“The journey of a thousand miles begins with one step.”
Lao Tzu
Sungguh bermakna ungkapan yang dikemukakan oleh filsuf Cina, Lao Tzu. Bahwa untuk memulai sesuatu hendaknya dimulai dari satu langkah, satu fase, atau satu proses yang bermuara pada akhir sebuah perjalanan yang panjang.
Dan demikian juga dengan implementasi Budaya Perusahaan, dimana upaya ini seringkali dipersepsikan sebagai suatu kegiatan korporasi yang berskala besar, berbiaya mahal, dan membutuhkan tenaga ahli yang tidak murah. Besarnya biaya atau investasi ini seringkali menghambat organisasi yang belum mapan, atau organisasi yang baru menuju tahap "dewasa/ mature", atau bahkan organisasi yang baru berdiri untuk mengimplementasikan Budaya Perusahaan.
Persepsi di atas sesungguhnya keliru, bahwasanya implementasi Budaya Perusahaan bisa dilakukan oleh organisasi manapun dengan tidak memandang sejauh mana besaran asset yang dimiliki perusahaan, banyaknya kantor cabang/ anak perusahaan, jumlah SDM atau bahkan infrastruktur yang dimiliki oleh organisasi tersebut. Pada pembahasan ini, bagaimana penyelarasan Budaya Perusahaan yang belum sebesar korporasi yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia seperti: Bank Mandiri, Bank BNI, Indosat, atau PGN misalnya, akan disorot.
Strategi implementasi Budaya Perusahaan kemudian dijalankan Tass Consulting dengan cara: “Focus Directly on Culture Indirectly”, dimana pada tahap awal penyelarasan Budaya Perusahaan dimulai dari validasi Visi dan Misi Perusahaan dan identifikasi core value yang menjadi cikal-bakal Budaya Perusahaan di tataran Manajemen atau Direksi. Sedangkan bagaimana penyelarasan transformasi budaya tersebut dijalankan akan disepakati dalam implementasi program utama yang disadari Perusahaan merupakan tolok ukur keberhasilan perusahaan itu sendiri, seperti: Service Excellent, HR Excellent, Quality Improvement, Good Corporate Governance, dan pencapaian-pencapaian strategis lainnya.
Implementasi Budaya Perusahaan tidaklah memakan biaya besar-sebagaimana yang dihabiskan korporasi setaraf Blue Chip untuk tujuan yang sama, atau menekankan secara langsung pada bagaimana “pohon” Budaya Perusahaan itu bertumbuh. Melainkan dimulai dari bagaimana perusahaan tersebut memiliki lingkungan kerja yang kondusif serta memiliki performa, yang pada akhirnya akan mempengaruhi soliditas Budaya Perusahaan.
Pada pembahasan kali ini, fokus penyelarasan Budaya Perusahaan berawal di suatu organisasi yang tengah menuju fase “dewasa/ mature”. Dimana pada saat berdiri, organisasi ini telah merekrut “talent” dari organisasi manapun, tanpa memperhatikan sejauhmana talent tersebut dikembangkan - seiring dengan semakin membesarnya organisasi. Manajemen merasa bahwa kebutuhan untuk menata organisasi sudah sangat mendesak, mengingat pesatnya perkembangan organisasi yang mulai memiliki cabang bahkan anak perusahaan di beberapa daerah. Kemudian dampak strategi organisasi yang telah berjalan mulai dirasakan Perusahaan: dimana organisasi hingga saat ini belum memiliki tata personalia yang baik, seperti: job grading, sistem remunerasi, pengembangan kompetensi dan bahkan manajemen kinerja. Sehingga pengembangan Budaya Perusahaan ini akan didekati dengan strategi “Pembenahan Tata Personalia”. Berharap melalui pembenahan tata personalia ini, talent yang telah direkrut memiliki arah dan karir dan target kerja yang jelas, remunerasi yang menjamin internal fairness maupun external fairness, hingga lingkungan kerja yang sehat dan kondusif. Melalui strategi ini, nilai-nilai perusahaan pun akan dikomunikasikan.
Komitmen Manajemen yang “Menentukan”
Sebagaimana implementasi Budaya Perusahaan atau inisiasi manapun yang akan bergulir di Perusahaan: maka sebelum program budaya ini berlangsung, Manajemen dihadapkan pada komitmen. Komitmen adalah wujud dari niat Manajemen yang penuh kesungguhan untuk sebuah perubahan. Komitmen Manajemen tersebut akan terwujud pada eksekusi program-program yang akan menggerakkan setiap unsur di dalam perusahaan, yang akhirnya akan meningkatkan kinerja perusahaan. Manajemen selain diharapkan untuk menjadi eksekutor bagi sistem yang akan dijalankan, juga diharapkan sebagai “role model” dan sekaligus sebagai “change agent”. Inilah yang terpenting: Manajemen menjadi penggerak dan sekaligus memastikan terlaksananya “Value, System & Behavior” yang secara implisit sudah ada di dalam program budaya/ strategi tersebut.
Pembaca sekalian mungkin bertanya-tanya: mengapa implementasi Budaya Perusahaan di perusahaan tadi dimulai dari “Pembenahan Tata Personalia”? Sebagaimana yang dijelaskan di atas, implementasi Budaya Perusahaan bukanlah merupakan hal yang muluk, seperti: meningkatkan image perusahaan, atau event meriah bak “Panggung Gembira” yang diramaikan oleh Direksi, para Stakeholders, bersama karyawan-dimana perusahaan telah memiliki “core values”, logo, emblem, poster, dan sebagainya. Budaya Perusahaan sesungguhnya adalah bagaimana perubahan dapat dijalankan di perusahaan “by any means” atau di segala aspek yang membawa perubahan cara kerja, perilaku bahkan asumsi dasar para jajarannya.
Beban sebagai “role model” dan “change agent” pada saat awal strategi implementasi Budaya Perusahaan dijalankan sungguh tidak mudah. Tapi di sinilah kekuatan Manajemen diuji, baik dari sisi kepemimpinan, komunikasi, hingga nilai-nilai mendasar yang dimiliki oleh pimpinan. Memperkenalkan sesuatu yang baru akan menimbulkan tanda tanya, ketidak pastian, dan bahkan penolakan dari karyawan atau bahkan dari teman sendiri. Sehingga pembekalan bagi “role model” dan “change agent” harus senantiasa dijalankan demi terpeliharanya perbaikan dan perubahan yang berkelanjutan.
Perjalanan Budaya Perusahaan
Akhirnya, tekad dan kekuatan komitmen Manajemen yang terus menerus diuji dalam membenahi organisasi menemukan jalannya. Pembenahan tata personalia ini mulai membuahkan hasil: karyawan menjadi lebih termotivasi dalam bekerja; akuntabilitas Manajemen yang tersistem menjamin karyawan atau talent yang berprestasi baik akan diganjar dengan reward yang baik pula; kinerja perusahaan baik secara agregat maupun secara perorangan meningkat; lingkungan kerja yang sehat dan penuh semangat mulai dirasakan di seluruh cabang, dan anak-anak perusahaan bahkan di Kantor Pusat.
Sebuah strategi yang berawal dari pendekatan yang begitu sederhana namun langsung menuju ke jantung permasalahan. Bagaimana dengan perusahaan Anda?
Selasa, Maret 22, 2011
Selasa, Maret 15, 2011
Generation Debt: dan Hilangnya Suatu Generasi
"If you want one year of prosperity, plant seeds.
If you want ten years of prosperity, plant trees.
If you want one hundred years of prosperity, educate people."
Pepatah Cina
Sebuah pepatah yang menggambarkan bagaimana suatu bangsa mendapatkan kemakmuran beratus tahun lamanya dengan mendidik generasinya. Sejalan dengan prinsip yang diajarkan kepada penulis sewaktu sekolah dulu: dimana kewajiban manusia untuk senantiasa menuntut ilmu hingga ke liang lahat. Tidak hanya di sekolah, namun dimanapun ia berada.
Sebuah buku menarik "Generation Debt" yang ditulis oleh seorang pengarang muda Amerika, Anya Kamenetz (2006), seorang ekonom, blogger, pemerhati pendidikan dan sekaligus representatif generasi Y. Buku yang lahir dari keprihatinan penulis terhadap trend ekonomi, krisis yang melanda keuangan US-yang dampaknya yang masih dirasakan hingga saat ini, dikaitkan dengan pinjaman yang harus dibayarkan pelajar. Buku yang disambut berbagai kritik oleh para ekonom senior namun layak dicermati, dimana luasnya krisis ini akan berimbas pada intangible effect yakni rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya intellectual capital yang merupakan resultante dari rendahnya tingkat pendidikan, bahkan hilangnya generasi suatu bangsa....
Indonesia, surga dimana para orang tua bertanggung jawab penuh dan berjuang membiayai kuliah anak-anaknya sampai lulus, sangat kontras dengan kebanyakan anak muda di luar sana (khususnya Amerika, negara dimana buku ini ditulis). Mereka bekerja serabutan untuk mendapatkan gelar akademis guna membiayai kuliah/ sekolahnya secara mandiri, dan bahkan tak jarang memiliki 10 pekerjaan berbeda. Menurut Kamenetz, jika 20 tahun lalu para generasi muda cukup bekerja pada musim panas/ musim libur sehingga dapat membiayai kuliah 1 semester, kini hal tersebut sudah tidak lagi feasible.
Bahkan mereka semakin terbenam dengan besarnya pengembalian pinjaman pendidikan yang tidak sebanding dengan "gaji pertama" yang mereka terima selepas kuliah. Efek multi krisis yang kian menjalar, yang kemudian berimbas pada satu generasi ini, dimana pemerintah lebih memprioritaskan anggarannya untuk penyehatan ekonomi sehingga dirasa Kamenetz "menyisakan" kepentingan generasi seusianya. Tergerak dengan kondisi tersebut, Kamenetz pun menulis buku mengenai "Generation Debt" dan hingga saat tulisan ini ditulis dia pun terus memikirkan bagaimana solusi/ pendidikan alternatif namun berguna bagi karir generasi tersebut dan melahirkan buku lanjutan (2010) "Edupunks, Edupreneurs, and the Coming Transformation of Higher Education".
Dari sekelumit insight/ kisah di atas, tentu kita tidak bisa membayangkan betapa berat imbas dari krisis keuangan terhadap "penciptaan generasi yang terdidik", betapa berat perjuangan mereka di dalam mencapai "degree" yang setara-setidaknya sejajar atau melebihi orang tuanya.
Berkaca dari kasus ini, memang sudah seharusnya negara memberikan pendidikan murah yang tidak hanya dapat dibiayai orang tua (dengan menguras sumberdaya dan tabungan orang tua selama belasan tahun), bahkan dapat dibiayai oleh mahasiswa/ anak itu secara mandiri demi lahirnya sebuah generasi unggul. Semoga saja!
If you want ten years of prosperity, plant trees.
If you want one hundred years of prosperity, educate people."
Pepatah Cina
Sebuah pepatah yang menggambarkan bagaimana suatu bangsa mendapatkan kemakmuran beratus tahun lamanya dengan mendidik generasinya. Sejalan dengan prinsip yang diajarkan kepada penulis sewaktu sekolah dulu: dimana kewajiban manusia untuk senantiasa menuntut ilmu hingga ke liang lahat. Tidak hanya di sekolah, namun dimanapun ia berada.
Sebuah buku menarik "Generation Debt" yang ditulis oleh seorang pengarang muda Amerika, Anya Kamenetz (2006), seorang ekonom, blogger, pemerhati pendidikan dan sekaligus representatif generasi Y. Buku yang lahir dari keprihatinan penulis terhadap trend ekonomi, krisis yang melanda keuangan US-yang dampaknya yang masih dirasakan hingga saat ini, dikaitkan dengan pinjaman yang harus dibayarkan pelajar. Buku yang disambut berbagai kritik oleh para ekonom senior namun layak dicermati, dimana luasnya krisis ini akan berimbas pada intangible effect yakni rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya intellectual capital yang merupakan resultante dari rendahnya tingkat pendidikan, bahkan hilangnya generasi suatu bangsa....
Indonesia, surga dimana para orang tua bertanggung jawab penuh dan berjuang membiayai kuliah anak-anaknya sampai lulus, sangat kontras dengan kebanyakan anak muda di luar sana (khususnya Amerika, negara dimana buku ini ditulis). Mereka bekerja serabutan untuk mendapatkan gelar akademis guna membiayai kuliah/ sekolahnya secara mandiri, dan bahkan tak jarang memiliki 10 pekerjaan berbeda. Menurut Kamenetz, jika 20 tahun lalu para generasi muda cukup bekerja pada musim panas/ musim libur sehingga dapat membiayai kuliah 1 semester, kini hal tersebut sudah tidak lagi feasible.
Bahkan mereka semakin terbenam dengan besarnya pengembalian pinjaman pendidikan yang tidak sebanding dengan "gaji pertama" yang mereka terima selepas kuliah. Efek multi krisis yang kian menjalar, yang kemudian berimbas pada satu generasi ini, dimana pemerintah lebih memprioritaskan anggarannya untuk penyehatan ekonomi sehingga dirasa Kamenetz "menyisakan" kepentingan generasi seusianya. Tergerak dengan kondisi tersebut, Kamenetz pun menulis buku mengenai "Generation Debt" dan hingga saat tulisan ini ditulis dia pun terus memikirkan bagaimana solusi/ pendidikan alternatif namun berguna bagi karir generasi tersebut dan melahirkan buku lanjutan (2010) "Edupunks, Edupreneurs, and the Coming Transformation of Higher Education".
Dari sekelumit insight/ kisah di atas, tentu kita tidak bisa membayangkan betapa berat imbas dari krisis keuangan terhadap "penciptaan generasi yang terdidik", betapa berat perjuangan mereka di dalam mencapai "degree" yang setara-setidaknya sejajar atau melebihi orang tuanya.
Berkaca dari kasus ini, memang sudah seharusnya negara memberikan pendidikan murah yang tidak hanya dapat dibiayai orang tua (dengan menguras sumberdaya dan tabungan orang tua selama belasan tahun), bahkan dapat dibiayai oleh mahasiswa/ anak itu secara mandiri demi lahirnya sebuah generasi unggul. Semoga saja!
Kamis, Maret 10, 2011
Asal Hidup
Bagaikan kerakap tumbuh di atas batu:
Hidup segan, mati tak mau..
Mendengar kata "Asal Hidup", kira-kira apa yang dibayangkan oleh pembaca sekalian? Apakah sesosok gelandangan/ peminta-minta; atau tanaman yang sedang dilanda kekeringan; atau krisis; atau jebakan kemiskinan; atau incompetency/ kebodohan. Atau apa lagi?
Kata-kata "asal hidup" ditujukan pada organisasi, keluarga atau bahkan individu yang tidak memiliki perencanaan, contingency plan, bahkan struktur, aturan, hingga prosedur yang jelas. Segala hal yang serba tidak jelas ini menyebabkan orang-orang yang hidup di dalamnya terjerumus ke dalam situasi yang relatif "tidak menguntungkan" dalam jangka panjang.
Ilustrasi Asal Hidup
Tercetusnya kata "asal hidup" diilustrasikan pada kondisi yang memerlukan perubahan ekstrim. Sebuah keluarga yang memiliki anak-anak yang semakin hari tumbuh besar, namun kosong. Anak-anak telah menempuh pendidikan, mengikuti program belajar untuk meningkatkan keterampilan. Karena suatu dan lain hal, mereka "terhenti". Musibah menerpa keluarga, sehingga mereka kehilangan tulang punggung yang menyokong kehidupan sehari-hari. Tidak memiliki rencana ke depan, kini mereka terbentur dengan hilangnya kemampuan ekonomi, sehingga bertumpu pada bantuan kiri-kanan. Tidak berhenti sampai di situ, penyakit kemalasan (rendahnya daya beradaptasi dan kemauan untuk bangkit) dan kebodohan (keengganan belajar hal-hal baru) mulai menjangkiti unit ini. Sikap reaktif seperti berbohong, mengadu domba tetangga, ingin dikasihani, namun tidak ingin bersusah payah mengadopsi perilaku baru adalah bentuk adaptasi baru (negatif).
Asal hidup "dilabel" dengan sikap yang tidak realistis, tidak adaptif, dan malas. Dan jika dianalogikan dengan kehidupan berorganisasi penyakit "Asal Hidup" sesungguhnya dekat sekali dengan cara hidup yang tidak realistis dalam menetapkan perencanaan arah & strategi Perusahaan; dimana para pegawai yang tidak memiliki kompetensi yang memadai dan disyaratkan untuk mencapai strategi perusahaan; dan diperparah oleh resistensi pegawai menuju suatu perubahan.
Kondisi ekstrim yang tergambar dalam ilustrasi tersebut menjadi nyata bilamana tidak ada kekuatan yang "mengganggu", "mengintervensi", atau setidaknya "menggugah" unit, organisasi, keluarga atau individu tersebut.
Menunggu terpuruk hingga suatu saat mengalami kejatuhan yang sejatuh-jatuhnya. Menunggu suatu pembelajaran dan penyadaran yang menjadi cikal bakal "burning platform" dimana unit, organisasi, keluarga atau individu ini bertekad, berikrar, dan berjanji dengan sekuat-kuat janji untuk belajar dan bekerja lebih keras, jujur/ dipercaya, dan menjadikan hari ini lebih baik dari esok hari. Semoga saja.
Hidup segan, mati tak mau..
Mendengar kata "Asal Hidup", kira-kira apa yang dibayangkan oleh pembaca sekalian? Apakah sesosok gelandangan/ peminta-minta; atau tanaman yang sedang dilanda kekeringan; atau krisis; atau jebakan kemiskinan; atau incompetency/ kebodohan. Atau apa lagi?
Kata-kata "asal hidup" ditujukan pada organisasi, keluarga atau bahkan individu yang tidak memiliki perencanaan, contingency plan, bahkan struktur, aturan, hingga prosedur yang jelas. Segala hal yang serba tidak jelas ini menyebabkan orang-orang yang hidup di dalamnya terjerumus ke dalam situasi yang relatif "tidak menguntungkan" dalam jangka panjang.
Ilustrasi Asal Hidup
Tercetusnya kata "asal hidup" diilustrasikan pada kondisi yang memerlukan perubahan ekstrim. Sebuah keluarga yang memiliki anak-anak yang semakin hari tumbuh besar, namun kosong. Anak-anak telah menempuh pendidikan, mengikuti program belajar untuk meningkatkan keterampilan. Karena suatu dan lain hal, mereka "terhenti". Musibah menerpa keluarga, sehingga mereka kehilangan tulang punggung yang menyokong kehidupan sehari-hari. Tidak memiliki rencana ke depan, kini mereka terbentur dengan hilangnya kemampuan ekonomi, sehingga bertumpu pada bantuan kiri-kanan. Tidak berhenti sampai di situ, penyakit kemalasan (rendahnya daya beradaptasi dan kemauan untuk bangkit) dan kebodohan (keengganan belajar hal-hal baru) mulai menjangkiti unit ini. Sikap reaktif seperti berbohong, mengadu domba tetangga, ingin dikasihani, namun tidak ingin bersusah payah mengadopsi perilaku baru adalah bentuk adaptasi baru (negatif).
Asal hidup "dilabel" dengan sikap yang tidak realistis, tidak adaptif, dan malas. Dan jika dianalogikan dengan kehidupan berorganisasi penyakit "Asal Hidup" sesungguhnya dekat sekali dengan cara hidup yang tidak realistis dalam menetapkan perencanaan arah & strategi Perusahaan; dimana para pegawai yang tidak memiliki kompetensi yang memadai dan disyaratkan untuk mencapai strategi perusahaan; dan diperparah oleh resistensi pegawai menuju suatu perubahan.
Kondisi ekstrim yang tergambar dalam ilustrasi tersebut menjadi nyata bilamana tidak ada kekuatan yang "mengganggu", "mengintervensi", atau setidaknya "menggugah" unit, organisasi, keluarga atau individu tersebut.
Menunggu terpuruk hingga suatu saat mengalami kejatuhan yang sejatuh-jatuhnya. Menunggu suatu pembelajaran dan penyadaran yang menjadi cikal bakal "burning platform" dimana unit, organisasi, keluarga atau individu ini bertekad, berikrar, dan berjanji dengan sekuat-kuat janji untuk belajar dan bekerja lebih keras, jujur/ dipercaya, dan menjadikan hari ini lebih baik dari esok hari. Semoga saja.
Jumat, Maret 04, 2011
Leadership Communication
"Leadership communication consists of those messages from a leader that are rooted in the values and culture of an organization and are of significant importance to key stakeholders (employees, customers, strategic partners, shareholders and the media".
John Baldoni, Great Communication of Great Leaders
Sebuah buku yang sudah lama penulis baca (2003) dan menemukan relevansinya pada saat implementasi program manajemen perubahan yang sedang berlangsung (dan ditulis hingga hari ini). Bahwasanya "komunikasi pemimpin terdiri dari pesan pimpinan yang berakar dari nilai dan budaya dari organisasi dan merupakan hal yang penting signifikan bagi stakeholders kunci (seperti: pegawai, pelanggan, rekanan strategis, Pemegang Saham dan media".
Bilamana perusahaan anda telah memiliki "budaya perusahaan yang solid" maka pesan apapun yang disampaikan pimpinan puncak (CEO) akan dipahami semua orang, mulai dari unit bisnis, hingga unit-unit terkecil yang berada 'nun jauh di pelosok sana': menangkapnya dalam frekuensi yang sama, jelas, dan tanpa indikasi adanya "multi tafsir".
Lalu mengapa "skill komunikasi" pimpinan dibutuhkan, muatan komunikasi apa yang mesti ada dalam setiap pesan verbal? dan apa peran pimpinan sesungguhnya dalam menggawang manajemen perubahan? mudah-mudahan buku dari John Baldoni ini merangkum semua pertanyaan di dalam artikel ini.
Komunikasi pimpinan yang solid setidaknya mengandung 4 unsur:
1. Signifikansi: pesan yang disampaikan adalah mengenai issue besar yang merefleksikan kondisi sekarang dan masa depan organisasi (SDM, performa organisasi, produk, dan jasa)
2. Nilai-nilai: pesan yang disampaikan merefleksikan, menguatkan visi, misi dan budaya organisasi
3. Konsistensi: pesan yang disampaikan secara jelas menegaskan nilai dan perilaku
4. Cadence/ Keteraturan: pesan yang disampaikan reguler dan sesering mungkin
Makna komunikasi sesungguhnya bukan hanya pesan verbal (seperti: pidato, memo, email, video, audio, dll) namun juga pesan non verbal pimpinan. Apakah pesan tersebut juga diikuti oleh perubahan sikap pimpinan menjalankan "walk the talk" yang diturunkan oleh inisiasi/ kegiatan, program, hingga berjalannya eksekusi inisiasi/ kegiatan, program tsb.
Sehingga kecanggihan metode/ alat yang digunakan, kompetensi SDM yang fit, ataupun perencanaan yang matang hanyalah pelengkap. Pada titik inilah "kepemimpinan" yang dimiliki pimpinan teruji. Pimpinan memastikan integritas, keterbukaan dan kejujuran di dalam setiap tindak tanduknya, yang sewaktu-waktu siap dipertanyakan, dibantah, ditolak oleh bawahannya.
Pimpinan hendaknya membekali diri dengan 4 elemen komunikasi, yakni:
1. "The Expert", sang pemelihara misi. Hanya orang ini yang memastikan bagaimana eksekusi bisnis tersebut dijalankan, merupakan tipikal orang yang sangat menguasai subjeknya dan sangat tahu bagaimana kondisi di lapangan;
2. "Visioner", dibalik kata-katanya yang terkesan mengawang-awang seperti mimpi, ia mampu diajak bertukar pikiran dan mampu meyakinkan jajarannya, sebaik ia menjalankan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari;
3. "Coach", mereka tidak segan memotivasi jajarannya, memberikan koreksi bilamana sesuatu tidak berada pada tempatnya. Ia tidak segan-segan menunjukkan praktik/ cara yang benar, sehingga perlahan bawahan mulai mengikuti dan menerimanya dengan baik
4. "Transformer", pimpinan yang berupaya "merubah pola pikir" jajarannya. Ia tidak segan menjawab pertanyaan dengan sabar, dan tekun. Ia mampu menjual ide-idenya hingga diterima jajaran.
Catatan ini sangat penting, setelah diluncurkannya program strategic seperti "manajemen perubahan", maka dibutuhkan komitmen yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Pimpinan segera "mentransfer nilai-nilai organisasi" kepada bawahannya, merubah pola pikir, dan tak kenal lelah meyakinkan jajarannya untuk seterusnya disampaikan hingga unit-unit organisasi terkecil.
Tentunya kita tidak ingin pesan mulia untuk kebaikan organisasi hilang di tengah perjalanan, sesuai "pidato strategis pimpinan", kertas-kertas konsep, plan A, B & C, dan bahkan berakhir di laci-- berlabel "case closed" hingga berakhirnya masa bakti pimpinan tersebut. Sungguh menyedihkan...
Bagaimana dengan organisasi anda?
John Baldoni, Great Communication of Great Leaders
Sebuah buku yang sudah lama penulis baca (2003) dan menemukan relevansinya pada saat implementasi program manajemen perubahan yang sedang berlangsung (dan ditulis hingga hari ini). Bahwasanya "komunikasi pemimpin terdiri dari pesan pimpinan yang berakar dari nilai dan budaya dari organisasi dan merupakan hal yang penting signifikan bagi stakeholders kunci (seperti: pegawai, pelanggan, rekanan strategis, Pemegang Saham dan media".
Bilamana perusahaan anda telah memiliki "budaya perusahaan yang solid" maka pesan apapun yang disampaikan pimpinan puncak (CEO) akan dipahami semua orang, mulai dari unit bisnis, hingga unit-unit terkecil yang berada 'nun jauh di pelosok sana': menangkapnya dalam frekuensi yang sama, jelas, dan tanpa indikasi adanya "multi tafsir".
Lalu mengapa "skill komunikasi" pimpinan dibutuhkan, muatan komunikasi apa yang mesti ada dalam setiap pesan verbal? dan apa peran pimpinan sesungguhnya dalam menggawang manajemen perubahan? mudah-mudahan buku dari John Baldoni ini merangkum semua pertanyaan di dalam artikel ini.
Komunikasi pimpinan yang solid setidaknya mengandung 4 unsur:
1. Signifikansi: pesan yang disampaikan adalah mengenai issue besar yang merefleksikan kondisi sekarang dan masa depan organisasi (SDM, performa organisasi, produk, dan jasa)
2. Nilai-nilai: pesan yang disampaikan merefleksikan, menguatkan visi, misi dan budaya organisasi
3. Konsistensi: pesan yang disampaikan secara jelas menegaskan nilai dan perilaku
4. Cadence/ Keteraturan: pesan yang disampaikan reguler dan sesering mungkin
Makna komunikasi sesungguhnya bukan hanya pesan verbal (seperti: pidato, memo, email, video, audio, dll) namun juga pesan non verbal pimpinan. Apakah pesan tersebut juga diikuti oleh perubahan sikap pimpinan menjalankan "walk the talk" yang diturunkan oleh inisiasi/ kegiatan, program, hingga berjalannya eksekusi inisiasi/ kegiatan, program tsb.
Sehingga kecanggihan metode/ alat yang digunakan, kompetensi SDM yang fit, ataupun perencanaan yang matang hanyalah pelengkap. Pada titik inilah "kepemimpinan" yang dimiliki pimpinan teruji. Pimpinan memastikan integritas, keterbukaan dan kejujuran di dalam setiap tindak tanduknya, yang sewaktu-waktu siap dipertanyakan, dibantah, ditolak oleh bawahannya.
Pimpinan hendaknya membekali diri dengan 4 elemen komunikasi, yakni:
1. "The Expert", sang pemelihara misi. Hanya orang ini yang memastikan bagaimana eksekusi bisnis tersebut dijalankan, merupakan tipikal orang yang sangat menguasai subjeknya dan sangat tahu bagaimana kondisi di lapangan;
2. "Visioner", dibalik kata-katanya yang terkesan mengawang-awang seperti mimpi, ia mampu diajak bertukar pikiran dan mampu meyakinkan jajarannya, sebaik ia menjalankan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari;
3. "Coach", mereka tidak segan memotivasi jajarannya, memberikan koreksi bilamana sesuatu tidak berada pada tempatnya. Ia tidak segan-segan menunjukkan praktik/ cara yang benar, sehingga perlahan bawahan mulai mengikuti dan menerimanya dengan baik
4. "Transformer", pimpinan yang berupaya "merubah pola pikir" jajarannya. Ia tidak segan menjawab pertanyaan dengan sabar, dan tekun. Ia mampu menjual ide-idenya hingga diterima jajaran.
Catatan ini sangat penting, setelah diluncurkannya program strategic seperti "manajemen perubahan", maka dibutuhkan komitmen yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Pimpinan segera "mentransfer nilai-nilai organisasi" kepada bawahannya, merubah pola pikir, dan tak kenal lelah meyakinkan jajarannya untuk seterusnya disampaikan hingga unit-unit organisasi terkecil.
Tentunya kita tidak ingin pesan mulia untuk kebaikan organisasi hilang di tengah perjalanan, sesuai "pidato strategis pimpinan", kertas-kertas konsep, plan A, B & C, dan bahkan berakhir di laci-- berlabel "case closed" hingga berakhirnya masa bakti pimpinan tersebut. Sungguh menyedihkan...
Bagaimana dengan organisasi anda?
Langganan:
Postingan (Atom)