Pada pidato penutupan Rapim TNI/ Polri 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merealisasikan peningkatan kesejahteraan prajurit TNI dan Polri. Melalui program remunerasi ini, Presiden berharap adanya peningkatan kesejahteraan prajurit – yang disesuaikan setiap tahun – akan meningkatkan kinerja dan prestasi prajurit. Pidato Presiden pada hari Jumat lalu (21/1/2011) kemudian menuai kritik, karena Presiden menyoal gajinya yang tak kunjung naik dalam kurun waktu tujuh tahun.
Hingga tulisan ini dibuat, berbagai ulasan di media massa: mulai dari kritik tidak tepat sasarannya komunikasi politik Presiden, membandingkan gaji presiden dengan gaji negara besar lainnya (seperti negara Cina dan India), hingga suara pembaca yang menambah semaraknya "insiden" ini.
Lalu, apa dan bagaimana seharusnya sistem remunerasi itu? Bagaimana bentuk peningkatan kesejahteraan yang ideal? Best practice seperti apa yang patut dicontoh oleh negara kita? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab dalam artikel ini.
Sistem remunerasi sesungguhnya merupakan stuktur penggajian karyawan yang mengatur seberapa besar nominal yang diberikan kepada karyawan dalam bentuk gaji. Sesederhana itu. Namun permasalahan remunerasi menjadi semakin kompleks di dalam organisasi yang lebih besar (dalam skala lembaga negara).
Kompleksitas sistem ini kemudian diwarnai oleh masuknya sub sistem-subsistem HR dan aturan-aturan mengikat lainnya: seperti Performance Management System (performa karyawan/ individu, pencapaian unit kerja), Training & Development System (training/ pendidikan tertentu sebagai prasyarat), aturan-aturan penyesuaian untuk karyawan yang baru mutasi dari daerah lain, karyawan yang di-demosi (diturunkan pangkatnya), karyawan yang dipromosi, dan ketentuan-ketentuan lainnya.
Lalu bagaimana menentukan gaji Presiden? Terdapat 3 alternatif yang didapat dari berbagai media dan suara pembaca:
Pilihan 1: Menetapkan gaji presiden yang diukur berdasarkan GDP (Pendapatan Domestic Gross) bisa merupakan alternatif, mengingat GDP negara adalah sebagai tolok ukur profitabilitas/ produktifitas suatu negara. Di dalam perusahaan tolok ukur ini wajar karena gaji CEO ditentukan seberapa besar profitabilitas perusahaan yang dipimpinnya. Semakin besar GDP, semakin besar pemasukan negara, maka semakin besar gaji presiden.
Pilihan 2: Menetapkan gaji presiden berdasarkan kinerja Presiden juga dapat diterima. Karena bilamana di awal masa bhakti presiden telah ada "kontrak kinerja", jika tidak tercapai selama kurun waktu presiden menjabat, maka gaji presiden tidak harus dinaikkan. Di dalam perusahaan hal ini juga wajar, contohnya Bill Ford dari Ford Motor Company tidak menerima gaji sepeserpun semenjak Ford dinyatakan merugi. Rasanya tindakan yang dilakukan pimpinan untuk tidak menaikkan gaji, bahkan tidak menerima gaji sepeserpun patut dicontoh. Selain moralitas warga negara meningkat, presiden juga menunjukkan keprihatinan terhadap kondisi yang dihadapi negara ini.
Pilihan 3: Membandingkan gaji presiden dengan gaji presiden di belahan negara lain rasanya merupakan alternatif yang bagus, karena publik telah melakukan "salary survey" terhadap gaji presiden. Media membandingkan negara yang luas dan penduduknya lebih banyak dari Indonesia seperti India dan Cina, namun ternyata gaji presidennya lebih kecil dari Indonesia.
Sehingga berkaca dari polemik yang muncul akhir-akhir ini, perlu digagas sejauh mana “batas-batas remunerasi” yang wajar diterima Presiden, dan alternatif remunerasi mana yang akan di ambil. Dan kewajaran itu sesungguhnya berpulang pada sejauh mana keseriusan aparatur negara dalam membenahi atau bahkan mereformasi sistem remunerasi di negara kita. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar