Bulan mulia yang senantiasa dinanti-nanti Ummat Islam; bulan untuk menyempurnakan amal, menambah pengetahuan, mengasah kepekaan dan kesetiakawanan sosial, dan bahkan meningkatkan kesehatan. menyemarakkan bulan ini, terdapat bahan renungan bagaimana dampak ramadhan bagi anak-anak sedunia. Kita meyakini Ramadhan bermakna lebih dari sekadar ritual. Jika selama ini Ramadhan adalah berpuasa selama sebulan penuh, dimana masjid-masjid dipenuhi ummat untuk ibadah shalat berjemaah, tarawih dan tadarus.
Seiring dengan beranjaknya usia, Ramadhan mulai memperlihatkan kompleksitasnya yang layak kita explore dan menjadi bahan renungan. Sebagai contoh dari kompleksitas Ramadhan tersebut adalah bagaimana pada saat yang sama seorang anak, orang dewasa, ayah/ ibu, sebagai bagian dari komunitas menjalankan peran dan tanggungjawabnya:
* Seorang anak yang berusaha keras menahan rasa lapar dan dahaga, menahan amarah, meningkatkan amalan ibadah, baik sukarela maupun terpaksa. Seperti: kegiatan yang diformalkan oleh sekolah maupun oleh orang tua;
* Seseorang yang telah berpenghasilan wajib mengeluarkan zakat, seperti: zakat profesi, zakat maal, zakat fitrah serta menyantuni kaum dhuafa;
* Seorang Ayah/ Ibu membuat program edukatif namun menyenangkan di bulan Ramadhan agar sang anak termotivasi menjalankan ibadahnya;
* Seorang anak yang menafkahi serta mengurus orang tua yang telah lanjut usia;
* Sebagai bagian dari komunitas, seorang tetangga yang baik turut serta memeriahkan ramadhan menyumbangkan pikiran, tenaga, maupun dana.
Sebuah eksperimen menarik mengenai self control yang dilakukan di sebuah Universitas di AS terhadap anak-anak balita, yang ternyata eksperimen ini akan berpengaruh pada tumbuh kembang, pergaulan bahkan kesuksesan karir di masa datang seorang anak. Eksperimen tematik di atas hanya dilakukan satu kali dalam hidup, namun hasil eksperimen tersebut mampu memprediksi bagaimana perilaku si anak di masa yang akan datang.
Di sisi lain, hakekat berpuasa tidak hanya “mendapatkan marshmallow kedua” (imbalan duniawi), namun lebih dari itu, secara mental anak-anak berproses untuk menahan diri atau self control, bersabar, dan menyerahkan diri hanya kepada Allah S.W.T. Mental proses yang senantiasa dijalankan secara rutin dan berkelanjutan ini akan menumbuhkan sifat-sifat lain yang tak kalah mulia, seperti: sifat empati terhadap sesama, dermawan/ penyantun, sifat tawadhu/ humble, dan lain sebagainya.
Lalu bayangkanlah betapa cerahnya masa depan anak-anak muslim pada umumnya dan anak-anak yang kita cintai pada khususnya yang tekun menjalankan ibadah puasa ini selama sebulan penuh. Tidak hanya disuruh menunggu untuk mendapatkan 2 marshmallow selama 15 menit, namun mereka diwajibkan menjalankan komitmen berpuasa (separuh hari maupun sehari). Mereka adalah anak-anak yang berkomitmen untuk menahan diri dari haus dan lapar, amarah, dan sifat malas menjelang beduk maghrib berbunyi. Bahkan ritual ini dijalankan seumur hidup mereka.
Subhanallah, betapa sempurnanya manfaat dari menjalankan amal dan ibadah ini.
Box: The Marshmallow & Self Control
Di tahun 1960-an, seorang anak yang berusia 4 tahun, Carolyn diundang untuk bermain di Bing Nursery School, Univ. Stanford. Mereka diminta untuk duduk di sebuah ruangan dan memilih makanan-makanan kecil yang ia sukai. Ia kemudian diminta untuk menunggu beberapa waktu sampai pengawas ruangan datang. Jika ia bersabar menunggu, maka ia akan mendapatkan 2 buah marshmallow. Carolyn kecil diminta untuk membunyikan bell bila tak sabar ingin memakan marshmallow tersebut. Dan Craig, seorang anak yang setahun lebih tua dari Carolyn pun diminta mengikuti eksperimen tersebut. Ia melakukan hal sebaliknya: Craig memakan semua permen tanpa memencet bel ataupun setelah menunggu pengawas datang ke ruangan tersebut.
Penelitian tersebut awalnya untuk meneliti bagaimana tingkah laku anak-anak selama menunggu, dan seberapa sabar mereka mampu menunggu. Beberapa anak mencoba menahan diri dengan tingkah laku lucu. Ada yang menutup kedua matanya atau membalikkan badan. Sebagian lagi menendang-nendang kursi/ meja saat menunggu, atau bahkan menjentikkan marshmallow tersebut tsb seperti binatang kecil.
Lalu eksperimen tersebut pun dikembangkan, bagaimana perilaku sang anak beberapa tahun kemudian?
Ternyata anak-anak yang mampu menahan diri atau “menunda kesenangan” selama beberapa menit itu memiliki kemampuan dalam menyelesaikan masalah, berteman, serta memiliki prestasi akademik yang baik. Eksperimen ini tidak hanya berlaku bagi Carolyn & Craig, namun juga bagi 653 anak-anak lainnya.
Anak-anak yang tidak dapat bersabar, memencet bell untuk segera mendapatkan marshmallow-nya, memiliki kecenderungan memiliki perilaku bermasalah, baik di sekolah maupun di rumah. Mereka bahkan memiliki skor S.A.T yang rendah. Dan mereka pun sulit membina pertemanan. Sedangkan anak yang mampu menahan diri 15 menit lebih lama memiliki skor S.A.T 210 poin lebih tinggi dibandingkan anak yang menunggu 30 detik.
Sumber: http://www.newyorker.com/reporting/2009/05/18/090518fa_fact_lehrer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar