalam wujud merk/logo, lisensi), good will, dll.
Tangible Effect dalam Keseharian
Dalam beberapa tulisan, penulis seringkali memaparkan "efek intangible", namun biasanya efek-efek intangible tersebut luput dari perhatian pembaca sekalian. Hal ini disebabkan begitu banyaknya transaksi dan eksekusi sederhana yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari secara sadar dan berdasarkan pengetahuan yang pembaca miliki, seperti: menabung, berinvestasi, menjalankan networking, menyekolahkan anak, membaca buku (termasuk blog ini), bergabung dalam beberapa komunitas, dll. Kesemua kegiatan di atas belum dapat dirasakan saat ini bahkan merupakan biaya (cost). Namun dampaknya baru dirasakan pada masa yang akan datang (the later effect).
Tahukah pembaca, jika secara agregat seluruh transaksi serta eksekusi kecil hingga eksekusi berskala besar dikumpulkan – berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh populasi bangsa ini, maka benang merahnya adalah “pembangunan asset intangible bangsa”.
Namun sebelum sampai ke sana, seberapa banyak pembangunan/ pengembangan organisasi yang berorientasi pengembangan asset intangible terhadap asset tangible di perusahaan/ organisasi anda?
Pengembangan Organisasi berorientasi Asset Tangible
Terkait pertumbuhan asset tangible (dengan asumsi tidak ada pertambahan asset intangible):
- Seberapa banyak infrastruktur bergerak/tak bergerak diinvestasikan perusahaan?
- Apakah image perusahaan dibangun berdasarkan prestise/ penampakan?
- Apakah kemajuan perusahaan (oleh manajemen) didefinisikan dengan bertambahnya jumlah gedung kantor, tanah, serta akuisisi asset tak bergerak lainnya?
- Apakah keputusan strategis penting di dalam perusahaan didorong oleh “trend sesaat” atau strategi kompetitor, tanpa mempertimbangkan pengembangan kapasitas internal serta dampak jangka panjang perusahaan?
- Apakah penghargaan, bonus, remunerasi, dll, diberikan kepada pemenang (usual suspect): seperti: sales of the year, best employee, dst?
Pengembangan Organisasi berorientasi Asset Intangible
Terkait pertumbuhan asset intangible (dengan asumsi tidak ada pertambahan asset tangible):
- Seberapa banyak investasi perusahaan dilakukan terhadap infrastruktur intangible (pembangunan jaringan IT, penggunaan aplikasi software/ otomasi, pelatihan SDM, dll)?
- Apakah image perusahaan dibangun berdasarkan kekuatan personal atau aspek intelektual yang dimiliki perusahaan?
- Apakah kemajuan perusahaan (oleh manajemen) didefinisikan dengan bertambahnya jumlah personil yang memiliki sertifikasi profesi (internasional maupun lokal), penggunaan sistem ter-update, dan kecepatan (percepatan kompetensi SDM)?
- Apakah keputusan penting dan paling strategis yang dilakukan perusahaan sering kali di dorong oleh pengembangan kapasitas internal dan memiliki horizon jangka panjang?
- Apakah penghargaan, bonus, remunerasi, dll, diberikan kepada inventor: inovasi karyawan/ hak cipta karyawan?
Penutup
Sebagai penutup, berkaca dari beberapa pertanyaan di atas, jika kecenderungan perusahaan bertumpu pada pembangunan aspek tangible dibandingkan intangible, maka berhati-hatilah:
Bagi manajemen, strategi yang dibangun berdasarkan prestise/ penampakan, tanpa memperhatikan kapasitas internal dalam jangka pendek akan berhasil baik, namun dalam jangka panjang akan menimbulkan stagnasi, karena bangunan dibangun di atas fondasi yang keropos.
Bagi para anda para pekerja pengetahuan (knowledge workers): ini merupakan zona kuning bagi anda. Karena selama bekerja di perusahaan, hanya anda selaku knowledge worker yang melakukan self-appraisal terhadap asset-asset intelektual yang anda miliki.
Selasa, Agustus 10, 2010
Perjalanan di Era Pengetahuan
Di era pengetahuan, urat nadi Perusahaan sesungguhnya berasal dari laju informasi, didukung oleh infrastruktur yang kuat dan reliable. Laju informasi yang masuk dan keluar dari Perusahaan sedemikian rupa haruslah memiliki nilai tambah, khususnya dalam hal pengambilan keputusan dan eksekusi strategi perusahaan ke depan. Untuk itu, berbagai software pengelolaan database, arus data, maupun informasi internal dan external perusahaan terkait "pengetahuan pelanggan" menjadi semakin mengemuka. Sehingga setiap denyut nadi Perusahaan dapat dimonitor secara efektif oleh Manajemen.
Perjalanan menuju perusahaan yang berbasiskan pengetahuan akan tertahan bilamana para anggota organisasi tidak memiliki pemahaman pentingnya pengelolaan pengetahuan, tertib prosedur dan pengadministrasian, hingga akibat intangible bagi perusahaan di masa yang akan datang-sebagai hasil penerapan sistem di masa kini.
Demi mengeksekusi strategi organisasi yang berbasis pengetahuan, seringkali bukan teknologi yang muncul sebagai "pemenang" di tengah-tengah pertaruhan investasi Manajemen. Manajemen seringkali dikalahkan oleh jajaran yang tidak ingin berubah, sehingga berbagai upaya dilakukan jajaran, mulai dari pelanggaran aturan, prosedur, hingga memanipulasi hasil keluaran atau output dari sistem untuk menimbulkan "kericuhan internal". Sertamerta, jajaran mulai menantang "kebangunan sistem" yang telah diinvestasikan oleh Manajemen-yang oleh mereka menimbulkan "kehancuran tatanan" yang berlangsung lama dalam organisasi.
Tidak hanya sampai di situ, kaburnya batas-batas kewenangan di dalam mengelola informasi, transaksi dan pengambilan keputusan menyebabkan sebagian risiko bertumpu di tangan satu orang dan di sisi lain sekelompok orang menikmati hidup tanpa risiko berarti.
Perubahan Adalah Sesuatu yang Pasti
Implikasi kebangunan suatu sistem adalah setiap orang-perorang mulai dari Direktur hingga unit terkecil memiliki tanggung jawab untuk memastikan tegaknya sistem, prosedur, aturan, hingga bagian terkecil (baca: tertib administrasi) yang seringkali dianggap sebagai pekerjaan yang kecil dan tidak penting. Namun justru pekerjaan sederhana tsb yang menentukan hidup matinya perusahaan dalam gambaran yang lebih besar.
Selain sosialisasi, pembekalan teknis, hingga upaya perubahan paradigma para anggota organisasi-yang sebetulnya tidak menyentuh masalah organisasi sebenarnya atau bahkan mungkin menyentuh "riak-riak masalah" di permukaan. Sehingga pada tahap implementasi, seringkali kegagalan ditemui sebagai akibat belum siapnya jajaran menemui dan menjalani perubahan yang berlaku. Lalu apakah perubahan itu?
Perubahan adalah ibarat kerikil yang tidak menyamankan hidup anda. Namun jika kerikil tersebut dibiarkan menumpuk di hadapan anda, maka lama kelamaan kerikil tersebut akan menjadi gunung yang menghambat karier anda bahkan masa depan perusahaan anda.
Mungkin saja "genderang perubahan" belum terdengar nyaring di telinga jajaran, sebagai akibat kokohnya tatanan di dalam organisasi. Namun derasnya persaingan akan semakin memojokkan para "pemegang status quo". Dan berdo'a semoga perjalanan menempuh milestone demi milestone menuju era pengetahuan dapat berjalan dengan lancar. Semoga!
Perjalanan menuju perusahaan yang berbasiskan pengetahuan akan tertahan bilamana para anggota organisasi tidak memiliki pemahaman pentingnya pengelolaan pengetahuan, tertib prosedur dan pengadministrasian, hingga akibat intangible bagi perusahaan di masa yang akan datang-sebagai hasil penerapan sistem di masa kini.
Demi mengeksekusi strategi organisasi yang berbasis pengetahuan, seringkali bukan teknologi yang muncul sebagai "pemenang" di tengah-tengah pertaruhan investasi Manajemen. Manajemen seringkali dikalahkan oleh jajaran yang tidak ingin berubah, sehingga berbagai upaya dilakukan jajaran, mulai dari pelanggaran aturan, prosedur, hingga memanipulasi hasil keluaran atau output dari sistem untuk menimbulkan "kericuhan internal". Sertamerta, jajaran mulai menantang "kebangunan sistem" yang telah diinvestasikan oleh Manajemen-yang oleh mereka menimbulkan "kehancuran tatanan" yang berlangsung lama dalam organisasi.
Tidak hanya sampai di situ, kaburnya batas-batas kewenangan di dalam mengelola informasi, transaksi dan pengambilan keputusan menyebabkan sebagian risiko bertumpu di tangan satu orang dan di sisi lain sekelompok orang menikmati hidup tanpa risiko berarti.
Perubahan Adalah Sesuatu yang Pasti
Implikasi kebangunan suatu sistem adalah setiap orang-perorang mulai dari Direktur hingga unit terkecil memiliki tanggung jawab untuk memastikan tegaknya sistem, prosedur, aturan, hingga bagian terkecil (baca: tertib administrasi) yang seringkali dianggap sebagai pekerjaan yang kecil dan tidak penting. Namun justru pekerjaan sederhana tsb yang menentukan hidup matinya perusahaan dalam gambaran yang lebih besar.
Selain sosialisasi, pembekalan teknis, hingga upaya perubahan paradigma para anggota organisasi-yang sebetulnya tidak menyentuh masalah organisasi sebenarnya atau bahkan mungkin menyentuh "riak-riak masalah" di permukaan. Sehingga pada tahap implementasi, seringkali kegagalan ditemui sebagai akibat belum siapnya jajaran menemui dan menjalani perubahan yang berlaku. Lalu apakah perubahan itu?
Perubahan adalah ibarat kerikil yang tidak menyamankan hidup anda. Namun jika kerikil tersebut dibiarkan menumpuk di hadapan anda, maka lama kelamaan kerikil tersebut akan menjadi gunung yang menghambat karier anda bahkan masa depan perusahaan anda.
Mungkin saja "genderang perubahan" belum terdengar nyaring di telinga jajaran, sebagai akibat kokohnya tatanan di dalam organisasi. Namun derasnya persaingan akan semakin memojokkan para "pemegang status quo". Dan berdo'a semoga perjalanan menempuh milestone demi milestone menuju era pengetahuan dapat berjalan dengan lancar. Semoga!
Senin, Juli 12, 2010
Rajutan dan Building Block Organisasi
Menekuni hobby yang pernah penulis tekuni belasan tahun yang lalu: merajut, memberikan inspirasi di dalam tulisan kali ini.
Rajutan merupakan seni yang berkembang dari era Victorian Inggris, menyebar pada era kolonial hingga ke Indonesia. Dipraktikkan secara turun temurun, hingga generasi sekarang.
Lalu apa istimewanya seni rajut ini? Rajutan berasal dari gulungan benang, dirantai (sebagai building block/ kerangka rajutan), mengikuti teknik rajut tertentu, hingga menjadi karya rajut yang indah. Sebelum pengrajut menyelesaikan suatu karya rajutan, mereka harus membayangkan produk apa yang ingin dibuat, pola/ teknik seperti apa yang diinginkan, jenis benang dan jenis jarum seperti apa yang digunakan. Kemudian pada proses pengerjaan dibutuhkan kedisiplinan yang tinggi para pengrajut hingga target akhir rajutan ini terselesaikan/ terwujud. Terdapat kepuasan tersendiri bilamana karya rajutan terselesaikan dan disukai handai taulan yang mengenakannya.
Building Block Organisasi dalam karya Rajut
Kembali ke masalah organisasi.... "fondasi" bagi terbentuknya organisasi adalah misi-visi-strategi: akan dibawa ke mana organisasi ini dalam 5-10 tahun ke depan? pencapaian seperti apa dinginkan oleh organisasi? dan strategi seperti apa yang akan dijalankan organisasi? struktur organisasi seperti apa yang dapat mewujudkan strategi tersebut? Dan ingatlah: situasi pengembangan fondasi organisasi tersebut adalah bagaikan benang yang belum terajut. Berbagai kemungkinan dapat diwujudkan, hanya dari segulung benang.
Berawal dari fondasi tersebut, lalu bagaimana kebangunan organisasi selanjutnya? Bangunlah rantai perintah, kebijakan serta mekanisme yang solid. Pastikan terbentuknya suatu disiplin (reward - punishment), sebagaimana keteraturan dalam pola rajutan.
Keteraturan dan kedisiplinan sesuai dengan kerangka yang telah disepakati akan menciptakan hasil/ result yang baik, sebagaimana hasil akhir karya rajutan.
Bagaimana jika building block organisasi tidak berhasil baik? Ingatlah karya rajut yang simpang siur, tumpang tindih, tanpa bisa diperbaiki. Ruas demi ruas berikut teknik rajut yang dibuat semaunya, bertambal sulam, dan tidak terpola dengan baik. Sungguh bentuknya pun tidak sedap dipandang, dan bahkan tidak ada seorangpun yang ingin mengenakan karya rajutan tersebut.
Sambil menyelesaikan karya rajutan penulis, penulis membayangkan kebiasaan "tambal sulam" organisasi setiap kali berganti kepemimpinan (direksi/ pemerintahan/ dst). Selalu terdapat kebijakan baru (pola baru), orang-orang baru (rantai baru), tambahan di sana-sini (ornamen yang sebetulnya tidak perlu) disudut-sudut organisasi. Dan berdo'a semoga rajutan organisasi tersebut menjadi semakin indah....
Rajutan merupakan seni yang berkembang dari era Victorian Inggris, menyebar pada era kolonial hingga ke Indonesia. Dipraktikkan secara turun temurun, hingga generasi sekarang.
Lalu apa istimewanya seni rajut ini? Rajutan berasal dari gulungan benang, dirantai (sebagai building block/ kerangka rajutan), mengikuti teknik rajut tertentu, hingga menjadi karya rajut yang indah. Sebelum pengrajut menyelesaikan suatu karya rajutan, mereka harus membayangkan produk apa yang ingin dibuat, pola/ teknik seperti apa yang diinginkan, jenis benang dan jenis jarum seperti apa yang digunakan. Kemudian pada proses pengerjaan dibutuhkan kedisiplinan yang tinggi para pengrajut hingga target akhir rajutan ini terselesaikan/ terwujud. Terdapat kepuasan tersendiri bilamana karya rajutan terselesaikan dan disukai handai taulan yang mengenakannya.
Building Block Organisasi dalam karya Rajut
Kembali ke masalah organisasi.... "fondasi" bagi terbentuknya organisasi adalah misi-visi-strategi: akan dibawa ke mana organisasi ini dalam 5-10 tahun ke depan? pencapaian seperti apa dinginkan oleh organisasi? dan strategi seperti apa yang akan dijalankan organisasi? struktur organisasi seperti apa yang dapat mewujudkan strategi tersebut? Dan ingatlah: situasi pengembangan fondasi organisasi tersebut adalah bagaikan benang yang belum terajut. Berbagai kemungkinan dapat diwujudkan, hanya dari segulung benang.
Berawal dari fondasi tersebut, lalu bagaimana kebangunan organisasi selanjutnya? Bangunlah rantai perintah, kebijakan serta mekanisme yang solid. Pastikan terbentuknya suatu disiplin (reward - punishment), sebagaimana keteraturan dalam pola rajutan.
Keteraturan dan kedisiplinan sesuai dengan kerangka yang telah disepakati akan menciptakan hasil/ result yang baik, sebagaimana hasil akhir karya rajutan.
Bagaimana jika building block organisasi tidak berhasil baik? Ingatlah karya rajut yang simpang siur, tumpang tindih, tanpa bisa diperbaiki. Ruas demi ruas berikut teknik rajut yang dibuat semaunya, bertambal sulam, dan tidak terpola dengan baik. Sungguh bentuknya pun tidak sedap dipandang, dan bahkan tidak ada seorangpun yang ingin mengenakan karya rajutan tersebut.
Sambil menyelesaikan karya rajutan penulis, penulis membayangkan kebiasaan "tambal sulam" organisasi setiap kali berganti kepemimpinan (direksi/ pemerintahan/ dst). Selalu terdapat kebijakan baru (pola baru), orang-orang baru (rantai baru), tambahan di sana-sini (ornamen yang sebetulnya tidak perlu) disudut-sudut organisasi. Dan berdo'a semoga rajutan organisasi tersebut menjadi semakin indah....
Memelihara Semangat di dalam Menjaga "Code of Conduct" Organisasi
Selama hidup di dalam organisasi, kehidupan dalam organisasi sesungguhnya penuh warna: berubah-ubah seperti beraraknya awan. Terkadang mendung, cerah, atau bahkan “sekelumit” badai menerpa.
Hidup dan kehidupan di dalam organisasi juga bagaikan mengupas bawang: semakin lama hidup di dalam organisasi, semakin tercium nilai organisasi yang sesungguhnya... Dan pada perjalanannya, “semakin berair” mata terpapar gas yang dikeluarkan bawang.
Sehingga dalam menyikapi hidup di dalam berbagai organisasi yang penuh warna ini, “true north” yang wajib menjadi panduan para anggota organisasi adalah code of conduct. Code of conduct berisi panduan hak, tanggung jawab dan kewewenangan anggota organisasi yang didasarkan pada lima prinsip-prinsip, yaitu: keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi dan kewajaran.
Sesungguhnya kelima nilai-nilai yang penulis sebutkan di atas bermakna dalam, karena hanya dengan dasar-dasar tersebutlah organisasi tersebut didirikan untuk “going concern”. Bahwa perusahaan itu tumbuh, membesarkan orang-orang di dalamnya dan hidup di dalam jalan/ visi yang dibangun oleh organisasi tersebut.
True north yang dimaksud bagaikan rasi bintang timur, penunjuk arah di malam yang gelap. Artinya, bilamana ada keraguan ke mana dan bagaimana anggota harus bertindak sebagai akibat adanya pelanggaran code; atau terdapat perubahan strategi; atau struktur yang mengakibatkan meningkatnya kompleksitas di dalam organisasi.
Seringkali masalah di tengah kompleksitas organisasi adalah memudarnya semangat menegakkan code of conduct-yang umumnya bersifat kaku dan tidak selalu dilakukan aktualisasi/ pembaharuan secara berkala.
Masing-masing anggota organisasi "merasa" telah menempuh pengalaman organisasi yang begitu panjang, menghadapi pasang surutnya bisnis - setelah berbelas tahun kebersamaan terjadi... Namun perlahan semangat itu dapat meluntur, berganti dengan “semangat individual” yang memperjuangkan kepentingan dalam “kerajaan-kerajaan kecil”.
Lahirnya kepentingan itu kemudian meningkatkan independensi “anggota kerajaan”. Ini memungkinkan tumbuhnya “sub culture” kerajaan baru yang menyebabkan keterbukaan antar anggota kerajaan yang mungkin saja semakin dibatasi/ kaku. Sehingga perlahan namun pasti, tanggung jawab dan akuntabilitas yang semula memiliki “cakrawala luas” di dalam visi membesarkan organisasi, kini hanya cukup dalam visi kecil/jarak pandang yang dekat (Baca: Silo di dalam organisasi).
Transisi tsb di sisi lain akan menguntungkan dan merugikan sebagian orang, dan di sisi lain tidak menggoyahkan sebagian anggota yang merasa indifferent atau masa bodoh dengan kondisi dan situasi seperti ini.
Memperbaharui Relevansi Code of Conduct
Untuk kasus di atas, relevansi code of conduct perlu terus diperbaharui dalam kebijakan, SOP, aplikasi-aplikasi IT maupun pengembangan mekanisme yang memungkinkan sinergi anggota-anggota organisasi berjalan secara maksimal.
Meskipun telah ditopang oleh lima prinsip universal, fungsi check and balance di dalam organisasi mesti tetap dijalankan meskipun hal tsb menjadi mahal dan rumit. Masing-masing departemen haruslah mempertanggungjawabkan kinerja yang terukur dengan indikator yang jelas. Transparansi pelaporan harus dilakukan secara tepat waktu. Dan setiap anggota organisasi memahami sejauh mana organisasi ini akan berkembang melalui pemaparan strategi, dan cascading strategi yang diberikan oleh masing-masing departemen.
Akhirnya dalam jangka panjang budaya yang akan terbentuk adalah hasil atau result yang berasal dari eksekusi-eksekusi kecil di dalam organisasi anda.
Bagaimana dengan organisasi anda?
Jumat, Juli 02, 2010
Parenting dan Kepemimpinan
Melalui tulisan ini penulis membahas aspek kepemimpinan dan parenting. Masalah kepemimpinan merupakan suatu hal yang krusial dalam setiap organisasi, bahkan unit organisasi terkecil dalam suatu negara (keluarga). Sehingga tidak heran ditemukan begitu banyak literatur, training, serta alat test mengenai kepemimpinan.
Peran penting kepemimpinan dan parenting menjadi perenungan yang panjang ketika penulis membaca satu dari trilogi "Anak Super: Personal Condition" dari Shifu Yonathan Purnomo dan "Personal Image", sebuah Audio book dari Zig Ziglar. Sungguh, meskipun bahasannya berakar dari 2 budaya yang berbeda, namun mereka membawa pesan-pesan yang universal yang akan penulis bahas dalam artikel kali ini.
Hadist Islam: “menikah menyempurnakan agama” dari aspek kepemimpinan dan parenting sangat relevan. Dua insan yang menyatu dalam ikatan formal dan disahkan oleh negara akan mengemban tanggungjawab sebagai: suami/ istri, sebagai orang tua, dan sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Dalam lingkungan yang lebih luas mereka akan berkiprah sebagai warga (lingkup RT/RW); sebagai “ambassador”/ duta besar bagi 2 keluarga besar yang mereka punyai; menjadi pembawa nilai khas keluarga masing-masing. Hal ini menjadi dominan ketika mereka berketurunan, karena mereka bertanggungjawab dalam hal mendidik dan menjamin keamanan sosial (lahir) dan batin keluarga inti, hingga kelak saatnya si anak beranjak dewasa.
Shifu Yonathan menggunakan kiasan parenting dengan kisah Bambu Mo Shu:
Bambu Mo Shu merupakan tanaman satu-satunya yang tidak dapat dicabut dari tanah. Selama 5 tahun pertama pertumbuhannya, bambu tersebut tidak menunjukkan perubahan. Setelah 5 tahun, Bambu Mo Shu tumbuh dengan kecepatan yang mengagumkan: 10-11 cm per hari hingga mencapai tinggi 9 meter, hanya dalam waktu 6 minggu.
Lalu apa yang dilakukan Bambu Mo Shu tersebut? Ternyata lima tahun pertama dalam hidupnya, akarnya menghunjam bumi berkilo-kilo meter jauhnya.
Jika dianalogikan dengan pendidikan anak, maka orang tua perlu memberikan "bekal intangible" selama 5-12 tahun pertama usia anak. Meskipun pendidikan mental dan bekal spiritual pada saat ini belum terlihat, namun pada tahun-tahun di usia dewasa sang anak, berbagai prestasi dan pencapaian akan tercapai-sebagaimana Bambu Mo Shu tersebut.
Perumpamaan kedua yang diajarkan Shifu tersebut adalah: "Memelihara harimau akan mewarisi malapetaka."
Artinya, meskipun anak-anak kecil terlihat lucu dan tidak berdaya, orang tua harus mampu memberikan "batas", atau dalam artian kemudahan dan kelonggaran yang proporsional. Jika gagal, bisa jadi semua kebebasan yang kebablasan ini akan mengubah mereka ketika dewasa menjadi buas, bagaikan harimau yang sesungguhnya. Dan ini akan menjadi sumber bencana bilamana mereka kelaparan dan marah. Dan pada saat itulah terjadi penyesalan karena kedua orang tua tsb tak lagi memiliki daya dan upaya untuk mengendalikan mereka.
Di belahan bumi lainnya, Zig Ziglar mengungkapkan kegelisahannya bahwa negaranya bukanlah merupakan tempat yang aman bagi anak-anak. Kejahatan, pornografi, peredaran obat terlarang menjadi hal yang lumrah. Ini diperburuk lagi dengan hasil pendidikan sekolah yang menjadikan lulusannya menjadi sangat materialistik dan mementingkan personal image, namun mengabaikan karakter. Krisis keuangan yang terjadi di AS seharusnya sudah bisa diprediksi jauh hari, sebagai akibat tidak adanya pendidikan moral (yang berasal dari pendidikan agama-yang sama sekali tidak diajarkan di sekolah-sekolah AS). Beliau menghimbau bahwa sudah saatnya pendidikan moral (dan mata ajaran agama) diajarkan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah AS.
Kesimpulan
Kepemimpinan berjalan beriringan dengan parenting. Kepemimpinan orang tua di dalam keluarga memiliki peranan yang paling krusial. Orang tualah yang menanamkan value/ nilai; mengajarkan hal-hal yang paling prinsip dan paling penting; memberikan pendidikan yang patut dan layak; dan mengendalikan mereka selagi masih bisa.
Sebagai penutup, nasihat dari Zig:
"Negative Condition is the mother of learning, the father of action, and the architect of failure; while Positive Condition is the mother of learning, the father of action and the architect of success"
Peran penting kepemimpinan dan parenting menjadi perenungan yang panjang ketika penulis membaca satu dari trilogi "Anak Super: Personal Condition" dari Shifu Yonathan Purnomo dan "Personal Image", sebuah Audio book dari Zig Ziglar. Sungguh, meskipun bahasannya berakar dari 2 budaya yang berbeda, namun mereka membawa pesan-pesan yang universal yang akan penulis bahas dalam artikel kali ini.
Hadist Islam: “menikah menyempurnakan agama” dari aspek kepemimpinan dan parenting sangat relevan. Dua insan yang menyatu dalam ikatan formal dan disahkan oleh negara akan mengemban tanggungjawab sebagai: suami/ istri, sebagai orang tua, dan sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Dalam lingkungan yang lebih luas mereka akan berkiprah sebagai warga (lingkup RT/RW); sebagai “ambassador”/ duta besar bagi 2 keluarga besar yang mereka punyai; menjadi pembawa nilai khas keluarga masing-masing. Hal ini menjadi dominan ketika mereka berketurunan, karena mereka bertanggungjawab dalam hal mendidik dan menjamin keamanan sosial (lahir) dan batin keluarga inti, hingga kelak saatnya si anak beranjak dewasa.
Shifu Yonathan menggunakan kiasan parenting dengan kisah Bambu Mo Shu:
Bambu Mo Shu merupakan tanaman satu-satunya yang tidak dapat dicabut dari tanah. Selama 5 tahun pertama pertumbuhannya, bambu tersebut tidak menunjukkan perubahan. Setelah 5 tahun, Bambu Mo Shu tumbuh dengan kecepatan yang mengagumkan: 10-11 cm per hari hingga mencapai tinggi 9 meter, hanya dalam waktu 6 minggu.
Lalu apa yang dilakukan Bambu Mo Shu tersebut? Ternyata lima tahun pertama dalam hidupnya, akarnya menghunjam bumi berkilo-kilo meter jauhnya.
Jika dianalogikan dengan pendidikan anak, maka orang tua perlu memberikan "bekal intangible" selama 5-12 tahun pertama usia anak. Meskipun pendidikan mental dan bekal spiritual pada saat ini belum terlihat, namun pada tahun-tahun di usia dewasa sang anak, berbagai prestasi dan pencapaian akan tercapai-sebagaimana Bambu Mo Shu tersebut.
Perumpamaan kedua yang diajarkan Shifu tersebut adalah: "Memelihara harimau akan mewarisi malapetaka."
Artinya, meskipun anak-anak kecil terlihat lucu dan tidak berdaya, orang tua harus mampu memberikan "batas", atau dalam artian kemudahan dan kelonggaran yang proporsional. Jika gagal, bisa jadi semua kebebasan yang kebablasan ini akan mengubah mereka ketika dewasa menjadi buas, bagaikan harimau yang sesungguhnya. Dan ini akan menjadi sumber bencana bilamana mereka kelaparan dan marah. Dan pada saat itulah terjadi penyesalan karena kedua orang tua tsb tak lagi memiliki daya dan upaya untuk mengendalikan mereka.
Di belahan bumi lainnya, Zig Ziglar mengungkapkan kegelisahannya bahwa negaranya bukanlah merupakan tempat yang aman bagi anak-anak. Kejahatan, pornografi, peredaran obat terlarang menjadi hal yang lumrah. Ini diperburuk lagi dengan hasil pendidikan sekolah yang menjadikan lulusannya menjadi sangat materialistik dan mementingkan personal image, namun mengabaikan karakter. Krisis keuangan yang terjadi di AS seharusnya sudah bisa diprediksi jauh hari, sebagai akibat tidak adanya pendidikan moral (yang berasal dari pendidikan agama-yang sama sekali tidak diajarkan di sekolah-sekolah AS). Beliau menghimbau bahwa sudah saatnya pendidikan moral (dan mata ajaran agama) diajarkan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah AS.
Kesimpulan
Kepemimpinan berjalan beriringan dengan parenting. Kepemimpinan orang tua di dalam keluarga memiliki peranan yang paling krusial. Orang tualah yang menanamkan value/ nilai; mengajarkan hal-hal yang paling prinsip dan paling penting; memberikan pendidikan yang patut dan layak; dan mengendalikan mereka selagi masih bisa.
Sebagai penutup, nasihat dari Zig:
"Negative Condition is the mother of learning, the father of action, and the architect of failure; while Positive Condition is the mother of learning, the father of action and the architect of success"
Jumat, Juni 25, 2010
Piala Dunia 2010 & OD Exercise
Akhir-akhir ini demam sepak bola Piala Dunia 2010 melanda. Semua mata kini tertuju ke Afrika Selatan, tuan rumah kali ini. Bagi pembaca yang bukan penggila dan penikmat bola: tidak ada salahnya memperhatikan bagaimana sepak terjang 32 negara yang terbagi ke dalam 8 grup ini. Berbagai kejutan pada minggu-minggu terakhir ini terjadi, mulai dari tersingkirnya juara-juara dunia; tim "underdog" yang mengalahkan tim "raksasa"; krisis kepercayaan pemain-pelatih; dan berbagai kejadian menarik lainnya. Dan tentunya bagi penulis, mengaitkan sepak bola dengan pengembangan organisasi menjadi sangat menarik untuk dibahas.
Globalisasi dunia sepak bola memungkinkan para pemain memiliki pengalaman berlatih dan jam terbang pertandingan internasional yang merata, demikian juga dengan pelatih yang bereputasi baik. Mereka memiliki mobilitas yang sangat dinamis, sehingga materi pemain dan pelatih bukan lagi menjadi issue penting dan dominasi negara-negara tertentu. Hasilnya pun dapat kita saksikan dengan berbagai pertandingan seru, penuh kejutan dan tidak lagi melulu dimenangkan juara bertahan dunia.
Disadari, bola itu bundar: kemenangan dan kekalahan tak lagi bisa diprediksi, meskipun telah ada kecanggihan "statistik bola" dan informasi sepakbola yang "sangat transparan". Di sepanjang pertandingan kita saksikan sukses tidaknya suatu tim nasional ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah: kualitas pemain (fisik/psikis), kaderisasi pemain dalam tim nasional, kepemimpinan pelatih, strategi yang digunakan, dan tentunya faktor keberuntungan.
Insiden pelatih-pemain mewarnai salah satu tim. Moralitas pemain menurun seiring dengan diusirnya seorang pemain yang merupakan andalan tim. Tiadanya dukungan akhirnya melemahkan tim dan kekalahan diprediksi akan mendera tim ini. Sebaliknya ada tim yang tidak diduga lolos saringan klasemen, dikarenakan begitu harmonisnya hubungan sang pelatih dan tim.
Demikian juga dengan kaderisasi pemain, tim-tim nasional yang menurunkan pemain-pemain muda yang relatif segar dan sehat melawan tim-tim nasional yang penuh dengan pemain tua yang lelah dan cedera. Pertandingan menjadi semakin seru karena agresifitas pemain yang sangat bersemangat mengatasi lawan-lawannya dan motivasi untuk menang!
Strategi permainan seperti: komposisi pemain, taktik bertahan/ menyerang, kecepatan, penguasaan bola, pergantian pemain, dst. akan memastikan solidnya ritme permainan yang tujuan akhirnya adalah kemenangan. Kepemimpinan pelatih dan kerjasama pemain di lapangan di dalam menerjemahkan strategi yang dimaksud pelatih menjadi sangat menentukan. Sehingga tidak jarang pasca pertandingan, baik pelatih atau pemain secara sportif akan saling memuji atau bahkan bertanggungjawab atas hasil pertandingan tim: menang atau kalah.
OD Exercise di Perusahaan Anda
Jika pembelajaran ini dipraktikkan di dalam organisasi anda, tentunya berbagai manfaat besar akan diperoleh, misalnya:
* efektifitas penggunaan "statistik bola" di dalam perusahaan anda, yakni: sesi "Performance Management" secara periodik. Atasan anda secara rinci mencatatkan prestasi anda dan memastikan anda senantiasa meningkatkan performa anda.
* Strategi perusahaan yang tidak hanya merupakan "benda abstrak" yang berada di atas kertas namun dapat dieksekusi dalam bentuk gol-gol/ pencapaian yang indah namun realistis.
* Kepelatihan/ kepemimpinan kuat yang mampu menginspirasikan moral jajarannya untuk mengusahakan yang terbaik, sehingga jajaran merupakan pemain-pemain yang "bermain untuk menang".
* Sportifitas permainan berupa etika yang dijunjung tinggi para "pemain" berupa Good Governance, yang memastikan pengawasan organ perusahaan berikut jajarannya. Sehingga pelanggaran peraturan, penyalahgunaan kewenangan, dst dapat diatasi.
Bagaimana dengan organisasi anda?
Globalisasi dunia sepak bola memungkinkan para pemain memiliki pengalaman berlatih dan jam terbang pertandingan internasional yang merata, demikian juga dengan pelatih yang bereputasi baik. Mereka memiliki mobilitas yang sangat dinamis, sehingga materi pemain dan pelatih bukan lagi menjadi issue penting dan dominasi negara-negara tertentu. Hasilnya pun dapat kita saksikan dengan berbagai pertandingan seru, penuh kejutan dan tidak lagi melulu dimenangkan juara bertahan dunia.
Disadari, bola itu bundar: kemenangan dan kekalahan tak lagi bisa diprediksi, meskipun telah ada kecanggihan "statistik bola" dan informasi sepakbola yang "sangat transparan". Di sepanjang pertandingan kita saksikan sukses tidaknya suatu tim nasional ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah: kualitas pemain (fisik/psikis), kaderisasi pemain dalam tim nasional, kepemimpinan pelatih, strategi yang digunakan, dan tentunya faktor keberuntungan.
Insiden pelatih-pemain mewarnai salah satu tim. Moralitas pemain menurun seiring dengan diusirnya seorang pemain yang merupakan andalan tim. Tiadanya dukungan akhirnya melemahkan tim dan kekalahan diprediksi akan mendera tim ini. Sebaliknya ada tim yang tidak diduga lolos saringan klasemen, dikarenakan begitu harmonisnya hubungan sang pelatih dan tim.
Demikian juga dengan kaderisasi pemain, tim-tim nasional yang menurunkan pemain-pemain muda yang relatif segar dan sehat melawan tim-tim nasional yang penuh dengan pemain tua yang lelah dan cedera. Pertandingan menjadi semakin seru karena agresifitas pemain yang sangat bersemangat mengatasi lawan-lawannya dan motivasi untuk menang!
Strategi permainan seperti: komposisi pemain, taktik bertahan/ menyerang, kecepatan, penguasaan bola, pergantian pemain, dst. akan memastikan solidnya ritme permainan yang tujuan akhirnya adalah kemenangan. Kepemimpinan pelatih dan kerjasama pemain di lapangan di dalam menerjemahkan strategi yang dimaksud pelatih menjadi sangat menentukan. Sehingga tidak jarang pasca pertandingan, baik pelatih atau pemain secara sportif akan saling memuji atau bahkan bertanggungjawab atas hasil pertandingan tim: menang atau kalah.
OD Exercise di Perusahaan Anda
Jika pembelajaran ini dipraktikkan di dalam organisasi anda, tentunya berbagai manfaat besar akan diperoleh, misalnya:
* efektifitas penggunaan "statistik bola" di dalam perusahaan anda, yakni: sesi "Performance Management" secara periodik. Atasan anda secara rinci mencatatkan prestasi anda dan memastikan anda senantiasa meningkatkan performa anda.
* Strategi perusahaan yang tidak hanya merupakan "benda abstrak" yang berada di atas kertas namun dapat dieksekusi dalam bentuk gol-gol/ pencapaian yang indah namun realistis.
* Kepelatihan/ kepemimpinan kuat yang mampu menginspirasikan moral jajarannya untuk mengusahakan yang terbaik, sehingga jajaran merupakan pemain-pemain yang "bermain untuk menang".
* Sportifitas permainan berupa etika yang dijunjung tinggi para "pemain" berupa Good Governance, yang memastikan pengawasan organ perusahaan berikut jajarannya. Sehingga pelanggaran peraturan, penyalahgunaan kewenangan, dst dapat diatasi.
Bagaimana dengan organisasi anda?
Rabu, Juni 09, 2010
Demam Prezi & Berbagi Pengetahuan
Pembaca sekalian, ditengah derasnya arus informasi, kita dituntut untuk bijak di dalam memilih dan memilah informasi, bijak dalam mengklasifikasikan informasi dan tentunya menyimpan informasi. Namun bagaimana jika pada suatu ketika kita diminta untuk mempresentasikan suatu konsep, makalah, literatur, temuan, atau berkenaan dengan pengetahuan baru, dalam waktu yang teramat singkat? Tentunya kepanikan tiba-tiba melanda sang pembicara, karena begitu banyaknya informasi dan pengetahuan yang ingin dibagikan.
Lembaran slides yang sangat banyak, diwarnai dengan detail, memenuhi makalah presentasi. Lalu tambahan demi tambahan slides di sana sini menjadi sebuah lampiran. Dan kumpulan lampiran tersebut menjadi indeks.
Pada saat presentasi tiba, penonton dihujani dengan banyak informasi, definisi, contoh dan detail. Presentasi menjadi sangat membosankan, dan demikian juga dengan pemirsa.
Belakangan ini, sebuah software baru berbasis web 2.0 dikembangkan dengan semangat berbagi pengetahuan, dan berlaku seperti "blog curahan pikiran" di dalam kanvas-kanvas prezi. Prezi, sebagaimana power point presentation, hanya menggunakan satu (!) halaman/ kanvas saja untuk menuangkan keseluruhan pikiran anda.
Diilhami oleh "jalan zen", prezi menginginkan presenter memberikan satu gambaran, framework, dimana pemirsa dengan mudah dapat mengikuti alur pemikiran si presenter hanya dalam satu kanvas. Kemudian pemirsa secara interaktif dapat melayangkan pertanyaan, tanpa menginterupsi presenter untuk memindahkan/ mencari slides demi slides mencarikan jawaban yang dimaksud, seperti pada power point presentation.
Tampilan Prezi sangatlah simple. Seperti mind map, anda tinggal mengetik "judul besar", poin utama, poin penjelas, dan catatan, gambar, media (you tube, Pdf, jpg) di kanvas; mengelompokkan issues/ bahasan menggunakan "framework".
Hirarki informasipun dibuat berdasarkan "besar kecilnya huruf". Dan akhirnya untuk alur/ plot presentasi tinggal tambahkan "path" dalam satu klik pada kanvas prezi. Lalu biarkan prezi melakukan demo (zoom-in & zoom out) presentasi anda.
Penulis yang belum lama ini mencoba software inipun merasa sangat terbantu. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat penulis dapat menguasai penggunaan software ini karena begitu user friendly-nya software ini.
Prezi, sebagaimana jalan zen, menyederhanakan (namun tidak mempermudah) presenter dalam mempresentasikan makalah. "Demam prezi" kinipun melanda akademisi, profesional, bahkan pelajar di berbagai belahan dunia. Bagaimana dengan anda?
Informasi lebih lanjut:
http://blog.prezi.com/
www.prezi.com
http://prezi.com/learn/
demo prezi:
tugas/instruksi
prezi-tation
Lembaran slides yang sangat banyak, diwarnai dengan detail, memenuhi makalah presentasi. Lalu tambahan demi tambahan slides di sana sini menjadi sebuah lampiran. Dan kumpulan lampiran tersebut menjadi indeks.
Pada saat presentasi tiba, penonton dihujani dengan banyak informasi, definisi, contoh dan detail. Presentasi menjadi sangat membosankan, dan demikian juga dengan pemirsa.
Belakangan ini, sebuah software baru berbasis web 2.0 dikembangkan dengan semangat berbagi pengetahuan, dan berlaku seperti "blog curahan pikiran" di dalam kanvas-kanvas prezi. Prezi, sebagaimana power point presentation, hanya menggunakan satu (!) halaman/ kanvas saja untuk menuangkan keseluruhan pikiran anda.
Diilhami oleh "jalan zen", prezi menginginkan presenter memberikan satu gambaran, framework, dimana pemirsa dengan mudah dapat mengikuti alur pemikiran si presenter hanya dalam satu kanvas. Kemudian pemirsa secara interaktif dapat melayangkan pertanyaan, tanpa menginterupsi presenter untuk memindahkan/ mencari slides demi slides mencarikan jawaban yang dimaksud, seperti pada power point presentation.
Tampilan Prezi sangatlah simple. Seperti mind map, anda tinggal mengetik "judul besar", poin utama, poin penjelas, dan catatan, gambar, media (you tube, Pdf, jpg) di kanvas; mengelompokkan issues/ bahasan menggunakan "framework".
Hirarki informasipun dibuat berdasarkan "besar kecilnya huruf". Dan akhirnya untuk alur/ plot presentasi tinggal tambahkan "path" dalam satu klik pada kanvas prezi. Lalu biarkan prezi melakukan demo (zoom-in & zoom out) presentasi anda.
Penulis yang belum lama ini mencoba software inipun merasa sangat terbantu. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat penulis dapat menguasai penggunaan software ini karena begitu user friendly-nya software ini.
Prezi, sebagaimana jalan zen, menyederhanakan (namun tidak mempermudah) presenter dalam mempresentasikan makalah. "Demam prezi" kinipun melanda akademisi, profesional, bahkan pelajar di berbagai belahan dunia. Bagaimana dengan anda?
Informasi lebih lanjut:
http://blog.prezi.com/
www.prezi.com
http://prezi.com/learn/
demo prezi:
tugas/instruksi
prezi-tation
Langganan:
Postingan (Atom)