
Baru-baru ini penulis terlibat dalam sebuah pembicaraan hangat dan menjadi topik kali ini. Pasangan keluarga yang sudah cukup lama penulis kenal membahas seputar anak-anak mereka. Setelah lama bercengkrama, pasangan tersebut kemudian menanyakan 3 pertanyaan kepada penulis:
• Mengapa si Buyung tidak mau belajar?
• Mengapa si Upik tidak berprestasi, meskipun kami telah habis-habisan berinvestasi pendidikan di tempat-tempat terbaik?
• Lalu ada apa dengan mereka?
Penulispun menjawab pertanyaan mereka dengan memberikan 3 pertanyaan:
• Apakah ada lingkungan yang memungkinkan mereka belajar? Ruangan yang memberikan ketenangan, orang yang senantiasa mengingatkan & menyemangati mereka untuk terus belajar?
• Apakah orang tua mengontrol "output" dari investasi pendidikan tsb dan memberikan arahan?
• Apakah orang tua memperkenalkan "konsekuensi hidup" kepada mereka (disiplin)?
Sesaat merekapun terdiam, namun berusaha menjawab pertanyaan penulis dengan berbagai argumen, solusi, dan dilema yang mereka alami ketika mengeksekusi 3 hal yang telah penulis tanyakan. Ananda telah diberikan fasilitas, ruangan belajar, privasi, line internet 24 jam, kegiatan ekstra kulikuler yang terstruktur. Imbuh mereka: ananda telah diberikan nasihat dan arahan setelah melihat laporan pendidikan yang sedang/telah mereka ambil dan bahkan merekapun tak sempat memiliki waktu untuk diri mereka sendiri... Semua pengorbanan ini demi masa depan ananda.
Penulis lalu terlibat pembicaraan dengan anaknya:
“Kamu tahu nanti sudah besar ingin jadi apa?”
Sejenak dia terdiam dan menjawab-yang penulis rasa merupakan jawaban sekenanya: “Hmmm, aku mau jadi dokter.”
"Kamu tahu apa yang harus dilakukan jika ingin jadi dokter?"
“Nilai IPA-ku harus tinggi... Aku harus bisa IPA”
“Bagus, apakah sekarang apakah nilai IPA-mu tinggi?"
“Nggak..”
“Kamu punya cita-cita lain?”
“Ada, aku mau jadi psikolog.”
“Apa yang harus kamu lakukan jika kamu ingin jadi psikolog?”
Hening sesaat....
Penulis katakan: “Kamu harus bisa matematika, kamu harus tahu tentang "sebab dan akibat" atau logika. Karena itu menjadi psikolog yang hebat matematika-nya harus hebat”

Jadi, jika sang anak suatu saat ditanya tentang cita-cita namun sang anak tidak tahu mau jadi apa. Maka waspadalah, sang anak belum punya bayangan atau strategi bagaimana untuk mencapai cita-cita tsb, apalagi jika mereka tidak dikelilingi oleh "contoh teladan" yang biasa mengajari dan menyemangati mereka.
Dan di sisi lain, jika orang tua tidak tahu batas-batas mana yang "pantas" dan yang "sudah melampaui batas" untuk mengukur tolok ukur keberhasilan sesuai dengan dengan tingkat perkembangan usia mereka, maka merekapun tidak akan paham kapan cut-off investasi dilakukan. Dan ini diperparah lagi dengan ketidaktegasan dalam memberikan konsekuensi kepada anak dan seperti apa bentuk investasinya (apakah mendidik dan sejalan dengan tingkat perkembangan usia?).

Di sisi lain orang tua secara konsisten merefleksikan kepada mereka bahwa esensi menjalankan hidup adalah "seperti" kebanyakan orang, dari pada “menjadi” diri sendiri dan mandiri.
Lalu, bagaimana dengan nilai keluarga anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar