Selasa, Maret 17, 2015

Job Value Vs Person Value: Suatu Restrokspeksi

Dikisahkan, bahwa dalam Era Industri penggunaan "hadiah dan hukuman" atau "carrot & stick" sangat efektif dalam tujuan mengelola manusia dan pabrikan/ manajemen/ employer senantiasa menginginkan result yang spesifik, terukur, terstandar dan massal. Kemudian job description diciptakan untuk tujuan mengelola result tersebut. Lalu dikisahkan pula pada Era Knowledge, perbandingan kinerja/ result seorang profesional yang satu dengan profesional lainnya adalah infinite atau tidak berhingga. Namun pada kenyataannya, kebanyakan perangkat di Era Industri masih terbawa di Era Knowledge atau terjadi "percampuran yang saling menyesuaikan".

Salah satu ilustrasi "percampuran yang saling menyesuaikan" adalah jika berkaca pada perangkat reward management - yang menurut penulis tengah berada di persimpangan jalan... (baca juga: Reward Philosophy: Memahami Job Value vs Person Value).

Artinya bagaimana mungkin kesetimbangan antara job value dengan person value di dalam sebuah organisasi dapat tercipta jikalau masing-masing anggota organisasi memegang teguh sisi "person value-nya" saja? Lalu bagaimana upaya "pemain biasa" dapat meningkatkan performanya, ataukah selamanya ia hanya akan menjadi pemanis di pinggir lapangan yang sesekali dipanggil untuk mem-back up pemain utama yang merasa sedikit kelelahan?

Tindakan mengamankan status quo sebagai pemain yang dibayar tinggi tanpa mau mengembangkan rekanan lain di dalam satu tim, (misalnya berperan sebagai mentor, sebagai counselor, atau hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan lainnya ) adalah mental model di Era Industri.

Sehingga job value di sini sangat berguna untuk "menetralkan" ketidakseimbangan value yang ada. Berbagi, berkolaborasi, bermitra, lalu mengajarkan, membina, mengembangkan, dan menumbuhkan bibit-bibit potensi yang sudah ada-merupakan mental model di Era Knowledge.


Adanya ketimpangan person value dan job value organisasi di mata penulis merupakan sebuah restrospeksi, akankah kita -yang sekarang tengah berada di knowledge Era- selamanya terperangkap mental model Era Industrial ataukah akan memupuk sifat-sifat yang terpuji sebagaimana penulis sebutkan diatas? Hanya waktu yang akan bisa menjawabnya.

Rabu, Maret 04, 2015

Meneladani Sang Penemu Besar “Thomas Alva Edison”

Meneladani Sang Penemu Besar “Thomas Alva Edison”*

Siapa yang tidak kenal dengan nama besar Thomas Alva Edison, seorang penemu paling produktif sepanjang masa. Dimana beliau telah menghasilkan inovasi & perbaikan minor di berbagai bidang yang meliputi telekomunikasi, tenaga listrik, perekam suara, gambar bergerak, baterai, tambang dan teknologi semen. Di tengah-tengah kurangnya fasilitas dan infrastruktur pendukung, bahkan belum pernah menempuh pendidikan formal yang mendukung karirnya sebagai penemu, beliau berhasil mengantongi 1093 paten. Tak kenal maka tak sayang, Thomas Alva Edison lahir pada tahun 1847 sebagai anak ketujuh dari 7 bersaudara. Ibunya, Nancy, adalah seorang guru sedangkan ayahnya, Samuel, adalah politisi asal Kanada yang diasingkan. Menempuh pendidikan formal yang amat singkat, Edison atau Al mendapatkan pendidikan home schooling, dimana ia membaca koleksi buku-buku berkualitas di perpustakaan keluarganya.

Pada usia 12-15 tahun, Al bekerja di Grand Truck Railroad sebagai penjual koran, majalah dan permen, serta melakukan eksperimen kimia di waktu senggangnya. Nasib Al berubah pada usia 15 tahun, dimana Al mendapatkan pelatihan sebagai operator telegraf, setelah berhasil menyelamatkan nyawa anak seorang operator telegraf dari kecelakaan KA. Al dengan cepat mempelajari proses dan adaptasi telegraf. Hal ini dibuktikan pada saat Perang Sipil Shiloh yang diliput oleh koran lokal setempat, Al pun membujuk editor untuk mengirimkan headlines berita ke stasiun-stasiun yang disinggahi kereta menggunakan telegraf, sehingga korannya menjadi laris dan berhasil mencetak keuntungan besar. Di usia 16-20 tahun, Al pun menempuh karir baru dari penjual koran menjadi operator telegraf. Di lingkungan ini ia tidak hanya belajar teknis pengiriman teltgraf dan menjadi ahli di bidangnya, namun lebih dari itu. Al juga mempelajari proses bisnis, hingga mendalami trouble shoot perangkat telegraf untuk mencari tahu perbaikan apa yang bisa ia dilakukan agar operasional mesin telegraf menjadi lebih efektif dan semakin baik.

Bakat penemuan Al kian terasah dari pengamatan dan percobaan yang ia lakukan. Pada usia 21 tahun, Al merupakan inventor ternama di Boston, dimana ia berhasil menciptakan Stock Tickers, alarm kebakaran, pengiriman pesan simultan pada satu kabel, teknologi elektronik chemical untuk mengirim pesan secara otomatis. Akhirnya, pada usia 22 tahun, Al pun memutuskan untuk menjadi seorang penemu, suatu profesi yang belum dikenal pada saat itu.

Al pun belajar model bisnis seorang penemu dari 2 orang mentor, bahwa menjadi penemu membutuhkan dukungan dana dari investor, dinama temuan dapat diproduksi massal, dan dapat diinstalasikan. Sekian lama belajar, Al kian matang dalam mempelajari model bisnis invention/ penemu. Di usia 29 tahun, Al telah mengantongi 100 paten, dan terus berkarya dengan menghasilkan 10 perbaikan dan 1 temuan setiap 3 bulan. Dan tinta emas sejarah terus mencatat prestasi Thomas Alva Edison, dimana penemuan lampu listrik merupakan salah satu karya puncak Al yang dikenang sampai saat ini pada usia 31 tahun.

Lalu apakah relevansi seorang Thomas Alva Edison bagi kehidupan sehari-hari, khususnya di perusahaan yang kita cintai ini? Dari pemaparan kisah Al di atas ternyata sangat sesuai dengan Nilai-Nilai Meratus Line I-STEP untuk nilai Profesionalism, yakni: “memilliki dan meningkatkan kompetensi di bidangnya untuk menghasilkan kinerja yang terbaik” serta nilai Integrity, yakni: “memiliki konsistensi antara kata dan perbuatan sesuai etika bisnis da ketentuan perusahaan yang berlaku”.

Pemikiran dan ambisi Al di usia yang sangat dini dengan nama besar atau reputasi baik yang bertahan hingga akhir hayat bahkan hingga saat ini ternyata ditunjang oleh tingginya profesionalisme dan integritas yang ia miliki. Ia tidak segan keluar dari pekerjaannya sebagai operator telegraf demi mengejar cita-citanya sebagai penemu.

Sederet prestasi yang ditorehkan oleh Thomas Alva Edison tidak terjadi dalam waktu semalam. Lalu bekal atau kualitas apa saja yang mesti dimiliki oleh seorang penemu mumpuni dan sukses seperti Al? Didapat 7 kualitas Al yang dapat kita diteladani, diantaranya adalah:
1. Senang belajar dan menghargai ilmu pengetahuan
2. Produktif (dikenal sebagai pekerja keras) dan menyukai tantangan
3. Memiliki daya konsentrasi dan ketekunan yang prima
4. Mengelilingi dirinya dengan orang-orang intelek
5. Memiliki mentor yang mengajarinya berbagai hal yang perlu ia ketahui
6. Menggabungkan penelitian dan pengembangan, komersialisasi dan model bisnis
7. Kemampuan melakukan beberapa projek dalam waktu yang bersamaan

Thomas Alva Edison memiliki dan membangun kebiasaan (habits) yang membesarkan dirinya. 999 percobaan yang gagal dalam proses menciptakan sebuah “lampu pijar yang sempurna” telah beliau tempuh, dan bahkan tidakkan pernah menyurutkan dirinya bilamana percobaan yang ke-1000 gagal. “I have not failed, I’ve just found 10,000 ways that won’t work”, sesederhana itu.

Belajar serta meneladani semangat Thomas Alva Edison dengan sungguh adalah sebuah jalan dalam memahami nilai professionalism, dan meneladani bagaimana nama Thomas Alva Edison beroleh nama besar seorang penemu berasal dari nilai-nilai Integrity yang ia yakini.


  Salam I-STEP!

Thomas Alva Edison Quotes:
“Genius is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration”
“I will not say I failed 1000 times, I will say that I discovered 1000 ways that can cause failure”
“One might think that the money value of an invention constituesits reward to the man who love his work. But ... I continue to find my greatest pleasure, and so my reward, in the work that precedes what the world calls success”


)* dimuat di majalah internal Horizon - Meratus Line