Kamis, Desember 29, 2011

Mempertahankan Semangat Berbudaya


Menjaga motivasi rekan kerja dalam menerapkan budaya kerja dijalankan secara konsisten, dari waktu ke waktu, bahkan sepanjang tahun merupakan tantangan tersendiri. Seringkali program budaya yang telah digagas di awal tahun kemudian kandas di tengah jalan, dan ketika mereka ditanyakan mengenai program budaya, mereka hanya mengingat "nama program" budayanya saja. Sungguh sangat disayangkan, besarnya effort yang ditujukan untuk menciptakan kebiasaan baru yang diyakini menjadi hulu ledak "perubahan yang berkelanjutan" ternyata gagal diimplementasikan. Melalui tulisan ini terdapat beberapa strategi yang layak dicoba dalam menerapkan program budaya yang berfokus pada perbaikan kondisi internal dan eksternal ataupun perpaduan keduanya, diantaranya adalah:


Internal:

Program budaya yang berfokus untuk meningkatkan kinerja, diantaranya adalah: percepatan SLA, peningkatan standar layanan, penurunan error, peningkatan kualitas penginputan data, dst. Program budaya yang dimaksud akan meningkatkan motivasi rekanan kerja untuk senantiasa memperbaiki diri. Monitoring, pembinaan, dukungan, bahkan keikutsertaan jajaran pimpinan sangat menentukan keberlangsungan program ini.

Program budaya yang menunjang strategi seperti "inovasi/ perbaikan proses bisnis" untuk memberikan nilai tambah bagi organisasi. Tingginya rutinitas pekerjaan sehari-hari terkadang "mematikan" kreatifitas rekan kerja. Dengan membebaskan mereka mengekspresikan ide, membiarkan mereka berkolaborasi untuk menyederhanakan hingga mempercepat proses kerja, hingga efisiensi biaya akan meningkatkan semangat rekan kerja.



External:

Program budaya yang "mempengaruhi unit kerja lain" untuk menjalankan budaya kerja yang mendukung percepatan proses bisnis. Meskipun rekanan kerja telah memiliki lingkungan kerja yang kondusif dan menjalankan program budaya kerja dengan sangat baik, tanpa diimbangi unit kerja lain yang bekerja dengan kecepatan, kualitas, dan bahkan semangat yang sama dalam jangka panjang tidak akan banyak memberikan kontribusi bagi organisasi. Untuk itu tantangan bagi unit kerja ini adalah menularkan teknik, kiat-kiat hingga strategi agar unit kerja lain mampu menerapkan sehingga memiliki “derap langkah yang sama” dengan unit kerja ini.

Program budaya yang berdampak kepada peningkatan image perusahaan ini membutuhkan kerja keras berbagai pihak. Dampak dari pelaksanaan program ini adalah peningkatan citra perusahaan di ranah publik. Tentunya dengan adanya program ini terdapat banyak hal yang harus dibenahi, mulai dari peningkatan kompetensi rekanan kerja, perubahan lay out ruangan, perbaikan prosedur kerja, dst. Sehingga dimanapun dan kapan pun klien melakukan transaksi, maka standar layanan yang diberikan perusahaan adalah sama.

Berawal dari pekerjaan yang semula dianggap sebagai “ekskul” karena terdapat banyak “pekerjaan tambahan” lambat laun menjadi kebiasaan, bahkan ekskul ini diyakini sebagai cara unit kerja ini memberikan kontribusi, memberi warna bagi organisasi, dikenal unit kerja lain, bahkan mendapatkan penghargaan dari stakeholders. Dan tak jarang unit kerja ini dijadikan panutan, bahkan rujukan bagi organisasi lain untuk dicontoh perusahaan terkemuka lainnya. Sehingga berangkat dari kebiasaan yang kecil ini, upaya menjaga motivasi rekanan kerja dari waktu ke waktu bukan hanya mengharumkan perusahaan, namun pada lingkup yang lebih luas: memberikan sumbangsih kepada negara tercinta ini. Semoga!

Formulasi Budaya Perusahaan: Pimpinan vs Master Chef

Budaya Perusahaan merupakan topik yang takkan habis dibahas. Melihat dan mengamati pimpinan dalam mengemas hingga mensosialisasikan program budaya telah menginspirasikan penulis dengan judul menarik ini: "Formulasi Budaya Perusahaan: Pimpinan vs Master Chef". Lalu apa persamaan Pimpinan dengan seorang Master Chef ini? Pimpinan dan Chef sama-sama meramu, memasak bahan-bahan tertentu, lalu mengemas hingga menghidangkan di hadapan juri.

Sebagaimana masakan, penilaian implementasi budaya perusahaan dapat menjadi hal yang subjektif. Masalah subjektifitas ini terkait kedalaman filosofi budaya yang diusung oleh perusahaan/ unit kerja, pemahaman karyawan, pencapaian KPI, hingga peran pimpinan itu sendiri. Penilaian juri pun juga bergantung dari pengalaman sang juri, yang berbasis pengalaman masa lampau/ data historis yang ada.

Tak ubahnya seorang chef yang berpeluh karena panasnya api dapur, pimpinan perusahaan/ unit kerja pun memeras otak dalam mengemas dan memastikan program budaya dapat dijalankan oleh seluruh jajaran perusahaan. Dimana proses yang paling menentukan adalah mendapatkan hingga membangun komitmen jajaran perusahaan, artinya proses ini bukanlah acara seremonial "penandatanganan komitmen" tapi bagaimana mendapatkan dukungan dari jajaran perusahaan.
Selanjutnya adalah proses perencanaan, bagaimana program budaya dikemas sehingga menjadi program budaya yang dijalankan karyawan adalah program yang simple, mudah diingat, aplikatif, membangun kebersamaan. Program ini berdampak langsung dalam meningkatkan kompetensi karyawan dan akhirnya kinerja perusahaan secara keseluruhan.

Terdapat takaran atau porsi tertentu dalam memformulasikan budaya perusahaan, dimana semuanya akan bermuara kepada hasil/ result, bukan hanya seremoni atau hura-hura atau yang terlihat secara kasat mata. Bagi seorang pimpinan yang baru menjalankan formulasi program budaya, tidak jarang ditemui rintangan dan berbagai penyesuaian diperlukan agar program sejalan dengan alur pekerjaan. Dan tak jarang mereka-sebagaimana seorang master chef-dengan bahan baku yang diberikan harus dapat memperkirakan bagaimana hasil dari proses tsb, seperti: warna atau "suasana kerja", tekstur atau "kebersamaan karyawan dalam menjalankan program budaya", penyajian atau "atribut budaya yang ada di lingkungan kerja, perubahan proses bisnis, dst".

Lalu, bagaimana dengan Budaya Perusahaan Anda?

Rabu, Desember 28, 2011

Asal Hidup Bagian II


Aku nggak mau anakku menjadi orang yang paling aneh di sekolah. Kalaupun dia harus menonton siaran TV, dia harus aku dampingi


Begitu komentar salah satu orang tua yang masih terhitung saudara penulis. Sehari bersama berkendaraan menempuh perjalanan antar kota dengan mereka, penulis cukup panik menghadapi 2 anak yang menirukan adegan/ lakon sebuah siaran live di TV swasta terkemuka Indonesia. Nyanyian dan ucapan yang keluar dari bibir-bibir mungil tersebut tidak pantas, bahkan terkesan sebagai anak yang kurang terdidik oleh kedua orang tuanya yang nota bene sangat terdidik. Hal ini membuat penulis merasa gemas, apalagi anak penulis yang masih TK berkali-kali mengingatkan mereka, ”Hei, itu tidak sopan!”.

***

Menjelang malam, penulis pun mengevaluasi kedua anak tersebut, “Kalian harus berjanji ya, sepulang dari liburan ini jangan menonton siaran xxx lagi. Itu siaran yang tidak pantas ditonton dan ditiru. Tengoklah anak-anak yang kita temui di K******A tadi, mereka menggunakan bahasa Inggris, Indonesia dan terkadang Mandarin. Mereka tidak sempat menonton acara seperti itu”.
“Iya, aku janji.”
Tak lama, orang tua si anak memberikan argumentasi seperti di atas. Mendapat dukungan, si anak kemudian menimpali perkataan orang tuanya.
“Tapi Mbak, aku ini kan tinggal di desa.”
“Ya, meskipun kalian tinggal jauh dari kota, tapi gantungkan cita-cita setinggi langit. Kalian suatu saat akan bersekolah dan bekerja di sini. Sekarang dengan laptop kecil kalian, masih ada banyak hal yang bisa dipelajari”.


Segera setelah percakapan menarik ini, kami menindaklanjuti masalah ini dengan berembuk, bagaimana keluarga terdekat kami tidak menonton acara yang tidak mendidik ini, mulai menyeleksi acara, atau berlangganan TV prabayar, atau menciptakan kebiasaan-kebiasaan baik, mendidik dan bernilai tambah. Namun sayang, solusi tersebut belum begitu penting mengingat masalah besar dan pelik belumlah tampak di depan mata. Sehingga penulis melanjutkan pembahasan ini dalam tulisan “Asal Hidup Bagian II”

Kata-kata asal hidup pada tulisan sebelumnya ditujukan pada organisasi, keluarga atau bahkan individu yang tidak memiliki perencanaan, contingency plan, bahkan struktur, aturan, hingga prosedur yang jelas. Segala hal yang serba tidak jelas ini menyebabkan orang-orang yang hidup di dalamnya terjerumus ke dalam situasi yang relatif "tidak menguntungkan" dalam jangka panjang.

Lama tidak merenungkan kata Asal Hidup, seperti sambaran petir penulis terbawa oleh emosi “Asal Hidup” ini. Bayangkan sebuah keluarga yang tidak memagari, memberikan rambu-rambu, menumbuhkan, mendidik, mengeksplorasi, mengevaluasi, menganalogikan, mendekatkan dan berdiskusi dengan anak tercinta, lalu apa yang akan terjadi ketika si anak kemudian bertambah umur? Tentunya kebingungan, tidak bisa membedakan mana yang patut dan tidak, mana yang baik dan jelek, mana yang harus dilanjutkan dan dihentikan segera akan dihadapi sang anak.

Mereka bagaikan tanaman liar yang telah berurat berakar, tumbuh sekenanya. Mereka seperti tanaman tidak sempat dipangkas, disiangi, disirami, diberikan pupuk, dan diberikan sinar matahari yang cukup. Dalam jangka panjang, siapapun mungkin akan terkejut sendiri melihat betapa pesatnya perkembangan kebiasaan-kebiasaan baru tumbuh ini: menjadi cabang-cabang kecil, membesar, dan perlahan-lahan menghancurkan kebiasaan-kebiasaan lama yang relatif baik, bahkan nilai-nilai luhur keluarga yang semestinya hidup dan senantiasa dijalankan oleh sang anak hingga kelak beranjak dewasa. Bayangkan jika hal ini terjadi di tengah keluarga-keluarga kecil secara jamak.

Mencermati kata “saya tidak ingin anak saya tidak seperti anak-anak kebanyakan”, di belantara media yang sangat tidak ramah kepada anak-anak, hingga menyebabkan kebanyakan masyarakat ini menjadi “sakit”- tidak tahu lagi apa yang penting dan tidak penting, to learn and unlearned (Schein). Sehingga penulis merasa perlu menekankan pada tulisan ini “ikutilah nilai universal, dimana pada tahap perkembangan seorang anak, mereka bagaikan tunas yang menyerap budaya dan sekaligus nilai-nilai luhur di sekitarnya. Pembiaran hanya akan merusak mereka. Tumbuhkanlah kebiasaan baik, siangilah atau diskusikanlah hal-hal kecil yang perlu dirubah setiap hari (start, continue, stop)". Pembaca akan merasakan sendiri, betapa berbedanya anak tersebut diantara kebanyakan anak-anak. Ucapan, kata-kata, dan tindak tanduknya akan menyejukkan hati dan membanggakan orang tua atau siapapun yang mendengarnya.

Penulis berketetapan hati tidak ingin menulis asal hidup jilid III, bilamana nilai-nilai luhur yang dipupuk setiap hari, oleh keluarga, guru, dan lingkungan yang tidak kenal lelah memelihara tunas-tunas bangsa, anak-anak kita. Semoga.