Bank dideskripsikan sebagai the most regulated organization, atau organisasi yang terikat oleh banyak regulasi, sehingga bank haruslah comply dengan peraturan-peraturan yang ada. Pengelolaan perbankan tentunya tidak terlepas dari manajemen risiko (risk management). BI sebagai regulator bank-bank di Indonesia mendefinisikan manajemen risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank. Setidaknya terdapat delapan paparan risiko yang mungkin dihadapi oleh dunia perbankan, yakni: (1) Risiko Kredit; (2) Risiko Pasar; (3) Risiko Likuiditas; (4) Risiko Operasional; (5) Risiko Hukum; (6) Risiko Reputasi; (7) Risiko Stratejik; dan (8) Risiko Kepatuhan.
Penulis dalam tulisan ini akan banyak mengulas salah satu paparan risiko pada bank, yakni Risiko Operasional yang memiliki keterkaitan dengan pentingnya implementasi HCMS pada bank. Risiko Operasional pada bank umumnya disebabkan adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
Disadari bahwa seperangkat peraturan tersebut ternyata tidaklah cukup untuk mencegah dan menghindari risiko operasional. Dan juga telah diketahui bahwa faktor yang paling banyak memberikan kontribusi akan terjadinya risiko-risiko di atas adalah manusia. Mengapa demikian? Karena manusia adalah pelaku yang melakukan pengambilan keputusan, menetapkan regulasi dan strategi., menciptakan sistem, hingga melakukan proses eksekusi. Sehingga domain dari risk management selain aspek compliance/ kepatuhan, aspek HRM juga memiliki peranan yang tidak kalah penting.
Setiap bank dalam menjalankan operasionalnya diasumsikan telah memiliki visi, misi dan nilai yang menjadi dasar/ basis perilaku jajaran Bank. Internalisasi visi, misi dan nilai dengan baik akan memberikan output berupa expected behavior yang diperlukan bagi bank. Namun implementasi visi, misi dan nilai tersebut berakibat tidak langsung karena sifat visi, misi dan nilai adalah abstrak, makro dan berada di tataran helicopter view—sehingga sulit untuk diimplementasikan dalam jangka waktu pendek agar bank terhindar dari risiko operasional.
Dibutuhkan suatu mekanisme yang menjamin clarity (kejelasan) dan accountability (akuntabilitas) para pelaku di dalam sistem yang mengatur hubungan transaksional antar jajaran, antar unit dan antar departemen. Wujud dari aspek clarity dan accountability diimplementasikan oleh sub sistem-sub sistem yang saling berkait dan terintegrasi hingga melalui Human Capital Management System (HCMS) pada bank.
Mengapa HCMS?
Terminologi HCMS adalah menjadikan manusia sebagai modal perusahaan, bukan sebagai asset. HC (Human Capital) menerjemahkan inisiatif-inisiatif perusahaan di bidang SDM menjadi satuan keuangan. Sehingga konsekuensi dari aplikasi HCMS adalah integrasi dari sub sistem-sub sistem pembentuk manajemen sumberdaya, seperti Job Description (Distinct Job Profile), PMS, People Planning, Career Management, hingga Value Measurement System.
”Job Description” dalam HCMS dijadikan sebagai bentuk akuntabilitas dan kejelasan (clarity) dari pemangku jabatan dalam menjalankan pekerjaannya. Sehingga Job Description tidak hanya merupakan data administratif, namun merupakan single reference bagi sub sistem-sub sistem lain.
Pemangku jabatan hanya akan mengerjakan pekerjaan yang merupakan tanggungjawabnya, sehingga dia tidak akan melakukan pekerjaan yang bukan kewenangannya. Batasan kewenangan (misalnya approval kredit) telah ditetapkan dan didefinisikan dengan sehingga tidak mungkin terjadi pelanggaran; dimensi pekerjaan terkait pekerjaannya terdefinisi dengan rinci, sehingga kompleksitas pekerjaan dapat dimonitor dan dapat di-review sewaktu-waktu jika diperlukan. Ukuran keberhasilan pemangku jabatan di dalam melaksanakan pekerjaannya dapat diukur melalui Key Performance Indicator (KPI) yang masing-masing berbeda (distinct) untuk setiap pemangku jabatan. Sehingga job description atau Distinct Job Profile ini memberikan kontribusi bagi Divisi Compliance dalam: (1) memonitor kepatuhan jajarannya terhadap regulasi yang mengikat, (2) menelusuri terjadinya pelanggaran yang berpotensi menyebabkan bank mengalami risiko operasional, (3) serta identifikasi risiko yang mungkin terjadi sebagai akibat penerapan prosedur/ kebijakan baru.
Sub sistem penting lain, berupa Performance Management System merupakan bentuk kontrol akuntabilitas dan klaritas dari implementasi Distinct Job Profile ini. Dimana setiap atasan senantiasa menjalankan proses review dan coaching bawahannya demi peningkatan kualitas dan kemajuan perusahaan. Kemudian sub sistem Reward Management yang mempersonalisasikan Reward dalam pilihan skema Reward yang lebih fleksibel--sesuai dengan kebutuhan jajarannya.
Penutup.
HCMS memiliki sub sistem-sub sistem unik yang mengakomodasi aspek Compliance pada setiap sub sistemnya. Sehingga HCMS memberikan kontribusi yang signifikan pada proses monitoring, identifikasi operational risk, dan proses eksekusi di jajaran Bank.
Senin, Desember 31, 2007
Performance Management System: By Order atau By Design?
Jika pada tulisan sebelumnya telah dibahas mengenai aspek clarity (kejelasan) dan responsibility (tanggung jawab) pada job description. Maka dinamika aspek clarity dan responsibility pada penegakan Performance management System di organisasi akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.
Efektifitas suatu organisasi secara makro dikatakan berhasil jika perusahaan mencapai apa yang diharapkan oleh shareholders, atau secara transaksional jika seluruh jajaran perusahaan telah mencapai target masing-masing dan memiliki kinerja yang baik.
Guna mengukur pencapaian kinerja masing-masing karyawan, sistem yang berjalan disini adalah performance management system yang ditujukan untuk memastikan apakah seluruh jajaran Perusahaan telah melakukan tugas-tugasnya dengan baik dan benar, sehingga target dan pekerjaan yang diharapkan sesuai dengan yang diinginkan oleh atasan serta sejalan dengan kebijakan perusahaan.
Bilamana atau kapankah seseorang dikatakan perform? Karyawan yang selalu melakukan pekerjaan by order ataukah karyawan selalu melakukan pekerjaan by system? Dua hal di atas merupakan 2 ekstrim yang bertolak belakang dan memiliki konsekuensi jika diikuti 100%. By order artinya mengerjakan pekerjaan pada kondisi dimana terjadi perubahan dari acuan semula misalnya: perubahan prioritas pekerjaan mendadak, adanya tugas mendadak, strategi perusahaan yang berubah mendadak, dan pekerjaan-pekerjaan dadakan lainnya. Sedangkan by design berarti setiap pekerjaan dilakukan sesuai dengan rencana, sesuai dengan alokasi dana, waktu dan sumberdaya yang tersedia. Artinya semua pekerjaan telah ditentukan path-nya, terukur, realistis dan bisa diprediksi hasilnya.
Namun pada kenyataannya, dinamika di dalam suatu organisasi tidak mungkin menempatkan seseorang melakukan pekerjaan by order atau sesuai pesanan 100% tanpa melihat prioritas atau performance plan yang telah disetujui. Pada kondisi ini seseorang akan berhadapan dengan trade off: dia adalah seorang eksekutor atau pelaksana semata, akibatnya dia tidak akan mencapai apa-apa karena tidak ada dalam target yang tertulis, atau bahkan tidak akan memperoleh pengakuan professional dari rekan-rekannya dalam jangka panjang. Atau trade off seseorang yang melakukan pekerjaan by design 100%; secara kasat mata adalah seorang profesional sejati yang berdiri sendiri, namun dalam jangka panjang akan menghadapi tantangan dari teman-teman sendiri atau dari bahkan atasan yang memerlukan bantuannya. Sehingga praktis seseorang mengerjakan pekerjaan By design selesai tepat pada waktunya, namun kaku, tanpa memiliki value added secara personal, sosial dan bahkan bagi organisasi.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa orang-orang semacam ini ada dan hidup di dalam organisasi, tentunya tidak terlalu ekstrim, namun memiliki kecenderungan mengikuti salah satu skenario ini. Lalu bagaimana menilai orang-orang seperti ini?
Komponen dan Perhitungan Performance Management (PMS)
Human Capital Management System (HCMS) melalui Performance management System (PMS) sebenarnya telah menetapkan batas atau limit pada jenis pekerjaan yang boleh dikerjakannya, dimana hal ini sangat tergantung pada kebutuhan organisasi. Pada umumnya jenis pekerjaan terbagi 3, yakni: (1) pekerjaan individual itu sendiri; (2) pekerjaan yang dilakukan bersama team; dan (3) pekerjaan yang didedikasikan untuk kemajuan organisasi. Sedangkan pekerjaan menurut prioritas terdiri dari yakni: Tugas Utama, Tugas Tambahan; dan Critical Incident. Dimensi lain yang menjadi pertimbangan dalam performance plan adalah (1) kompetensi yang dimiliki karyawan serta (2) tingkat komitmen karyawan terhadap nilai perusahaan dan score lain (berbentuk indeks) yang dinilai secara periodik.
Masing-masing komponen tersebut memiliki proporsi/ bobot tersendiri tergantung dari strategi dan model organisasi itu sendiri. Proporsi inilah yang kemudian dijadikan kontrol kapan seseorang boleh melanjutkan atau segera menghentikan pekerjaannya yang sedang berjalan untuk kepentingan penilaian performance mereka.
Pada akhir tahun kemudian didapat perhitungan pencapaian targetnya. Seperti menghitung sebuah portfolio, kinerjanya secara keseluruhan dilihat kuantitasnya, dan lalu kualitasnya dinilai berdasarkan KPI masing-masing dan dibobotkan sesuai dengan proporsi pekerjaan.
Portfolio ini merupakan performance index, sebagaimana halnya nilai rapor/ IP, yang ditujukan untuk menentukan apakah pemegang jabatan merupakan memiliki prestasi rata-rata, di atas rata-rata, atau masalah bagi perusahaan. Sehingga ini merupakan pertimbangan manajemen perusahaan apakah karyawan ini dapat dipromosikan, dimutasi atau bahkan diterminasi.
Poin Kinerja By order atau By design
Sebagai ilustrasi untuk menghitung kinerja karyawan by design dan karyawan by order dibuatkan contoh kasus sederhana: perusahaan memiliki proporsi penilaian performance: pekerjaan utama 65%, proporsi pekerjaan tambahan 30% dan critical incident 5%. Katakanlah bahwa kedua karyawan dinyatakan achieve oleh atasan, teman-temannya dan atau oleh organisasinya, dengan asumsi perusahaan tidak menegakkan PMS di perusahaannya.
Karyawan A dengan scenario pekerjaan by order 100%, melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan atasan atau atasan-atasan lainnya, memperoleh poin pada akhir tahun sebesar adalah 35%. Sedangkan karyawan B dengan skenario pekerjaan by design pada akhir tahun memperoleh poin sebesar 65%.
Ternyata hasil akhir dari pekerjaan by order dan by design tidaklah memberikan hasil maksimal bagi perusahaan. Karyawan A adalah karyawan yang memiliki performance rendah meskipun dia terlihat sangat sibuk mengikuti rapat demi rapat. Sedangkan karyawan B terlihat sebagai karyawan yang memiliki nilai sedang-sedang saja, meskipun dia telah bekerja memenuhi targetnya sendiri. Sehingga yang terlihat di permukaan ternyata tidak sama jika performance management system diberlakukan. Tentunya temuan sederhana ini perlu mendapatkan perhatian yang serius dari manajemen perusahaan manapun yang belum menerapkan performance management system.
Penutup
Pada akhirnya, penegakan PMS di suatu perusahaan tetaplah merupakan suatu proses eksekusi individu atas prioritas pekerjaan, meskipun pekerjaan by design dan by order merupakan grey area yang bersifat abadi dalam dunia HR. Namun adalah tugas manajer HR dan manajemen untuk meningkatkan produktifitas jajarannya melalui penegakan PMS tentunya memberikan kontribusi maksimal dan win-win result. Semoga.
Efektifitas suatu organisasi secara makro dikatakan berhasil jika perusahaan mencapai apa yang diharapkan oleh shareholders, atau secara transaksional jika seluruh jajaran perusahaan telah mencapai target masing-masing dan memiliki kinerja yang baik.
Guna mengukur pencapaian kinerja masing-masing karyawan, sistem yang berjalan disini adalah performance management system yang ditujukan untuk memastikan apakah seluruh jajaran Perusahaan telah melakukan tugas-tugasnya dengan baik dan benar, sehingga target dan pekerjaan yang diharapkan sesuai dengan yang diinginkan oleh atasan serta sejalan dengan kebijakan perusahaan.
Bilamana atau kapankah seseorang dikatakan perform? Karyawan yang selalu melakukan pekerjaan by order ataukah karyawan selalu melakukan pekerjaan by system? Dua hal di atas merupakan 2 ekstrim yang bertolak belakang dan memiliki konsekuensi jika diikuti 100%. By order artinya mengerjakan pekerjaan pada kondisi dimana terjadi perubahan dari acuan semula misalnya: perubahan prioritas pekerjaan mendadak, adanya tugas mendadak, strategi perusahaan yang berubah mendadak, dan pekerjaan-pekerjaan dadakan lainnya. Sedangkan by design berarti setiap pekerjaan dilakukan sesuai dengan rencana, sesuai dengan alokasi dana, waktu dan sumberdaya yang tersedia. Artinya semua pekerjaan telah ditentukan path-nya, terukur, realistis dan bisa diprediksi hasilnya.
Namun pada kenyataannya, dinamika di dalam suatu organisasi tidak mungkin menempatkan seseorang melakukan pekerjaan by order atau sesuai pesanan 100% tanpa melihat prioritas atau performance plan yang telah disetujui. Pada kondisi ini seseorang akan berhadapan dengan trade off: dia adalah seorang eksekutor atau pelaksana semata, akibatnya dia tidak akan mencapai apa-apa karena tidak ada dalam target yang tertulis, atau bahkan tidak akan memperoleh pengakuan professional dari rekan-rekannya dalam jangka panjang. Atau trade off seseorang yang melakukan pekerjaan by design 100%; secara kasat mata adalah seorang profesional sejati yang berdiri sendiri, namun dalam jangka panjang akan menghadapi tantangan dari teman-teman sendiri atau dari bahkan atasan yang memerlukan bantuannya. Sehingga praktis seseorang mengerjakan pekerjaan By design selesai tepat pada waktunya, namun kaku, tanpa memiliki value added secara personal, sosial dan bahkan bagi organisasi.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa orang-orang semacam ini ada dan hidup di dalam organisasi, tentunya tidak terlalu ekstrim, namun memiliki kecenderungan mengikuti salah satu skenario ini. Lalu bagaimana menilai orang-orang seperti ini?
Komponen dan Perhitungan Performance Management (PMS)
Human Capital Management System (HCMS) melalui Performance management System (PMS) sebenarnya telah menetapkan batas atau limit pada jenis pekerjaan yang boleh dikerjakannya, dimana hal ini sangat tergantung pada kebutuhan organisasi. Pada umumnya jenis pekerjaan terbagi 3, yakni: (1) pekerjaan individual itu sendiri; (2) pekerjaan yang dilakukan bersama team; dan (3) pekerjaan yang didedikasikan untuk kemajuan organisasi. Sedangkan pekerjaan menurut prioritas terdiri dari yakni: Tugas Utama, Tugas Tambahan; dan Critical Incident. Dimensi lain yang menjadi pertimbangan dalam performance plan adalah (1) kompetensi yang dimiliki karyawan serta (2) tingkat komitmen karyawan terhadap nilai perusahaan dan score lain (berbentuk indeks) yang dinilai secara periodik.
Masing-masing komponen tersebut memiliki proporsi/ bobot tersendiri tergantung dari strategi dan model organisasi itu sendiri. Proporsi inilah yang kemudian dijadikan kontrol kapan seseorang boleh melanjutkan atau segera menghentikan pekerjaannya yang sedang berjalan untuk kepentingan penilaian performance mereka.
Pada akhir tahun kemudian didapat perhitungan pencapaian targetnya. Seperti menghitung sebuah portfolio, kinerjanya secara keseluruhan dilihat kuantitasnya, dan lalu kualitasnya dinilai berdasarkan KPI masing-masing dan dibobotkan sesuai dengan proporsi pekerjaan.
Portfolio ini merupakan performance index, sebagaimana halnya nilai rapor/ IP, yang ditujukan untuk menentukan apakah pemegang jabatan merupakan memiliki prestasi rata-rata, di atas rata-rata, atau masalah bagi perusahaan. Sehingga ini merupakan pertimbangan manajemen perusahaan apakah karyawan ini dapat dipromosikan, dimutasi atau bahkan diterminasi.
Poin Kinerja By order atau By design
Sebagai ilustrasi untuk menghitung kinerja karyawan by design dan karyawan by order dibuatkan contoh kasus sederhana: perusahaan memiliki proporsi penilaian performance: pekerjaan utama 65%, proporsi pekerjaan tambahan 30% dan critical incident 5%. Katakanlah bahwa kedua karyawan dinyatakan achieve oleh atasan, teman-temannya dan atau oleh organisasinya, dengan asumsi perusahaan tidak menegakkan PMS di perusahaannya.
Karyawan A dengan scenario pekerjaan by order 100%, melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan atasan atau atasan-atasan lainnya, memperoleh poin pada akhir tahun sebesar adalah 35%. Sedangkan karyawan B dengan skenario pekerjaan by design pada akhir tahun memperoleh poin sebesar 65%.
Ternyata hasil akhir dari pekerjaan by order dan by design tidaklah memberikan hasil maksimal bagi perusahaan. Karyawan A adalah karyawan yang memiliki performance rendah meskipun dia terlihat sangat sibuk mengikuti rapat demi rapat. Sedangkan karyawan B terlihat sebagai karyawan yang memiliki nilai sedang-sedang saja, meskipun dia telah bekerja memenuhi targetnya sendiri. Sehingga yang terlihat di permukaan ternyata tidak sama jika performance management system diberlakukan. Tentunya temuan sederhana ini perlu mendapatkan perhatian yang serius dari manajemen perusahaan manapun yang belum menerapkan performance management system.
Penutup
Pada akhirnya, penegakan PMS di suatu perusahaan tetaplah merupakan suatu proses eksekusi individu atas prioritas pekerjaan, meskipun pekerjaan by design dan by order merupakan grey area yang bersifat abadi dalam dunia HR. Namun adalah tugas manajer HR dan manajemen untuk meningkatkan produktifitas jajarannya melalui penegakan PMS tentunya memberikan kontribusi maksimal dan win-win result. Semoga.
Selasa, Desember 04, 2007
Tulisan-tulisan
Sudah ada 3 tulisan yang telah berhasil dibuat dan sebentar lagi mungkin dimuat di beberapa media massa. Dengan beberapa reviews dan smoothings dari "guru" saya, akhirnya jadi tulisan yang bisa dibaca di majalah terkemuka. Beliau sendiri menyatakan kalau gaya tulisan saya terlalu berat, kental dengan filosofi. Karena saya akan tergerak menuliskan sesuatu yang ada muatannya. Kalau tidak, menurut saya tulisannya jadi tidak menarik lagi, dan saya tidak tergerak untuk menulis.
Essense dari sebuah tulisan yang saya nilai menarik adalah figure vs ground, simplicity vs complexity, trade off(s), implementasi strategi, solusi dari permasalahan tersebut.
Menyajikan ilustrasi? disinilah kekurangan saya... Jadinya Beliau bekerja keras mencarikan ilustrasi apa yang cocok untuk artikel saya:-)
Essense dari sebuah tulisan yang saya nilai menarik adalah figure vs ground, simplicity vs complexity, trade off(s), implementasi strategi, solusi dari permasalahan tersebut.
Menyajikan ilustrasi? disinilah kekurangan saya... Jadinya Beliau bekerja keras mencarikan ilustrasi apa yang cocok untuk artikel saya:-)
Langganan:
Postingan (Atom)