Hari ini koran Kompas mengulas mengenai restrokpeksi peringatan tragedi Mei dari sisi HAM, hukum & ketatanegaraan, sosial politik; hingga perlemahan mekanisme imunitas bangsa ini dari rongrongan koruptor.
"Banyak orang mengenang beberapa hari terburuk pada bulan Mei yang saling mengait [...] Hingga kini keluarga korban dan mereka yang menjadi pelanggaran HAM atau kejahatan politik masa lalu masih terus dihantui oleh mereka yang tetap menikmati pembebasan dari hukuman (impunity) [...]
Pemerintah pasca reformasi lebih terkesan hanya menimbun kasus atau impunitas sehingga selalu ditandai dengan kegagalan dalam menyelesaikannya secara terhormat. Dan, memang, tak pernah seorang pun yang paling bertanggungjawab diajukan ke muka pengadilan."
Artikel Berikutnya...
"The name that they gave me the fighting name is 'blood never dry' [...]
Dua belas tahun lalu, empat mahasiswa Universitas Trisakti harus menumpahkan darah untuk membuka jalan menuju perubahan radikal politik Indonesia [...] Para pahlawan reformasi meninggal sebagai "martir demokrasi" di sebuah negeri yang sarat kekerasan, kerakusan, dan keserakahan. Seterusnya akan selalu berkibar kebenaran ini. Bahwa komunitas paling lemah dalam konstalasi sosial politik akan selalu "dikorbankan" untuk misi politik kekuasaan anti-kemanusiaan. Darah kemanusiaan terus mengalir karena politik dan kekuasaan hanya berisi nafsu keserakahan. [...]
Setelah 12 tahun kita menyebut era reformasi yang menandai kebangkitan politik dan demokrasi, prestasi kita dalam bidang vital kehidupan masih merayap dalam ruang ketidakberdayaan. [...]
12 tahun berlalu, kini, tanpa keseriusan memperbaiki problematika politik di negeri ini, darah para martir demokrasi tidak pernah mengering, jiwa mereka terus berteriak menuntut keadilan dan kebenaran"
Dan Artikel Selanjutnya....
"[...] Persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh penegak hukum memang sangat serius dan bisa menghancurkan lembaga penegak hukum kalau tidak diberantas. [...] Korupsi adalah persoalan global dimana tak sebuah negara pun yang tak terserang korupsi.
[...] Publik mulai melihat bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia hampir seperti sesuatu yang muskil. Ketidaktegasan pemerintah yang membiarkan pelemahan KPK ini berlangsung disimpulkan sebagai suatu indikasi melemahnya komitmen pemberantasan korupsi. Popularitas pemerintah segera merosot drastis, dan ini membuat iklim pemberantasan korupsi semakin melemah.
[...] Satgas (Pemberatasan Mafia Hukum) telah membuka kotak pandora mafia hukum yang selama ini dibantah secara keras. [...] Mereka disebut sebagai markus, dan markus ini menjadi semacam "unwilling whistle blower" yang mengumbar nama-nama sehingga gurita mafia hukum ini terkuak.
[...] Presiden menggunakan terminologi ini, dan ini merupakan pengakuan resmi bahwa negara ini dirusak oleh mafia. Mafia hukum tentu tak akan hilang seketika. Dalam negara yang korupsinya sistemik, endemik dan merajalela, dibutuhkan waktu yang panjang untuk memerangi korupsi. Yang penting adalah jangan pemberantasan korupsi ini hanya untuk politik pencitraan, hangat-hangat tahi ayam."
Restrokpeksi dari tiga artikel di atas dapat ditinjau dari perspektif lain, dari sisi pembelajaran dan budaya. Berbagai pertanyaanpun muncul dari artikel-artikel yang saat ini berada di tangan penulis:
* Akankah bangsa ini belajar dari kekeliruan dan kesalahan historikal masa lalu memperbaiki dan bahkan mampu merubah "budaya keliru" dan kepemimpinan "berorientasi jangka pendek" ini menuju masa depan bangsa yang lebih baik?
* Akankah ada penyadaran, penyegaran elemen bangsa yang berujung pada praktik yang semakin menjauhi modus operandi yang semakin canggih dari zaman ke zaman?
* Akankah ada alat/ mekanisme lain yang "lebih sakti" dari Good Governance, Good Corporate Governance, KPK, whistle blower, maupun kumpulan Satgas yang dapat memberantas budaya korupsi di negara ini?
Ingatan penulis mengenang kembali yel-yel yang biasa diteriakkan teman-teman mahasiswa: "berantas KKN, turunkan harga, hidup Reformasi, dan tuntutan-tuntutan komitmen ideal lain bagi pemerintah".. Setelah 12 tahun berlalu, gema yel-yel kini perlahan hilang dalam kabut ingatan.
Catatan:
Artikel 1: "Menimbun Impunitas" oleh Hendardi, hlm. 6. Harian Kompas, Rabu, 12 Mei 2010.
Artikel 2: "Luka belum Mengering" oleh Max Regus, hlm. 6. Harian Kompas, Rabu, 12 Mei 2010.
Artikel 3: "Republik Mafia?" oleh Todung Mulya Lubis, hlm. 7. Harian Kompas, Rabu, 12 Mei 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar