Jumat, November 16, 2007

DHAIF-NYA SISTEM FIT & PROPER TEST DIREKSI BUMN INDONESIA

Oleh : Mohamad Fajri M.P dan Dhini Andriani[1]


Mengulas artikel David Ulrich, seorang pakar dan konsultan Sumber Daya Manusia (SDM) ternama yang mengkritik Manajemen SDM sebagai tidak efektif, tidak kompeten dan mahal (Human Resources is Ineffective, Incompetent and Costly) yang terus bergema hingga saat ini, dimana terdapat empat kelemahan dasar dalam bidang manajemen SDM yakni: (1) kurangnya kesepahaman akan definisi; (2) kurangnya kesepahaman dalam metodologi; (3) kurangnya studi empiris; dan (4) deviasi antara ilmu manajemen SDM dengan praktiknya. Kelemahan tersebut kemudian menjadi benang kusut yang menyebabkan variasi dalam pendekatan manajemen SDM yang memakan waktu, biaya dan tenaga yang akhirnya menjadikan Manajemen SDM sebagai tidak efektif, tidak kompeten dan mahal.


Disinyalir kelemahan manajemen SDM tersebut adalah pada penerapan atau implementasinya. Selama ini manajemen SDM beroperasi pada tataran administratif, belum pada tataran strategis sehingga pola manajemen SDM masih dilakukan secara parsial.


Disadari untuk meningkatkan efisiensi, daya saing dan pengembangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maka diperlukan suatu pendekatan manajemen SDM yang tepat, sangkil dan mangkus. Pendekatan ini diperlukan untuk menghindari permasalahan yang telah diulas David Ulrich menjadi permasalahan serupa di Indonesia. Permasalahan yang hangat dibicarakan dan menjadi tantangan oleh para konsultan SDM Indonesia dan Internasional yakni keluarnya Surat Keputusan Menteri BUMN Kep-09A/MBU/2005. Surat Keputusan Menteri BUMN mengatur tentang penilaian kelayakan dan kepatutan terhadap para calon anggota Direksi BUMN. Maraknya tuntutan mundur terhadap beberapa Direksi BUMN akhir-akhir ini menimbulkan pertanyaan di banyak pihak mengenai sistem penilaian kelayakan seseorang menjadi Direksi BUMN.


Pada prinsipnya, dalam proses penilaian kelayakan dan kepatutan direksi BUMN ini diperlukan: (1) input berupa calon direksi; (2) sistem/proses penilaian (assessment) yang baik; (3) serta output (hasil assessment) berupa Dewan Direksi yang memiliki profesionalisme, integritas, dedikasi dan kompetensi yang tinggi serta dalam mengelola BUMN. Tentunya untuk melakukan penilaian kelayakan dan kepatutan terhadap para calon anggota Direksi bukanlah merupakan suatu hal yang mudah.



Sistem Fit & Proper Test


Jika kita tinjau pasal 7 pada SK Menteri BUMN tersebut, maka terdapat 23 kriteria calon direksi yakni: (1) integritas; (2) tidak memiliki benturan kepentingan; (3) tidak pernah divonis atas kecurangan dan terlibat dalam perbuatan melawan hukum; (4) tidak dinyatakan pailit; (5) tidak pernah dihukum atas perbuatan pidana berat; (6) professionalisme/keahlian teknis; (7) memenuhi kemampuan teknis pada jabatan/posisi terkait; (8) kriteria umum utama; (9) keahlian kepemimpinan; (10) kritis, independen dan mempunyai keingintahuan yang tinggi; (11) kemampuan berpikir dan perencanaan secara strategis; (12) secara keuangan cukup mapan; (13) pengalaman manajemen; (14) pengalaman dalam bidang industri yang bersangkutan; (15) berprestasi/pernah menerima penghargaan; (16) pengalaman dalam bidang pemerintahan dan/atau peraturan perundang-undangan; (17) kerjasama tim; (18) citra yang baik dalam lingkungan bisnis; (19) kesuksesan dalam bidang yang sama; (20) pengetahuan di bidang operasional BUMN; (21) berpengalaman dalam manajemen perubahan; (22) kemampuan atau keahlian khusus lainnya; dan (23) sehat lahir dan batin. Jika diamati dalam perspektif manajemen SDM, 23 kriteria yang dipaparkan di atas mencampur-adukkan antara prasyarat utama, kompentensi dasar (threshold competency), dengan kompetensi pembeda (gauge competency) yang mesti dimiliki oleh calon direksi BUMN.


Rasionalisasi adanya pemecahan kriteria-kriteria tersebut terdapat dalam analogi/perumpamaan menempatkan batu, kerikil dan pasir ke dalam suatu bejana. Tentunya agar semua elemen tersebut masuk kedalam bejana, diperlukan teknik tertentu: di mana pada dasar bejana ditempatkan batu (prasyarat utama); kerikil (kompetensi dasar); dan kemudian pasir (kompetensi pembeda) sehingga proses seleksi melalui assessment menjadi semakin mudah, sangkil dan mangkus, karena telah ada screening secara bertahap dan sistematis.


Kelemahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah penilaian calon direksi mula-mula dilakukan secara individual/perorangan, akan tetapi jika dikembalikan kepada AD/ART sebagai landasan atau azas berdirinya suatu Perseroan tersebut adalah bahwa direksi adalah suatu majelis yang kolektif dalam menjalankan fungsi pengelolaan dan kepengurusan Perseroan melalui pengambilan keputusan dan jika keputusan tersebut berakibat pada kerugian Perseroan maka majelis ini terpapar risiko tanggung jawab renteng. Di sini terdapat suatu missing link dalam Surat Keputusan Menteri BUMN Kep-09A/MBU/2005 yang secara mendasar belum dilakukan pada tahapan penilaian kelayakan dan kepatutan terhadap para calon anggota Direksi. Artinya ada suatu kompetensi lain di dalam proses assessment tersebut dimana para calon direksi yang telah terpilih harus dapat bekerjasama selaku suatu majelis atau sebagai Dewan Direksi (collective) tanpa menghilangkan kekhasan (kompetensi pembeda) yang mereka miliki.


Sehingga di dalam dinamika Dewan Direksi dalam sejauh manakah anggota Dewan Direksi memberikan dissenting opinion, bekerja sama serta menempatkan dirinya dalam menghasilkan suatu keputusan-yang nantinya akan tercermin di dalam Risalah Rapat Direksi dan Rapat Gabungan- secara dini seharusnya sudah dapat di exercise/diuji. Sehingga keluaran dari dalam suatu assessment center ini tidak hanya bertujuan memilih satu individu, tetapi “the dream team” suatu Perseroan.

Kesimpulan


Masih banyak perbaikan yang diperlukan untuk memperkuat gaung dari Surat Keputusan Menteri BUMN Kep-09A/MBU/2005 dimana secara jelas dan tegas tidak dijelaskan makna penilaian dan kepatutan yang mendalam dan dijiwai oleh assessment center. Sehingga SK tersebut dikhawatirkan hanya dapat menyelesaikan permasalahan secara parsial atau di permukaan saja. Sehingga jalan untuk menuju “konsep antitesis” dari David Ulrich bahwa Manajemen SDM sebagai metode yang efektif, kompeten dan murah masih jauh perjalanannya.


Besar harapan bahwa direksi yang terpilih dan disahkan melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan “the dream team” yang merupakan “agen perubahan” yang memiliki profesionalisme, integritas, dedikasi dan kompetensi yang tinggi dalam mengelola BUMN yang memberikan angin segar bagi peningkatan efisiensi, daya saing dan pengembangan BUMN Indonesia. Semoga saja.



[1] Mohamad Fajri M.P dan Dhini Andriani adalah Konsultan GCG dan Konsultan SDM di Jakarta

Tidak ada komentar: