Setiap orang dalam keluarga memiliki peran sendiri-sendiri dalam memajukan anggotanya. Ketertarikan penulis kepada HR seringkali menjadikan keluarga sebagai "living laboratory", mulai dari uji coba alat individual assessment, career coach, mentoring, hingga knowledge sharing, dst.
Rasanya belum 2-3 tahun ini penulis menjadi career coach bagi sang adik. Perbedaan pandangan bagi penulis bukanlah menjadi masalah, namun pandangan berbeda itu sangat menentukan bagi pilihan-pilihan-yang dalam kasus ini: karir yang diinginkan. Kesabaran yang besar penulis butuhkan dalam 2-3 tahun ini dalam keseharian memahami sebab & akibat dari "pilihan" sang adik itu.
Industri Telekomunikasi (Telco) telah menjadi sebuah red ocean dalam beberapa bulan ini. Dan akhirnya membuahkan "exit"-nya perusahaan-perusahaan raksasa yang tidak efisien dari pasar dan "entry"-nya perusahaan-perusahaan raksasa yang sangat efisien, hanya dalam 2-3 tahun ini. Artinya telah terjadi perubahan cara berbisnis secara revolusioner....
Red ocean bagi sang adik berakibat pada perubahan paradigma, bahwa industri ini tidak lagi merupakan zona nyaman yang baik untuk posisinya. Dan sudah saatnya untuk sang adik terbang lebih tinggi mencapai karir yang lebih baik sesuai dengan peningkatan kompetensi dan karir track yang telah ia bangun. Penulis sebagai career coach hanya bisa bilang kepada sang adik, "Tuh kan... Sudah kakak bilang?!".
Rabu, November 18, 2009
Masako & Penjara Organisasi
Masih ingat dengan kisah Putri Masako dari Jepang? Sebuah buku yang ditulis oleh wartawan investigasi asal Australia, Ben Hills. Buku yang sarat dengan fakta, wawancara Hills dengan teman, sahabat dan orang-orang berasal dari masa lalu Masako ditulis dengan sangat komprehensif dan terperinci. Buku ini secara resmi dilarang beredar di negara asalnya, namun dapat pembaca nikmati dalam bahasa Indonesia. Buku ini baru saja penulis selesaikan dan lagi-lagi memberikan inspirasi untuk blog ini.
Masako yang awalnya merupakan rakyat jelata yang akhirnya menikahi dengan seorang pangeran pewaris tahta kerajaan Jepang. Saat ini kisahnya masih berjalan & sudah pasti diceritakan tragis. Masako, oleh Hills dinyatakan tidak berbahagia dengan hidup dan kehidupannya. Namun yang menarik untuk dipahami adalah penyesuaian Masako, yang merupakan orang yang sangat moderat & terpelajar, terhadap ritual-ritual klasik kerajaan yang serba kaku dan telah dijalankan selama ratusan tahun bahkan "embedded" ke dalam agama resmi negara tersebut selama ribuan tahun.
Pada intinya, Masako telah menyerah kalah di dalam beradaptasi hingga upaya merubah budaya yang berjalan di dalam istana. Tidak ada modernisasi, tidak ada kesetaraan gender atau bahkan sedikit keleluasaan bagi Masako untuk menjalankan kehidupan normalnya sebagai manusia.
Budaya dari Sisi Schein
Kerajaan merupakan sebuah penjara organisasi besar bagi Masako; penjara organisasi yang sarat dengan upacara, tata cara, etika dan kesopanan. Dari sudut pandang Schein (1999) sendiri, budaya yang telah dipraktikan selama ribuan tahun tidak dapat dengan mudah berpindah (shifting, to learn & unlearn).
Schein (1999) dalam bukunya yang berjudul: "Corporate Culture Survival Guide", mengungkapkan kedalaman budaya terdiri dari 3 tingkat, yaitu:
• Tingkat 1: Artefak, proses dan struktur organisasi yang biasanya gampang terlihat.
• Tingkat 2: Strategi-strategi nilai yang diadaptasi (justifikasi nilai yang telah diadaptasi), berupa strategi, pencapaian, falsafah
• Tingkat 3: Asumsi yang mendasar (sumber utama dari nilai dan tindakan), biasanya tanpa disadari, bersifat taken-for-granted, kepercayaan, persepsi, pemikiran dan perasaan
Berkaca dari kasus di atas, ritual dan tata cara yang dipraktikkan telah menjadi sumber utama dari nilai dan tindakan ribuan tahun, dinyatakan/diperlihatkan dengan jelas oleh upacara-upacara (artefak). Dan sebagai tambahan lagi, sebuah organisasi yang terdiri dari sekelompok orang yang dinamakan "Pengurus Rumah Tangga Istana Kekaisaran Jepang", mengatur standar atau SOP yang berjalan di tengah-tengah istana bahkan "kedaulatan" dari raja-raja tersebut (level 2).
Epilog
Inilah yang sulit bagi seseorang yang nyata-nyata merupakan outsider, tiba-tiba masuk ke dalam ritual budaya yang biasa dilakukan keluarga kerajaan selama ratusan tahun. Hills berempati bahwa di dalam organisasi kerajaan tersebut, sangatlah sulit bagi seorang perempuan biasa untuk membuat perubahan di tengah ritual & budaya yang sangat membatasi.
Sehingga di tengah rumitnya menemukan solusi dari permasalahan pelik ini, Hills pada epilog menawarkan beberapa solusi yang wajar ditempuh oleh orang biasa atau mungkin para raja dari negara barat. Pertama: Masako bercerai dan hidup menjadi manusia biasa; Kedua: Masako dan suaminya menjadi rakyat biasa.
Sungguh, bagi penulis sendiri karya tulis investigasi yang dilakukan Hills ini sangat memiriskan hati, kisah seorang diplomat karir yang mampu berbahasa 6 bahasa asing yang kini terpuruk oleh kekakuan penjara organisasi.
Selasa, November 17, 2009
Job Desc: Sebuah Black Box Vs Struktur
Menyimak proses penyusunan uraian jabatan, berbagai "dinamika" organisasi seringkali mewarnai rangkaian proses tersebut. Sebagai contoh: penggabungan, pemindahan fungsi, penambahan departemen/ divisi di dalam organisasi, perubahan layer dalam organisasi, atau bahkan menyusun uraian jabatan pada struktur yang belum pernah ada sebelumnya.
Dinamika yang terjadi di atas akan sangat menantang dan bahkan menyulitkan si pembuat uraian jabatan. Mengapa? Karena pada prosesnya kita akan sampai pada batas-batas penyusunan uraian jabatan, dimana penulis akan sampai pada permasalahan yang paling fundamental: apakah uraian jabatan tersebut by origin merupakan sebuah "black box" ataukah sebuah "struktur"? Atau kapankah metode black box tersebut digunakan dan kapan pula metode "structured" tersebut digunakan?
Black Box vs Struktur
Proses Black box ditandai oleh unsur "spontanitas" pada pembuatan uraian jabatan. Sehingga penelusuran atau penelitian lebih lanjut tidak perlu dilakukan. Ia sudah merupakan "templates" yang tidak bisa diganggu-gugat/ dimodifikasi. Sedangkan struktur berlaku sebaliknya, terdapat penelusuran secara teratur yang dikembangkan dari analisis rentang-kendali/hirarki dan kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lalu kapan metode Black Box vs Struktur ini digunakan? Ini hanya akan berguna ketika kita menghadapi "trade off" simplicity - complexity. Simplicity karena risiko jabatan tidak begitu besar & bersifat masal; sedangkan complexity dilakukan karena adanya check and balance untuk penyusunan jabatan ini. Lalu, bagaimana dengan penyusunan uraian jabatan organisasi Anda?
Dinamika yang terjadi di atas akan sangat menantang dan bahkan menyulitkan si pembuat uraian jabatan. Mengapa? Karena pada prosesnya kita akan sampai pada batas-batas penyusunan uraian jabatan, dimana penulis akan sampai pada permasalahan yang paling fundamental: apakah uraian jabatan tersebut by origin merupakan sebuah "black box" ataukah sebuah "struktur"? Atau kapankah metode black box tersebut digunakan dan kapan pula metode "structured" tersebut digunakan?
Black Box vs Struktur
Proses Black box ditandai oleh unsur "spontanitas" pada pembuatan uraian jabatan. Sehingga penelusuran atau penelitian lebih lanjut tidak perlu dilakukan. Ia sudah merupakan "templates" yang tidak bisa diganggu-gugat/ dimodifikasi. Sedangkan struktur berlaku sebaliknya, terdapat penelusuran secara teratur yang dikembangkan dari analisis rentang-kendali/hirarki dan kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lalu kapan metode Black Box vs Struktur ini digunakan? Ini hanya akan berguna ketika kita menghadapi "trade off" simplicity - complexity. Simplicity karena risiko jabatan tidak begitu besar & bersifat masal; sedangkan complexity dilakukan karena adanya check and balance untuk penyusunan jabatan ini. Lalu, bagaimana dengan penyusunan uraian jabatan organisasi Anda?
Selasa, November 10, 2009
Anggaran berbasis Kinerja - PBB
“What gets measured gets done.” (Drucker)
Kebanyakan organisasi besar tidak mengetahui/ menyadari kemana saja unit uang atau anggaran yang dihabiskan untuk kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Bahkan setelah sekian lama organisasi beroperasi, mereka tidak juga dapat mengidentifikasikan kebocoran/ pemborosan di dalam organisasi mereka. Kondisi ini biasa terjadi pada sektor publik (pemerintahan) atau bahkan organisasi swasta yang berorientasi profit. Jikalau kondisi ini dibiarkan, maka pemborosan/ inefisiensi anggaran semakin menjadi-jadi dan bahkan menumbuhkan lahan-lahan "basah" bagi korupsi (baik yang disengaja maupun tidak).
Di sisi lain, persaingan yang ketat membutuhkan respon bisnis yang "super cepat". Organisasi atau unit bisnis yang mampu bertahan di tengah-tengah kondisi ini adalah organisasi atau unit bisnis yang mampu mengikuti kecepatan dan kekuatan pasar, atau memiliki "frekuensi yang sama" dengan pasar. Berbeda dengan perspektif birokrat, lambannya pergerakan atau respon mereka sebagai akibat banyaknya peraturan, hirarki keputusan dan prosedur, hal ini menyebabkan kumpulan birokrat dalam satu negara ini semakin terpuruk* (sebagai negara peringkat terburuk untuk memulai bisnis). Sehingga kebanyakan inisiasi PBB bermuara dari sektor Publik (pemerintahan) melalui budget/financial reform, namun kini PBB kemudian diterapkan di organisasi swasta skala besar yang tentunya berorientasi pada profit (Activity Based Costing/ ABC).
Mengapa PBB?
Kondisi ini kemudian dijawab dengan adanya "inisiasi" yang tidak hanya memberi nilai tambah bagi perkembangan "manajemen kinerja" namun juga bagi pentingnya akuntabilitas dari manajemen kinerja itu sendiri (pengukuran kinerja), yang dikenal dengan Anggaran berbasis kinerja atau PBB (performance Based Budget).
Lalu dimana perbedaan antara manajemen kinerja vs. pengukuran kinerja?
Performance management is an approach to planning and evaluation that utilizes the concepts and tools of performance measurement and logic modeling to identify performance goals and assess progress towards goals.
Performance measurement involves the ongoing monitoring and reporting of program accomplishments, particularly progress towards pre-established goals.
"Manajemen Kinerja adalah pendekatan untuk prencanaan dan evaluasi yang memanfaatkan berbagai konsep & alat pengukuran kinerja dan model logic untuk mengidenfikasikan target kinerja dan memetakan kemajuan pencapaian target.
Pengukuran Kinerja terkait pengawasan berjalan dan pelaporan pencapaian program, terutama kemajuan terhadap pra-pencapaian program."
Sistem anggaran berbasis kinerja atau PBB (performance based budget) diperkenalkan untuk menyatukan Kinerja (tepat anggaran & tepat program) dan Akuntabilitas departemen terkait di dalam menjalankan program-programnya.
Asumsi dasar PBB
Key Assumption #1: All grantees have accomplishments; what missing are the performance goals and outcome data.
Key Assumption #2: “If you can demonstrate results, you can win public support”
Organisasi atau unit bisnis secara mendasar memiliki anggaran yang merupakan kerangka acuan bagi pengukuran kinerja. Sehingga secara teknis, Key Assumption #1 setidaknya tercapai di organisasi manapun.
Namun bagaimana dengan Key Assumption #2? Ini yang menjadi pekerjaan rumah setiap organisasi. Bagaimana mungkin anggaran dapat terus dikucurkan jikalau target-target yang ditetapkan tidak pernah tercapai? Bagaimana pengendalian risiko di organisasi ini?
Modelling PBB
Pada ilustrasi di atas, terlihat framework PBB, dimana PBB memiliki elemen data, elemen PBB itu sendiri dan aktifitas organisasi berbasis anggaran yang ditunjukkan oleh "logic model".
Dengan menggunakan "logic model" inilah berbagai kegiatan di dalam organisasi dipetakan dan di screening melalui tahapan demi tahapan pekerjaan yang ditunjukkan oleh "elemen PBB" dan "sumber-sumber data PBB" guna mendapatkan akuntabilitas kinerja kegiatan yang ditunjukkan oleh data elemen PBB.
Penutup
Sebagai kesimpulan, penerapan manajemen kinerja dalam organisasi sebetulnya bukan "omong kosong" belaka, namun mempunyai kekuatan dengan adanya "akuntabilitas" oleh mekanisme pengukuran kinerja, melalui "PBB". Bagaimana dengan organisasi anda?
*) baca: Izin Mulai Bisnis di Indonesia Masih Sulit
Kebanyakan organisasi besar tidak mengetahui/ menyadari kemana saja unit uang atau anggaran yang dihabiskan untuk kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Bahkan setelah sekian lama organisasi beroperasi, mereka tidak juga dapat mengidentifikasikan kebocoran/ pemborosan di dalam organisasi mereka. Kondisi ini biasa terjadi pada sektor publik (pemerintahan) atau bahkan organisasi swasta yang berorientasi profit. Jikalau kondisi ini dibiarkan, maka pemborosan/ inefisiensi anggaran semakin menjadi-jadi dan bahkan menumbuhkan lahan-lahan "basah" bagi korupsi (baik yang disengaja maupun tidak).
Di sisi lain, persaingan yang ketat membutuhkan respon bisnis yang "super cepat". Organisasi atau unit bisnis yang mampu bertahan di tengah-tengah kondisi ini adalah organisasi atau unit bisnis yang mampu mengikuti kecepatan dan kekuatan pasar, atau memiliki "frekuensi yang sama" dengan pasar. Berbeda dengan perspektif birokrat, lambannya pergerakan atau respon mereka sebagai akibat banyaknya peraturan, hirarki keputusan dan prosedur, hal ini menyebabkan kumpulan birokrat dalam satu negara ini semakin terpuruk* (sebagai negara peringkat terburuk untuk memulai bisnis). Sehingga kebanyakan inisiasi PBB bermuara dari sektor Publik (pemerintahan) melalui budget/financial reform, namun kini PBB kemudian diterapkan di organisasi swasta skala besar yang tentunya berorientasi pada profit (Activity Based Costing/ ABC).
Mengapa PBB?
Kondisi ini kemudian dijawab dengan adanya "inisiasi" yang tidak hanya memberi nilai tambah bagi perkembangan "manajemen kinerja" namun juga bagi pentingnya akuntabilitas dari manajemen kinerja itu sendiri (pengukuran kinerja), yang dikenal dengan Anggaran berbasis kinerja atau PBB (performance Based Budget).
Lalu dimana perbedaan antara manajemen kinerja vs. pengukuran kinerja?
Performance management is an approach to planning and evaluation that utilizes the concepts and tools of performance measurement and logic modeling to identify performance goals and assess progress towards goals.
Performance measurement involves the ongoing monitoring and reporting of program accomplishments, particularly progress towards pre-established goals.
"Manajemen Kinerja adalah pendekatan untuk prencanaan dan evaluasi yang memanfaatkan berbagai konsep & alat pengukuran kinerja dan model logic untuk mengidenfikasikan target kinerja dan memetakan kemajuan pencapaian target.
Pengukuran Kinerja terkait pengawasan berjalan dan pelaporan pencapaian program, terutama kemajuan terhadap pra-pencapaian program."
Sistem anggaran berbasis kinerja atau PBB (performance based budget) diperkenalkan untuk menyatukan Kinerja (tepat anggaran & tepat program) dan Akuntabilitas departemen terkait di dalam menjalankan program-programnya.
Asumsi dasar PBB
Key Assumption #1: All grantees have accomplishments; what missing are the performance goals and outcome data.
Key Assumption #2: “If you can demonstrate results, you can win public support”
Organisasi atau unit bisnis secara mendasar memiliki anggaran yang merupakan kerangka acuan bagi pengukuran kinerja. Sehingga secara teknis, Key Assumption #1 setidaknya tercapai di organisasi manapun.
Namun bagaimana dengan Key Assumption #2? Ini yang menjadi pekerjaan rumah setiap organisasi. Bagaimana mungkin anggaran dapat terus dikucurkan jikalau target-target yang ditetapkan tidak pernah tercapai? Bagaimana pengendalian risiko di organisasi ini?
Modelling PBB
Pada ilustrasi di atas, terlihat framework PBB, dimana PBB memiliki elemen data, elemen PBB itu sendiri dan aktifitas organisasi berbasis anggaran yang ditunjukkan oleh "logic model".
Dengan menggunakan "logic model" inilah berbagai kegiatan di dalam organisasi dipetakan dan di screening melalui tahapan demi tahapan pekerjaan yang ditunjukkan oleh "elemen PBB" dan "sumber-sumber data PBB" guna mendapatkan akuntabilitas kinerja kegiatan yang ditunjukkan oleh data elemen PBB.
Penutup
Sebagai kesimpulan, penerapan manajemen kinerja dalam organisasi sebetulnya bukan "omong kosong" belaka, namun mempunyai kekuatan dengan adanya "akuntabilitas" oleh mekanisme pengukuran kinerja, melalui "PBB". Bagaimana dengan organisasi anda?
*) baca: Izin Mulai Bisnis di Indonesia Masih Sulit
Jumat, November 06, 2009
Parenting: Kepemimpinan dalam Organisasi Keluarga
Sebuah pengalaman, setelah penulis renungkan sebagai anggota dalam organisasi masyarakat terkecil, memberikan pencerahan mengenai pemahaman berikut pendalaman (atau "feel") terhadap organisasi "milik keluarga" atau organisasi yang memiliki nilai kekeluargaan yang kuat.
Lalu, mengapa skill "good parenting" diperlukan di dalam membina keluarga (organisasi) dan apa saja kompeksitas berikut "trade off" kepemimpinan yang dihadapi oleh para pimpinan di dalam organisasi ini? Sidang pembaca yang budiman, masalah-masalah tersebut akan terangkai di dalam artikel ini.
Parent Vs. Infant
Anak-anak di usia awal (infant to toddler) memiliki karakter yang egosentris, menyukai eksplorasi, merupakan seorang penuntut, pelajar sekaligus "penguji" batas-batas toleransi yang dimiliki orang tua. Orang tua, di sisi lain, memiliki karakter "pendidik" sekaligus "pengalah" yang tanpa ada kata menyerah dalam membina, mengayomi, melindungi sang anak. Dan di tangan orang tua lah "ruang" bagi tumbuh kembangnya sang anak ditentukan, sehingga mereka tumbuh mengikuti jalur/ perkembangan yang diharapkan oleh orang tua atau "milestone" perkembangan anak.
Lalu tarik menarik yang terjadi antara anak dan orang tua adalah bagaimana orang tua dapat memahami dan memaklumi karakter sang anak, menghadapi ujian toleransi yang diberikan sang anak, sekaligus menetapkan nilai-nilai di dalam hidup keseharian. Tak hanya itu, orang tua memikirkan masa depan sang anak melalui bakat dan minat yang diperlihatkan sang anak.
Ini adalah tantangan yang wajar dan relevan di keseharian setiap orang tua vs. anak-anak. Trade off, ujian, dan cobaan akan selalu terjadi untuk masalah yang paling remeh, hingga masalah penting yang terkait dengan keselamatan/kesehatan.
Parenting dalam Organisasi
Di dalam organisasi, keadaan menjadi sangat berbeda. Kompromi-kompromi Parent Vs. Infant yang senantiasa terjadi di dalam korporasi akan melibatkan kepentingan dan hajat hidup orang banyak, yang memiliki trade off bagi kepentingan tumbuh kembangnya organisasi. Kompromi-kompromi ini tidak hanya terjadi dalam tataran Parent Vs. Infant "biologis" semata, tapi juga untuk Perusahaan Induk Vs. Perusahaan Anak. Suatu ketergantungan yang tak pernah putus dan tidak pernah bebas dari konflik.
Konflik terjadi karena sang anak belum mandiri/ "mature", namun di sisi lain orang tua menghendaki sang anak segera "berlari". Ingatlah akar masalah dari 2 karakter berbeda: anak memiliki cara tersendiri di dalam hal "menuntut", dan orang tua yang "tak pernah tegas" kepada si anak.
Di dalam hubungan antara "Perusahaan Induk Vs. Perusahaan Anak" kasus PCV (Piercing Corporate Veil) lumrah terjadi. Direktur Perusahaan Anak yang seharusnya mengemban "tanggungjawab penuh" untuk mengelola perusahaan, namun oleh perusahaan induk selaku shareholder memperlakukan mereka tak ubahnya sebagai "manager", atau bahkan "anak kemarin sore" yang harus patuh dengan titah "seniornya". Apalagi jikalau Anak Perusahaan belum lagi memiliki kemandirian finansial atau masih sangat tergantung dengan keputusan Perusahaan Induk. Dari sisi Good Corporate Governance, perilaku ini digambarkan sebagai penyimpangan atau "PCV" dimana Direktur Anak Perusahaan tidak menjalankan fungsinya sebagai organ perusahaan yang independen dalam hal menetapkan keputusan, bahkan berlepas diri dari tanggung jawab dalam melaksanakan perbuatan hukum.*
Orang Tua yang Sukses vs. Orang Tua yang gagal
Orang tua yang sukses adalah orang tua yang berhasil membentuk dan membesarkan sang anak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh keluarga sehingga anak memiliki karakter yang kuat dan kemandirian. Sedangkan orang tua yang gagal adalah orang tua yang tidak dapat memberikan kejelasan atau arahan kepada anak, menerapkan standar ganda dan tidak menanamkan kemandirian kepada si anak.
Di dalam korporasi, konflik berikut kompromi-kompromi yang terjadi menghasilkan efek kontra-produktif bagi organisasi:
* office politics yang parah;
* adanya norma-norma/ budaya lain yang terselubung di dalam organisasi (meskipun sudah tertulis/ terdefinisikan)
* karyawan yang mati rasa, atau matinya inovasi dan inisiatif dalam organisasi
* menghilangkan bahkan melarikan bakat-bakat dalam organisasi ke luar organisasi (brain drain)
* mandegnya pertumbuhan organisasi
Penutup
Sebagai penutup, tarik menarik kepentingan Parent Vs. Infant adalah bagaikan siklus pasang surut akibat gaya gravitasi Bulan-Bumi. Dibutuhkan kepemimpinan yang mumpuni: kepemimpinan yang tegas namun memberikan ruang** bagi tumbuh kembang sang anak. Semoga.
*) selengkapnya simak:
Doktrin Fiduciary Duty dan Peran Direksi
**) Ruang dalam artian kesepahaman Parent & Infant dalam menjalankan prinsip-prinsip dasar Good Corporate Governance dan kepatuhan terhadap peraturan & perundang-undangan yang berlaku.
Lalu, mengapa skill "good parenting" diperlukan di dalam membina keluarga (organisasi) dan apa saja kompeksitas berikut "trade off" kepemimpinan yang dihadapi oleh para pimpinan di dalam organisasi ini? Sidang pembaca yang budiman, masalah-masalah tersebut akan terangkai di dalam artikel ini.
Parent Vs. Infant
Anak-anak di usia awal (infant to toddler) memiliki karakter yang egosentris, menyukai eksplorasi, merupakan seorang penuntut, pelajar sekaligus "penguji" batas-batas toleransi yang dimiliki orang tua. Orang tua, di sisi lain, memiliki karakter "pendidik" sekaligus "pengalah" yang tanpa ada kata menyerah dalam membina, mengayomi, melindungi sang anak. Dan di tangan orang tua lah "ruang" bagi tumbuh kembangnya sang anak ditentukan, sehingga mereka tumbuh mengikuti jalur/ perkembangan yang diharapkan oleh orang tua atau "milestone" perkembangan anak.
Lalu tarik menarik yang terjadi antara anak dan orang tua adalah bagaimana orang tua dapat memahami dan memaklumi karakter sang anak, menghadapi ujian toleransi yang diberikan sang anak, sekaligus menetapkan nilai-nilai di dalam hidup keseharian. Tak hanya itu, orang tua memikirkan masa depan sang anak melalui bakat dan minat yang diperlihatkan sang anak.
Ini adalah tantangan yang wajar dan relevan di keseharian setiap orang tua vs. anak-anak. Trade off, ujian, dan cobaan akan selalu terjadi untuk masalah yang paling remeh, hingga masalah penting yang terkait dengan keselamatan/kesehatan.
Parenting dalam Organisasi
Di dalam organisasi, keadaan menjadi sangat berbeda. Kompromi-kompromi Parent Vs. Infant yang senantiasa terjadi di dalam korporasi akan melibatkan kepentingan dan hajat hidup orang banyak, yang memiliki trade off bagi kepentingan tumbuh kembangnya organisasi. Kompromi-kompromi ini tidak hanya terjadi dalam tataran Parent Vs. Infant "biologis" semata, tapi juga untuk Perusahaan Induk Vs. Perusahaan Anak. Suatu ketergantungan yang tak pernah putus dan tidak pernah bebas dari konflik.
Konflik terjadi karena sang anak belum mandiri/ "mature", namun di sisi lain orang tua menghendaki sang anak segera "berlari". Ingatlah akar masalah dari 2 karakter berbeda: anak memiliki cara tersendiri di dalam hal "menuntut", dan orang tua yang "tak pernah tegas" kepada si anak.
Di dalam hubungan antara "Perusahaan Induk Vs. Perusahaan Anak" kasus PCV (Piercing Corporate Veil) lumrah terjadi. Direktur Perusahaan Anak yang seharusnya mengemban "tanggungjawab penuh" untuk mengelola perusahaan, namun oleh perusahaan induk selaku shareholder memperlakukan mereka tak ubahnya sebagai "manager", atau bahkan "anak kemarin sore" yang harus patuh dengan titah "seniornya". Apalagi jikalau Anak Perusahaan belum lagi memiliki kemandirian finansial atau masih sangat tergantung dengan keputusan Perusahaan Induk. Dari sisi Good Corporate Governance, perilaku ini digambarkan sebagai penyimpangan atau "PCV" dimana Direktur Anak Perusahaan tidak menjalankan fungsinya sebagai organ perusahaan yang independen dalam hal menetapkan keputusan, bahkan berlepas diri dari tanggung jawab dalam melaksanakan perbuatan hukum.*
Orang Tua yang Sukses vs. Orang Tua yang gagal
Orang tua yang sukses adalah orang tua yang berhasil membentuk dan membesarkan sang anak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh keluarga sehingga anak memiliki karakter yang kuat dan kemandirian. Sedangkan orang tua yang gagal adalah orang tua yang tidak dapat memberikan kejelasan atau arahan kepada anak, menerapkan standar ganda dan tidak menanamkan kemandirian kepada si anak.
Di dalam korporasi, konflik berikut kompromi-kompromi yang terjadi menghasilkan efek kontra-produktif bagi organisasi:
* office politics yang parah;
* adanya norma-norma/ budaya lain yang terselubung di dalam organisasi (meskipun sudah tertulis/ terdefinisikan)
* karyawan yang mati rasa, atau matinya inovasi dan inisiatif dalam organisasi
* menghilangkan bahkan melarikan bakat-bakat dalam organisasi ke luar organisasi (brain drain)
* mandegnya pertumbuhan organisasi
Penutup
Sebagai penutup, tarik menarik kepentingan Parent Vs. Infant adalah bagaikan siklus pasang surut akibat gaya gravitasi Bulan-Bumi. Dibutuhkan kepemimpinan yang mumpuni: kepemimpinan yang tegas namun memberikan ruang** bagi tumbuh kembang sang anak. Semoga.
*) selengkapnya simak:
Doktrin Fiduciary Duty dan Peran Direksi
**) Ruang dalam artian kesepahaman Parent & Infant dalam menjalankan prinsip-prinsip dasar Good Corporate Governance dan kepatuhan terhadap peraturan & perundang-undangan yang berlaku.
Langganan:
Postingan (Atom)