Ini adalah tahun keenam program budaya dijadikan inisiatif strategis bagi lembaga keuangan terbesar, dan merupakan tahun kedua mengkuti proses penjurian bagi ajang yang paling bergengsi dalam organisasi ini. Mungkin pembaca bertanya-tanya, bagaimana mungkin ajang lomba budaya kerja berbalut sedikit "drama” ini menjadi kebutuhan dan sekaligus menjadi “pentas pembuktian” pimpinan unit kerja yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia? Dan mengapa dari tahun ke tahun tuntutan berkinerja tinggi dan sekaligus tuntutan kesempurnaan yang harus diemban oleh para pemangku jabatan tertinggi hingga level pelaksana tidak menyurutkan derap langkah mereka. Bahkan di tengah kesulitan infrastruktur, SDM yang kurang, penempatan pegawai di tempat terpencil, hingga menghadapi masyarakat yang dikatakan asing terhadap jasa yang ditawarkan perusahaan ini tidak menyurutkan langkah, bahkan “membakar” semangat mereka untuk menjadi yang terbaik.
Perusahaan yang pada awalnya mengalami keterpurukan, namun akhirnya bangkit menjadi perusahaan yang disegani. Kondisi awal yang menempatkan seluruh jajarannya berada pada titik nadir menjadi titik balik untuk bersatu padu dan bangkit mengejar keterpurukannya. Perjalanan dirasakan berbatu-batu dan diakui sulit. Berbagai inisiasi strategis hingga operasional yang ditetapkan perusahaan, dimana dari tahun ke tahun seluruh inisiasi tsb diterjemahkan oleh jajaran pimpinan untuk dilaksanakan di unit kerja masing-masing. Ajang bergengsi ini menjadi arena untuk menguji kesempurnaan “strategi dan eksekusi” para pimpinan unit kerja.
Di sisi lain, sebagai catatan tahun ini, ajang ini merupakan semacam stress test bagi seluruh unit kerja yang wajib berpartisipasi dengan mengirimkan perwakilan sebagai representatif terbaiknya.
Tiga Stress Test
“Stress test” di bidang manajemen risiko merupakan "uji kehandalan" model risiko perusahaan pada ekspossure risiko tertentu. Mengapa dikatakan stress test? Uji ini berguna untuk menyakini apakah model yang diimplementasikan perusahaan tsb handal di segala situasi, bahkan pada situasi genting sekalipun. Semakin stabil, semakin baik model tsb, meskipun ditekan oleh kompleksitas faktor maupun skenario kejadian.
Mereka berdatangan dari seluruh pelosok, setelah melewati serangkaian seleksi administratif. Dimana pada tahun ini seleksi administratif ini merupakan stress test pertama bagi seluruh unit kerja. Dalam waktu yang singkat para pimpinan unit kerja dan tim menuliskan narasi, contoh konkrit serta menyediakan bukti-bukti pendukung untuk 9 pilar budaya, kunci sukses pencapaian kinerja yang ditunjang oleh program-progam budaya. Yang membedakan tahun lalu dengan tahun ini, skala penilaian pada seleksi administratif dipertajam. Tidak ada ruang bagi jawaban normatif, bertele-tele, dan jauh dari gambaran realita yang diharapkan, karena tidak disertai data atau bukti pendukung. Oleh sebab itu, peserta yang berhasil bertahan pada seleksi ini hanyalah unit kerja yang secara “advance” menjalankan gebrakan revolusioner dan atau benar-benar mencurahkan seluruh perhatiannya untuk senantiasa mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas kerja, melakukan percepatan proses bisnis, inovasi, memperkokoh soliditas tim, sehingga mencapai kinerja maksimal.
Stress test kedua, pembagian kategori unit kerja yang semakin rapat. Sehingga tahun ini tidak ada excuse bagi unit kerja yang merasa “kalah bersaing” karena menghadapi unit kerja yang memiliki lebih banyak awak. Ataupun mengeluhkan tidak ada waktu mengingat kesibukan/ load pekerjaan.
Hasilnya di luar dugaan, peta persaingan kian memanas. Unit kerja “papan atas” sepertinya terlena dengan keberhasilan yang dicapai selama ini. Unit kerja “papan bawah” yang tak pernah diperhitungkan dari tahun ke tahun kemudian bangkit memimpin klasemen. Sehingga stress test ketiga, merupakan suatu uji yang akan dibuktikan pada akhir tahun nanti, apakah program budaya kerja yang telah diimplementasikan merupakan “auto pilot” yang didukung sistem, ataukah “manual” yang selalu ditentukan bahkan didikte oleh jajaran pimpinan atau pilot yang mengendalikannya.
Minggu, November 04, 2012
Mengelola Gen Y
Dari masa ke masa, setiap generasi memiliki ciri khas, karena mereka dibentuk oleh lingkungan sekeliling berupa pendidikan, fasilitas/ infrastruktur, kondisi ekonomi, geo politik, dsb. Kekhasan generasi dari masa ke masa (cohort) ini dikenal sebagai generasi baby boomers, generasi X, generasi Y, dan generasi Z. Generasi Y menjadi pembahasan karena Gen Y merupakan pendatang baru yang mulai berkiprah dalam dunia kerja.
Kehadiran generasi ini pada awalnya cukup merepotkan pimpinan level senior dan mulai dibicarakan di forum pertemuan para Change Agent. Mereka dianggap labil, tidak tahu sopan santun, tidak dimengerti dari sisi bahasa dan karakter, dst. "Label negatif" ini semakin mengemuka karena merekalah yang akan menjadi generasi penerus di perusahaan yang kebanyakan pegawainya akan menghadapi masa pensiun. Keluhan terhadap gen Y ini semakin menjadi, dan mereka bahkan dianggap sebagai biang “kontra produktif” bagi kemajuan perusahaan.
Manajemen tidak berdiam diri dengan situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan tsb. Training bertemakan gen Y pun wajib diikuti oleh para pimpinan senior. Perlahan tapi pasti, datangnya gen Y ini berhasil merubah paradigma pendatang lama. Melalui program pendampingan yang disesuaikan dengan karakteristik gen Y, mereka tidak lagi dianggap sebagai biang kontra produktifitas, namun menjadi hulu ledak bagi kreatifitas. Tidak jarang, generasi yang “melek teknologi informasi” ini secara signifikan mempercepat proses pelaksanaan kerja, di beberapa proses. Di tangan mereka, pola kerja supporting sebagai “inputter” berubah menjadi “controller” dan bahkan menjadi “analis” data bagi unit yang membutuhkan. Di sisi lain, para pegawai senior memberikan ruang bagi “sifat multitasking” gen Y (recharging energy), mengijinkan mereka menyalurkan bakat seni dan olah raga di keseharian, merangkul mereka dan berdialog dengan menjalankan hal-hal yang mereka sukai, dan bahkan berbahasa seperti layaknya bahasa mereka. Dan perlahan tapi pasti, mereka memberikan warna tersendiri bagi unit dimana mereka bekerja. Semangat mereka yang tinggi untuk belajar dan memberikan kontribusi menggugah para seniornya.
Kehadiran generasi ini pada awalnya cukup merepotkan pimpinan level senior dan mulai dibicarakan di forum pertemuan para Change Agent. Mereka dianggap labil, tidak tahu sopan santun, tidak dimengerti dari sisi bahasa dan karakter, dst. "Label negatif" ini semakin mengemuka karena merekalah yang akan menjadi generasi penerus di perusahaan yang kebanyakan pegawainya akan menghadapi masa pensiun. Keluhan terhadap gen Y ini semakin menjadi, dan mereka bahkan dianggap sebagai biang “kontra produktif” bagi kemajuan perusahaan.
Manajemen tidak berdiam diri dengan situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan tsb. Training bertemakan gen Y pun wajib diikuti oleh para pimpinan senior. Perlahan tapi pasti, datangnya gen Y ini berhasil merubah paradigma pendatang lama. Melalui program pendampingan yang disesuaikan dengan karakteristik gen Y, mereka tidak lagi dianggap sebagai biang kontra produktifitas, namun menjadi hulu ledak bagi kreatifitas. Tidak jarang, generasi yang “melek teknologi informasi” ini secara signifikan mempercepat proses pelaksanaan kerja, di beberapa proses. Di tangan mereka, pola kerja supporting sebagai “inputter” berubah menjadi “controller” dan bahkan menjadi “analis” data bagi unit yang membutuhkan. Di sisi lain, para pegawai senior memberikan ruang bagi “sifat multitasking” gen Y (recharging energy), mengijinkan mereka menyalurkan bakat seni dan olah raga di keseharian, merangkul mereka dan berdialog dengan menjalankan hal-hal yang mereka sukai, dan bahkan berbahasa seperti layaknya bahasa mereka. Dan perlahan tapi pasti, mereka memberikan warna tersendiri bagi unit dimana mereka bekerja. Semangat mereka yang tinggi untuk belajar dan memberikan kontribusi menggugah para seniornya.
Dari hari ke hari, semakin penulis meyakini bahwa penerimaan perusahaan ini terhadap kiprah para gen Y semakin baik. Mereka tidak lagi dianggap sebagai “anak kemarin sore”. Mereka dipercaya sebagai ketua program/ koordinator kegiatan, tim kreatif, dsb. Tidak jarang celetukan dan banyolan lucu dari para senior kepada para junior dan bahkan kesediaan mereka untuk larut dalam “dunia gen Y” menjadikan kesenjangan usia tak lagi berjarak.
Ciuus, miapah?
Bagaimana dengan perusahaan Anda?
Selasa, Agustus 14, 2012
Renungan Menjelang Peringatan HUT Kemerdekaan RI
Mengapa hal di atas sedemikian penting? Ke semua hal di atas sangat erat dengan kegiatan sehari-hari, mudah dilakukan dan perlahan-lahan akan membangun kekuatan karakter seolah tertidur selama ini. Sehari-hari kita sudah dibombardir oleh iklan dan tawaran produk-produk dari luar negeri yang menggiurkan. Murahnya melakukan perjalanan ke luar negeri berikut kemudahan-kemudahan yang ditawarkan, sehingga kekuatan image/ citra telah menjadikan kita menjadi "sosok fanatis" dengan segala sesuatu yang berasal dari luar negeri. Sesuatu yang baru, yang tidak akan di dapat dari negara ini. Kita mengucapkan kata-kata, memilih bahan kebutuhan sehari-hari bahkan mencitrakan diri dengan sesuatu yang asing.
Di sisi lain, terdapat bangsa-bangsa yang sangat fanatik dengan produk dalam negeri mereka sendiri. Tengok saja WNA Jepang yang sedapat mungkin akan menghindari menggunakan produk luar dan menggunakan produk dalam negeri mereka meskipun mahal. Demikian juga WNA Korea, Perancis, Cina, Amerika, dst. Mereka sangat bangga dengan perusahaan/ jasa milik bangsa sendiri. Produk dan jasa mereka menjadi tuan rumah di negara mereka sendiri.
Karena telah menjadi tuan rumah, maka otomatis akan menciptakan kesempatan/ peluang kerja bagi rakyatnya oleh karena tingginya permintaan produk/ jasa tsb. Lalu pengaruh kecintaan mereka akan produk/ jasa tsb "menulari bangsa lain" untuk mencoba/ menggunakan produk yang sama. Sehingga bangsa yang berkarakter ini menjadikan bangsa yang kurang berkarakter (lemah) sebagai pengikut atau "follower" trend-trend yang mereka ciptakan.
Bangsa yang besar mengekspresikan kecintaan akan kekayaan budaya dan alam... memilih untuk mengunjungi objek-objek wisata di Indonesia, mempelajari berbagai seni dan berbagai keunikan dari kekayaan tradisi.
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya".
Kata mutiara di atas bukan berarti bangsa ini terkurung oleh sejarah masa lalu, hafal dengan rangkaian kejadian dan tahun kelahiran para pahlawan tsb.
Para pahlawan yang syahid mengorbankan jiwa dan raga sesungguhnya telah meletakkan fondasi dan jalan bagi generasi penerusnya untuk mengisi kemerdekaan (masa kini dan masa datang) dengan bekerja keras untuk berbenah; berpeluh untuk menciptakan perbaikan/ inovasi yang berkelanjutan; serta berinvestasi pada nilai-nilai luhur dan pendidikan yang berkelanjutan untuk mencapai visi
“[…] untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial […].”
sebagaimana yang termaktub pada UUD 1945.Baru-baru ini sebuah peryataan yang menggugah semangat untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa kita:
"Rebut kembali jam kerja yang saat ini dirampas asing dengan merampas nilai tambah produk yang seharusnya milik rakyat Indonesia,"
BJ Habibie 2012.
Semoga melalui renungan ini aktualisasi "kebiasaan-kebiasaan kecil bangsa yang besar" akan dapat segera terwujud.
Senin, Agustus 13, 2012
Kepemimpinan Narsistik
Sepanjang sejarah,
"Manusia Narsis" bermunculan untuk menginspirasi orang-orang dan
membentuk masa depan. Namun dari waktu ke waktu, ketika bisnis menjadi
"mesin perubahan sosial", ia juga menghasilkan para "Pimpinan
Narsis". Mengapa seseorang dikatakan narsis? apa gejala gangguan kepribadian narsis
tersebut? bagaimana dampak organisasi, perusahaan atau negara yang memiliki
pimpinan narsis? Artikel ini akan mencoba menjawabnya.
Gangguan Kepribadian Narsis
Menurut Sam Vaknin (2003), gangguan Kepribadian Narisistik merupakan bentuk gangguan kepribadian antisosial, labil, dramatis, dll. Setidaknya diperkirakan terdapat 0.7-1% dari populasi terjangkit gangguan ini. Gangguan ini diderita di masa awal pertumbuhan, kanak-kanak, dan di awal kedewasaan. Gangguan ini sangat umum terjadi sebagai akibat trauma dan kekerasan pada masa kanak-kanak yang dari orang tua, orang-orang yang memiliki otoritas (seperti guru, dst), bahkan teman sepermainan. Namun sebagaimana gangguan kepribadian, gejala narsis pun ada yang ringan, sedang bahkan yang berat/ permanen.
Masyarakat awam memahami
perilaku narsis ini sebagai kecenderungan seseorang untuk dikenal atau
"eksis" oleh orang-orang di sekelilingnya, baik dari aspek personal
maupun professional. Sehingga "signature style" sang narsis
yang dikenal di seantero pergaulan - dan dari segi profesional, cara-cara
narsis terbilang "kreatif" untuk memasarkan nama (brand), portfolio/ keberhasilan
demi keberhasilan sang Narsis.
Namun narsisme berlebihan juga tidak baik. Pimpinan "Narsis" dapat terjerumus ke dalam sifat-sifat yang tidak akan disukai bahkan dijauhi oleh para bawahannya. Setidaknya terdapat 8 ciri yang mengikuti pimpinan dengan gangguan kepribadian narsis:
1. Melebih-lebihkan
pencapaian/ prestasi yang diraih dengan segala cara, termasuk berbohong mengenai hal itu.
2. Terobsesi menjadi
sosok terkenal, sukses, memiliki kekuatan, ditakuti, dst.
3. Merasa yakin
merupakan sosok yang unik & spesial, harus dapat dimengerti, dan ingin
diperlakukan khusus oleh sekelompok orang spesial (berstatus tinggi) maupun
institusi tertentu.
4. Membutuhkan
perhatian, pujian berlebihan. Jika tidak mendapatkan perhatian atau pujian, ia
akan berubah menjadi sosok yang ditakuti dan tidak populer.
5. Mengharapkan
prioritas/ perlakuan spesial dan menginginkan pelayanan sesuai
ekspektasi sang narsis.
6. Eksploitatif,
menggunakan orang lain untuk mewujudkan keinginan sang narsis.
7. Hilangnya rasa
empati, tidak dapat atau tidak mampu mengidentifikasi atau menimbang rasa
perasaan/ kebutuhan orang lain.
8. Secara terus-menerus merasa iri pada keberhasilan orang lain dan merasa orang lain merasakan hal yang sama dengan sang narsis ini.
8. Secara terus-menerus merasa iri pada keberhasilan orang lain dan merasa orang lain merasakan hal yang sama dengan sang narsis ini.
Kepemimpinan "Narsistik Produktif"
Di sisi lain, majalah
Harvard Business Review (HBR) berhasil mengidentifikasi 3 kekuatan kepemimpinan
narsis sebagai "narisistik produktif", diantaranya: (1) memiliki visi
organisasi yang besar dan berhasil menarik pengikut; (2) ketika sang narsis
duduk di tampuk pimpinan, ia tidak memerlukan persetujuan. Ia akan langsung
menjalankan perannya sebagai pimpinan; dan (3) kritikal dan berhati-hati dalam
mengambil keputusan. Sehingga dengan meminjam kata mutiara George Bernard Shaw
untuk mendeskripsikan pimpinan narsistik:
"Some people see things as
they are and ask why; narcissists see things that never were and ask why not."
Pimpinan
narsistik seringkali memerlukan kerja sama, namun pada praktiknya mereka
menginginkan sekelompok orang yang tunduk akan "sabdanya". Terdapat 3
cara mengatasi pimpinan narsistik diantaranya:
1. Selalu berempati pada perasaan atasan, namun jangan berharap
empati dari dirinya.
Di balik kerasnya sikap sang pimpinan narsis mereka sebetulnya menyembunyikan
kerapuhan mendalam. Bilamana mereka meminta masukan, pastikan tidak
menghancurkan citra diri pimpinan narsis.
2. Berikan ide kepada atasan anda, dan biarkan ia mengakui ide
tersebut berasal dari mereka.Pastikan ide tersebut pimpinan mampu mendapat nilai tambah dari
ide tersebut.
3. Jalankan manajemen waktu. Pimpinan narsistik tidak ragu mengeksploitasi bawahan untuk
melakukan tugas-tugas yang perlu dieksekusi segera. Pandai-pandailah mengatur waktu dan "mengatakan tidak". Bilamana tugas-tugas sudah
melewati toleransi batas waktu sang narsis, ia tidak akan segan menghubungi anda dan
mengganggu waktu tidur anda. Dan bersiap-siap untuk "dikeluarkan" bilamana anda tidak
memuaskan atasan narsis tsb.
Penutup
Sebagai penutup, di balik kekuatan dan kelemahan sifat-sifat pimpinan narsis, tidak sedikit pimpinan narsis bertipe "Narsistik Produktif" yang berhasil membawa perusahaan, organisasi, bahkan negara mencapai kejayaan. Sederet tokoh pimpinan narsis yang diteliti HBR dari masa ke masa, diantaranya: Napoleon Bonaparte, Mahatma Gandhi, Winston Churchill, Charles de Gaulle, Joseph Stalin, Mao Tse-tung Woodrow Wilson, John F. Kennedy, Jack Welch, George Soros, Bill Gates, dst.
Untuk
menghindari bercokolnya sikap narsis yang kronis, Setidaknya terdapat 2 hal yang harus dilakukan pimpinan
narsis:
1.
Menghindari jebakan perilaku narsis dengan menjalankan kerja sama kelompok dan
lebih sering terbuka dengan bawahan. Sehingga bilamana pimpinan "melewati batas"
akan segera diingatkan oleh bawahan. Bahkan beberapa "pimpinan narsis" yang menyadari kekurangannya dengan sadar menemui terapis untuk berkonsultasi mengurangi "kadar narsistik" mereka.
2.
Menemukan conterpart/ partner yang mampu memberikan kritik, saran, masukan,
atau bahkan teguran agar perilaku narsistik tidak menjadi-jadi. Masukan sang
partner akan menjadikan pimpinan narsis kembali berpijak pada realitas/ dunia nyata, mulai menerima
masukan yang disampaikan bawahan.
Sehingga, dorongan "sifat Narsistik" pada beberapa level tidak akan melemahkan organisasi, perusahaan, bahkan negara dimana pimpinan ini dipercaya memimpin, oleh 8 ciri/ sifat narsistik kontra-produktif yang penuh manipulasi dan bernuansa "pencitraan". Namun sebaliknya, narsistik menjadi "energi produktif" yang mewarnai dan memberikan angin segar perubahan yang lebih baik. Semoga!
Kamis, Juli 19, 2012
Menjawab Kegalauan Seorang Change Agent
Setiap orang merupakan Change Agent atau agen perubahan bagi perusahaan. Mengapa Change Agent ini sangat penting/ kritikal? Karena mereka inilah yang akan menjalankan program budaya, mendidik, serta merekrut Change Agent berikutnya begitu mereka dikembalikan ke unit kerja masing-masing.
Ketika Budaya Perusahaan dicanangkan sebagai inisatif strategis perusahaan, berjalan atau tidaknya budaya perusahaan sangat bergantung pada sejauhmana rasio Change Agent di dalam perusahaan/ organisasi terhadap jumlah karyawan dan partisipasi para Change Agent dalam memastikan berjalannya Program Budaya dalam organisasi.
Sebagai implementasinya, maka diadakanlah TOT (Training for Trainers) selama beberapa hari. Dan menarik untuk dicermati, beberapa calon trainers/ change agent ini mengalami perasaan yang penulis lukiskan sebagai "kegalauan", diantaranya:
Untuk menjawab kegalauan di atas, mereka sebetulnya tidak bekerja sendiri. Oleh karena itulah hendaknya terdapat koodinasi struktural yang solid antara Kantor Pusat dan Kantor Wilayah untuk memastikan bahwa para Change Agent dibekali oleh amunisi yang memadai, berupa materi, peralatan, dan keterampilan yang dibutuhkan, bukan "dijerumuskan".
Change Agent bukanlah sekadar pekerjaan tambahan, melainkan menguji willingness to do extramiles (keinginan untuk memberikan tambahan). Dampak langsung menjadi seorang Change Agent adalah melatih kepemimpinan, kemampuan mempengaruhi orang lain, melatih kreativitas dan inovasi, menjawab "kerinduan" untuk berorganisasi-setelah sekian tahun menjalankan rutinitas pekerjaan, bahkan mencapai "noble values": memberikan sumbangsih yang manfaatnya dirasakan langsung baik bagi diri sendiri maupun bagi perusahaan/ organisasi.
Tidak berhenti sampai di situ, terdapat wadah/ pertemuan baik on line maupun off line yang memastikan bahwa sesama Change Agent dapat saling bertukar pikiran, mendapatkan tips untuk mengatasi permasalahan di lapangan, bahkan menjadi CoP (community of best practices) yang bergengsi - diakui oleh unit kerja bahkan oleh jajaran Direksi.
Change Agent adalah orang-orang istimewa yang tercatat oleh tinta emas dalam lembaran sejarah organisasi/ perusahaan. Karena di tangan merekalah laju perubahan ditentukan. Di organisasi lain yang lebih mature, legalitas dalam bentuk SK tidak diperlukan, namun biasanya ditandai dengan "penandatangan komitmen".
Jadi, apapun caranya: dengan SK atau tidak, kita dibentuk oleh organisasi yang melahirkan cara, tindakan, pola pikir hingga kebiasaan. Bahkan dengan SK maupun tidak, cepat atau lambatnya perubahan tersebut sebetulnya bergantung pada peran pimpinan. Seorang Change Agent bahkan tidak akan mengijinkan dirinya "terhenti" oleh rintangan, gangguan dari atasan/ rekan kerja/ bawahan, dan hambatan infrastruktur untuk berkarya. Dan bahkan dengan semangat mereka akan mencari jalan keluar, mengadopsi "fleksibilitas air" yang dengan luwes melewati batu-batu kecil/ besar untuk menuju perubahan yang dicita-citakan, sejauh itu memungkinkan. Semoga!
Ketika Budaya Perusahaan dicanangkan sebagai inisatif strategis perusahaan, berjalan atau tidaknya budaya perusahaan sangat bergantung pada sejauhmana rasio Change Agent di dalam perusahaan/ organisasi terhadap jumlah karyawan dan partisipasi para Change Agent dalam memastikan berjalannya Program Budaya dalam organisasi.
- Tugas ini merupakan "pekerjaan tambahan" dan rasanya tugas tambahan ini semakin membebani pekerjaan yang sudah menumpuk
- Terdapat keraguan, ketidakpercayaan, kesulitan akan kemampuan diri sendiri selaku Change Agent.
- Merasa "dijebak" untuk menjalankan pekerjaan yang tidak ingin dilakukan, seperti: berbicara di tengah-tengah orang banyak, mengajak rekan kerja, bahkan mengajak atasan yang sebetulnya enggan berubah.
- Bahkan beberapa calon Change Agent mempertanyakan legalitas peran ini di dalam organisasi.
Untuk menjawab kegalauan di atas, mereka sebetulnya tidak bekerja sendiri. Oleh karena itulah hendaknya terdapat koodinasi struktural yang solid antara Kantor Pusat dan Kantor Wilayah untuk memastikan bahwa para Change Agent dibekali oleh amunisi yang memadai, berupa materi, peralatan, dan keterampilan yang dibutuhkan, bukan "dijerumuskan".
Change Agent bukanlah sekadar pekerjaan tambahan, melainkan menguji willingness to do extramiles (keinginan untuk memberikan tambahan). Dampak langsung menjadi seorang Change Agent adalah melatih kepemimpinan, kemampuan mempengaruhi orang lain, melatih kreativitas dan inovasi, menjawab "kerinduan" untuk berorganisasi-setelah sekian tahun menjalankan rutinitas pekerjaan, bahkan mencapai "noble values": memberikan sumbangsih yang manfaatnya dirasakan langsung baik bagi diri sendiri maupun bagi perusahaan/ organisasi.
Tidak berhenti sampai di situ, terdapat wadah/ pertemuan baik on line maupun off line yang memastikan bahwa sesama Change Agent dapat saling bertukar pikiran, mendapatkan tips untuk mengatasi permasalahan di lapangan, bahkan menjadi CoP (community of best practices) yang bergengsi - diakui oleh unit kerja bahkan oleh jajaran Direksi.
Change Agent adalah orang-orang istimewa yang tercatat oleh tinta emas dalam lembaran sejarah organisasi/ perusahaan. Karena di tangan merekalah laju perubahan ditentukan. Di organisasi lain yang lebih mature, legalitas dalam bentuk SK tidak diperlukan, namun biasanya ditandai dengan "penandatangan komitmen".
Jadi, apapun caranya: dengan SK atau tidak, kita dibentuk oleh organisasi yang melahirkan cara, tindakan, pola pikir hingga kebiasaan. Bahkan dengan SK maupun tidak, cepat atau lambatnya perubahan tersebut sebetulnya bergantung pada peran pimpinan. Seorang Change Agent bahkan tidak akan mengijinkan dirinya "terhenti" oleh rintangan, gangguan dari atasan/ rekan kerja/ bawahan, dan hambatan infrastruktur untuk berkarya. Dan bahkan dengan semangat mereka akan mencari jalan keluar, mengadopsi "fleksibilitas air" yang dengan luwes melewati batu-batu kecil/ besar untuk menuju perubahan yang dicita-citakan, sejauh itu memungkinkan. Semoga!
Kamis, Juli 12, 2012
KISAH INSPIRATIF DAHLAN ISKAN: INDONESIA, HABIS GELAP TERBITLAH TERANG
Pada acara Sharing Forum yang ditujukan bagi para Change Agent yang rutin diadakan beberapa waktu yang lalu, mereka memberikan sharing mengenai role model mereka. Menariknya, 3 dari 5 orang presenter menjadikan Bapak Dahlan Iskan sebagai role model kepemimpinan dan change agent.
Tidak bisa dipungkiri bahwa tangan dingin seorang Dahlan Iskan yang telah berhasil membenahi korporasi, seperti PLN dan kini menjabat sebagai Meneg BUMN. Terobosan demi terobosan yang tidak biasa ternyata telah beliau lakukan jauh sebelum menjabat sebagai Meneg BUMN.
Sebuah buku yang menggambarkan secara detail kesan dan pesan dari pubic figure, masyarakat, bahkan karyawan di pelosok negeri selama masa bakti beliau yang relatif singkat di PT PLN (Persero) yang akan coba penulis ringkas dan sadur dari buku ini.
Dengan mengemas 5 aspek yang menjawab pertanyaan "Mengapa Dahlan Iskan layak dijadikan sebagai role model kepemimpinan dan Change Agent?", berkaca pada pengalaman Dahlan Iskan di PT PLN (Persero):
1. Permasalahan utama PLN*
2. Terobosan-terobosan yang dilakukan oleh Dahlan Iskan
3. Kompetensi kepemimpinan Dahlan Iskan
4. 8 projek besar yang dituntaskan dan akan dijalankan oleh Dahlan Iskan**
5. Dampak dari terobosan Dahlan Iskan
1. PERMASALAHAN UTAMA PLN*
PLN selama ini selalu dijuluki dengan “Perusahaan Lilin Negara”, atau “Pasti Lama Nyalanya” (hlm 176) telah menempatkan moral karyawannya pada titik terendah. Beberapa permasalahan yang dihadapi PLN (hlm 105), diantaranya adalah:
1. Terjadinya kekurangan daya listrik dan pemadaman bergilir di banyak kota
2. PLN terjebak biaya tinggi, terutama akibat masih besarnya energi yang dibangkitkan dengan BBM bersubsidi
3. Tidak seimbangnya pertumbuhan sarana pembangkit transmisi dan distribusi dengan pertumbuhan konsumen dan penjualan listrik. Kondisi ini diperburuk oleh lambatnya eksekusi pembangunan projek seperti PLTU 10.000MW dan transmisi
4. Tidak sehatnya keuangan PLN karena regulasi tarif, subsidi dan marjin pendapatan PLN
5. Terbatasnya kemampuan PLN melayani sambungan baru yang mengakibatkan rendahnya rasio elektrifikasi.
2. TEROBOSAN-TEROBOSAN YANG DILAKUKAN OLEH DAHLAN ISKAN
Sebagai seorang CEO yang ditunjuk pada waktu itu untuk membenahi PLN, beliau belumlah dikenal apalagi pengangkatan beliau diwarnai protes & demonstrasi karyawan PLN yang tergabung dalam Serikat Pekerja. Namun menyimak terobosan-terobosan yang beliau lakukan seperti: transformasi PLN menuju visi (jangka pendek & menengah), transformasi organisasi PLN, transformasi proses pengadaan dan program lainnya sungguh berhasil menggerakkan sendi-sendi PLN untuk bergerak menyongsong perubahan.
1. Transformasi PLN menuju visi “Diakui seagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh kembang, unggul dan terpercaya, dengan bertumpu pada potensi insani“
a. Penambahan trafo-trafo besar di Jakarta sehingga pasokan listrik tidak kritis
b. Pembangunan PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro)
c. Pencabutan capping terhadap 304 industri
d. Target dalam satu bulan hanya boleh 5 kali lampu mati
e. Menerangi rumah-rumah dengan cara:
- PLTS SEHEN (Super Ekstra Hemat) dengan menyediakan sarana solar cell dan 3 lampu LED di setiap rumah dan perawatannya (untuk daerah terpencil yang biasa menggunakan lilin/ minyak tanah)
- Membangun Community Solar Power System (Pembangkit Listrik Tenaga Surya Medium (5MW)) untuk pulau terpencil
- Hybrid/ solar thermal (cermin besar yang menampung sinar matahari untuk mendidihkan bak air guna memutar turbin
2. Transformasi organisasi PLN:
a. Mencairkan silo-silo anak perusahaan di sector produksi, transmisi, dan disribusi yang tidak saling mendukung melalui keputusan, penjelasan dan langkah taktis (hlm 30). Mengubah cara komunikasi semua lini produksi, transmisi, dan distribusi saling bekerjasama, saling membantu dan saling mendukung melalui email, BBM setiap jam dan bahkan menit. Kadang ditemukan diskusi antar instansi, dimana Dahlan Iskan seringkali menginterupsi diskusi mereka dengan memberkan saran, petunjuk dan perintah.
b. Uji kompetensi karyawan PLN (20.000 orang) dan sertifikasi, serta penentuan remunerasi yang tepat sesuai level kompetensi
c. Management by action: Kunjungan kerja direksi yang disertai pemberian solusi, langsung ke pokok masalah
3. Transformasi proses pengadaan:
a. Mengajak seluruh Direksi berkunjung ke KPK dan memaparkan pola pengadaan barang di lingkungan PLN dan meminta KPK melakukan pengawasan langsung ke PLN
b. Mewajibkan seluruh Direksi anak perusahaan, Kadiv, GM di semua wilayah distribusi dan unit pelaksana projek secepatnya melaporkan kekayaan ke KPK (hlm 76)
c. Mengajak seluruh Direksi ke BPK, dan menegaskan bahwa BPK sebagai auditor negara dapat mengakses langsung seluruh transaksi keuangan PLN kapan saja BPK menghendaki
4. Penetapan KPI yang serba terukur:
a. Program 3459 atau 3 jam padam dalam setahun, 45 menit waktu respons, 9 kali padam per pelanggan per tahun
b. Sebulan tanpa SPPD (Surat Permohonan Perjalanan Dinas) untuk efisiensi PLN
5. GRASS (Gerakan Sehari Sejuta Sambungan):
a. Secara langsung melibatkan seluruh pimpinan dan karyawan PLN untuk turun ke lapangan bertemu langsung dengan para pelanggan untuk melakukan penyambungan
b. Gerakan menghilangkan daftar tunggu dengan menyambung listrik bagi 1.5 juta pelanggan
6. Transparansi biaya-biaya:
a. PPOB (Payment Point Online Bank) PLN tidak lagi direpotkan oleh antrian pelanggan untuk membayar tagihan listrik bulanan
b. Listrik Pra-Bayar
3. KOMPETENSI KEPEMIMPINAN DAHLAN ISKAN (hlm 131)
Sebagai CEO, Dahlah Iskan memiliki kompetensi yang menurut penulis unik, multi dimensi, dan jarang dimiliki oleh CEO di Indonesia, bahkan dunia. Pembawaan beliau yang sangat humble, ditunjukkan dengan pendekatan personal-apa adanya-yang tanpa protokoler; upaya dan kerja keras beliau meruntuhkan dinding-dinding silo direktorat/ divisi, hingga anak perusahaan untuk segera bekerja sama-menyiratkan bahwa beliau ingin segera mewujudkan visi PLN; dan hal ini tentunya diperkuat dengan “kekuatan media komunikasi” yang beliau miliki, untuk menyampaikan pesan-pesan bagi para pemangku kepentingan bahwa setiap gerak langkah yang beliau lakukan adalah demi kemajuan PLN dan bangsa ini. Berikut ini sedikit dari kompetensi kepemimpinan "multi dimensi" Dahlan Iskan yang disadur dari buku ini:
1. Visioner: jika negara ingin maju, listriknya harus nomor satu
2. Mampu mengambil keputusan yang cepat, tepat dan akurat. Setelah diberikan hak penuh oleh pemerintah selaku pemegang saham
a. Mencabut SE 006 yang menghambat pengambilan keputusan (hlm 17) “Segala keputusan strategis yang menyangkut investasi, niaga, ekspansi, overhaul besar, harus melewati berbagai proses panjang yang harus disetujui oleh seluruh direksi PLN”
b. Membentuk pola pengambilan keputusan baru: membentuk 5 Komite Direktur, meliputi bidang investasi, pengadaan, energi primer, niaga, dan SDM.
c. Penandatanganan MoU dengan BPK dan BPKP khususnya berkenaan dengan pengadaan; dan menerapkan pembayaran on line dan on time bagi para supplier
3. Man of action: bekerja keras, konsistensi, menerapkan manajemen modern dan tangan besi bilamana diperlukan
a. Cara kerja, sistem bekerja internal, jam rapat, model rapat, cara bertemu dengan karyawan yang dilakukan beliau dengan cara berkeliling dari meja ke meja, bertemu dengan masyarakat, mendengar keluhan masyarakat dan memanggil orang PLN yang berkompeten dari bawah hingga ke atas.
b. Memastikan dilaksanakannya keputusan penting yang langsung disosialisasikan dan langsung dijalankan
4. Menemukan bargaining position PLN untuk memajukan agenda-nya (hlm 52): memutus saluran listrik rumah dinas pejabat, bahkan kantor dinas pemda bilamana mereka tidak berkomitmen menyalurkan listrik kepada rakyat (hambatan birokrasi perijinan, pungutan liar, dst)
5. Komunikatif:
a. Memberikan statement/ kutipan, unik, menarik, informatif, dramatis (sesuai kaidah jurnalistik) dan mendidik publik untuk menyadari plus minus PLN (Hlm 49)
b. Menggunakan media, seperti CEO notes (www.pln.co.id) untuk memberitakan progress update pekerjaan beliau (kegiatan, harapan serta lesson learned selama perjalanan beliau) serta memberikan motivasi kepada karyawan, baik yang dikunjungi dan maupun bagi seluruh jajaran PLN
c. Gaya personal beliau yang hangat, informal, tanpa protokoler, lucu, lugas, dan apa adanya telah menghantarkannya menjadi CEO efektif dan bisa mendorong perubahan di PLN (hlm 79)
6. Mencari terobosan, pendobrak hal-hal konvensional
a. Mencari solusi pemadaman bergilir di luar jawa–yang melibatkan kerjasama seluruh Direksi untuk menyusun langkah-langkah dan berkeliling ke semua kota yang mengalami pemadaman
b. Memangkas sistem birokrasi dengan cara memangkas prosedur yang berbelit-belit dan rantai birokrasi yang tentunya menguntungkan PLN
c. Membunuh pembangkit 10.000 MW yang “salah makan” (hlm 12)
7. Pergaulan yang luas (misalnya: teman-teman pengusaha, Chinese community, dst)
8. Suka menolong
9. Berani, tegas dan cerdik (hlm 107)
10. Berani mencoba hal-hal baru (bisnis kertas, bisnis pembangkit, bisnis stasiun TV, dll)
11. Tidak memiliki vested interest: menolak mengambil gaji dan fasilitas perusahaan, menggunakan mobil pribadi pada saat bekerja (menanggung pengeluaran BBM dan servis rutin kendaraan), dan tinggal di apartemen pribadi di tengah kota
12. Membentuk team leadership yang handal: memilih mencari jajaran Direksi PLN terbaik (artinya pemilihan Direksi dilakukan tanpa campur tangan pemerintah selaku pemegang saham)
4. 8 PROYEK BESAR YANG DITUNTASKAN DAN AKAN DISELESAIKAN OLEH DAHLAN ISKAN SELAKU CEO PLN ** (hlm 34)
1. Mengakhiri pemadaman bergilir akut dengan mengatasi kekurangan daya listrik seluruh Indonesia
2. Menyelesaikan daftar tunggu penyambungan listrik ke rumah-rumah
3. Menyelesaikan kerusakan trafo yang disebabkan salah perencanaan dan pengelolaan
4. Menertibkan sistem keuangan dengan menyertakan BPK, KPK, BPKP dalam proses tender dan transaksi yang seluruhnya bernilai Rp 50 Triliun per tahun. Menyelesaikan sistem pembayaran setoran, mengatur cash flow, integrasi nasional ke selruh wilayah dan modernisasi sistem
5. Mengatasi gangguan kabel penyilang, termasuk penggantian 1000 km kabel bawah tanah di wilayah DKI dan sekitarnya
6. Uji kompetensi 50.000 karyawan PLN di seluruh Indonesia dengan sistem on line
7. Memaksimalkan energi dari gas alam, PLTA dan pusat listrik yang bersumber dari geothermal atau panas bumi.
8. Regenerasi di tubuh PLN dari tingkat I, II, dan seterusnya
5. DAMPAK DARI TEROBOSAN DAHLAN ISKAN (Hlm 78):
1. Memberikan arahan yang akan dituju oleh korporasi dengan sangat jelas
2. Memacu kerja keras jajaran PLN dalam tempo yang cepat: Rapat Direksi (Radir) dilakukan di daerah, sambil mengunjungi operator pembangkit atau kantor pelayanan. Seluruh direksi melakukan perjalanan bersama-sama, berbicara secara intensif, mengambil keputusan, mencari inspirasi, dengan suasana saling bercanda dan akrab
3. Berhasil mengubah mind-set, pola pikir yang lebih berorientasi ke nilai ataupun target pencapaian yang ditetapkan oleh perusahaan
4. Dampak psikologis yang sangat besar, dimana karyawan PLN lebih percaya diri, setelah sekian lama dihujat karena listrik kerap padam dan masyarakat sulit mendapatkan sambungan
5. Meninggalkan legacy bagi PLN: berhasil menyelesaikan salah satu masalah terbesar di negeri ini, yakni pengadaan energi listrik
PENUTUP
Sebagai penutup, sungguh tepat menempatkan Dahlan Iskan sebagai role model kepemimpinan dan change agent. Sangat tepat kiranya Ishadi SK pada buku ini memaparkan: “Sekali lagi, hal yang dilakukannya dalam waktu yang sedemikian singkat di skala yang begitu luas, di antara berbagai tantangan dan hambatan yang demikian banyak, telah memberikan sebuah optimisme bahwa sesungguhnya bangsa ini bisa menyelesaikan semua masalah, betapa sulit dan besarnya masalah tersebut. Syaratnya: memilih pimpinan yang tepat, pimpinan yang mumpuni. Pimpinan yang kukuh pada pendirian, berani, cepat dalam mengambil keputusan, dan siap untuk mengabdi”.
Sungguh transformasi menuju visi PLN telah menggerakkan hati nurani seluruh jajaran PLN untuk memberikan yang terbaik dan menjadikan PLN sebagai “Diakui seagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh kembang, unggul dan terpercaya, dengan bertumpu pada potensi insani”.
Keterangan:
*( paparan Dr Herman Darnel Ibrahim
**( menjawab 5 permasalahan yang dipaparkan Dr Herman Darnel Ibrahim
Selasa, Juni 26, 2012
Belajar dari semangat Karateka
Weekend lalu, sebuah event olah raga menarik diselenggarakan di Jakarta, yakni kejuaraan dunia karate liga WKF. Event ini tidak hanya mempertontonkan keindahan gerak (kata), namun juga strategi, stamina, dan kerjasama tim. Bersama putri tercinta, kami sangat menikmati event ini.
Olah raga ini tidak hanya menuntut endurance/ ketahanan fisik, namun juga ketekunan, fokus dan kesempurnaan. Sebagai contoh, untuk menguasai satu gerakan - entah kuda-kuda, tendangan, ataupun pukulan - seseorang harus memantapkannya dengan latihan berulang-ulang. Bahkan melawan derasnya arus pantai Padang yang sedang surut pun digunakan untuk melatih kekuatan kuda-kuda/ tendangan penulis saat itu. Seakan terbawa oleh kenangan betapa kerasnya pelatih menggembleng penulis serta latihan yang dijalani, hal itu pula yang membawa dampak hingga saat ini: semangat dan fokus kepada hal-hal yang ingin dicapai.
Kepada sang anak, meskipun sangat belia, nilai-nilai Karate, yakni "Sumpah Karate" yang diucapkan di setiap latihan sangatlah bermanfaat. Mereka "berikrar" tidak hanya rajin berlatih dan meningkatkan prestasi, namun juga menjaga sopan santun dan menguasai diri/ tidak gampang emosi. Ikar ini akan terbawa di dalam alam bawah sadar nanti.
Karate bukanlah sejenis olah raga fisik semata, namun dari waktu ke waktu melatih mental, dimana di dalamnya terkandung "semangat bushido" atau semangat pantang menyerah. Semangat ini pula menjadi bekal di dalam menjalani hidup.
Penutup
Di balik semaraknya pertandingan WKF 2012 ini, dimana para karateka membela negara masing-masing, sesungguhnya kemenangan berpulang pada jerih payah latihan yang dijalankan karateka. Mereka dengan segenap daya dan upaya memberikan yang terbaik dari diri mereka yang terbayar seketika - dari hasil pertandingan. Suguhan pertunjukan Kata yang sangat memukau dan bertaraf "World Class" ini memperlihatkan kekuatan ketekunan, kesungguhan dan kesempurnaan setiap karateka. Dan semangat olah raga Karate inilah yang penulis ingin wariskan kepada ananda tercinta. Semoga!
Olah raga ini tidak hanya menuntut endurance/ ketahanan fisik, namun juga ketekunan, fokus dan kesempurnaan. Sebagai contoh, untuk menguasai satu gerakan - entah kuda-kuda, tendangan, ataupun pukulan - seseorang harus memantapkannya dengan latihan berulang-ulang. Bahkan melawan derasnya arus pantai Padang yang sedang surut pun digunakan untuk melatih kekuatan kuda-kuda/ tendangan penulis saat itu. Seakan terbawa oleh kenangan betapa kerasnya pelatih menggembleng penulis serta latihan yang dijalani, hal itu pula yang membawa dampak hingga saat ini: semangat dan fokus kepada hal-hal yang ingin dicapai.
Kepada sang anak, meskipun sangat belia, nilai-nilai Karate, yakni "Sumpah Karate" yang diucapkan di setiap latihan sangatlah bermanfaat. Mereka "berikrar" tidak hanya rajin berlatih dan meningkatkan prestasi, namun juga menjaga sopan santun dan menguasai diri/ tidak gampang emosi. Ikar ini akan terbawa di dalam alam bawah sadar nanti.
Karate bukanlah sejenis olah raga fisik semata, namun dari waktu ke waktu melatih mental, dimana di dalamnya terkandung "semangat bushido" atau semangat pantang menyerah. Semangat ini pula menjadi bekal di dalam menjalani hidup.
Penutup
Di balik semaraknya pertandingan WKF 2012 ini, dimana para karateka membela negara masing-masing, sesungguhnya kemenangan berpulang pada jerih payah latihan yang dijalankan karateka. Mereka dengan segenap daya dan upaya memberikan yang terbaik dari diri mereka yang terbayar seketika - dari hasil pertandingan. Suguhan pertunjukan Kata yang sangat memukau dan bertaraf "World Class" ini memperlihatkan kekuatan ketekunan, kesungguhan dan kesempurnaan setiap karateka. Dan semangat olah raga Karate inilah yang penulis ingin wariskan kepada ananda tercinta. Semoga!
Selasa, Juni 19, 2012
Catatan Pinggir: Kisah Ikan Salmon dan Kisah Kepiting
Upaya menjalankan manajemen perubahan tidak langsung jadi dalam satu hari. Inisiasi ini harus dipahami oleh seluruh Change Agent yang mewakili seluruh unit kerja di pelosok tanah air. Sebagai bagian dari acara, tentunya ada kata sambutan bagi para Change Agent oleh jajaran yang lebih tinggi. Kisah inspiratif bak dongeng ini menyemangati para Change Agent untuk terus-menerus menjalankan pembaharuan, pantang menyerah, dan senantiasa menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin, untuk perubahan yang lebih baik.
Berikut ini adalah catatan pinggir tentang Kisah Ikan Salmon dan Kepiting*
Seringkali ikan salmon yang telah ditangkap nelayan mati sebelum sampai ke pantai. Ikan salmon yang bernilai adalah ikan salmon yang segar dan masih hidup. Lalu cara apa yang dipakai oleh nelayan tsb agar ikan salmon tetap hidup hingga ke garis pantai? Caranya adalah melepaskan beberapa ekor ikan hiu kecil untuk mengejar ikan-ikan salmon tsb. Hasilnya ikan salmon tetap segar karena ikan tersebut terus bergerak.
-o-
Lesson learned dari cerita ini adalah, makhluk hidup itu harus bergerak terus untuk kebaikan dirinya sendiri. Sehingga tidak heran, "makhluk-makhluk" yang tengah berada pada comfort zone seringkali didera sakit, dan tanda-tanda fisik seperti ubanan, pelupa, dan berbagai gangguan kesehatan lainnya.
-o-
Kisah kedua adalah tentang Kepiting. Untuk menangkap kepiting yang hidup di dasar lautan, caranya sangat mudah. Letakkan 2-3 ekor kepiting di dalam kotak. Di dasar lautan, kepiting-kepiting itu akan mengajak kepiting-kepiting lain untuk bergabung. Lalu kepiting yang satu akan menjepit kepiting-kepiting lainnya, dan akibatnya akan banyak sekali kepiting-kepiting yang tertangkap oleh para nelayan.
-o-
Sebagai perumpamaan bagi kita, janganlah kita menjadi "kepiting yang saling menjepit", sehingga karena satu dan lain hal kita semua tidak dapat berubah karena sudah terjepit oleh ulah kepiting-kepiting yang lain.
-o-
Dalam hidup ini atau khususnya pada institusi ini tidak ada "zona aman". Sebagai landasan mekanisme bagi perubahan tersebut, perlu dibentuk mindset. Sebagaimana ikan salmon yang harus terus "berlari", kita mencari peluang-peluang untuk menciptakan kemajuan dan menciptakan inovasi.
Berikut ini adalah catatan pinggir tentang Kisah Ikan Salmon dan Kepiting*
Seringkali ikan salmon yang telah ditangkap nelayan mati sebelum sampai ke pantai. Ikan salmon yang bernilai adalah ikan salmon yang segar dan masih hidup. Lalu cara apa yang dipakai oleh nelayan tsb agar ikan salmon tetap hidup hingga ke garis pantai? Caranya adalah melepaskan beberapa ekor ikan hiu kecil untuk mengejar ikan-ikan salmon tsb. Hasilnya ikan salmon tetap segar karena ikan tersebut terus bergerak.
-o-
Lesson learned dari cerita ini adalah, makhluk hidup itu harus bergerak terus untuk kebaikan dirinya sendiri. Sehingga tidak heran, "makhluk-makhluk" yang tengah berada pada comfort zone seringkali didera sakit, dan tanda-tanda fisik seperti ubanan, pelupa, dan berbagai gangguan kesehatan lainnya.
-o-
Kisah kedua adalah tentang Kepiting. Untuk menangkap kepiting yang hidup di dasar lautan, caranya sangat mudah. Letakkan 2-3 ekor kepiting di dalam kotak. Di dasar lautan, kepiting-kepiting itu akan mengajak kepiting-kepiting lain untuk bergabung. Lalu kepiting yang satu akan menjepit kepiting-kepiting lainnya, dan akibatnya akan banyak sekali kepiting-kepiting yang tertangkap oleh para nelayan.
-o-
Sebagai perumpamaan bagi kita, janganlah kita menjadi "kepiting yang saling menjepit", sehingga karena satu dan lain hal kita semua tidak dapat berubah karena sudah terjepit oleh ulah kepiting-kepiting yang lain.
-o-
Dalam hidup ini atau khususnya pada institusi ini tidak ada "zona aman". Sebagai landasan mekanisme bagi perubahan tersebut, perlu dibentuk mindset. Sebagaimana ikan salmon yang harus terus "berlari", kita mencari peluang-peluang untuk menciptakan kemajuan dan menciptakan inovasi.
* Kisah inspiratif ini diceritakan oleh Bapak Charmeida Tjokrosuwarno, Tenaga Pengkaji Bidang Perencanaan Strategik, Kementerian Keuangan.
Langganan:
Postingan (Atom)