Mengapa sebutir berlian berharga mahal? Berlian yang semulanya masih mentah setelah diasah sedemikian rupa menjadi benda berharga. Dimana kilau berlian menarik hati siapapun yang memandangnya.
Pembaca sekalian setuju jika manusia diasah dengan pola asuh yang baik, dibentuk sedemikian rupa oleh nilai-nilai dan lingkungan yang baik, maka keluarannya adalah manusia yang memiliki kadar etos kerja seperti: integritas, kejujuran, dan sifat amanah yang terbentuk dalam dirinya dengan baik. Dan kadar etos tersebutlah yang membedakan dirinya dengan orang lain--dimanapun ia berada.
"Butiran Berlian" di Tangan Manajemen SDM
Manusia ibarat butiran berlian mentah yang tersebar di seluruh organisasi. Mereka membutuhkan sistem, mentor, pimpinan, dan rekanan agar senantiasa dapat mengembangkan dan mengasah kompetensi diri. Sistem untuk memastikan performa pekerjaan mereka tercatat dan diapresiasi secara akurat dan wajar; mentor untuk membantu melejitkan bakat-bakat mereka yang terpendam; pimpinan untuk membantu tumbuh kembang dan suksesi mereka di dalam organisasi; dan rekanan kerja sebagai sparring partner sekaligus kompetitor.
Ibarat mengasah sebutir berlian, tugas manajemen SDM dalam memelihara lingkungan organisasi yang kondusif ini sangatlah berat. Seringkali "peran intangible" tersebut diabaikan. Akhirnya, butiran berlian tersebut tersia-sia dalam organisasi, bahkan berakhir dengan perginya orang-orang tersebut.
Manajemen SDM & High Performance Organization
Bagaimana cara mengoptimalkan tugas manajemen SDM ini? Camkan, bahwa peran "mengasah butiran berlian mentah" ini bukan saja tugas fungsional SDM, melainkan tugas operasional manajer di segala lini. Hal ini pada mulanya tentu saja memberatkan manajemen yang disibukkan dengan tugas-tugas operasional yang memerlukan prioritas lebih.
Di tataran operasional dan teknikal, peran seorang mentor adalah melatih para junior; peran pimpinan adalah memberikan project assignment; dan peran rekanan kerja adalah memberikan masukan & saran. Untuk masa depan organisasi, peran-peran di atas tidak dapat diremehkan begitu saja.
Secara lebih luas, mengoptimalkan tugas managemen SDM sebaiknya tersistem dalam kerangka “High Performance Organization”. Organisasi yang memiliki kinerja tinggi adalah memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Memiliki kepemimpinan yang memberikan arah yang jelas-selain misi, visi dan nilai-nilai; manajer yang memiliki focus pada karyawan; kepemimpinan yang memiliki integritas, kepercayaan dan penghargaan kepada karyawan
2. Memiliki program talent yang baik, seperti: perencanaan SDM, rekrutmen yang efektif, program pengembangan karyawan, pengembangan kompetensi, memiliki sistem kompensasi, program mentoring, suksesi, dsb
3. Melakukan penyelarasan serta meningkatkan motivasi internal, seperti: reward & recognition, kesempatan untuk berlajar, lingkungan kerja yang menantang, rekanan kerja yang mendukung, system appraisal, pengukuran kinerja, dsb
4. Memiliki lingkungan kerja yang positif seperti: jadwal kerja yang fleksibel, komunikasi & mekanisme penyampaian keluhan yang efektif, dsb
Kesemua program di atas jika dijalankan dengan baik oleh setiap manajer lini akan menjadikan organisasi yang berkarakter “High Performance Organization”. Semoga saja!
Kamis, Januari 28, 2010
Kamis, Januari 14, 2010
Kepemimpinan & Efek Doppler
Pembaca yang budiman, bahasan kali ini mengulang pelajaran sekolah menengah: "Efek Doppler", namun dalam aplikasi kepemimpinan organisasi. Mungkin pembaca mengingat-ingat apa yang dimaksud dengan "Efek Doppler" tersebut. Percobaan sederhana ini akan mengingatkan pembaca: dengarkan mobil dari kejauhan... Lalu perhatikan bagaimana suara mobil mendekati dan menjauhi anda. Frekuensi mobil tinggi ketika mendekati anda dan kian rendah seiring menghilangnya mobil dari penglihatan anda.
Penulis sangat menikmati percobaan sederhana ini. Tapi tahukah anda bahwa Efek Doppler ini berlaku juga di dalam organisasi?
Kehadiran pimpinan di dalam organisasi memberi warna tersendiri bagi gerak dan langkah jajaran organisasi. Karakter mereka mempengaruhi, mengarahkan atau bahkan “merubah” orang-orang yang bekerja bersama mereka. Pengaruh yang diberikan akan lekang seiring dengan berakhirnya masa bakti pimpinan yang hanya 3-5 tahun itu. Sedangkan yang bertahan lebih lama dari masa bakti pimpinan tersebut adalah orang-orang yang bekerja di dalam organisasi...
Efek Doppler ini menjadi sangat relevan dalam organisasi, sebagaimana berlakunya hukum alam. Dimana nilai-nilai yang “bergema” di lingkungan organisasi seperti: ruang rapat, ruang tunggu, ruang dealer, ruang operasi, dan tempat-tempat lain-- dimana pengaruh kepemimpinan ditanamkan. Ia akan segera berlalu… dan berganti dengan yang baru.
Siapapun baik pimpinan maupun orang-orang yang bertahan di dalam organisasi tidak ingin pengaruh baik pimpinan yang menaungi orang-orang di bawahnya hilang seiring dengan “pergantian kekuasaan”. Lalu, hal-hal apa saja yang akan memperpanjang pengaruh kepemimpinan tersebut? Jawabannya adalah: sistem dan nilai yang dibangun dan dipelihara secara kuat dan terus menerus. Berbekal dengan pemahaman tersebut, sebetulnya inilah “legacy” yang kekal dan bertahan di dalam organisasi.
Jikalau kesisteman di dalam organisasi ini sangat kuat, tanpa memerlukan figur kepemimpinan, maka organisasi ini tidak akan tumbang dan bahkan solid. Dan simaklah peradaban dunia yang bertahan selama ribuan tahun.
Bertahannya “Efek Dopper” di dalam organisasi sangat nyata di kebanyakan organisasi. Kebanyakan orang mempersepsikan kepemimpinan sebagai suatu “figure”. Pimpinan atau figure yang baru terpilih ini, bagaikan efek bola salju, akan menghancurkan sebagian atau seluruh bangunan kesisteman, aturan main yang berlaku dalam organisasi, bahkan orang-orang yang bekerja dalam organisasi. Figur ini kemudian akan "membangun orang-orang" yang akan mendukung program-programnya.
Akhirnya hal yang lazim terjadi di setiap pergantian pimpinan dalam organisasi adalah: 3-5 tahun berjalannya "program perubahan organisasi"; lalu 3-5 tahun untuk “mereposisi” orang-orang di dalam organisasi; dan akhirnya 3-5 tahun berdiri/berjalannya bangunan kesisteman dan nilai-nilai yang sesungguhnya semu.
Ini menyedihkan… seharusnya kepemimpinan bukanlah suatu figure, melainkan sebagai organ perusahaan yang diamanahkan untuk memelihara, meneruskan dan menjaga niai-nilai sekaligus sistem yang telah diwariskan sebagai legacy oleh para pimpinan di masa lalu.
Program-program atau inisiasi yang sudah ada tidak usah dirombak secara total. Pimpinan hanya perlu “meneruskan”, memperbaiki kondisi/ situasi atau penyimpangan yang terjadi.
3-5 tahun untuk menunggu berlalunya sebuah "figure" bagi para anggota organisasi tentunya sangat melelahkan. Bagaimana dengan organisasi Anda?
Keterangan:
"The Doppler effect (or Doppler shift), named after Austrian physicist Christian Doppler who proposed it in 1842, is the change in frequency of a wave for an observer moving relative to the source of the wave. It is commonly heard when a vehicle sounding a siren or horn approaches, passes, and recedes from an observer. The received frequency is higher (compared to the emitted frequency) during the approach, it is identical at the instant of passing by, and it is lower during the recession."
Penulis sangat menikmati percobaan sederhana ini. Tapi tahukah anda bahwa Efek Doppler ini berlaku juga di dalam organisasi?
Kehadiran pimpinan di dalam organisasi memberi warna tersendiri bagi gerak dan langkah jajaran organisasi. Karakter mereka mempengaruhi, mengarahkan atau bahkan “merubah” orang-orang yang bekerja bersama mereka. Pengaruh yang diberikan akan lekang seiring dengan berakhirnya masa bakti pimpinan yang hanya 3-5 tahun itu. Sedangkan yang bertahan lebih lama dari masa bakti pimpinan tersebut adalah orang-orang yang bekerja di dalam organisasi...
Efek Doppler ini menjadi sangat relevan dalam organisasi, sebagaimana berlakunya hukum alam. Dimana nilai-nilai yang “bergema” di lingkungan organisasi seperti: ruang rapat, ruang tunggu, ruang dealer, ruang operasi, dan tempat-tempat lain-- dimana pengaruh kepemimpinan ditanamkan. Ia akan segera berlalu… dan berganti dengan yang baru.
Siapapun baik pimpinan maupun orang-orang yang bertahan di dalam organisasi tidak ingin pengaruh baik pimpinan yang menaungi orang-orang di bawahnya hilang seiring dengan “pergantian kekuasaan”. Lalu, hal-hal apa saja yang akan memperpanjang pengaruh kepemimpinan tersebut? Jawabannya adalah: sistem dan nilai yang dibangun dan dipelihara secara kuat dan terus menerus. Berbekal dengan pemahaman tersebut, sebetulnya inilah “legacy” yang kekal dan bertahan di dalam organisasi.
Jikalau kesisteman di dalam organisasi ini sangat kuat, tanpa memerlukan figur kepemimpinan, maka organisasi ini tidak akan tumbang dan bahkan solid. Dan simaklah peradaban dunia yang bertahan selama ribuan tahun.
Bertahannya “Efek Dopper” di dalam organisasi sangat nyata di kebanyakan organisasi. Kebanyakan orang mempersepsikan kepemimpinan sebagai suatu “figure”. Pimpinan atau figure yang baru terpilih ini, bagaikan efek bola salju, akan menghancurkan sebagian atau seluruh bangunan kesisteman, aturan main yang berlaku dalam organisasi, bahkan orang-orang yang bekerja dalam organisasi. Figur ini kemudian akan "membangun orang-orang" yang akan mendukung program-programnya.
Akhirnya hal yang lazim terjadi di setiap pergantian pimpinan dalam organisasi adalah: 3-5 tahun berjalannya "program perubahan organisasi"; lalu 3-5 tahun untuk “mereposisi” orang-orang di dalam organisasi; dan akhirnya 3-5 tahun berdiri/berjalannya bangunan kesisteman dan nilai-nilai yang sesungguhnya semu.
Ini menyedihkan… seharusnya kepemimpinan bukanlah suatu figure, melainkan sebagai organ perusahaan yang diamanahkan untuk memelihara, meneruskan dan menjaga niai-nilai sekaligus sistem yang telah diwariskan sebagai legacy oleh para pimpinan di masa lalu.
Program-program atau inisiasi yang sudah ada tidak usah dirombak secara total. Pimpinan hanya perlu “meneruskan”, memperbaiki kondisi/ situasi atau penyimpangan yang terjadi.
3-5 tahun untuk menunggu berlalunya sebuah "figure" bagi para anggota organisasi tentunya sangat melelahkan. Bagaimana dengan organisasi Anda?
Keterangan:
"The Doppler effect (or Doppler shift), named after Austrian physicist Christian Doppler who proposed it in 1842, is the change in frequency of a wave for an observer moving relative to the source of the wave. It is commonly heard when a vehicle sounding a siren or horn approaches, passes, and recedes from an observer. The received frequency is higher (compared to the emitted frequency) during the approach, it is identical at the instant of passing by, and it is lower during the recession."
Jumat, Januari 08, 2010
Ada Apa Dengan GCG?
Pada tulisan sebelumnya, penulis memaparkan tentang aturan main di dalam korporasi seiring dengan semakin besarnya organisasi melalui PP, SP dan GCG. Pada tulisan berikut ini penulis mengulas tentang implementasi panduan GCG & nilai-nilai di dalam perusahaan.
GCG melalui 5 prinsipnya akan menjamin 5 hal di dalam perusahaan:
• Transparansi adalah keterbukaan mengemukakan informasi material dan relevan mengenai Perseroan kepada pihak yang berkepentingan.
• Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, hak, tanggung jawab serta pelaksanaan dan mekanisme pertanggungjawaban Organ Perseroan sehingga pengelolaan Perseroan terlaksana secara efektif.
• Pertanggungjawaban adalah penghormatan Perseroan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan komitmen untuk mengelola Perseroan berdasarkan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
• Kemandirian adalah pengelolaan Perseroan secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
• Keadilan adalah keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan implementasi nilai-nilai perusahaan, dimana pelaksanaan dan etika yang dimiliki jajaran perusahaan diharapkan berlandaskan asas-asas GCG tersebut.
Ada Apa dengan GCG?
Ketika ditanyakan kepada jajaran perusahaan yang sebelumnya telah memiliki panduan GCG: “Mengapa implementasi GCG mandeg?”
Seringkali jawaban klise yang diutarakan kepada penulis: “Tidak ada sosialisasi”; “Tidak ada reward & punishment”; “tidak ada mekanisme yang jelas”; “Management tidak memberikan contoh yang baik”; “Budaya di sini belum siap”; dan berbagai alasan lainnya. Tapi mengapa pelanggaran masih terjadi? Kemana whistle blower dan para penegak GCG- yakni anggota organisasi itu sendiri?
Sebenarnya ada apa dengan GCG, mengapa mandeg? Benarkah setelah GCG diperlukan implementasi panduan GCG, lalu diikuti oleh implementasi budaya perusahaan? Benarkan setelah GCG perusahaan akan baik-baik saja? Benarkah bahwa perusahaan akan mencapai kinerja yang lebih baik dari periode-periode sebelumnya setelah GCG? Benarkah itu?
Kita sebagai anggota organisasi, tidak harus menyalahkan sistem, mekanisme, aturan, prosedur yang belum atau telah berlaku. Tapi pertanyaan yang sesungguhnya harus kita jawab sendiri adalah:
(1) Sudahkah kita memiliki dan menjalankan value mendasar tersebut di dalam kehidupan sehari-hari, sebelum adanya system, panduan dan reward & punishment yang berlaku di perusahaan?
(2) Sudahkan kita, sebagai anggota organisasi, memiliki kontrol sosial yang solid untuk menindak pelanggar-pelanggar tersebut?
Karena tanpa adanya kesepahaman “underlying assumption” itu sendiri, alasan apapun yang menjadi sebab mengapa GCG mandeg ada di tangan kita semua. Semoga.
GCG melalui 5 prinsipnya akan menjamin 5 hal di dalam perusahaan:
• Transparansi adalah keterbukaan mengemukakan informasi material dan relevan mengenai Perseroan kepada pihak yang berkepentingan.
• Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, hak, tanggung jawab serta pelaksanaan dan mekanisme pertanggungjawaban Organ Perseroan sehingga pengelolaan Perseroan terlaksana secara efektif.
• Pertanggungjawaban adalah penghormatan Perseroan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan komitmen untuk mengelola Perseroan berdasarkan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
• Kemandirian adalah pengelolaan Perseroan secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
• Keadilan adalah keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan implementasi nilai-nilai perusahaan, dimana pelaksanaan dan etika yang dimiliki jajaran perusahaan diharapkan berlandaskan asas-asas GCG tersebut.
Ada Apa dengan GCG?
Ketika ditanyakan kepada jajaran perusahaan yang sebelumnya telah memiliki panduan GCG: “Mengapa implementasi GCG mandeg?”
Seringkali jawaban klise yang diutarakan kepada penulis: “Tidak ada sosialisasi”; “Tidak ada reward & punishment”; “tidak ada mekanisme yang jelas”; “Management tidak memberikan contoh yang baik”; “Budaya di sini belum siap”; dan berbagai alasan lainnya. Tapi mengapa pelanggaran masih terjadi? Kemana whistle blower dan para penegak GCG- yakni anggota organisasi itu sendiri?
Sebenarnya ada apa dengan GCG, mengapa mandeg? Benarkah setelah GCG diperlukan implementasi panduan GCG, lalu diikuti oleh implementasi budaya perusahaan? Benarkan setelah GCG perusahaan akan baik-baik saja? Benarkah bahwa perusahaan akan mencapai kinerja yang lebih baik dari periode-periode sebelumnya setelah GCG? Benarkah itu?
Kita sebagai anggota organisasi, tidak harus menyalahkan sistem, mekanisme, aturan, prosedur yang belum atau telah berlaku. Tapi pertanyaan yang sesungguhnya harus kita jawab sendiri adalah:
(1) Sudahkah kita memiliki dan menjalankan value mendasar tersebut di dalam kehidupan sehari-hari, sebelum adanya system, panduan dan reward & punishment yang berlaku di perusahaan?
(2) Sudahkan kita, sebagai anggota organisasi, memiliki kontrol sosial yang solid untuk menindak pelanggar-pelanggar tersebut?
Karena tanpa adanya kesepahaman “underlying assumption” itu sendiri, alasan apapun yang menjadi sebab mengapa GCG mandeg ada di tangan kita semua. Semoga.
Langganan:
Postingan (Atom)