Selasa, Maret 09, 2010

Membangun Penyelarasan SDM*

Sebuah berita yang baru-baru ini mengejutkan publik, dimana maskapai penerbangan milik Jepang, yakni JAL (Japan Airlines) menyatakan diri bankrut. Kebankrutan ini diikuti oleh jatuhnya harga saham JAL, yang jika divaluasi, nilainya lebih rendah dari satu pesawat jumbo jet baru. Lalu langkah berikutnya JAL adalah reorganisasi di bawah supervisi pemerintahan Jepang, Enterprise Turnaround Initiative Corporation (ETIC). Tak berhenti sampai di sini, JAL akan mengurangi jumlah pegawai, mencopot pesawat-pesawat tua lagi boros bahan bakar, dan memangkas rute-rute penerbangan.

Sejatinya, berita-berita bangkrutnya perusahaan-perusahaan mapan dunia yang sudah malang melintang selama puluhan bahkan ratusan tahun ini tidak harus dicemaskan oleh negara-negara ASEAN termasuk Indonesia, karena berita baiknya adalah kebanyakan dari mereka akan merelokasikan perusahaan, termasuk SDM-nya. Persaingan global memang telah berada di depan pintu kita, para investor ingin bekerjasama dan membangun organisasi yang lebih efisien, lincah, padat modal, namun dengan produk dan harga yang terjangkau oleh konsumen.

Tantangan Utama SDM
Dibalik kabar baik upaya strategis perusahaan ternama tersebut, terdapat tantangan yang tidak kalah mencemaskan bagi SDM di negara-negara Asean termasuk Indonesia. Terdapat dua kendala SDM utama yang harus diperhatikan organisasi-organisasi Indonesia, yakni: (1) mewujudkan kepemimpinan yang berkaliber dan berorientasi global; dan (2) akselerasi organisasi yang dilakukan melalui penyelarasan SDM.

Kedua kendala di atas diperkuat oleh hasil penelitian terhadap 60 organisasi yang telah dilakukan oleh PT OTI baru-baru ini:
- Mayoritas organisasi Indonesia mempersepsikan Departemen HR bukan sebagai Partner Bisnis.
- Sangat sedikit upaya penyelarasan kegiatan SDM yang berhubungan langsung dengan tujuan bisnis strategis.

Lebih jauh, kompetensi dan porsi pekerjaan sehari-hari Departemen SDM masih rendah dan belum menitikberatkan pada kegiatan yang memiliki bobot strategis dan berguna bagi pengembangan organisasi ke depan, seperti: talent management (3,85%), manajemen perubahan (7,69%) dan kegiatan penyelarasan kegiatan SDM dengan kegiatan strategis (12,31%). Sedangkan hasil yang lebih mengkhawatirkan adalah: kurang dari separuh responden percaya bahwa SDM memiliki kemampuan untuk mengembangkan organisasi dan menciptakan lingkungan yang baik untuk berprestasi.


Berdasarkan pemahaman terhadap kedua kendala utama tersebut, pemahaman strategis dan kesepahaman yang perlu dibangun di dalam Departemen SDM adalah: (1) Apakah permainan di dalam organisasi masih selaras dengan strategi perusahaan?; (2) Kontribusi seperti apa yang dapat diberikan oleh fungsi SDM dikaitkan dengan fungsi-fungsi SDM, mulai dari: perekrutan karyawan, pelatihan, pengelolaan kinerja, hingga terminasi karyawan?; dan (3) Bagaimana cara membangun sistem dan pemahaman stratejik SDM sehingga dapat berjalan dengan baik hingga ke lini-lini manajerial?

Penyelarasan Fungsi SDM, suatu Epilog
Paradigma Departemen SDM harus segera bermetamorfosa atau berubah: Departemen SDM mesti menjadi ujung tombak bagi pengelolaan SDM organisasi. Sehingga ekspektasi fungsi SDM di mata pemegang saham serta investor yang akhir-akhir ini menjadi sangat aktual adalah: (1) Departemen SDM sebagai fungsi yang mampu memahami bisnis perusahaan dari hulu ke hilir; (2) Memiliki networking/ hubungan baik serta pengaruh hingga ke lini-lini manajerial; (3) Berani bertindak serta dapat dipercaya oleh para pemuncak organisasi dalam memberikan kontribusi maksimal bagi organisasi.

Akhir kata, paradigma SDM bukan lagi fungsi yang dipersepsikan karyawan sebagai penyambung lidah karyawan dengan manajemen, "pencipta kekacauan" harian yang tersistem, atau sekumpulan orang dengan "fungsi SDM". Semoga!


* Dimuat di Koran Tempo| Tempo Komunitas | edisi 3 Maret 2010 |

Tidak ada komentar: