“Kehilangan pengetahuan kritikal yang diperlukan merupakan permasalahan terbesar, dan ketidakmampuan untuk mencari pengganti yang memiliki keahlian sama dan spesifik merupakan tantangan terbesar...”
(American Public Power Association/ APPA)
Dunia ketenagalistrikan ditinjau dari aspek workforce memiliki karakteristik khas. Sumberdaya yang direkrut memiliki spesialisasi tertentu, sukar dicarikan substitusi karena demikian terbatasnya keahlian tersebut dan dibutuhkan pendidikan yang relatif mahal untuk menjadikan seseorang menjadi spesialis yang berpengalaman.
Pada saat didirikan pembangkit, penempatan segera dilakukan, namun penugasan Perusahaan kepada karyawan untuk penguasaan keahlian-keahlian yang signifikan dibebankan pada orang-orang tertentu saja. Sehingga seiring dengan berlalunya waktu, perusahaan akan menghadapi krisis supply angkatan kerja yang menghadapi pensiun. Sehingga kini issue “workforce planning” mengemuka di sektor ini.
Krisis supply angkatan kerja kerja menimbulkan “krisis kepemimpinan” di masa depan dengan ditandai oleh lowongnya posisi manajemen menengah dan manajemen atas. Perbedaan jurang angkatan menimbulkan jurang perbedaan hingga konflik. Lalu bagaimana perusahaan sektor ketenagalistrikan mengatasi krisis ini?
Belajar dari Contoh Kasus PT X*
Pada tabel di bawah ini diperlihatkan sensus kepegawaian PT X pada tahun 2003 dengan 4 level dan dengan rentang umur antara 31 hingga diatas 50 tahun, sebagai berikut:
Tabel 1: Tabulasi Pegawai PT X Tahun 2003
Dunia ketenagalistrikan ditinjau dari aspek workforce memiliki karakteristik khas. Sumberdaya yang direkrut memiliki spesialisasi tertentu, sukar dicarikan substitusi karena demikian terbatasnya keahlian tersebut dan dibutuhkan pendidikan yang relatif mahal untuk menjadikan seseorang menjadi spesialis yang berpengalaman.
Pada saat didirikan pembangkit, penempatan segera dilakukan, namun penugasan Perusahaan kepada karyawan untuk penguasaan keahlian-keahlian yang signifikan dibebankan pada orang-orang tertentu saja. Sehingga seiring dengan berlalunya waktu, perusahaan akan menghadapi krisis supply angkatan kerja yang menghadapi pensiun. Sehingga kini issue “workforce planning” mengemuka di sektor ini.
Krisis supply angkatan kerja kerja menimbulkan “krisis kepemimpinan” di masa depan dengan ditandai oleh lowongnya posisi manajemen menengah dan manajemen atas. Perbedaan jurang angkatan menimbulkan jurang perbedaan hingga konflik. Lalu bagaimana perusahaan sektor ketenagalistrikan mengatasi krisis ini?
Belajar dari Contoh Kasus PT X*
Pada tabel di bawah ini diperlihatkan sensus kepegawaian PT X pada tahun 2003 dengan 4 level dan dengan rentang umur antara 31 hingga diatas 50 tahun, sebagai berikut:
Tabel 1: Tabulasi Pegawai PT X Tahun 2003
Sumber: Survey Pegawai PT X Tahun 2003, data diolah
Pada tabel diatas diketahui bahwa terdapat 26% manajemen tingkat atas pada perusahaan akan menghadapi masa persiapan pensiun (MPP) dan pensiun, dan dalam jangka waktu 5 tahun mendatang diketahui terdapat 36% calon pengganti dari angkatan kerja tersebut. Dalam skema workforce planning perusahaan harus mulai mencari pengganti kelompok umur 46-50 tahun melalui internal rekruitment angkatan berumur 36-40 tahun dan 36-40 tahun, dan external rekruitment pengganti angkatan berumur 31-25 tahun. Strategi ini tidak mudah dilakukan karena kekhasan sektor ini, maka sebagian manajemen perusahaan menerapkan (1) Competency Based Human Resources Management (CBHRM). Dalam CBHRM, kompetensi pegawai dipetakan dan disaring. Hasilnya ditujukan agar pegawai yang memiliki gap rendah dapat diberikan pelatihan-pelatihan agar terjadi percepatan mereka mengantikan angkatan tua.
Tabel 2: Tabulasi Gap Pegawai PT X
Hasilnya PT X memiliki: 35% karyawan yang memiliki kompetensi yang diharapkan oleh perusahaan; sebanyak 18% karyawan yang kompetensinya di atas rata-rata; dan 47% kesenjangan gap satu level di bawah yang diharapkan perusahaan terjadi merata pada keempat level.
Metode lain juga diterapkan oleh perusahaan lain (dan juga perusahaan ini) untuk menyiasati workforce deficit ini adalah (2) menerapkan Talent Pool, yang ditujukan agar perusahaan dapat menghimpun orang-orang berbakat sehingga siap menerima transfer pengetahuan angkatan di atasnya, atau (3) menetapkan budaya knowledge management.
Namun ketiga strategi ini tidak akan banyak manfaatnya jika tidak dilakukan workforce planning secara hati-hati.
Tabel 3: Perpindahan Angkatan Kerja PT X 2003-2007
Sumber: Pegawai PT X Tahun 2003, data diolah
Pada tabel 3 di atas, diilustrasikan perpindahan angkatan kerja yang terjadi pada PT X kurun tahun 2007, dengan asumsi grade tidak mengalami perubahan. Diketahui belum ada antisipasi jangka panjang perusahaan dalam menyiasati krisis ini, meskipun jangka pendek relatif ada pelatihan-pelatihan, namun sporadis atau menyelesaikan permasalahan yang ada di permukaan secara langsung.
Belajar dari Workforce planning APPA
Hasil survey yang dilakukan oleh APPA pada tahun 2005 menyatakan bahwa (1) kurangnya review serta implementasi strategi workforce planning** dan (2) ketidakseriusan manajemen dalam mengelola hal ini ternyata menjadi penyebab utama terjadinya krisis tenaga kerja di bidang ketenagalistrikan yang akan mereka hadapi sebentar lagi, yakni pada tahun 2010.
Dari responden diketahui fokus manajemen puncak adalah pada aspek keuangan (compensation & benefit); kebijakan tenaga kerja; dan aspek operasional (termasuk workforce planning, keputusan merekrut/ pemecatan dan trend ketenagakerjaan). Organisasi kemudian dituntut tak hanya untuk memiliki database akurat namun kemampuan untuk mengidentifikasi workforce dengan keterampilan yang benar-benar dibutuhkan oleh perusahaan. Setidaknya terdapat 7 langkah sistematis dalam workforce planning:
1. Menghubungkan angkatan kerja dengan strategi perusahaan perusahaan
2. Mengadakan analisis angkatan kerja
3. Mengidentifikasikan kebutuhan angkatan kerja di masa datang
4. Mengadakan analisis gap
5. Menyusun strategi angkatan kerja
6. Mengimplementasikan strategi angkatan kerja
7. Melakukan usaha monitor, evaluasi, dan revisi
Sehingga pada prosesnya siklus tersebut tidak berhenti pada fase tertentu, misalnya: tahapan workforce planning terhenti begitu analisis gap selesai dilaksanakan. Namun perusahaan secara terus-menerus harus memonitor, mengevaluasi dan merevisi implementasi strategi yang telah dilakukan. Ini menyangkut pada trend dan variasi kebijakan serta program-program yang diimplementasikan seperti: transfer pengetahuan, kebijakan untuk mempertahankan workforce tertentu yang akan pensiun, investasi pada pelatihan-pelatihan, metode perekrutan dan pelatihan. Sehingga upaya yang dilakukan oleh perusahaan akan membuahkan hasil dalam jangka panjang, bukan hanya di permukaan.
Penutup:
Perpindahan workforce secara alami terjadi seiring dengan berjalannya waktu, dan hal ini tidak bisa dihindari. Perusahaan ketenagalistrikan Indonesia belajar dari kasus APPA (American Public Power Association) dalam mengatasi permasalah kekurangan angkatan kerja tidak mutlak melakukan upaya perekrutan secara besar-besaran tenaga kerja terbaik di Indonesia, tapi juga harus menyesuaikan kebutuhan tenaga kerja yang telah direkrut dengan strategi besar perusahaan.
Perusahaan dalam menyikapi hal ini dengan menyusun strategi angkatan kerja secara holistik dan memiliki pengaruh dalam jangka panjang. Salah satu upaya agar perginya angkatan kerja dari perusahaan tidak menghilangkan aspek kompetitif perusahaan ketenagalistrikan Indonesia adalah dengan menjalankan workforce planning yang bertahap dan komprehensif.
Keterangan:
*) PT X adalah salah satu perusahaan di bidang pembangkitan listrik Indonesia
**) Tenaga kerja ketenagalistrikan yang dimaksud dalam survey APPA adalah mulai dari ahli listrik, pekerja bidang unit pemeliharaan , bagian konstruksi hingga mekanik lapangan.
Belajar dari Workforce planning APPA
Hasil survey yang dilakukan oleh APPA pada tahun 2005 menyatakan bahwa (1) kurangnya review serta implementasi strategi workforce planning** dan (2) ketidakseriusan manajemen dalam mengelola hal ini ternyata menjadi penyebab utama terjadinya krisis tenaga kerja di bidang ketenagalistrikan yang akan mereka hadapi sebentar lagi, yakni pada tahun 2010.
Dari responden diketahui fokus manajemen puncak adalah pada aspek keuangan (compensation & benefit); kebijakan tenaga kerja; dan aspek operasional (termasuk workforce planning, keputusan merekrut/ pemecatan dan trend ketenagakerjaan). Organisasi kemudian dituntut tak hanya untuk memiliki database akurat namun kemampuan untuk mengidentifikasi workforce dengan keterampilan yang benar-benar dibutuhkan oleh perusahaan. Setidaknya terdapat 7 langkah sistematis dalam workforce planning:
1. Menghubungkan angkatan kerja dengan strategi perusahaan perusahaan
2. Mengadakan analisis angkatan kerja
3. Mengidentifikasikan kebutuhan angkatan kerja di masa datang
4. Mengadakan analisis gap
5. Menyusun strategi angkatan kerja
6. Mengimplementasikan strategi angkatan kerja
7. Melakukan usaha monitor, evaluasi, dan revisi
Sehingga pada prosesnya siklus tersebut tidak berhenti pada fase tertentu, misalnya: tahapan workforce planning terhenti begitu analisis gap selesai dilaksanakan. Namun perusahaan secara terus-menerus harus memonitor, mengevaluasi dan merevisi implementasi strategi yang telah dilakukan. Ini menyangkut pada trend dan variasi kebijakan serta program-program yang diimplementasikan seperti: transfer pengetahuan, kebijakan untuk mempertahankan workforce tertentu yang akan pensiun, investasi pada pelatihan-pelatihan, metode perekrutan dan pelatihan. Sehingga upaya yang dilakukan oleh perusahaan akan membuahkan hasil dalam jangka panjang, bukan hanya di permukaan.
Penutup:
Perpindahan workforce secara alami terjadi seiring dengan berjalannya waktu, dan hal ini tidak bisa dihindari. Perusahaan ketenagalistrikan Indonesia belajar dari kasus APPA (American Public Power Association) dalam mengatasi permasalah kekurangan angkatan kerja tidak mutlak melakukan upaya perekrutan secara besar-besaran tenaga kerja terbaik di Indonesia, tapi juga harus menyesuaikan kebutuhan tenaga kerja yang telah direkrut dengan strategi besar perusahaan.
Perusahaan dalam menyikapi hal ini dengan menyusun strategi angkatan kerja secara holistik dan memiliki pengaruh dalam jangka panjang. Salah satu upaya agar perginya angkatan kerja dari perusahaan tidak menghilangkan aspek kompetitif perusahaan ketenagalistrikan Indonesia adalah dengan menjalankan workforce planning yang bertahap dan komprehensif.
Keterangan:
*) PT X adalah salah satu perusahaan di bidang pembangkitan listrik Indonesia
**) Tenaga kerja ketenagalistrikan yang dimaksud dalam survey APPA adalah mulai dari ahli listrik, pekerja bidang unit pemeliharaan , bagian konstruksi hingga mekanik lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar