Menyimak artikel terdahulu saya yang berjudul “Menumbuhkan Benih-benih Budaya dalam Perusahaan”, tentunya para pembaca mulai bertanya-tanya, berapa lama benih-benih “Budaya” tersebut akan bertunas lalu menjadi tanaman atau bahkan menjadi pohon “Budaya”? Pembaca yang budiman, artikel kali ini akan menjawab issue mengenai satuan pengukuran tumbuh kembangnya pohon budaya yakni satuan waktu.
Adalah waktu yang dibutuhkan oleh benih untuk berkembang menjadi kecambah, lalu kecambah tumbuh menjadi tanaman kecil. Adalah waktu yang dibutuhkan ketika tanaman tersebut membesar, menjulurkan dahan dan ranting, hingga berkembang menjadi pohon yang rindang. Dan adalah waktu yang dibutuhkan oleh benih yang awalnya kecil dan tak berarti, kemudian tumbuh menjadi pohon yang teduh dan menyejukkan bagi siapa saja yang berada dibawah naungannya.
Persoalan cepat atau lambatnya perubahan budaya tersebut sebenarnya merupakan hal yang mendasari perilaku pelaku-pelaku yang ada di dalam perusahaan. Persepsi terhadap waktu akan menjadi dasar jajaran perusahaan di dalam menentukan pola pekerjaan terkait “proses pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan”. Pola pekerjaan ini akhirnya akan berdampak pada “saat-saat yang menentukan” pada level-level tertentu di Perusahaan. Misalnya: penetapan keputusan-keputusan yang penting oleh level manajemen; implementasi program dan kegiatan bagi tumbuh kembangnya benih-benih budaya oleh level pelaksana; dan “saat-saat yang menentukan” bagi penyelesaian proses sosialisasi di setiap unit-unit perusahaan. Jika level manajemen, level pelaksana dan unit di dalam organisasi memiliki persepsi akan waktu yang berbeda-beda, dapat dibayangkan akibatnya bagi organisasi. Level manajemen merasa kinerja bawahan buruk, level pelaksana merasa manajemen tidak memahami kesulitan di lapangan, dan unit-unit yang merasa kantor pusat kurang komunikasi dan koordinasi. Akibatnya, proses perubahan yang berjalan dirasa menimbulkan pertentangan dan merugikan semua pihak. Tidak heran banyak organisasi yang tak ingin berubah.
Karena persepsi setiap orang terhadap satuan waktu berbeda-beda, maka persepsi orang mengenai waktu menurut Edward Hall (1977) terdiri dari dua bagian besar yakni: (1) Monochronic dan (2) Polychronic, dimana masing-masing persepsi memiliki ciri khas tertentu. Monochronic mempersepsikan waktu sebagai hal yang linear, pekerjaan yang dapat dipotong-potong menjadi unit-unit kegiatan tersendiri seperti: pertemuan, kunjungan, dan pembuatan laporan. Namun satu unit kegiatan tersebut hanya bisa dilakukan dalam satu waktu, artinya unit-unit kegiatan tersebut dilakukan secara berurutan atau bersifat sequential. Sedangkan Polychronic adalah sebaliknya, dimana proses pekerjaan bersifat simultant, dimana seseorang dapat mengerjakan berbagai pekerjaan atau berbagai unit-unit kegiatan pada satu waktu. Dua persepsi yang ekstrim ini tentunya akan terus ada dan berjalan di dalam organisasi. Dan kita tidak bisa menilai bahwa pekerjaan sequential vs simultant adalah hal yang terbaik atau terburuk di dalam organisasi.
Kelebihan orang-orang yang sequential adalah mereka akan sangat fokus kepada pekerjaannya, terstruktur, detail dan mereka terbukti lebih produktif (tentunya dengan melakukan satu unit kegiatan pada satu waktu); sedangkan orang-orang yang simultant akan fleksibel dan efisien di dalam melakukan berbagai pekerjaan. Kelemahannya, orang-orang sequential akan sangat tersiksa mengerjakan pekerjaan yang tak beraturan/ tak terstruktur (hilang fokus), terlihat lamban di dalam menyelesaikan pekerjaan (jika pekerjaan bertumpuk); sedangkan orang yang simultant akan terlihat tidak fokus untuk menyelesaikan satu pekerjaan (kualitas pekerjaan biasa-biasa saja), terkesan mengabaikan pekerjaan yang membutuhkan detail yang tinggi.
Sehingga jika manajemen tidak bijak di dalam melihat atau menilai persepsi anak buah atau bawahannya terhadap waktu, maka perubahan demi perubahan yang ditetapkan oleh manajemen akan sia-sia belaka. Karena pada prosesnya orang-orang yang sequential membutuhkan arahan dan kejelasan terhadap urutan pekerjaannya; sedangkan orang-orang yang simultant membutuhkan pengawasan dan kegiatan yang koordinatif agar pekerjaan terselesaikan dengan tepat waktu. Jadi bisa dibayangkan bagaimana reaksi kedua orang-orang sequential dan simultant tersebut jika digabungkan, andaikata manajemen mengabaikan hal penting ini.
Interaksi Sequential Vs Simultant
Proses interaksi sequential Vs simultant membutuhkan “kesalingpengertian” dari masing-masing jajaran. Orang-orang sequential dibentuk oleh pekerjaannya yang memerlukan keterkaitan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya. Artinya pekerjaan yang satu tidak dapat diselesaikan tanpa menyelesaikan pekerjaan berikutnya. Biasanya ini ada di bagian produksi, teknis, dan memerlukan prosedur atau formulir yang terkait. Sedangkan orang- orang simultant dibentuk oleh pekerjaannya yang memerlukan proses koordinasi dan komunikasi yang aktif, sehingga pekerjaannya menjadi multitasking. Orang-orang sequential merupakan implementor yang konsisten begitu program telah digulirkan, sedangkan orang-orang simultant merupakan implementor yang berfungsi sebagai katalis yang mempercepat perwujudan program. Sehingga kunci yang harus dicermati oleh manajemen apakah orang tersebut adalah sequential /simultant adalah dari proses bisnis dan prosedur pekerjaan yang dihadapi oleh bawahannya.
Pelaksanaan Program dan Tingkat Akurasi
Pelaksanaan program berasal dari perencanaan dan tingkat akurasi program berasal dari hasil interaksi jajaran perusahaan. Sehingga yang harus diantara jajaran unit adalah konsensus waktu bagi status penyelesaian pekerjaan/ program/ kegiatan tersebut, apakah akan dilakukan dalam kurun waktu tahunan, bulanan, mingguan, kuartalan atau bahkan real time (saat itu juga)? Kemudian berapa lama toleransi yang diberikan terhadap pekerjaan dikatakan tepat waktu atau tidak tepat waktu dibandingkan dengan perencanaan yang telah dilakukan di awal? Kapankah sesi umpan balik akan dilaksanakan? Dan berapa lama pekerjaan tersebut akan dijalankan?
Unit waktu terhadap status penyelesaian pekerjaan/ program/ kegiatan tersebut merupakan hal krusial dan seringkali menjadi permasalahan bagi orang yang memiliki persepsi waktu yang berbeda. Orang sales, keuangan, dll, akan langsung menunjukkan hasil-hasil pencapaian yang telah dilakukan, sedangkan orang research, produksi, dll, sebaliknya tidak akan langsung menentukan kapan status penyelesaian dapat terselesaikan itu melainkan tergantung pada proses. Dan hal ini seringkali akan menimbulkan rasa frustrasi bagi rekan-rekan atau bahkan bagi manajemen. Sehingga unit waktu memerlukan pendefinisian ulang bagi tumbuh kembangnya Budaya Perusahaan. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar