Beberapa waktu yang lalu penulis ditugaskan ke perusahaan lembaga keuangan terkemuka di Indonesia bagian Timur dan berkesempatan menemui CEO perusahaan tersebut. Pada sesi pertemuan, beliau memaparkan berbagai problematika unik dan khas, yang menurut penulis hanya mungkin ditemui di perusahaan tersebut.
Adapun beberapa poin permasalahan perusahaan tersebut adalah: budaya kerja perusahaan belum menunjukkan ciri sebuah lembaga keuangan terkemuka, sulitnya merubah persepsi bawahan, dan kurang ditaatinya aturan main/ kebijakan dan bahkan prinsip GCG di dalam organisasi.
Meskipun di permukaan permasalahan tampak manageable dan bahkan bisa diselesaikan secara fair, namun permasalahan di atas sangat sulit untuk diuraikan. Anggota organisasi bersatu padu menolak adanya perubahan, mempertahankan status quo, dan bahkan mengabaikan aturan-aturan main yang berlaku.
Menyimak kondisi di atas, permasalahan secara jelas berakar dari pemahaman dan pola pikir anggota organisasi yang salah, sedemikian rupa permasalahan saling mengait dan bahkan secara sistemik merusak. Disadari, budaya kerja yang baik akan muncul bilamana terdapat sistem yang baik, seperti: manajemen kinerja, reward & punishment yang jelas, sistem remunerasi yang wajar, uraian pekerjaan yang jelas, standard dan prosedur yang jelas, dst. Dan hal tersebut hendaknya didukung oleh arahan serta komitmen para pimpinan guna memastikan tegaknya aturan, konsistensi penerapan sistem, serta reward & punishment yang wajar kepada bawahannya.
Ternyata dalam praktiknya, berbagai pengambilan keputusan penting yang sebenarnya cukup memerlukan kewenangan BOD, masih ditemui campur tangan BOC yang dirasa sudah cukup dominan. Hal ini sungguh tidak sesuai dengan prinsip independensi “Good Corporate Governance”, yakni prinsip independensi independensi BOD dalam pengambilan keputusan. Kondisi “given” seperti ini sungguh merupakan kondisi yang kurang menguntungkan bagi CEO yang sudah menjalani separuh waktu masa bakti.
Kira-kira paradigma apa yang harus dipraktikkan CEO ini dalam mengawali manajemen perubahan? Tahapan-tahapan apa yang harus dilalui oleh organisasi yang ingin menjalankan perubahan mendasar, namun tanpa membuat anggota organisasi merasa “terusik”. Berikut ini pemaparan mengenai Tribal Organization.
Memahami Tribal Organization
Dalam sebuah organisasi terdapat pagar-pagar, halangan dan rintangan yang “tak tampak” yang dikuasai oleh pimpinan-pimpinan informal. Pada intinya informasi, kebijakan, dan arahan yang disampaikan oleh manajemen hendaknya harus diterima dan melewati pagar-pagar tersebut sehingga informasi, kebijakan dan arahan tersebut dapat disampaikan atau ditransmisikan ke seluruh jajaran apa adanya, sehingga informasi, kebijakan dan arahan yang sampai tidak memiliki penafsiran yang berbeda.
Sehingga ilustrasi organisasi di atas yang seolah-olah berbentuk "tribal organization" ini membutuhkan seorang "tribal leaders" yang memastikan bahwa setiap orang yang berada di dalam organisasi meyakini dan menjalankan apa yang dikatakan oleh tribal leaders tersebut. Lalu, bagaimana tahap-tahapannya, serta teknik apa saja yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa setiap tribal stages tersebut terlewati hingga mencapai kondisi yang diinginkan?
Menurut Dave Logan, John King, Halee Fischer-Wright (2008) dalam buku yang berjudul “Tribal Leadership” setiap organisasi adalah sebuah “tribe” atau suku. Dimana tribes/ suku didefinisikan sebagai sebuah jaringan yang terdiri dari group yang beranggotakan 20 hingga 150 anggota yang saling mengenal satu sama lainnya. Diakui, tribes/ suku ini jauh lebih kuat dibandingkan tim, perusahaan, dan bahkan CEO itu sendiri. Buku ini berusaha membekali para CEO/ pimpinan/ manager yang baru diangkat dalam menilai seberapa kuat “budaya tribes/ suku” di dalam organisasi ini ke dalam 5 tahapan dari skala 1 hingga 5.
Didapatnya skala ini berasal dari studi yang mereka lakukan, melibatkan 24.000 orang di lebih 24 organisasi. Pada buku ini Logan, King, and Fischer-Wright meredifinisikan dan memperbaiki “tema umum” bahwa:
• Keberhasilan organisasi tergantung dari suku/tribes yang berasal dari tribal culture; dan
• Keberhasilan upaya mencapai budaya perusahaan yang dicita-citakan ditentukan oleh para “tribal leaders” yang efektif.
Terdapat 5 tahapan tribal leadership yang mesti dipahami oleh tribal leaders untuk meningkatkan tribes/ suku ke level berikutnya, diantaranya:
• Tahap 1: tahapan yang diabaikan oleh para professional, ini adalah tribes/ suku yang tidak bersahabat, sebagaimana peran antagonis dalam drama-mereka menciptakan skandal, fraud, dan bahkan mengancam terjadinya pengrusakan.
• Tahap 2: Budaya dominan untuk 25% dari tribes/ suku di tempat kerja. Tahapan ini termasuk anggota yang secara pasif terdiri dari orang-orang antagonis, sarkastik, dan menolak inisiatif baru manajemen
• Tahap 3: 49 % tribes/ suku di tempat kerja ada dalam tahap ini, ditandai dengan pengumpul pengetahuan yang ingin mengatasi pekerjaan dan mengatasi pesaing mereka dalam basis individual. Mereka adalah “professional” yang tidak hanya ingin menang namun ingin menjadi yang terbaik di dalam organisasi mereka (“I’m great”).
• Tahap 4: transisi dari “I’m great” menjadi “we’re great” muncul dalam tahap ini dimana anggota tribe/ suku bekerja sama, beraliansi untuk perusahaan secara keseluruhan.
• Tahap 5: kurang dari 2% anggota dapat berinovasi untuk menggunakan potensi diri dalam lingkungan kerja yang menghasilkan dampak secara global.
Penutup
Sebagai penutup, peran tribal leaders di sini adalah mengidentifikasi pada tahap ke berapa organisasi ini berada, dan bahasa/ inisiasi apa yang mesti dilakukan oleh tribal leaders ini. Jika tribal leader organisasi merasa berada pada tahap tertentu, maka mereka harus dapat memahami, memotivasi dan menumbuhkan pemahaman terhadap tribe/ suku mereka sehingga friksi-friksi yang terjadi di dalam organisasi tidak akan membawa keberhasilan, dan bahkan kemajuan yang akan dinikmati bersama. Sehingga tribe/ suku akan berinovasi, menemukan cara-cara baru, untuk mengejar ketinggalan dan akhirnya meraih keberhasilan. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar