Senin, April 27, 2009

Waltzing Black

Pembaca yang budiman, pernahkah anda merasa hidup yang anda habiskan di dunia kerja begitu-begitu saja: menghadapi situasi kantor yang tidak berubah; perasaan "tawar" ketika bertegur sapa dengan teman-teman kantor; bahkan atasan merasakan adanya de-ja-vu begitu anda menghadapi situasi/ permasalahan/ complain yang berulang-ulang layaknya film serial.

Jika anda merasa seperti itu, maka waspadalah, anda sebenarnya sedang mengalami "mati rasa", menjadi masa bodoh atau bahkan "bodoh" di dalam organisasi sendiri.

Permasalahan bukan sepenuhnya berada pada diri anda, namun pada setiap unsur organisasi. Ketika tubuh-tubuh yang hidup di dalam organisai merasakan sakit, maka organisasi akan merasakan hal yang sama pula. Jika ditelusuri lebih jauh, siapa yang memulai dan paling bertanggungjawab di dalam situasi/ pola/ ritme "waltzing black" ini?

Gaya Kepimpinan
Disadari ataupun tidak: adalah sang pemimpin yang menyerukan perubahan, namun sebetulnya ialah orang yang paling "anti perubahan" dan menginginkan status quo; adalah sang pemimpin yang berkomitmen menjalankan suatu sistem tapi sebenarnya ialah orang yang paling sering melanggarnya dan bahkan tidak menjalankannya dengan sepenuh hati; adalah sang pemimpin yang ingin menjalankan aspirasi orang banyak, tapi sebetulnya ialah orang yang paling keras kepala lagi zolim terhadap anak buahnya.

Menyikapi kondisi ini, Stephen Covey dengan gamblang menggambarkan situasi/ pola/ ritme yang mematikan ini:
"bila anda memiliki pemimpin otoriter yang suka mengontrol, apa yang dilakukan oleh pengikutnya? kebanyakan akan mengikuti perintahnya secara pasif. Mereka akan menunggu sampai diperintah, dan melakukan apa yang diperintahkan. Perilaku mereka akan menguatkan persepsi pemimpin otoriter tadi untuk meneruskan model komando dan kontrolnya [...]
Proses itu akan memperlemah kemampuan dan kecerdasan orang-orangnya. Gaya kepemimpinannya akan membuat orang-orang tidak bisa berbuat sesuai dengan kapasitas maksimum mereka. [...]
Siklus ko-dependensi itu pada akhirnya menyuburkan budaya menjilat, kantor yang penuh intrik politik, dimana kebenaran ditentukan oleh loyalitas dan kesesuaian dengan kemauan pemimpin [...]. Sebuah dinamika proses menyuburkan sebentuk kesepakatan yang merusak, dimana orang-orang bilang ya, padahal sebenarnya yang mereka maksudkan adalah tidak".

Nilai Organisasi sebagai Media Pembentuk Karakter
Cara terbaik untuk mengembangkan karakter di sebuah organisasi bukan dengan membuat daftar yang harus diikuti, yang akan dipakai oleh setiap orang untuk menilai orang lain, tetapi dengan membuat orang-orang bertanggungjawab terhadap hasil-hasil, terukur, dan menuntut pengembangan karakter pada level yang lebih tinggi. Dengan cara itu seseorang tidak menghakimi orang lain karena setiap orang diberi tanggungjawab yang menuntut pertumbuhan karakter.

Apa yang bisa kita lakukan?
"Meluaskan lingkaran pengaruh", kata Stephen Covey. Artinya bersedia meluaskan lingkup pengaruh dengan memerankan diri sebagai bilah kemudi kecil yang mengandalkan realitas yang berkembang di pasar yang penuh persaingan, untuk menghentikan proses pembobrokan yang sedang dialami oleh organisasinya.
Dengan kata-kata yang berbeda, seorang motivator Mario Teguh menggambarkan bahwa sesungguhnya kita bisa "menghebatkan diri sendiri" dengan melakukan hal yang hebat, yang dimulai dari hal-hal terkecil di keseharian kita.. Lalu perhatikan apa yang terjadi.

Nah, para pemimpin [otoriter], akankah anda mengijinkan anggota organisasi anda menarikan Walzing Black 5 hari seminggu?

2 komentar:

Anonim mengatakan...

A good observation, Dhin. You are likely to advance in KM area quickly.

Anonim mengatakan...

A good observation, Dhin. You are very likely to advance quickly in KM area./Hendri