Kamis, September 05, 2013

Yes, we can! Oleh-Oleh Perjalanan Kunjungan Budaya Unit Kerja

Di pagi buta, terdengar teriakkan yel-yel Kantor Cabang untuk menyemangati peserta morning briefing, setelah pembacaan nilai-nilai budaya perusahaan, dan lagu hymne perusahaan dinyanyikan. Tak lama kemudian, masing-masing perwakilan Sales Representative Office sebagai unit binaan Kantor Cabang ini menyampaikan update mingguan. Diskusi dan arahan selama 1 jam berlangsung sangat interaktif, dimana setelah pemaparan progress mingguan oleh para Senior Manager, pimpinan kemudian memberikan saran/ masukan, solusi teknis, dan tak lupa memberikan semangat dan motivasi agar kinerja pegawai menjadi lebih baik dari hari ini.

Berbekal tekad melakukan efisiensi di segala lini, Kantor Cabang menjalankan program budaya bertemakan “Boyongan”, dimana Kantor Cabang pindah kantor secara swadaya dan sekaligus mengadakan Grand Launching yang dihadiri oleh Walikota serta para pejabat terkait. Kesuksesan acara yang diadakan tanpa bantuan Event Organizer (EO) berikut penghematan yang dilakukan merupakan hasil kerja keras dan tangan dingin tim perumusan budaya, change agent, dan pegawai.

Kondisi kantor Kantor Cabang sebelum boyongan diakui pegawai sangat menyedihkan. Letak kantor kurang strategis, harga sewa relatif mahal, lahan parkir terbatas, dan sempitnya ruang tunggu menyebabkan pelanggan harus berdiri menunggu antrian, furnitur kantor yang tergolong “jadul” menyebabkan suasana kerja dan pelayanan yang kurang kondusif. Kondisi ini pula yang mempengaruhi pendapatan Kantor Cabang.

Selain itu, kantor yang tersebar di lokasi yang berjauhan menyebabkan pegawai tidak saling kenal. Hal ini berakibat pola kerja yang “silo” serta komunikasi yang kurang efektif. Kondisi ini dijembatani pimpinan dengan menjalankan morning briefing setiap hari Senin pagi semenjak pertama kali pimpinan ditempatkan di cabang ini. Kemudian melalui musyawarah yang melibatkan seluruh pegawai, diputuskan agar lokasi kantor dipindah, namun tanpa bantuan pihak luar. Ini ditujukan untuk menumbuhkan semangat “One Team, One Goal, One Spirit”.

Pimpinan mengakui, hal-hal baik yang telah diterapkan di cabang sebelumnya kemudian diterapkan di Kantor Cabang dimana beliau ditempatkan. Meskipun pada awalnya mengumpulkan pegawai tidak mudah, pimpinan diyakinkan bahwa acara morning briefing terbukti menjembatani “silo mentality” tersebut. Tanpa terasa, jauh sebelum diadakannya ajang lomba budaya kerja, jajaran Kantor Cabang yang telah menjalankan morning briefing selama 9 bulan lebih. Sehingga jajaran telah saling memahami pekerjaan yang dijalankan unit lain.

Proses pindah kantor atau boyongan berdampak memperkuat soliditas tim. Upaya selanjutnya, Kantor Cabang meningkatkan brand awareness perusahaan dengan merayakan HUT perusahaan dengan cara unik: yakni menyambut penumpang pertama dengan karangan bunga dan pemberian suvenir cup cakes bagi seluruh penumpang. Kemudian acara dilanjutkan dengan pemotongan kue ulang tahun, mengundang kapten dan awak kabin yang saat itu sedang bertugas ke bandara.

Sebagai satu-satunya Cabang yang berhasil lolos ke tahapan final, Kantor Cabang menempatkan atribut budaya di setiap sudut ruangan, bahkan pigura cermin pun dihiasi ilustrasi standar berpakaian pegawai. Menandai HUT perusahaan pemakaian pin “Care & Responsive” dilakukan sebagai reminder bagi para pegawai agar senantiasa peduli dan tanggap dengan lingkungan sekitarnya serta kepada siapapun yang dihadapi. Program yang awalnya bertujuan untuk menekan efisiensi dan meningkatkan sales, ternyata telah dijiwai hingga ke perilaku sehari-hari pegawai.

Dampak dari program budaya tsb adalah: peningkatan penjualan sebesar 41,18%; efisiensi kantor sebesar Rp 147, 13 juta per tahun dan efisiensi acara sebesar Rp 178, 26 juta.

Kemandirian Kantor Cabang yang menggerakkan, menginspirasi, bahkan mempersatukan seluruh unit kerja binaan patutlah menjadi pembelajaran bagi tercapainya misi “One Team, One Spirit, One Goal”... Seiring dengan teriakan yell-yell Kantor Cabang ini: Yes We Can!

Rabu, September 04, 2013

Morning Briefing: Menghidupkan Ritual Budaya Kerja

Kegiatan/ ritual dalam mengawali pagi setidaknya menentukan kinerja seseorang dari siang hingga sore hari. Beberapa diantaranya mempersiapkan segala sesuatunya pada malam hari. Tentunya kegiatan ini lama-kelamaan menjadi tradisi yang sulit ditinggalkan. Contohnya: menunaikan shalat subuh bagi yang beragama muslim; mandi pagi bagi penduduk di negara tropis; mempersiapkan sarapan untuk anak sekolah bagi ibu-ibu; berjalan pagi/ olah raga, dst. Struktur kegiatan yang dihabiskan di pagi hari ini apabila terus dilakukan akan memberikan manfaat bagi kesehatan jasmani dan rohani, dan manfaat lainnya.

Salah satu kegiatan yang lazim dilakukan di tempat kerja adalah kegiatan morning briefing. Kegiatan morning briefing merupakan salah satu jembatan dalam membina keakraban, kekompakan, budaya kedisiplinan bahkan budaya berbagi pengetahuan. Pada prosesnya, ritual ini dapat berubah atau bahkan hilang seiring dengan pergantian pimpinan. Beberapa unit kerja yang belum memiliki kebiasaan ini pun berupaya keras dalam menyatukan anggota organisasi untuk berkumpul. Bagaimana memulai ritual ini dan bagaimana agar ritual ini senantiasa berkembang dan menjadi sebuah ritual yang ditunggu-tunggu dapat disimak dalam artikel ini.

Mula-mula unit kerja berinisiatif melakukan acara do'a bersama. Masing-masing pegawai diminta untuk memimpin doa sebelum bekerja. Kemudian pegawai diminta bergantian mendoakan karyawan maupun sanak saudara karyawan yang sakit/ tertimpa musibah. Doa bersama ini kemudian menjadi ritual yang mulai membumi, dan dilaksanakan oleh pegawai. Di beberapa pertemuan berikutnya, selesai berdo'a pimpinan mulai memberikan arahan dan masukan kepada pegawai untuk perbaikan diri sendiri dan perbaikan bersama (kinerja unit kerja).

Pegawai di sisi lain mulai memiliki keberanian mengutarakan permasalahan yang dialami di lapangan. Pegawai lain tanpa diminta mulai menimpali dan memberikan masukan kepada pegawai yang tertimpa masalah tsb. Efek berantai ini kemudian semakin berkembang. Masing-masing pegawai tidak ragu memberikan bantuan, sehingga soliditas tim mulai terbentuk dan terus dipupuk oleh pimpinan.

Pimpinan kemudian mulai mengevaluasi kinerja pegawai, begitu komitmen pencapaian diikrarkan. Seiring dengan terjadinya evaluasi, pimpinan tidak hanya membandingkan kinerja sebelumnya dengan kinerja berjalan namun juga membuka pegawai untuk mengusulkan strategi agar komitmen pencapaian tercapai. Pegawai pun secara langsung maupun tidak langsung terpacu untuk menjadi lebih baik dari hari ini. Hari demi hari, arahan serta motivasi terus dipompa oleh pimpinan, di sisi lain pimpinan tidak ragu terjun langsung di lapangan untuk membantu dan sekaligus mengajarkan hal-hal baru yang belum diperoleh ataupun belum terpikirkan oleh pegawai.

Akhirnya ritual pagi ini telah berkembang dari kegiatan "Doa Pagi", "Doa Bersama" kemudian "ajang Curhat" menjadi lebih produktif lagi menjadi ritual "berbagi pengetahuan". Lalu bertransformasi lagi menjadi "ajang evaluasi kinerja". Contoh ritual pagi ini merupakan sarana untuk menghidupkan ritual budaya kerja.

Bagaimana agar ritual ini menjadi hal yang ditunggu-tunggu?
Kuncinya adalah konsistensi. Kemudian pimpinan dalam menjalankan ritual dapat menambah dengan pemberian punishment/ hukuman yang mendidik untuk meningkatkan konsistensi tsb, sehingga siapapun yang terlewat ataupun melanggar aturan yang telah disepakati bersama menempuh konsekuensi yang telah disepakati. Hasilnya tidak hanya menimpa oknum yang bersangkutan namun sebagai pengingat bagi seluruh jajaran unit kerja.

Bagaikan hidup dalam sebuah rumah tangga, seorang Ibu/ Ayah tidak akan ragu menanyakan bagaimana perkembangan anak-anak mereka, apa yang mereka alami atau rasakan di hari itu, dan apa yang harus mereka lakukan agar hal tsb tidak terulang kembali. Tidak ada tujuan lain selain menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Demikan pula morning briefing ini.


Lalu, bagaimana ritual budaya kerja di perusahaan Anda?

Sabtu, Agustus 17, 2013

Renungan Peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia



Memperingati HUT kemerdekaan Indonesia ke-68 adalah saat yang tepat untuk merefleksikan diri, merenungkan tindakan korektif apa yang harus dilakukan oleh bangsa ini. Maka teringat penulis dengan tokoh-tokoh nasional yang baru dikenal dalam kancah nasional, namun memiliki daya gerak besar di dalam membangun bangsa ini. Mereka memiliki track record sebagai orang-orang pekerja keras; idealis; tidak tinggal diam dalam mentransformasi organisasi yang mereka pimpin, bawahan, maupun orang-orang yang berada di sekelilingnya; berhasil merubah cara pandang masyarakat/ stakeholders terhadap institusi yang mereka pimpin; hingga meningkatkan kinerja organisasi/ institusi yang mereka bina/ pimpin.


Mereka adalah orang-orang yang memiliki etos atau budaya kerja yang melekat kuat sebagai karakter inti mereka: tidak tinggal diam untuk merubah hal-hal yang berada di dalam kewenangan mereka, memotivasi bawahan mereka, menjadi contoh teladan bagi bawahan serta orang-orang di sekitarnya, menjalankan apa-apa yang menjadi perkataan mereka, senantiasa membutuhkan feedback/ umpan balik dan cepat merespon umpan balik tersebut; serta bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita membangun bangsa.

Penulis sangat kagum dengan kiprah mereka, sehingga ditengah-tengah karut-marut “politik-ekonomi-sosial-budaya” kompleks dan meruntuhkan moral ini, mereka bagaikan oase bagi musafir: petunjuk bagi orang-orang berilmu. Mereka bagaikan mercusuar: contoh teladan bagi orang-orang yang merindukan pemimpin yang adil. Dan mereka bagaikan sebuah pembangkit: memompa semangat siapa saja yang bersentuhan dengannya, bekerja tidak hanya untuk membanggakan, membahagiakan sang pemimpin, namun untuk membangun bangsa.

Di hari yang bersejarah ini, izinkan penulis merenungkan bahwa kiprah orang-orang ini, yang sebetulnya merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini. Kita tidak hanya hidup dalam wacana, konsep ideal, dan perencanaan. Namun contoh teladan, dan lebih spesifik lagi: budaya kerja. Budaya kerja atau etos kerja ini akan melahirkan pribadi yang jujur & dapat dipercaya karena senantiasa berusaha menepati komitmen yang diikrarkan; kreatif, inovatif serta pantang menyerah demi mewujudkan visi; bekerja tidak setengah-setengah – bahkan untuk mengejar kesempurnaan; berorientasi kepada stakeholders dengan memberikan pelayanan serta kinerja organisasi/ institusi yang lebih baik; meningkatkan kerjasama internal dengan cara “meluluhkan dinding-dinding arogansi” antar unit kerja, menjalankan reformasi birokrasi, dan menggalang kerjasama eksternal dengan menggandeng institusi lain, bahkan tokoh-tokoh yang menjadi kawan maupun lawan.

Membangun Budaya Kerja Berarti Membangun Karakter Bangsa

Terbangunnya budaya kerja yang baik akan menumbuhkan perilaku yang baru. Dan perubahan perilaku ini tidak hanya mempengaruhi orang-orang yang bekerja di dalam unit di tempat kita bekerja, bahkan meluas menulari orang-orang yang hidup di sekitar kita. Perilaku-perilaku ini akan melahirkan pribadi-pribadi tangguh, kuat, dan pekerja keras.

Jika penerapan budaya kerja ini diterapkan di seluruh pelosok negeri, dalam waktu yang tidak beberapa lama lagi, insyaAllah, kita bukanlah bangsa yang cengeng, bangsa peminta-minta dengan hutang luar negeri yang besar & serta bangsa yang mudah sekali menyerah dan berkeluh-kesah. Kita adalah bangsa yang pekerja keras dan senantiasa mengejar kesempurnaan. Jika kita berhasil menjadi bangsa yang pekerja keras dan senantiasa mengejar kesempurnaan, maka kita merubah diri dari “bangsa follower” yang sangat menyukai segala sesuatu yang serba asing/ luar negeri, menjadi bangsa yang kreatif, inovatif serta menghargai karya cipta bangsa sendiri. Jika kita berhasil menjadi bangsa yang kreatif, inovatif dan berdaulat; maka dengan semangat pekerja keras & mengejar kesempurnaan, kita tidak hanya menjadi bangsa yang disegani, bahkan menjadi kekuatan di dalam kancah percaturan bangsa-bangsa.

Sebagai penutup renungan ini, dari mana dan bagaimana agar perubahan ini lahir? Mengutip kata-kata bijak dari K.H. Abdullah Gymnastiar:

“Mulai dari diri-sendiri, Mulailah dari hal yang terkecil, dan Mulailah dari sekarang”

Merdeka!

Jumat, Maret 22, 2013

Fenomena "Piercing Corporate Veil"

Fenomena "Piercing Corporate Veil" sebagai akibat "Pengabaian Struktur Pemegang Saham" yang mengakibatkan terjadinya tumpang tindih peran BOD (maupun BOC) di lintas korporasi. Tumpang tindihnya struktur kepemilikan tersebut sebagai syarat pengambilan suara dan suatu representasi kekuatan suara BOD, akan mengakibatkan terjadimya ketimpangan komunikasi, arahan strategi, hingga mekanisme pengambilan keputusan BOD - pada tataran korporat. Sedangkan dalam tataran organisasi, akan terjadi ketidakjelasan dalam garis komando, garis koordinasi/ pertanggungjawaban/ pembagian tugas hingga komunikasi akan terjadi diantara jajaran perusahaan induk yang memiliki beberapa perusahaan anak, dan perusahaan anak memiliki beberapa turunan (perusahaan anak). Kompleksitas tersebut bila dibiarkan akan berdampak pada komunikasi lintas korporat.

Fenomena ini pula merupakan pengingat pengalaman penulis sebagai GCG Assessor, dimana terjadinya "Piercing Corporate Veil" ini menimbulkan kebingungan ataupun misconduct diantara Direksi Holding, Direksi Perusahaan Anak, Direksi Anak dari Perusahaan Anak yang saling tumpang tindih. Dampaknya bagi jajaran perusahaan anak dan anak dari perusahaan anak akan timbul permasalahan: siapa yang harus dipatuhi, bagaimana menyikapi bilamana antar Direktur tidak ada kecocokan, bagaimana mempertanggungjawabkan pekerjaan, kepada siapa harus mengekskalasi permasalahan atau mendapatkan arahan, hingga bagaimana menyelesaikan tugas/ pekerjaan yang diminta oleh para atasan. Pertanyaan-pertanyaan ini kembali mengemuka ditengah-tengah site visit penulis. 
Satu kejadian kecil pemicu fenomena ini, dimana kebijakan HR Holding tidak dikomunikasikan dengan baik ke perusahaan anak, dimana mereka adalah ujung tombak operasional dan lumbung pendapatan perusahaan. Menariknya, permasalahan komunikasi ini didiamkan begitu lama, yang kemudian menimbulkan, konflik, tarik ulur, karena suara-suara pegawai tidak terdengar dengan baik hingga ke Kantor Pusat. Kurangnya transparansi ini kemudian menyebabkan kemandegan pelaksanaan strategi dan kebijakan perusahaan.

Belajar dari kasus ini, pelaksanaan kepatuhan terhadap GCG tidak melulu berada pada tataran document compliance, SOP yang dimiliki perusahaan, dan aspek-aspek lain yang diaudit oleh para auditor GCG. Bahkan lebih dari itu. GCG dapat dijadikan sebagai alat diagnosis untuk mendeteksi sehat atau tidaknya suatu perusahaan, yang diperlihatkan dari struktur Pemegang Saham, Struktur BOD/ BOC yang berdampak pada terciptanya bottle neck pada alur pengambilan keputusan, independensi Direksi, hingga pengelolaan terhadap risiko. Tidak hanya sampai di situ, hasil dari diagnosis GCG akan melihat sejauhmana garis komando hubungan antar stakeholders, atau pegawai.

Memasuki tataran organisasi, kurangnya transparansi ini akan dapat dirasakan pegawai level atas, lalu menjalar hingga ke level pegawai terbawah. Sehingga dari tataran mikro ini akan berakibat pula pada aspek operasional, pencapaian target growth perusahaan, lebih lanjut menimbulkan distrust antar pegawai, yang akhirnya berpengaruh pada kesejahteraan pegawai.

Ditengah-tengah desingan kumbang yang ramai, penulis berharap agar misconduct GCG ini akan segera terurai, dan betapa besar harga yang harus dibayar dari Piercing Corporate Veil ini. Semoga saja.

Senin, Januari 21, 2013

Efek Berantai Internal Fairness vs External Fairness

Tak habis-habisnya topik pembicaraan berfokus pada keputusan korporat dalam rangka menarik lebih banyak darah segar atau talent baru untuk bekerja di korporasi yang tengah berkembang ini, meningkatkan word of mouth sehingga menarik lebih banyak lagi talent, ide-ide baru. Dimana manajemen berharap akan menciptakan suasana kerja yang lebih kondusif lagi dan pada akhirnya meningkatkan performa perusahaan. Di sisi lain, keputusan yang berujung pada kebahagiaan karyawan baru dan kekecewaan karyawan lama.

Sejauh ini, keputusan sepihak ini berdampak seketika pada demotivasi para karyawan yang telah lama mengabdi pada perusahaan, mempertanyakan sejauhmana manajemen menghargai loyalitas dan performa karyawan. Dialog pun telah dilakukan secara perorangan, mengapa talent yang berdatangan dihargai lebih baik dibandingkan orang lama yang jelas-jelas lebih berpengalaman dan telah merasakan asam garam dalam bekerja. Mengapa keputusan ini tidak dilakukan menggunakan fit & proper test, maupun mekanisme yang fair dan menjamin hak-hak karyawan lama. Intinya semburat kekecewaan mempertanyakan nilai-nilai apa yang sebenarnya dianut oleh Manajemen. Sebuah pepatah yang cukup menggambarkan kondisi ini “habis sepah, manis dibuang” sudah cukup memukul mereka.

Menempatkan diri sebagai orang yang dirugikan sebetulnya adalah sulit bagi orang yang memutuskan, apalagi tanpa ditunjang oleh pengetahuan dan pertimbangan yang mendalam. Siapapun akan menilai dan menimbang apakah pada level tertentu keputusan ini telah membawa internal fairness maupun external fairness yang memadai dari perspektif karyawan. Internal fairness adalah sejauh mana pengabdian, performa, pengalaman dan pengetahuan karyawan lama dirasakan berimbang dengan masuknya karyawan baru. Sehingga menjawab pertanyaan apakah dirasakan pantas menempatkan mereka pada tingkat remunerasi/ grade yang lebih tinggi dari para karyawan lama dapat terjawab dengan tuntas dengan alasan yang dapat diterima dan masuk akal. Sejauh manejemen mampu mengkomunikasikan ekspektasi apa yang diharapkan kepada kedua kubu tersebut dalam termin sistem manajemen appraisal selanjutnya. Bilamana karyawan lama sudah tidak lagi merasakan fairness secara internal, maka mereka akan melihat dan menimbang lagi pada level selanjutnya: external fairness. Atau sejauh mana pasar tenaga kerja menghargai dan menilai pengetahuan dan pengalaman yang mereka selama ini. Sehingga penilaian terakhir ini dapat mendorong mereka berpindah ke perusahaan dan pada akhirnya dapat mengkoreksi keseimbangan kedua fairness tsb.

Belajar dari permasalahan di atas, tindakan ekstrim yang mungkin dilakukan pegawai yakni meninggalkan korporasi sebagai alternatif terakhir, dapat dilihat dari beberapa penyebab multi dimensi. Branham (2007) merumuskan 7 alasan yang layak menjadi kajian Manajemen yang saat ini berupaya menahan keluarnya talent-talent terbaik yang berhasil mereka rekrut. Ketujuh alasan tsb diantaranya:
1. Pekerjaan atau kondisi bekerja  yang kurang kondusif
2. Ketidak sesuaian antara pekerjaan dan orang
3. Kurangnya coaching dan feedback yang menyebabkan pegawai tidak mendapatkan masukan yang berguna untuk meningkatkan kualitas output pekerjaan, bahkan peningkatan karir.
4. Perasaan tidak diakui atau tidak berguna yang disebabkan dari interaksi atasan-bawahan 
5. Terlalu sedikit peluang untuk tumbuh dan belajar lebih banyak, pekerjaan yang sangat monoton.
6. Stress yang disebabkan pekerjaan maupun ketidakseimbangan pekerjaan vs. hidup
7. Kehilangan kepercayaan kepada pimpinan senior. Ini adalah dampak fatal yang bersifat fundamental, dimana pegawai sudah tidak mempercayai pimpinan eksekutif ini.

Penutup
Efek berantai sebagai pembelajaran internal fairness vs. external fairness lambat laun mulai dirasakan. Meskipun belum mencapai tingkat absteinism, seorang rekan menyatakan bahwa keputusan ini secara total telah merubah cara pandang pribadi terhadap nilai-nilai yang dipupuk korporasi selama ini, yakni nilai “kekeluargaan” yang berubah menjadi nilai yang berorientasi pada “pasar/ untung-rugi”.

Ke depan, suasana kondusif akan sulit tercipta bilamana kedua kubu tersebut saling bertahan dan saling membuktikan dengan perspektif yang dimiliki masing-masing, dimana kohesifitas organisasi menjadi batu ujian selanjutnya bagi korporasi ini.  

Jumat, Januari 04, 2013

Kisah 5 Pendekar Perubahan

Memasuki tahun kedua pelaksanaan pemilihan divisi/ unit kerja terbaik, tersebutlah 5 Pendekar Perubahan yang berhasil lolos dari Tiga Stress Test Manajemen Perubahan yang dijalankan perusahaan sepanjang tahun lalu. Dimanapun para Pendekar dipindahkan ataupun dipromosi ke divisi/ unit kerja lain, "signature style" atau kekhasan kepemimpinan mereka memberikan warna tersendiri bagi divisi/ unit kerja bahkan organisasi. Mereka tidak hanya berhasil merubah paradigma berpikir para pasukan, namun berhasil baik dalam meningkatkan kinerja serta membangun lingkungan kerja yang kondusif dan kompetitif. Berikut ini adalah kelima Pendekar Perubahan yang layak untuk dikagumi:

1. Pendekar Eksekusi
Senjata andalan Pendekar yang satu ini adalah Senjata Eksekusi. Pendekar yang baru saja dipindahkan ke unit kerja ini tidak hanya berhasil baik dalam membangkitkan semangat dan mental pasukan, bahkan mampu menggugah semangat juang seluruh pasukan yang tersebar di seluruh Nusantara untuk bergerak seirama. Selain merumuskan strategi pembenahan organisasi melalui arsitektur unit kerja, Sang Pendekar melatih para Kepala Kesatuan, mempersenjatai mereka dengan ilmu pengetahuan, armada teknologi dan "senjata andalan eksekusi" yang diperlukan untuk berperang di medan laga. Soliditas pasukan dibangun melalui "Kegiatan Kebersamaan Kesatuan" yang dikompetisikan satu sama lain. Kemudian memupuk kepemimpinan Angkatan Muda dalam memimpin briefing, coaching, dst.

Tidak berhenti sampai di situ, Pendekar Eksekusi kemudian menciptakan suasana kompetitif dimana masing-masing unit kerja dikompetisikan untuk mendapatkan progress implementasi maupun pencapaian terbaik dari strategi yang telah dirumuskan di awal. Hasilnya seluruh pasukan yang penulis kunjungi tanpa ragu mendemonstrasikan hasil pelatihan yang didapat, keahlian menggunakan "senjata eksekusi perorangan dan kesatuan". Optimalisasi kekuatan armada teknologi mampu menopang kinerja organisasi melalui inovasi yang digulirkan. Salut untuk Pendekar eksekusi yang satu ini.


2. Pendekar Maritim
Pendekar yang satu ini merupakan sosok pekerja keras, pantang menyerah dan senantiasa mengusung moto "Kerja Cerdas, Ikhlas dan Tuntas". Ketika dipromosikan untuk menduduki posisi ini, dalam waktu singkat Pendekar ini langsung mengatur strategi untuk memenangkan peperangan, mengunjungi setiap kesatuan yang tersebar di wilayah kekuasaannya, mulai dari yang terbesar hingga yang terkecil. Disana, acara tatap muka, berbagi pengetahuan, memberikan motivasi, hingga mendapatkan komitmen para pasukan berlangsung di dalam mencapai sasarannya. Selain itu, setiap permasalahan armada yang ditemui dari kunjungan Sang Pendekar Maritim ini langsung ditindaklanjuti tanpa ditunda-tunda lagi. Alhasil, semangat kesatuan dan pasukan tidak hanya membara untuk memenangkan pertempuran, namun lingkungan kerja menjadi lebih kondusif serta produktif.

Tidak hanya berhenti sampai di situ, beberapa Petinggi Kesatuan yang tersebar di wilayah kekuasaan Pendekar Maritim ini pun maju bersama sebagai finalis unit kerja terbaik. Sehingga moto "Kerja Cerdas, Ikhlas & Tuntas" bukan hanya milik sang Pendekar, namun merupakan adalah milik bersama dan menjadi kekuatan dan keberhasilan bersama.


3. Pendekar Panah Api
Pendekar Panah Api terkenal dengan semangat yang pantang menyerah serta menelurkan inisiatif bagi perbaikan yang berkelanjutan. Pendekar ini mampu mengobarkan semangat pasukan dengan cara memindahkan pasukan ke "Kawah Candradimuka" untuk memantapkan ilmu. Ibarat sedang berada di "Kawah Candradimuka", perubahan ini jelas-jelas tidak menyenangkan. Meskipun demikian, tantangan yang tidak biasa ini dihadapi dengan tabah oleh jajaran pasukan. Dengan bahu membahu mereka dengan cepat beradaptasi, belajar dan segera bertransformasi di tempat dimana mereka ditempatkan.


Pendekar Panah Api pun memiliki "senjata rahasia" lain, yakni membangun komitmen pasukan dalam menjalankan inisiasi untuk meningkatkan sasaran. Hasilnya, selain Pendekar ini berhasil memajukan karir pasukan pilihan, juga berhasil baik dalam memajukan unit kerja yang berada di bawah binaannya.

4. Pendekar Madya
Pendekar yang satu ini tergolong pendekar yang sangat konsisten dalam meningkatkan percepatan keterampilan pasukan serta memastikan sasaran unit kerja tercapai. Dimana Pendekar ini membagi pasukan ke dalam 3 kelompok berdasarkan keahlian dan sasaran, dimana pencapaian mereka senantiasa dipantau dan bahkan dikompetisikan. Akselerasi pasukan menjadi lebih baik, dan mereka senantiasa tertantang untuk selalu memberikan yang terbaik.
Sekalipun pasukan dibebani target yang tinggi, Pendekar ini tetap memastikan cara perolehannya memenuhi "prinsip-prinsip GCG" serta mencegah terjadinya kecurangan. Tentunya kunci sukses terpenuhinya prinsip ini adalah kontrol dari waktu ke waktu dengan cara menyebarkan angket dan menelpon stakeholders secara acak. Hasilnya pun sangat memuaskan.



5. Pendekar Muda
Pendekar Muda yang satu ini ditugaskan mendirikan dan sekaligus memajukan unit kerja yang benar-benar baru. Tugas ini tidak main-main, karena unit kerja ini dikelilingi pesaing-pesaing besar serta berbatasan dengan negara tetangga. Namun dukungan moral dan armada dari Divisi merupakan bekal yang tak ternilai harganya bagi Sang Pendekar Muda ini .

Pendekar Muda kemudian merekrut pasukan untuk turut bergabung dan mengembangkan unit kerja ini. Namun hal ini ternyata tidak mudah, mengingat pasukan membutuhkan penyesuaian berupa ketatnya peraturan dan tingginya persaingan yang menyebabkan beberapa pasukan menyerah kalah.

Pendekar ini kemudian membangun moral pasukan dengan lebih melibatkan mereka dengan cara memberikan tantangan, delegasi tanggungjawab yang masih dapat diperhitungkan risikonya oleh Pendekar ini. Hasilnya perlahan tapi pasti, kemajuan demi kemajuan kecil, kemudian berbuah sederet keberhasilan, bahkan berhasil membawa unit kerja ini ke tingkat yang lebih tinggi: diakui sebagai unit kerja yang paling berhasil dan paling cepat mencapai sasarannya. Tidak berhenti sampai di situ, unit kerja lain yang didukung oleh Pendekar yang satu ini pun berhasil mencapai sasaran bahkan berhasil mendapatkan sederet penghargaan.



Sebetulnya masih banyak lagi pendekar-pendekar yang tersebar di seluruh pelosok negeri yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kerja keras dan kesungguhan mereka tidak hanya untuk meraih prestasi, memenangkan persaingan bisnis, meraih kepercayaan, pengakuan dan kebanggaan pasukan yang bekerja di bawah binaannya maupun atasan. Namun keberadaan mereka adalah contoh kecil dari keberhasilan Perjalanan Budaya Perusahaan "real time" yang membesarkan siapa saja yang mengikuti perjalanannya.