Jumat, Januari 13, 2012

Implementasi vs Layer Budaya Perusahaan

Mencermati pasar modal, terdapat dua macam saham yang paling dicermati pergerakannya oleh para investor, yakni saham lapis pertama (blue chip) dan saham lapis kedua. Terminologi pergerakan saham menggunakan saham 2 layer ini adalah agar menjaga portfolio para investor aman. Saham blue chip yang bergerak dengan cepat, sehingga dapat menghasilkan gain atau loss seketika, sedangkan saham lapis kedua bergerak lebih lambat, sehingga sebelum terjadi kerugian lebih jauh, investor dapat memutuskan untuk menahan atau menjual saham lapis kedua tersebut. Lalu apa hubungannya saham blue chip dan non blue chip dengan layer budaya perusahaan? Pengamatan yang tidak sengaja ini penulis dapatkan selama memeriksa self assessment yang berkardus-kardus banyaknya. relevansi layer saham pada budaya sangatlah beralasan, selain layer I adalah penentu baik atau tidaknya fondasi budaya, layer I juga sangat menentukan trend budaya perusahaan ke depan (selaku role model, pencapaian kinerja tertinggi, dst) sehingga menjadi penentu berhasil atau tidaknya program budaya yang dijalankan oleh perusahaan.

Bayangkan bilamana budaya perusahaan memiliki trend yang progresif, sehingga mampu menggerakkan performa perusahan, dimana etos kerja karyawan perusahaan dikenal dan mampu dibedakan diantara perusahaan-perusahaan sejenis. Dan bilamana skala perusahaan tersebut diperkecil lagi ke dalam suatu unit kerja, maka layer-layer budaya perusahaan semakin teramati: unit kerja mana yang secara konsisten menjalankan pilar-pilar budaya perusahaan, dan unit kerja mana yang menganggap implementasi budaya perusahaan kurang lebih sebagai "kegiatan tambahan" yang merepotkan, bahkan menyengsarakan.

Sehingga dari pengamatan terdapat empat tipologi berdasarkan hasil/ result yang dicapai perusahaan terhadap komitmen/ keseriusan pimpinan dalam menjalankan program-program budaya.

Tipoloti I: layer I, "Role Model yang Progresif"
Dukungan dan komitmen pimpinan sangat tinggi, dimana implementasi budaya berada pada prioritas utama yang berhasil baik dalam memberikan nilai tambah bagi perusahaan, dan bahkan berhasil mempengaruhi/ menginspirasi unit kerja lain untuk bergerak seirama dengan unit kerja ini.

Tipologi II: Layer II, "The Noise"
Dukungan dan konsistensi pimpinan tinggi, terutama dalam memastikan semangat kebersamaan dan mengupayakan iklim kerja yang baik. Implementasi budaya telah berjalan baik, namun belum cukup berhasil memberikan nilai tambah pada unit kerja. Dikatakan "The Noise" karena budaya hanya tanpak di permukaan yang dijadikan sebagai ajang untuk meramaikan suasana atau ajang "seru-seruan".  Soliditas tim yang tinggi tanpa disertai strategi/ arahan dari pimpinan tidak akan berguna banyak. karena kegiatan yang dijalankan tidak menghasilkan nilai tambah bagi unit kerja maupun perusahaan, atau hanya sebatas "Noise" 

Tipologi III: layer II, "Innertia"
Dukungan dan komitmen pimpinan terbatas, dimana program budaya belum mendukung perubahan serta berdampak pada pembentukan soliditas tim dan iklim kerja yang baik. Implementasi budaya baru dirasakan sebagai kegiatan tambahan yang memberatkan, selain itu program-program yang dijalankan belum memberikan nilai tambah pada unit kerja. Rendahnya soliditas tim bisa jadi dikarenakan mereka ingin mempertahankan "status quo", tidak ingin berubah, bahkan menentang perubahan itu sendiri. Jikalau dipaksa, mereka akan berubah, namun seketika (bila paksaan/ pengawasan itu berangsur hilang) mereka akan kembali ke posisi awal.

Tipologi IV: layer I, "Role Model yang Represif"
Dukungan dan komitmen pimpinan "terbatas", dimana implementasi budaya belum berada pada prioritas utama. Pembentukan soliditas tim dan iklim kerja dilakukan dengan cara-cara represif, dan cara-cara otoriter ini telah berhasil baik memberikan nilai tambah bagi perusahaan.


Keempat tipologi tersebut tentunya menjadi kajian yang menarik lagi bila ingin diteliti lebih dalam hingga ke tataran individu. Jadi, pada tipologi yang manakah perusahaan Anda?

Tidak ada komentar: