Rabu, Desember 28, 2011

Asal Hidup Bagian II


Aku nggak mau anakku menjadi orang yang paling aneh di sekolah. Kalaupun dia harus menonton siaran TV, dia harus aku dampingi


Begitu komentar salah satu orang tua yang masih terhitung saudara penulis. Sehari bersama berkendaraan menempuh perjalanan antar kota dengan mereka, penulis cukup panik menghadapi 2 anak yang menirukan adegan/ lakon sebuah siaran live di TV swasta terkemuka Indonesia. Nyanyian dan ucapan yang keluar dari bibir-bibir mungil tersebut tidak pantas, bahkan terkesan sebagai anak yang kurang terdidik oleh kedua orang tuanya yang nota bene sangat terdidik. Hal ini membuat penulis merasa gemas, apalagi anak penulis yang masih TK berkali-kali mengingatkan mereka, ”Hei, itu tidak sopan!”.

***

Menjelang malam, penulis pun mengevaluasi kedua anak tersebut, “Kalian harus berjanji ya, sepulang dari liburan ini jangan menonton siaran xxx lagi. Itu siaran yang tidak pantas ditonton dan ditiru. Tengoklah anak-anak yang kita temui di K******A tadi, mereka menggunakan bahasa Inggris, Indonesia dan terkadang Mandarin. Mereka tidak sempat menonton acara seperti itu”.
“Iya, aku janji.”
Tak lama, orang tua si anak memberikan argumentasi seperti di atas. Mendapat dukungan, si anak kemudian menimpali perkataan orang tuanya.
“Tapi Mbak, aku ini kan tinggal di desa.”
“Ya, meskipun kalian tinggal jauh dari kota, tapi gantungkan cita-cita setinggi langit. Kalian suatu saat akan bersekolah dan bekerja di sini. Sekarang dengan laptop kecil kalian, masih ada banyak hal yang bisa dipelajari”.


Segera setelah percakapan menarik ini, kami menindaklanjuti masalah ini dengan berembuk, bagaimana keluarga terdekat kami tidak menonton acara yang tidak mendidik ini, mulai menyeleksi acara, atau berlangganan TV prabayar, atau menciptakan kebiasaan-kebiasaan baik, mendidik dan bernilai tambah. Namun sayang, solusi tersebut belum begitu penting mengingat masalah besar dan pelik belumlah tampak di depan mata. Sehingga penulis melanjutkan pembahasan ini dalam tulisan “Asal Hidup Bagian II”

Kata-kata asal hidup pada tulisan sebelumnya ditujukan pada organisasi, keluarga atau bahkan individu yang tidak memiliki perencanaan, contingency plan, bahkan struktur, aturan, hingga prosedur yang jelas. Segala hal yang serba tidak jelas ini menyebabkan orang-orang yang hidup di dalamnya terjerumus ke dalam situasi yang relatif "tidak menguntungkan" dalam jangka panjang.

Lama tidak merenungkan kata Asal Hidup, seperti sambaran petir penulis terbawa oleh emosi “Asal Hidup” ini. Bayangkan sebuah keluarga yang tidak memagari, memberikan rambu-rambu, menumbuhkan, mendidik, mengeksplorasi, mengevaluasi, menganalogikan, mendekatkan dan berdiskusi dengan anak tercinta, lalu apa yang akan terjadi ketika si anak kemudian bertambah umur? Tentunya kebingungan, tidak bisa membedakan mana yang patut dan tidak, mana yang baik dan jelek, mana yang harus dilanjutkan dan dihentikan segera akan dihadapi sang anak.

Mereka bagaikan tanaman liar yang telah berurat berakar, tumbuh sekenanya. Mereka seperti tanaman tidak sempat dipangkas, disiangi, disirami, diberikan pupuk, dan diberikan sinar matahari yang cukup. Dalam jangka panjang, siapapun mungkin akan terkejut sendiri melihat betapa pesatnya perkembangan kebiasaan-kebiasaan baru tumbuh ini: menjadi cabang-cabang kecil, membesar, dan perlahan-lahan menghancurkan kebiasaan-kebiasaan lama yang relatif baik, bahkan nilai-nilai luhur keluarga yang semestinya hidup dan senantiasa dijalankan oleh sang anak hingga kelak beranjak dewasa. Bayangkan jika hal ini terjadi di tengah keluarga-keluarga kecil secara jamak.

Mencermati kata “saya tidak ingin anak saya tidak seperti anak-anak kebanyakan”, di belantara media yang sangat tidak ramah kepada anak-anak, hingga menyebabkan kebanyakan masyarakat ini menjadi “sakit”- tidak tahu lagi apa yang penting dan tidak penting, to learn and unlearned (Schein). Sehingga penulis merasa perlu menekankan pada tulisan ini “ikutilah nilai universal, dimana pada tahap perkembangan seorang anak, mereka bagaikan tunas yang menyerap budaya dan sekaligus nilai-nilai luhur di sekitarnya. Pembiaran hanya akan merusak mereka. Tumbuhkanlah kebiasaan baik, siangilah atau diskusikanlah hal-hal kecil yang perlu dirubah setiap hari (start, continue, stop)". Pembaca akan merasakan sendiri, betapa berbedanya anak tersebut diantara kebanyakan anak-anak. Ucapan, kata-kata, dan tindak tanduknya akan menyejukkan hati dan membanggakan orang tua atau siapapun yang mendengarnya.

Penulis berketetapan hati tidak ingin menulis asal hidup jilid III, bilamana nilai-nilai luhur yang dipupuk setiap hari, oleh keluarga, guru, dan lingkungan yang tidak kenal lelah memelihara tunas-tunas bangsa, anak-anak kita. Semoga.

Tidak ada komentar: