Jumat, Maret 14, 2008

Budaya Perusahaan di antara Kompleksitas Vs Kesederhanaan

Dalam suatu kesempatan workshop Budaya Perusahaan, Penulis menanyakan, "Jika ingin naik taksi, jasa taksi manakah yang akan anda pilih?" Penulis, tanpa bermaksud untuk mengiklankan jasa ini, mendapat masukan "Taksi Blue Bird" dari para peserta. Lalu penulis tanyakan kenapa, maka jawaban peserta bermacam-macam, tapi pada intinya adalah peserta merasa aman/ safe jika menggunakan jasa tersebut. Bisa ditarik kesimpulan bahwa sikap/ perilaku para pengemudi taksi tersebutlah yang menciptakan rasa aman & nyaman muncul dalam penilaian dari para peserta workshop. Ilustrasi di atas adalah contoh "sederhana" di dalam menentukan budaya perusahaan di sektor jasa taksi yang memiliki budaya perusahaan yang kuat.

Sejatinya, penentuan "Budaya Perusahaan" secara bertahap dan sistematis, hingga diaplikasikan secara terus menerus di dalam perusahaan ternyata bukanlah perkara yang sepele. Budaya Perusahaan yang didefinisikan sebagai perilaku yang ditemukan, diadaptasikan dan dipraktekkan oleh kebanyakan karyawan di dalam suatu perusahaan ternyata juga memiliki paduan antara kompleksitas dan kesederhanaan yang akan dibahas dalam artikel ini.
Budaya perusahaan secara internal merupakan penggerak, tata nilai dan identitas perusahaan itu sendiri. Sebagai ilustrasi, suatu perusahaan rokok terkenal di Indonesia menerapkan budaya "Kejujuran/Honesty" untuk jajaran karyawannya. Sehingga jika terjadi pencurian, kecurangan, atau penyimpangan/ penyelewengan dana, maka karyawan tersebut akan langsung diberhentikan dari pekerjaannya. Sehingga apa yang "menggerakkan" jajaran perusahaan dalam organisasi tersebut adalah untuk jujur pada kondisi apapun, karena jika karyawan tidak jujur maka konsekuensinya adalah melanggar tata nilai perusahaan, dimana sanksinya adalah diberhentikan.
Sedangkan Budaya Perusahaan secara eksternal merupakan image /persepsi dari orang lain. Karena baik atau buruknya suatu Perusahaan berikut jajaran perusahaan akan dinilai dalam bentuk persepsi orang lain/ pasar selama berinteraksi dengan perusahaan tersebut. Sehingga jika perusahaan telah membangun dan menanamkan budaya yang kuat, maka persepsi yang tertanam pada masyarakat adalah bahwa perusahaan tersebut memiliki sistem yang kuat, image perusahaan yang secara terus menerus tumbuh dan menciptakan nilai, sehingga image tersebut menyebabkan perusahaan tersebut menjadi tempat tujuan orang-orang (terbaik) untuk bekerja. Sehingga tidak heran kekuatan budaya perusahaan telah menjadikan nilai tambah bagi nilai perusahaan yang tercermin dari trend peningkatan harga-harga saham yang positif serta persepsi positif dari para stakeholders-nya selama berhubungan dengan perusahaan tersebut.

Lebih jauh lagi, proses untuk menemukan perilaku yang diadaptasikan dan dipraktekkan jajaran perusahaan atau "Proses Diagnose", menurut Schein--Sang Guru Budaya Perusahaan dalam bukunya yang berjudul: "Corporate Culture Survival Guide", kedalaman Proses Diagnose dipetakan menjadi dari 3 tingkat:
Tingkat 1: Artefak, proses dan struktur organisasi yang biasanya gampang terlihat.
Tingkat 2: Strategi-strategi nilai yang diadaptasi (justifikasi nilai yang telah diadaptasi), berupa strategi, pencapaian, falsafah
Tingkat 3: Asumsi yang mendasar (sumber utama dari nilai dan tindakan), biasanya tanpa disadari, bersifat taken-for-granted, kepercayaan, persepsi, pemikiran dan perasaan


"Noise Information" Vs "Real Information"

Pada tingkat pertama, perilaku yang ditemukan akan sangat mudah untuk diobservasi. Sebagai ilustrasi: jika kita masuk ke sebuah SPBU yang dilakukan petugasnya mula-mula adalah senyum, salam & sapa; dan langkah selanjutnya adalah pengisian BBM yang pola-polanya sudah sangat terstandar.

Namun beralih ke dua tingkatan berikutnya, prosesnya menjadi semakin tidak mudah. Perilaku-perilaku yang akan digali tersebut telah dijustifikasi atau sudah diadaptasi dalam perusahaan oleh personil-personilnya. Sehingga dalam penggalian proses ini akan banyak sekali ditemukan "noise information" atau informasi yang tidak relevan digunakan sebagai data pendukung. Artinya noise information disini bisa jadi merupakan suara-suara ketidakpuasan segelintir karyawan dengan sistem, keinginan sekelompok karyawan untuk mengaktualisasikan diri, dan issue-issue lainnya yang tidak ada hubungannya dengan perilaku yang kebanyakan dipraktikkan oleh orang-orang. Penentuan noise & real information akan dapat dideteksi melalui alat-alat dalam bentuk studi dokumen perusahaan, kuesioner, wawancara, dan FGD. Masing-masing memiliki kontribusi tersendiri untuk memetakan tingkatan kedua.

Beralih ke tingkatan ketiga, proses verifikasi terhadap asumsi-asumsi yang mendasari para karyawan melakukan sesuatu hal yang "jamak dan berulang" tersebut membutuhkan usaha, waktu, pikiran dan tenaga yang lebih serius. Namun, ada cara lain yang efektif untuk mengetahui keberadaan dan keberagaman "sub cultures" yang sifatnya parsial namun memberikan kontribusi kepada pembentukan budaya perusahaan. Di setiap divisi terdapat aturan yang tidak tertulis dan telah diketahui/ disepakati bersama oleh rekan-rekannya. Sehingga dari orang luar tidak akan dapat melihat aturan yang tidak tertulis tersebut sebelum masuk ke dalam lingkaran ritual informal mereka. Cara efektif tersebut menjadi sangat tidak efektif karena sangat bergantung pada apakah kelompok tersebut mau membuka diri dan menerima orang baru.
Sehingga dari paparan di atas didapat berbagai konsekuensi terkait kompleksitas implementasi diagnose budaya perusahaan, yakni lamanya analisis serta biaya yang dikeluarkan, kedalaman, detail serta lingkup pekerjaan dari diagnose Budaya Perusahaan.


Kompleksitas Vs Kesederhanaan

Sederhananya, apabila seseorang ditanyakan mengenai budaya yang ada di perusahaannya maka dia akan langsung menyebutkan satu per satu karena selalu dipraktikkan sehari-hari. Kemudian, "Proses Design" adalah tindak lanjut dari proses diagnose. Pada prosesnya, proses design tidak akan berhasil jika tidak melibatkan jajarannya sendiri. Bisa dikatakan, sosialisasi tanpa melibatkan agen pengubah diibaratkan sebagai seseorang yang berada di menara gading—yang sudut pandangnya hanya berdiri pada tataran teori saja. Namun untuk menyelami/ memahami praktik dan kemudian dijadikan "design budaya" yang terkait dengan: nilai-nilai yang akan ditumbuhkembangkan vs nilai yang akan ditinggalkan, action plan jajaran perusahaan dan kegiatan sosialisasi guna membahasakan budaya perusahaan ke jajaran pelaksana. Ini ternyata tidak mudah.

Artinya terdapat persentuhan dua kutub yang ekstrim, yakni: kompleksitas untuk pendalaman dan penggalian Budaya Perusahaan dan kesederhanaan untuk mendapatkan output yang diharapkan.

Akhir kata, proses manakah menurut anda yang paling sederhana dan yang paling kompleks? Ternyata, perpaduan serta harmoni kompleksitas proses dan kesederhanaan output-lah yang menyebabkan Budaya Perusahaan sangat menantang untuk dijalani dan diuji (diverifikasi).

Tidak ada komentar: