"If you want one year of prosperity, plant seeds.
If you want ten years of prosperity, plant trees.
If you want one hundred years of prosperity, educate people."
Pepatah Cina
Sebuah pepatah yang menggambarkan bagaimana suatu bangsa mendapatkan kemakmuran beratus tahun lamanya dengan mendidik generasinya. Sejalan dengan prinsip yang diajarkan kepada penulis sewaktu sekolah dulu: dimana kewajiban manusia untuk senantiasa menuntut ilmu hingga ke liang lahat. Tidak hanya di sekolah, namun dimanapun ia berada.
Sebuah buku menarik "Generation Debt" yang ditulis oleh seorang pengarang muda Amerika, Anya Kamenetz (2006), seorang ekonom, blogger, pemerhati pendidikan dan sekaligus representatif generasi Y. Buku yang lahir dari keprihatinan penulis terhadap trend ekonomi, krisis yang melanda keuangan US-yang dampaknya yang masih dirasakan hingga saat ini, dikaitkan dengan pinjaman yang harus dibayarkan pelajar. Buku yang disambut berbagai kritik oleh para ekonom senior namun layak dicermati, dimana luasnya krisis ini akan berimbas pada intangible effect yakni rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya intellectual capital yang merupakan resultante dari rendahnya tingkat pendidikan, bahkan hilangnya generasi suatu bangsa....
Indonesia, surga dimana para orang tua bertanggung jawab penuh dan berjuang membiayai kuliah anak-anaknya sampai lulus, sangat kontras dengan kebanyakan anak muda di luar sana (khususnya Amerika, negara dimana buku ini ditulis). Mereka bekerja serabutan untuk mendapatkan gelar akademis guna membiayai kuliah/ sekolahnya secara mandiri, dan bahkan tak jarang memiliki 10 pekerjaan berbeda. Menurut Kamenetz, jika 20 tahun lalu para generasi muda cukup bekerja pada musim panas/ musim libur sehingga dapat membiayai kuliah 1 semester, kini hal tersebut sudah tidak lagi feasible.
Bahkan mereka semakin terbenam dengan besarnya pengembalian pinjaman pendidikan yang tidak sebanding dengan "gaji pertama" yang mereka terima selepas kuliah. Efek multi krisis yang kian menjalar, yang kemudian berimbas pada satu generasi ini, dimana pemerintah lebih memprioritaskan anggarannya untuk penyehatan ekonomi sehingga dirasa Kamenetz "menyisakan" kepentingan generasi seusianya. Tergerak dengan kondisi tersebut, Kamenetz pun menulis buku mengenai "Generation Debt" dan hingga saat tulisan ini ditulis dia pun terus memikirkan bagaimana solusi/ pendidikan alternatif namun berguna bagi karir generasi tersebut dan melahirkan buku lanjutan (2010) "Edupunks, Edupreneurs, and the Coming Transformation of Higher Education".
Dari sekelumit insight/ kisah di atas, tentu kita tidak bisa membayangkan betapa berat imbas dari krisis keuangan terhadap "penciptaan generasi yang terdidik", betapa berat perjuangan mereka di dalam mencapai "degree" yang setara-setidaknya sejajar atau melebihi orang tuanya.
Berkaca dari kasus ini, memang sudah seharusnya negara memberikan pendidikan murah yang tidak hanya dapat dibiayai orang tua (dengan menguras sumberdaya dan tabungan orang tua selama belasan tahun), bahkan dapat dibiayai oleh mahasiswa/ anak itu secara mandiri demi lahirnya sebuah generasi unggul. Semoga saja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar