Rabu, Juli 09, 2008

workforce planning pada organisasi matrix: studi kasus

Pengembangan kompetensi karyawan bagi organisasi matrix adalah gampang-gampang susah. Dikatakan gampang karena mereka didesain untuk multi tasking dengan menguasai beberapa pokok permasalahan atau mengerjakan beberapa project. Dikatakan sulit karena terdapat hambatan terlihat (visible barrier) dan hambatan tidak terlihat (invisible barrier).

Dikatakan Visible Barrier karena tugas-tugas atau pekerjaan terdistribusi secara bersamaan menyebabkan sulit untuk mengukur kinerja karyawan, karena mereka bergerak secara bersamaan. Sebagai konsekuensinya adalah kemajuan orang-perorang yang memberikan kontribusi kepada tim adalah prestasi tim. Sedangkan distinct contribution bagi tim akan sulit terukur.

Namun untunglah ada teknologi informasi yang mengelola hal ini, dimana terdapat sistem yang memantau penyelesaian tugas-tugas administratif, laporan kegiatan, banyaknya jam kerja serta meeting yang dihabiskan dalam melakukan delivery-bagi tim yang terhubung langsung dengan client.
System kemudian merekap aktifitas selama satu tahunan dan melalui system akan diketahui tingkat produktifitas. secara kasat mata hal tersebut sudah sangat membantu untuk mengelola performa serta workforce evaluation pada matrix organization.

Sayangnya semangat untuk mengelola performa terhalang oleh budaya "new comers" yang masih gagap teknologi. Di sisi lain pada tataran organisasi sosialisasi sistem kurang memadai, sehingga konsekuensinya adalah pemanfaatan sistem yang jauh berada dibawah potensi sistem. Hal tersebut diperparah oleh kurangnya keselarasan strategi dari workgroup tim leader yang mengedepankan strategi "forward strategy" lebih besar dibandingkan dengan inward strategy".

Akibat fatal dari ketidakselarasan strategi ini adalah sia-sianya teknologi yang sudah sangat membantu ini, performa tim yang tidak memiliki tata kelola yang baik, perencanaan work force yang kurang memadai hingga berdampak pada pengelolaan sub sistem lain seperti traning & career development, PMS, compensation and benefit, dll.

Bagaimana agar workforce planning menjadi lebih efektif pada organisasi matrix?

Jadikan setiap atasan bertanggungjawab atas "pengembangan diri" direct report-nya. Artinya atasan tidak hanya memberikan tugas yang multi tasking, atau apresiasi kepada direct report atas prestasi menyelesaikan pekerjaan yang tepat waktu dan berkualitas, namun memperhatikan pengembangan kompetensi, potensi dan aspirasi direct report-nya. Enforcement organisasi di sini adalah dengan mensejajarkan "bobot" pengembangan direct report dengan bobot kapasitas atasan dalam mencetak laba atau target strategis lainnya maka atasan dapat dikatakan "perform".


Lakukan "pengelompokan kualifikasi" karyawan berdasarkan performa bagi pengambilan keputusan yang bersifat "people management". Hal ini bermanfaat untuk menggerakkan workforce di dalam organisasi untuk membentuk apa yang diharapkan dari kelompok-kelompok kualifikasi tersebut.

Kualifikasi ini berdasarkan:
  • Performance workforce
  • Posisi dalam struktur organisasi
  • Kompetensi & Perilaku workforce
  • Budaya/ mindset workforce

Kemudian bangunlah "indeks workforce" guna memastikan tercapainya target-target workforce planning berjalan selama satu tahun atau satu periode performance appraisal. Dengan memantau indeks-indeks tersebut workforce planning pada organisasi matrix akan lebih terkelola akuntabilitasnya serta perkembangan workforce.


Tidak ada komentar: