Jumat, Mei 08, 2009

Antara GCG, PP dan SP

Artikel ini menjadi bahasan menarik untuk mencegah situasi/ pola/ ritme praktik Waltzing Black terulang di dalam organisasi anda. Membahas tata kelola perusahaan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku serta contoh kasus yang berdimensi Good Corporate Governance dan Organizational Development.

Apa itu GCG?
Merupakan prinsip tentang bagaimana seluruh Karyawan menjalankan aktivitas bisnis dengan penuh integritas sesuai dengan GCG (Transparansi - Akuntabilitas - Tanggung Jawab - Kewajaran/ Fairness). Dengan mengikuti Panduan ini, maka aktivitas bisnis dan keputusan yang diambil oleh seluruh Karyawan akan sesuai dengan nilai dan prinsip yang dimiliki Perseroan.

Panduan GCG dikembangkan berdasarkan pada (1) berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, (2) praktik-praktik good corporate governance, (3) kebijakan Perusahaan serta (4) budaya perusahaan yang selama ini dimiliki oleh Perusahaan selaku entitas. Panduan ini hanya berisikan prinsip-prinsip pokok dimana Peraturan Perusahaan (PP) termasuk dalam implementasi Panduan ini.

Apa itu PP?
Peraturan Perusahaan yang merupakan panduan yang mengatur hak-hak serta kewajiban karyawan dan peraturan-peraturan lain yang berlaku, sehingga orang-orang yang hidup di dalamnya dapat bekerja dengan baik tanpa merasa takut, karena segala sesuatunya telah tertulis.

Apa itu SP?
SP merupakan kumpulan karyawan yang bekerja di suatu perusahaan yang tergabung di dalam wadah independen "Serikat Pekerja". Tujuan Serikat Pekerja ini dibentuk menurut UU Republik Indonesia No. 21 tahun 2000, pasal 4 ayat 1 adalah: "Serikat Pekerja, federasi dan konfederasi serikat pekerja bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkat- kan kesejahteraan yang layak bagi pekerja dan keluarganya."
Lalu, ayat 2 : "Serikat Pekerja mempunyai fungsi:
(1) sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
(2) sebagai wakil pekerja dalam lembaga kerja sama dibidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
(3) sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(4) sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya; sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
(5) sebagai wakil pekerja dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan."

Paradigma-Paradigma Kuno
Beberapa paradigma yang menyebabkan tidak berjalannya aspek kepatuhan secara tuntas di dalam perusahaan adalah:

  • SP itu tidak diperlukan karena SP hanya akan membuat ricuh, kekacauan, menyebabkan manajemen tidak punya wibawa, dan berbagai kejadian bersifat "chaos" yang tidak diinginkan.
  • PP itu tidak penting direvisi, karena semakin direvisi akan terlalu mengatur, kaku, dan mengganggu.
  • GCG dan aturan-aturan yang diperlukan tidak perlu disosialisasikan cukup dengan memberikan teguran lisan saja.

Antara GCG, PP dan SP

Pada artikel ini penulis akan membahas sebuah kasus terkait GCG, PP dan SP, dimana seorang teman mengalami kejadian yang sangat memalukan dimana ia harus mengembalikan hadiah yang diberikan oleh sebuah perusahaan sebagai "tanda terimakasih" atas pekerjaan yang dilakukan -- sepengetahuan Perusahaan tempat ia bekerja. Lalu penulis menanyakan, Apakah perusahaan memiliki sebuah panduan teknis yang secara jelas mengatur tentang penerimaan hadiah? (teknisnya berarti: apakah perusahaan memiliki panduan GCG?) Apakah perusahaan memiliki PP yang update? Apakah perusahaan memiliki SP?

Ketiga jawaban dari pertanyaan penulis adalah TIDAK. Dalam kapasitas penulis sebagai assessor di bidang GCG, ini adalah kasus yang sangat menarik. Terlepas dari konsekuensi hukum dari ketiadaan dokumen, dalam tataran Organization Development secara umum, jika suatu perusahaan ingin tetap going concern, menjadi besar, menjadi wadah yang memayungi aspirasi karyawan yang banyak, menjadi organisasi berpengaruh, dan disegani, setidaknya ada 3 rekomendasi yang penting dilakukan oleh perusahaan ysb:
Pertama: bentuklah PP yang secara sungguh-sungguh mengatur, melindungi, dan mengayomi karyawan yang bernaung di bawah organisasi, sehingga orang-orang yang hidup di dalamnya dapat bekerja dengan perasaan tenang, tanpa takut berbuat salah, karena ada peraturan yang mengatur dan tertulis dan telah diberikan perjelasan-penjelasan tambahan. Berkaca pada aspek kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, PP memiliki peranan penting dimana segala sesuatu yang banyak terlihat "abu-abu" menjadi semakin jelas hitam dan putihnya.
Kedua: Susunlah sebuah panduan GCG yang komprehensif yang setidaknya mengatur 3 hal: (1) Suap & KKN, (2) Hadiah, (3) Hubungan dengan Pejabat Negara. Sehingga panduan ini akan mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang tidak diinginkan dan ke depan akan semakin jelas bagaimana mekanisme pelaporan berikut penyelesaian kasus tersebut. Jangan lupa, kajian yang berkelanjutan terhadap Panduan GCG dengan menjaga kesesuaiannya dengan tuntutan serta perubahan lingkungan bisnis Perusahaan akan semakin membentuk budaya perusahaan yang sesuai dengan GCG.
Ketiga: Bentuklah SP yang akan mengkaji ulang PP, merumuskan permasalahan yang terjadi di dalam organisasi terkait dengan tidak up-to-date-nya PP, dan agenda-agenda penting lainnya di dalam rapat Serikat Pekerja.

Antara GCG, PP dan SP: Sebuah Epilog

Dengan semakin tumbuhnya size dari organisasi menjadi sebuah korporasi, yang ditandai dengan: tumbuhnya unit-unit baru, bahkan anak-anak perusahaan baru; tingginya kompleksitas di dalam organisasi, maka perusahaan haruslah diatur dengan peraturan korporasi, artinya mekanisme korporasi-lah yang harus dijalankan. Meskipun pada awal organisasi berdiri, aturan tidak begitu banyak diperlukan mengingat organisasi masih berada pada skala kecil, dimana orang-orang masih sedikit, dan unit-unit operasi yang bernaung belum begitu banyak.

Dalam jangka panjang: tidak dikajinya peraturan perusahaan, "matinya" tata kelola perusahaan, dan tiadanya wadah yang menjamin keharmonisan terkait hubungan industrial akan menimbulkan pertanyaan dasar terhadap eksistensi organisasi secara legal (yang memberikan kepastian dan landasan) dari para anggota organisasi: Masihkah perusahaan going concern?

Paradigma-paradigma kuno di atas tentunya mesti diubah, keterkaitan antara perkembangan organisasi (size) dengan tiga perangkat kepatuhan dalam sebuah korporasi mestilah terlihat benang merahnya. Artinya ketidakjelasan, tidak adanya hitam di atas putih seharusnya dapat dieliminir, sehingga hal ini tidak akan menimbulkan keresahan, perasaan bersalah atau mungkin "mati rasa" diantara para anggota organisasi. Semoga saja!

Tidak ada komentar: