Selasa, Juni 26, 2012

Belajar dari semangat Karateka

Weekend lalu, sebuah event olah raga menarik diselenggarakan di Jakarta, yakni kejuaraan dunia karate liga WKF. Event ini tidak hanya mempertontonkan keindahan gerak (kata), namun juga strategi, stamina, dan kerjasama tim. Bersama putri tercinta, kami sangat menikmati event ini.

Olah raga ini tidak hanya menuntut endurance/ ketahanan fisik, namun juga ketekunan, fokus dan kesempurnaan. Sebagai contoh, untuk menguasai satu gerakan - entah kuda-kuda, tendangan, ataupun pukulan - seseorang harus memantapkannya dengan latihan berulang-ulang. Bahkan melawan derasnya arus pantai Padang yang sedang surut pun digunakan untuk melatih kekuatan kuda-kuda/ tendangan penulis saat itu. Seakan terbawa oleh kenangan betapa kerasnya pelatih menggembleng penulis serta latihan yang dijalani, hal itu pula yang membawa dampak hingga saat ini: semangat dan fokus kepada hal-hal yang ingin dicapai.

Kepada sang anak, meskipun sangat belia, nilai-nilai Karate, yakni "Sumpah Karate" yang diucapkan di setiap latihan sangatlah bermanfaat. Mereka "berikrar" tidak hanya rajin berlatih dan meningkatkan prestasi, namun juga menjaga sopan santun dan menguasai diri/ tidak gampang emosi. Ikar ini akan terbawa di dalam alam bawah sadar nanti.

Karate bukanlah sejenis olah raga fisik semata, namun dari waktu ke waktu melatih mental, dimana di dalamnya terkandung "semangat bushido" atau semangat pantang menyerah. Semangat ini pula menjadi bekal di dalam menjalani hidup.

Penutup
Di balik semaraknya pertandingan WKF 2012 ini, dimana para karateka membela negara masing-masing, sesungguhnya kemenangan berpulang pada jerih payah latihan yang dijalankan karateka. Mereka dengan segenap daya dan upaya memberikan yang terbaik dari diri mereka yang terbayar seketika - dari hasil pertandingan. Suguhan pertunjukan Kata yang sangat memukau dan bertaraf "World Class" ini memperlihatkan kekuatan ketekunan, kesungguhan dan kesempurnaan setiap karateka. Dan semangat olah raga Karate inilah yang penulis ingin wariskan kepada ananda tercinta. Semoga!

Selasa, Juni 19, 2012

Catatan Pinggir: Kisah Ikan Salmon dan Kisah Kepiting

Upaya menjalankan manajemen perubahan tidak langsung jadi dalam satu hari. Inisiasi ini harus dipahami oleh seluruh Change Agent yang mewakili seluruh unit kerja di pelosok tanah air. Sebagai bagian dari acara, tentunya ada kata sambutan bagi para Change Agent oleh jajaran yang lebih tinggi. Kisah inspiratif bak dongeng ini menyemangati para Change Agent untuk terus-menerus menjalankan pembaharuan, pantang menyerah, dan senantiasa menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin, untuk perubahan yang lebih baik.


Berikut ini adalah catatan pinggir tentang Kisah Ikan Salmon dan Kepiting*


Seringkali ikan salmon yang telah ditangkap nelayan mati sebelum sampai ke pantai. Ikan salmon yang bernilai adalah ikan salmon yang segar dan masih hidup. Lalu cara apa yang dipakai oleh nelayan tsb agar ikan salmon tetap hidup hingga ke garis pantai? Caranya adalah melepaskan beberapa ekor ikan hiu kecil untuk mengejar ikan-ikan salmon tsb. Hasilnya ikan salmon tetap segar karena ikan tersebut terus bergerak.


                                     -o-
Lesson learned dari cerita ini adalah, makhluk hidup itu harus bergerak terus untuk kebaikan dirinya sendiri. Sehingga tidak heran, "makhluk-makhluk" yang tengah berada pada comfort zone seringkali didera sakit, dan tanda-tanda fisik seperti ubanan, pelupa, dan berbagai gangguan kesehatan lainnya.
                                     -o- 


Kisah kedua adalah tentang Kepiting. Untuk menangkap kepiting yang hidup di dasar lautan, caranya sangat mudah. Letakkan 2-3 ekor kepiting di dalam kotak. Di dasar lautan, kepiting-kepiting itu akan mengajak kepiting-kepiting lain untuk bergabung. Lalu kepiting yang satu akan menjepit kepiting-kepiting lainnya, dan akibatnya akan banyak sekali kepiting-kepiting yang tertangkap oleh para nelayan

                                     -o-
Sebagai perumpamaan bagi kita, janganlah kita menjadi "kepiting yang saling menjepit", sehingga karena satu dan lain hal kita semua tidak dapat berubah karena sudah terjepit oleh ulah kepiting-kepiting yang lain.
                                     -o-

Dalam hidup ini atau khususnya pada institusi ini tidak ada "zona aman". Sebagai landasan mekanisme bagi perubahan tersebut, perlu dibentuk mindset. Sebagaimana ikan salmon yang harus terus "berlari", kita mencari peluang-peluang untuk menciptakan kemajuan dan menciptakan inovasi.

* Kisah inspiratif ini diceritakan oleh Bapak Charmeida Tjokrosuwarno, Tenaga Pengkaji Bidang Perencanaan Strategik, Kementerian Keuangan.

Senin, Juni 18, 2012

Catatan Tentang Novel Sepatu Dahlan

Adakah suri tauladan yang dapat dicontoh di tengah-tengah centang perenangnya kehidupan berbangsa saat ini? Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan hidup seorang anak muda yang dibesarkan dengan segala kekurangan; hidup dalam kehidupan dimana kelaparan, ketiadaan sandang menjadi kawan karib, dimana penyakit dan kematian keluarga/ handai taulan mendera keluarga ini. Di balik setiap lembar kisah yang menyentuh & menyayat hati, anak muda ini bagaikan bunga matahari yang tetap optimis & tegar menatap masa depannya. 

Betapa keras cita-cita dan usahanya untuk keluar dari rengkuhan kemiskinan, dengan melecut dirinya untuk senantiasa berprestasi tinggi, aktif dalam kegiatan eskul (olah raga, Perkumpulan Siswa, dst), dan bekerja sedemikian kerasnya membantu orang tua menggembala ternak dan sesekali menjadi kuli. Dengan dukungan dan kasih sayang kedua orangtua yang tak kenal lelah mengupayakan yang terbaik bagi anak-anaknya, jerih payah anak muda yang penuh semangat ini membuahkan hasil. Prestasi demi prestasi berhasil diraihnya sebagai siswa teladan, olahragawan berbakat dan pelatih olah raga voli di kampungnya. Meskipun ia tidak memiliki apa-apa, ia dicintai dan disegani teman-temannya.

Rupanya, kerasnya hidup tidaklah menyebabkan ia lupa dengan masa lalunya. Ia tetap dikenal sebagai sosok yang sederhana, apa adanya, bekerja keras dengan tulus ikhlas dan tentunya dicintai teman-temannya. Setiap inisiatif yang ia dijalankan saat ini mengingatkan penulis akan keahliannya dalam "mengatur strategi permainan voli" di kampungnya. Dan sangat terasa di dalam tulisan-tulisannya dalam membenahi BUMN bermasalah.
 
Membaca kisah ini menyebabkan penulis dapat memahami mengapa ia begitu dekat dengan orang kecil; menyelami, mengalami kehidupan wong cilik- meskipun beliau berada di tengah-tengah kesibukan sebagai pimpinan yang mengatur perusahaan BUMN se-Indonesia.

Membaca kisah ini membuat penulis bangga, dengan semangat tanpa henti, terobosan-terobosan yang beliau lakukan sungguh memberikan energi, harapan bahwa bangsa ini tengah berbenah untuk memacu ketertinggalan, keterbelakangan dan keterkungkungan... bahwa Hei... kita dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya!  


Wawancara dengan Kick Andy:


Kamis, Juni 14, 2012

Penguji Kekokohan Nilai-Nilai Keluarga


Pembaca yang berbahagia, sebagaimana penerapan Budaya Organisasi, sebetulnya di tengah-tengah keluarga pun kita menerapkan, memperkenalkan, dan bahkan mempertahankan nilai-nilai keluarga. Semakin teruji kekuatan nilai-nilai tersebut, maka semakin matang sifat, karakter, dan perilaku anggota keluarga di tengah lingkungan masyarakat.

Sedari lahir hingga dewasa, Sang Anak secara sadar maupun tidak sadar sebetulnya telah terpapar dan ditempa oleh nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tuanya. Sang Anak dibiasakan, dibimbing, dan diajarkan orang tua berupa kegiatan, kebiasaan, perilaku yang dijalankan berulang kali, hingga kegiatan/ kebiasaan/ perilaku yang terkecil. Dan acapkali bilamana orang tua tidak berkenan dengan kegiatan/ kebiasaan/ perilaku tsb, Sang Anak ditegur, dimarahi, bahkan mendapatkan hukuman. Dan tak bosan-bosannya orang tua senantiasa mengingatkan, terus-menerus menanamkan nilai-nilai hidup tsb kepada Sang Anak tercinta, sehingga tanpa diawasi, disuruh dan ditemani mereka telah menunjukkan perilaku yang sesuai dengan nilai yang kita inginkan.

Sebagai contoh: memupuk perilaku "otonom/ mandiri/ mampu mengambil keputusan sendiri". Orang tua akan mendidik anak dengan diberikan tantangan, persoalan, ujian (sesuai dengan usianya) untuk diputuskan sendiri. Sang Anak cenderung diberikan kebebasan/ keleluasaan untuk menentukan kegiatannya dan tentunya mempertanggungjawabkan kegiatannya. Orang tua juga menyediakan fasilitas kepada Sang Anak untuk mengekspresikan minatnya.
Lambat laun, "pengalaman demi pengalaman" yang dialami oleh Sang Anak akan membentuk selapis demi selapis kepercayaan diri. Bahwa seiring dengan bertambahnya umur, mereka berani dan mampu mengambil keputusan/ beraktifitas/ mempertanggungjawabkan keputusan sendiri. Perlahan, karakter ini akan membentuk jiwa kepemimpinan, oleh karena senantiasa disirami dan tercerahkan oleh lembaga yang bernama “keluarga”. 

Lalu bagaimana dengan memupuk perilaku kejujuran, kesederhanaan, dan perilaku-perilaku luhur lainnya? Sebagaimana halnya pendidikan, semuanya tidak terjadi dalam satu hari. Terkadang konsistensi nilai dapat meningkat dan menurun sebagaimana keimanan. Dan tak jarang Sang Anak mempertanyakan nilai-nilai tersebut kepada orang tua:
"Pa, kenapa kita harus jujur?"
"Ma, kenapa tadi beli tas/ sepatu, kan sepatu/ tasnya belum rusak?"
"Kenapa si A punya permainan X. Aku harus punya X juga.."
dan seterusnya....

Dan sadarkah kita, bahwa dialog demi dialog yang terjadi, meskipun sederhana dan remeh, hal itu sebetulnya semakin memperkuat nilai-nilai keluarga?
  • Bahwa keluarga A menjunjung tinggi kejujuran,
  • Keluarga B menjunjung tinggi nilai kesederhanaan,
  • Keluarga C sebetulnya menjunjung tinggi "nilai fungsi", bukan "aksesori"

                                                       ***

Di akhir hari seringkali orang tua mengevaluasi, merefleksi kegiatan/ kebiasaan/ perilaku apa yang dilakukan Sang Anak sehari-hari; pelajaran apa yang didapatkan; apa yang harus dilakukan supaya hari ini lebih baik dari kemarin; dukungan/ bantuan apa yang dibutuhkan oleh Sang Anak dari orang tua; dst. Evaluasi dan refleksi ini akan semakin mengokohkan anak untuk memahami nilai-nilai dan memotivasi mereka menjadi lebih baik.

Akhir kata, pelaksaan nilai-nilai keluarga, nilai-nilai organisasi berpulang pada sejauh mana orangtua/ pimpinan mempupuk, menyirami, menginspirasi para anggota-anggotanya untuk tetap konsisten dengan kegiatan/ kebiasaan/ perilaku sehari-hari. Sehingga dengan kekuatan "mencontohkan, memastikan, memarahi, mengapresiasi, mengevaluasi" Sehingga tanpa pengawasan, sang penguji kekokohan nilai-nilai ini telah tumbuh sebagai generasi yang optimis, inovatif dan penuh kepercayaan diri. Semoga, saja!