Melanjutkan tulisan sebelumnya, yakni ”Stress Test Budaya Perusahaan”, tahun ini adalah episode lain dari 3 Stress Test terhadap perusahaan keuangan terkemuka di Indonesia. Stress Test merupakan alat test yang ditujukan untuk menguji kehandalan model risiko perusahaan yang terpapar pada eksposure risiko tertentu, namun kali ini diuji berdasarkan 9 pilar budaya. Ketiga Stress Test yang dimaksud adalah seleksi administrasi, menguji kekuatan unit kerja dibandingkan dengan kategori tertentu, serta uji di akhir periode: apakah program budaya kerja merupakan “auto pilot” yang didukung oleh sistem ataukah “manual” yang selalu ditentukan atau didikte oleh jajaran pimpinan.
Pada tahun ini, berbagai kejadian yang menambah kompleksitas penilaian Budaya Perusahaan, diantaranya adalah: (1) pergantian Direksi dan mutasi pejabat ke unit kerja lain; (2) arahan/ penguatan strategi bisnis yang disampaikan Manajemen, (3) resegmentasi bisnis, dan (4) adanya perumusan kembali perilaku dari nilai-nilai budaya perusahaan. Keempat kejadian ini ternyata sangat mempengaruhi bagaimana para jajaran menjalankan program-program budaya. Pada satu-dua direktorat, beberapa unit kerja mengalami sedikit perlambatan sebagai akibat resegmentasi, sebagian lagi semakin fokus menjalankan bisnis, bahkan mengalahkan pesaing terberatnya, dan sebagian lagi seakan “tertidur” sebagai akibat menikmati status quo.
Seleksi administratif maupun uji kekuatan berdasarkan pembagian kategori dirasakan semakin baik. Meskipun terjadi pergantian beberapa pimpinan, namun kinerja masing-masing unit kerja tidak terpengaruh. Bahkan jajaran unit kerja berupaya tetap konsisten mempertahankan ataupun meningkatkan kinerja unit kerja. Sebagian unit kerja berupaya melakukan “eksternalisasi budaya” agar proses end to end unit kerja dapat senantiasa terukur dan terstruktur. Sebagai contoh:
• Beberapa unit kerja melakukan bedah proses, percepatan proses, “penyatuan bahasa”, inovasi agar dapat memberikan layanan yang lebih baik.
• Harmonisasi sistem lintas unit kerja untuk meruntuhkan silo antar unit kerja.
• Menyatukan langkah unit kerja lain dalam berkinerja dari berbagai sisi, seperti: mengajak unit kerja lain agar membantu unit kerja lain yang belum meraih profit.
• Unit kerja mulai melakukan eksternalisasi dalam meningkatkan kinerja dengan mempengaruhi unit kerja lain agar dapat memberikan value added bagi organisasi.
Bagi penulis, bagaimana unit kerja menyikapi perubahan-perubahan dengan melakukan transformasi lingkup unit kerja berupa perubahan strategi, pergantian kepemimpinan, promosi pegawai, penyempurnaan proses bisnis, inovasi, Continuous Learning dirasakan berjalan dengan mulus dan dinilai tanpa kehilangan “momentum”. Visi perusahaan yang dicanangkan oleh Manajemen tidak hanya dipahami dan dimaknai dengan bahasa dan cara yang mereka lakukan di unit kerja masing-masing, namun dengan cepat dijalankan secara berkesinambungan secara “auto pilot”, tanpa menunggu perintah/ teguran dari Manajemen.
Bagi penulis menyaksikan keindahan keeping-keping mosaic yang disajikan secara apik oleh ratusan unit kerja sehingga menjadi satu gambaran besar bagaimana perwujudan perusahaan dalam mencapai visi. Dan merupakan prestasi tersendiri menguji dan menyaksikan bagaimana langkah demi langkah masing-masing unit kerja menjalankan serangkaian perubahan. Meyakini bahwa 4 kejadian yang mewarnai organisasi tersebut tidak merupakan rintangan yang menghentikan mereka, melainkan kesempatan untuk melakukan yang terbaik bagi perusahaan.
Selasa, Februari 25, 2014
Selasa, Februari 04, 2014
Asal Hidup Part III
Minggu pagi yang tenang tiba-tiba dikejutkan oleh dering telpon. Selang berapa lama bercakap-cakap dengan si penelpon, penulis mendapatkan bahwa sepertinya tulisan asal hidup akan bertambah lagi satu episode. Permasalahan dan perbedaan yang sekian lama dipendam mulai menyala sehingga tinggal menunggu waktu untuk meledak. Dan sebagaimana pepatah menyatakan:
Sayang anak dilecut, tak sayang anak dimanjakan
Kecil jadi kawan, besar jadi lawan*
Demikian juga dengan literature parenting yang tengah penulis praktikkan di keseharian yang tidak jauh beda dari kata-kata bijak di atas. Perbedaan pola asuh yang akhirnya menyebabkan permasalahan yang selama puluhan tahun terus didiamkan. Dimana 2 keluarga yang hidup dalam 2 prinsip berlawanan prudence vs spendthrift penuh dengan dinamika. Ah, Semoga saja belum terlambat…
Mendidik anak memerlukan tangan-tangan yang ahli dalam “menarik ulur”, kapan si anak dibolehkan berekspresi, melakukan kegiatan/ perbuatan yang dinilai baik dan bahkan diberikan reward/ pujian. Dan kapan si anak menghentikan kegiatan/ perbuatan, bahkan diberikan sanksi bilamana sudah melewati batas. Tarik ulur ini akan menjadi “latihan pengaman” yang menentukan sang anak dalam menempuh hidup di masa dewasanya. Dimana di setiap episode yang mereka hadapi sesungguhnya telah terjadi semacam “value exercise”. Interaksi sang anak dengan dunia luar dan dengan orang tua yang dilakukan secara berulang-ulang, bagaimana mereka bersikap dalam menghadapi permasalahan tersebut, bagaimana feedback dari orang tua. Hingga pada akhirnya value exercise tersebut membentuk "underlying assumption" yang menyebabkan mereka melakukan tindakan/ perbuatan yang tanpa mereka sadari.
Namun jika para orang tua tidak mampu mem-balance ilmu tarik ulur tersebut, seperti kurang konsisten dalam mengajarkan konsekuensi kepada anak, maka hal ini tidak hanya berdampak kepada satu orang anak saja atau anak dalam satu keluarga besar, bahkan satu generasi.
Studi Millenials
Sebuah studi yang mengkhususkan untuk meneliti perilaku para millenials atau gen Y, dimana mereka mempersepsikan diri mereka sebagai generasi yang paling hedonis (self indulgence), tamak (greedy), dan berpikiran jangka pendek. Dan terdapat 10 nilai yang mewarnai millenial tsb, yakni: timeliness (layanan 24 jam), making differences (membuat perbedaan), tolerance (toleransi), environment stewardship (pelopor pelestarian lingkungan), authenticity (keaslian), family (keluarga), global perspective (perspektif global), personal freedom (kebebasan perorangan), dan teamwork (kerjasama tim).
Salah satu fakta bahwa mereka dibesarkan oleh fasilitas dan pendidikan yang belum pernah diperoleh oleh generasi-generasi sebelumnya. Dan setelah memasuki dunia kerja bahkan memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya. Namun sebagai millenial mereka selalu saja merasa tidak mampu (poor) walaupun seluruh kebutuhannya telah tercukupi. Namun tetap saja mereka menghendaki atau menuntut banyak hal dari orang tua dan lingkungan sekelilingnya (termasuk lingkungan kerja).
Karakteristik ini selanjutnya sangat mempengaruhi bagaimana peran mereka sebagai pekerja (workers) yang mewarnai perekonomian. Terkait "berpikiran jangka pendek" dalam artian mereka tanpa berpikir panjang, mereka terjebak tidak hanya oleh "consumerism" pola konsumsi yang tidak terkendali, hutang jangka panjang membayar sekolah di perguruan tinggi (kasus di US), bahkan jebakan kartu kredit. Sehingga di US mereka dikenal sebagai "generation debt"/ generasi penghutang.
Hal yang sedikit mengganggu penulis, apakah karakteristik millenials yang digambarkan di atas merupakan sumbangan pendidikan dan pola asuh para orang tua yang salah atau perlu dikoreksi dalam membesarkan mereka?
Kecil jadi kawan, besar jadi lawan
Berlanjut ke generasi ketiga, pola asuh spendthrift keluarga ini selalu berpegang pada masa kini/ sekarang, artinya mereka mengabaikan masa depan, dan cenderung tanpa persiapan. Hidup dengan cara gali lubang tutup lubang, tidak realistis dalam hidup dan sederetan karakter tambahan yang mengikuti orang-orang ini, sejak lama.
Kembali bertemu orang yang paling bertanggung jawab dalam menjalankan parenting strategy dan pola asuh “spendthrift”, penulis merasa pertemuan ini sudah tidak asing dan tidak aneh. Karena sudah berkali-kali dirundung masalah yang sama, gali lubang tutup lubang untuk menutupi harga diri, ya sebuah harga diri untuk setara dengan “orang kebanyakan”; menjaga standar, dll. Dialog perbedaan nilai untuk menemukan kata sepakat untuk tidak sepakat yang telah dihadapi oleh 3 generasi kembali terjadi.
Pertanyaan klasik yang berulang: “Apa yang terjadi? Kenapa bisa demikian? Apa yang telah dilakukan selaku orang tua untuk memperingati anak-anak? Sudahkah diberikan pengertian berulang-ulang bahwa ‘bayang-bayang haruslah sepanjang badan**’? Sudahkah ada mufakat, tindakan/ solusi dari keluarga besar?”
Bertubi-tubi pertanyaan diberikan seperti menguji sebuah sirkuit listrik yang rusak, lingkaran setan yang perlu diputus… Namun pertanyaan demi pertanyaan dalam dialog tersebut terjawab:
“Saya harus melindungi harga diri dan usaha dia.”
“Tapi dia tidak mampu, dia harus tahu diri. Di usia yang semakin tua dia harus punya tabungan dan persiapan ke depan. Untuk membiayai dibutuhkan 6 bulan cadangan untuk menjaga dia masih bisa di sana.”
“Saya sudah peringatkan, tapi dia jalan terus”
“Berarti sekarang sudah saatnya diberikan pengertian agar dia berhenti bermimpi”
“Dan bagaimana dengan anaknya?”
“Tugas sebagai orang tua sudah selesai. Usaha kita sudah selesai di anak, bukan berlanjut ke generasi ketiga.”
“Bagaimana kalau dia tidak sekolah?” manik-manik matanya terlihat keragu-raguan dan melihatkan keputusasaan mendalam.
“Tidak apa. Bulan ini masalah tidak akan selesai, bulan depan masalah yang sama akan datang lagi. Kemana uang akan dicari? Bulan depan/ semester depan biaya akan naik. Satu-satunya jalan adalah menurunkan standar”
“Tidak bisa, dia harus sama dengan teman-temannya.”
“Baiklah, sebagai orang yang lebih tua, seharusnya lebih pandai karena telah memakan asam dan garam. Ada baiknya dia menilai, mengukur diri, apakah hidup yang dijalani saat ini sudah cukup realistis dengan pendapatan saat ini. Anak-anak harus diberitahu kondisi orang tua yang sebenarnya. Jika tidak, tidak lama lagi permasalahan akan semakin tidak terselesaikan.”
“Kamu bisa bantu?”
“Tidak. Ini masalah yang sama kita hadapi selama bertahun-tahun. Tugas orang tua memperingati anak, bersikap tegas agar mereka sadar konsekuensi serta tidak mengada-ada.”
Akhirnya percakapan diselesaikan dengan bantuan, walaupun tidak seluruhnya. Inilah menjadi pelajaran dan sekaligus cerminan: parenting strategy yang salah akan menimbulkan deviasi demi deviasi. Yang selama bertahun-tahun akan menjauhkan seseorang dari realitas dan sekaligus menjatuhkan harga diri seseorang untuk menggapai impian yang “jauh panggang dari api”. Dan memahami betapa sulitnya merubah 3 generasi yang hidup seperti benalu bagi yang lain. Namun sebetulnya mudah, bilamana semua dapat menyadari bahwa mereka telah menempuh jalan “asal hidup”. Semoga!
catatan:
)*: pepatah melayu tentang perumpamaan api, kecil bernanfaat, besar harus dipadamkan PMK
)**: pepatah melayu tentang penghasilan harus seimbang dengan pengeluaran
Sayang anak dilecut, tak sayang anak dimanjakan
Kecil jadi kawan, besar jadi lawan*
Demikian juga dengan literature parenting yang tengah penulis praktikkan di keseharian yang tidak jauh beda dari kata-kata bijak di atas. Perbedaan pola asuh yang akhirnya menyebabkan permasalahan yang selama puluhan tahun terus didiamkan. Dimana 2 keluarga yang hidup dalam 2 prinsip berlawanan prudence vs spendthrift penuh dengan dinamika. Ah, Semoga saja belum terlambat…
Mendidik anak memerlukan tangan-tangan yang ahli dalam “menarik ulur”, kapan si anak dibolehkan berekspresi, melakukan kegiatan/ perbuatan yang dinilai baik dan bahkan diberikan reward/ pujian. Dan kapan si anak menghentikan kegiatan/ perbuatan, bahkan diberikan sanksi bilamana sudah melewati batas. Tarik ulur ini akan menjadi “latihan pengaman” yang menentukan sang anak dalam menempuh hidup di masa dewasanya. Dimana di setiap episode yang mereka hadapi sesungguhnya telah terjadi semacam “value exercise”. Interaksi sang anak dengan dunia luar dan dengan orang tua yang dilakukan secara berulang-ulang, bagaimana mereka bersikap dalam menghadapi permasalahan tersebut, bagaimana feedback dari orang tua. Hingga pada akhirnya value exercise tersebut membentuk "underlying assumption" yang menyebabkan mereka melakukan tindakan/ perbuatan yang tanpa mereka sadari.
Namun jika para orang tua tidak mampu mem-balance ilmu tarik ulur tersebut, seperti kurang konsisten dalam mengajarkan konsekuensi kepada anak, maka hal ini tidak hanya berdampak kepada satu orang anak saja atau anak dalam satu keluarga besar, bahkan satu generasi.
Studi Millenials
Sebuah studi yang mengkhususkan untuk meneliti perilaku para millenials atau gen Y, dimana mereka mempersepsikan diri mereka sebagai generasi yang paling hedonis (self indulgence), tamak (greedy), dan berpikiran jangka pendek. Dan terdapat 10 nilai yang mewarnai millenial tsb, yakni: timeliness (layanan 24 jam), making differences (membuat perbedaan), tolerance (toleransi), environment stewardship (pelopor pelestarian lingkungan), authenticity (keaslian), family (keluarga), global perspective (perspektif global), personal freedom (kebebasan perorangan), dan teamwork (kerjasama tim).
Salah satu fakta bahwa mereka dibesarkan oleh fasilitas dan pendidikan yang belum pernah diperoleh oleh generasi-generasi sebelumnya. Dan setelah memasuki dunia kerja bahkan memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya. Namun sebagai millenial mereka selalu saja merasa tidak mampu (poor) walaupun seluruh kebutuhannya telah tercukupi. Namun tetap saja mereka menghendaki atau menuntut banyak hal dari orang tua dan lingkungan sekelilingnya (termasuk lingkungan kerja).
Karakteristik ini selanjutnya sangat mempengaruhi bagaimana peran mereka sebagai pekerja (workers) yang mewarnai perekonomian. Terkait "berpikiran jangka pendek" dalam artian mereka tanpa berpikir panjang, mereka terjebak tidak hanya oleh "consumerism" pola konsumsi yang tidak terkendali, hutang jangka panjang membayar sekolah di perguruan tinggi (kasus di US), bahkan jebakan kartu kredit. Sehingga di US mereka dikenal sebagai "generation debt"/ generasi penghutang.
Hal yang sedikit mengganggu penulis, apakah karakteristik millenials yang digambarkan di atas merupakan sumbangan pendidikan dan pola asuh para orang tua yang salah atau perlu dikoreksi dalam membesarkan mereka?
Kecil jadi kawan, besar jadi lawan
Berlanjut ke generasi ketiga, pola asuh spendthrift keluarga ini selalu berpegang pada masa kini/ sekarang, artinya mereka mengabaikan masa depan, dan cenderung tanpa persiapan. Hidup dengan cara gali lubang tutup lubang, tidak realistis dalam hidup dan sederetan karakter tambahan yang mengikuti orang-orang ini, sejak lama.
Kembali bertemu orang yang paling bertanggung jawab dalam menjalankan parenting strategy dan pola asuh “spendthrift”, penulis merasa pertemuan ini sudah tidak asing dan tidak aneh. Karena sudah berkali-kali dirundung masalah yang sama, gali lubang tutup lubang untuk menutupi harga diri, ya sebuah harga diri untuk setara dengan “orang kebanyakan”; menjaga standar, dll. Dialog perbedaan nilai untuk menemukan kata sepakat untuk tidak sepakat yang telah dihadapi oleh 3 generasi kembali terjadi.
Pertanyaan klasik yang berulang: “Apa yang terjadi? Kenapa bisa demikian? Apa yang telah dilakukan selaku orang tua untuk memperingati anak-anak? Sudahkah diberikan pengertian berulang-ulang bahwa ‘bayang-bayang haruslah sepanjang badan**’? Sudahkah ada mufakat, tindakan/ solusi dari keluarga besar?”
Bertubi-tubi pertanyaan diberikan seperti menguji sebuah sirkuit listrik yang rusak, lingkaran setan yang perlu diputus… Namun pertanyaan demi pertanyaan dalam dialog tersebut terjawab:
“Saya harus melindungi harga diri dan usaha dia.”
“Tapi dia tidak mampu, dia harus tahu diri. Di usia yang semakin tua dia harus punya tabungan dan persiapan ke depan. Untuk membiayai dibutuhkan 6 bulan cadangan untuk menjaga dia masih bisa di sana.”
“Saya sudah peringatkan, tapi dia jalan terus”
“Berarti sekarang sudah saatnya diberikan pengertian agar dia berhenti bermimpi”
“Dan bagaimana dengan anaknya?”
“Tugas sebagai orang tua sudah selesai. Usaha kita sudah selesai di anak, bukan berlanjut ke generasi ketiga.”
“Bagaimana kalau dia tidak sekolah?” manik-manik matanya terlihat keragu-raguan dan melihatkan keputusasaan mendalam.
“Tidak apa. Bulan ini masalah tidak akan selesai, bulan depan masalah yang sama akan datang lagi. Kemana uang akan dicari? Bulan depan/ semester depan biaya akan naik. Satu-satunya jalan adalah menurunkan standar”
“Tidak bisa, dia harus sama dengan teman-temannya.”
“Baiklah, sebagai orang yang lebih tua, seharusnya lebih pandai karena telah memakan asam dan garam. Ada baiknya dia menilai, mengukur diri, apakah hidup yang dijalani saat ini sudah cukup realistis dengan pendapatan saat ini. Anak-anak harus diberitahu kondisi orang tua yang sebenarnya. Jika tidak, tidak lama lagi permasalahan akan semakin tidak terselesaikan.”
“Kamu bisa bantu?”
“Tidak. Ini masalah yang sama kita hadapi selama bertahun-tahun. Tugas orang tua memperingati anak, bersikap tegas agar mereka sadar konsekuensi serta tidak mengada-ada.”
Akhirnya percakapan diselesaikan dengan bantuan, walaupun tidak seluruhnya. Inilah menjadi pelajaran dan sekaligus cerminan: parenting strategy yang salah akan menimbulkan deviasi demi deviasi. Yang selama bertahun-tahun akan menjauhkan seseorang dari realitas dan sekaligus menjatuhkan harga diri seseorang untuk menggapai impian yang “jauh panggang dari api”. Dan memahami betapa sulitnya merubah 3 generasi yang hidup seperti benalu bagi yang lain. Namun sebetulnya mudah, bilamana semua dapat menyadari bahwa mereka telah menempuh jalan “asal hidup”. Semoga!
catatan:
)*: pepatah melayu tentang perumpamaan api, kecil bernanfaat, besar harus dipadamkan PMK
)**: pepatah melayu tentang penghasilan harus seimbang dengan pengeluaran
Langganan:
Postingan (Atom)