Selasa, Juli 19, 2011

Tribal Organization

Beberapa waktu yang lalu penulis ditugaskan ke perusahaan lembaga keuangan terkemuka di Indonesia bagian Timur dan berkesempatan menemui CEO perusahaan tersebut. Pada sesi pertemuan, beliau memaparkan berbagai problematika unik dan khas, yang menurut penulis hanya mungkin ditemui di perusahaan tersebut.

Adapun beberapa poin permasalahan perusahaan tersebut adalah: budaya kerja perusahaan belum menunjukkan ciri sebuah lembaga keuangan terkemuka, sulitnya merubah persepsi bawahan, dan kurang ditaatinya aturan main/ kebijakan dan bahkan prinsip GCG di dalam organisasi.

Meskipun di permukaan permasalahan tampak manageable dan bahkan bisa diselesaikan secara fair, namun permasalahan di atas sangat sulit untuk diuraikan. Anggota organisasi bersatu padu menolak adanya perubahan, mempertahankan status quo, dan bahkan mengabaikan aturan-aturan main yang berlaku.

Menyimak kondisi di atas, permasalahan secara jelas berakar dari pemahaman dan pola pikir anggota organisasi yang salah, sedemikian rupa permasalahan saling mengait dan bahkan secara sistemik merusak. Disadari, budaya kerja yang baik akan muncul bilamana terdapat sistem yang baik, seperti: manajemen kinerja, reward & punishment yang jelas, sistem remunerasi yang wajar, uraian pekerjaan yang jelas, standard dan prosedur yang jelas, dst. Dan hal tersebut hendaknya didukung oleh arahan serta komitmen para pimpinan guna memastikan tegaknya aturan, konsistensi penerapan sistem, serta reward & punishment yang wajar kepada bawahannya.

Ternyata dalam praktiknya, berbagai pengambilan keputusan penting yang sebenarnya cukup memerlukan kewenangan BOD, masih ditemui campur tangan BOC yang dirasa sudah cukup dominan. Hal ini sungguh tidak sesuai dengan prinsip independensi “Good Corporate Governance”, yakni prinsip independensi independensi BOD dalam pengambilan keputusan. Kondisi “given” seperti ini sungguh merupakan kondisi yang kurang menguntungkan bagi CEO yang sudah menjalani separuh waktu masa bakti.

Kira-kira paradigma apa yang harus dipraktikkan CEO ini dalam mengawali manajemen perubahan? Tahapan-tahapan apa yang harus dilalui oleh organisasi yang ingin menjalankan perubahan mendasar, namun tanpa membuat anggota organisasi merasa “terusik”. Berikut ini pemaparan mengenai Tribal Organization.


Memahami Tribal Organization

Dalam sebuah organisasi terdapat pagar-pagar, halangan dan rintangan yang “tak tampak” yang dikuasai oleh pimpinan-pimpinan informal. Pada intinya informasi, kebijakan, dan arahan yang disampaikan oleh manajemen hendaknya harus diterima dan melewati pagar-pagar tersebut sehingga informasi, kebijakan dan arahan tersebut dapat disampaikan atau ditransmisikan ke seluruh jajaran apa adanya, sehingga informasi, kebijakan dan arahan yang sampai tidak memiliki penafsiran yang berbeda.

Sehingga ilustrasi organisasi di atas yang seolah-olah berbentuk "tribal organization" ini membutuhkan seorang "tribal leaders" yang memastikan bahwa setiap orang yang berada di dalam organisasi meyakini dan menjalankan apa yang dikatakan oleh tribal leaders tersebut. Lalu, bagaimana tahap-tahapannya, serta teknik apa saja yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa setiap tribal stages tersebut terlewati hingga mencapai kondisi yang diinginkan?

Menurut Dave Logan, John King, Halee Fischer-Wright (2008) dalam buku yang berjudul “Tribal Leadership” setiap organisasi adalah sebuah “tribe” atau suku. Dimana tribes/ suku didefinisikan sebagai sebuah jaringan yang terdiri dari group yang beranggotakan 20 hingga 150 anggota yang saling mengenal satu sama lainnya. Diakui, tribes/ suku ini jauh lebih kuat dibandingkan tim, perusahaan, dan bahkan CEO itu sendiri. Buku ini berusaha membekali para CEO/ pimpinan/ manager yang baru diangkat dalam menilai seberapa kuat “budaya tribes/ suku” di dalam organisasi ini ke dalam 5 tahapan dari skala 1 hingga 5.

Didapatnya skala ini berasal dari studi yang mereka lakukan, melibatkan 24.000 orang di lebih 24 organisasi. Pada buku ini Logan, King, and Fischer-Wright meredifinisikan dan memperbaiki “tema umum” bahwa:
• Keberhasilan organisasi tergantung dari suku/tribes yang berasal dari tribal culture; dan
• Keberhasilan upaya mencapai budaya perusahaan yang dicita-citakan ditentukan oleh para “tribal leaders” yang efektif.

Terdapat 5 tahapan tribal leadership yang mesti dipahami oleh tribal leaders untuk meningkatkan tribes/ suku ke level berikutnya, diantaranya:
• Tahap 1: tahapan yang diabaikan oleh para professional, ini adalah tribes/ suku yang tidak bersahabat, sebagaimana peran antagonis dalam drama-mereka menciptakan skandal, fraud, dan bahkan mengancam terjadinya pengrusakan.
• Tahap 2: Budaya dominan untuk 25% dari tribes/ suku di tempat kerja. Tahapan ini termasuk anggota yang secara pasif terdiri dari orang-orang antagonis, sarkastik, dan menolak inisiatif baru manajemen
• Tahap 3: 49 % tribes/ suku di tempat kerja ada dalam tahap ini, ditandai dengan pengumpul pengetahuan yang ingin mengatasi pekerjaan dan mengatasi pesaing mereka dalam basis individual. Mereka adalah “professional” yang tidak hanya ingin menang namun ingin menjadi yang terbaik di dalam organisasi mereka (“I’m great”).
• Tahap 4: transisi dari “I’m great” menjadi “we’re great” muncul dalam tahap ini dimana anggota tribe/ suku bekerja sama, beraliansi untuk perusahaan secara keseluruhan.
• Tahap 5: kurang dari 2% anggota dapat berinovasi untuk menggunakan potensi diri dalam lingkungan kerja yang menghasilkan dampak secara global.


Penutup

Sebagai penutup, peran tribal leaders di sini adalah mengidentifikasi pada tahap ke berapa organisasi ini berada, dan bahasa/ inisiasi apa yang mesti dilakukan oleh tribal leaders ini. Jika tribal leader organisasi merasa berada pada tahap tertentu, maka mereka harus dapat memahami, memotivasi dan menumbuhkan pemahaman terhadap tribe/ suku mereka sehingga friksi-friksi yang terjadi di dalam organisasi tidak akan membawa keberhasilan, dan bahkan kemajuan yang akan dinikmati bersama. Sehingga tribe/ suku akan berinovasi, menemukan cara-cara baru, untuk mengejar ketinggalan dan akhirnya meraih keberhasilan. Semoga!

Ramadhan Mania: Bulan Memperbaharui Wawasan

Pembaca sekalian, tak terasa umat Islam di berbagai belahan dunia kini menyambut bulan Ramadhan, bulan baik lagi mulia untuk penyegaran, berkontemplasi, memupuk kesetiakawanan, menambah amal dan wawasan, serta mengangkat derajat manusia berdasarkan amal-amalan baik yang dilakukan.

Teringat sewaktu sekolah dahulu, setiap malam selama bulan Ramadhan, penulis diwajibkan menuliskan ringkasan ceramah yang disampaikan oleh Ustadz/ penceramah dimana penulis biasa menjalankan Shalat Tarawih. Kebiasaan setiap bulan Ramadhan ini tetap ada-khususnya di sekolah-sekolah di Sumatera Barat. Dan terus-terang, kebiasaan ini membekas sehingga dalam box "Ramadhan Mania", penulis ketengahkan kuliah/ forum/ referensi link yang berguna untuk belajar dan menambah wawasan khususnya mengenai Islam.
Sengaja penulis ambil dari situs yang berbahasa Inggris dimana di belahan dunia lain, ada sekelompok minoritas yang hidup dalam tekanan sehingga mereka mengakui "It is the fastest religion but the most misunderstood". Mereka adalah muslim Amerika yang dengan bersemangat berusaha mendidik, mencerahkan mayoritas penduduk di negaranya yang non-muslim, bahwa Islam bukanlah agama yang mendorong terorisme di seluruh dunia, Islam adalah agama yang membawa kedamaian dan pencerahan. Upaya tersebut ada dalam video, blogs, artikel, buku, rekaman wawancara dapat pembaca nikmati. Silahkan kunjungi link situs seperti:
* Islam Life
* Level Truth
* Prophet of Islam
* The Deen Show

Dan insyaAllah, daftar link tersebut akan bertambah panjang.



Selamat menikmati bulan Ramadhan. Semoga bermanfaat.

Kamis, Juli 07, 2011

Bedol Desa Vs Employee Value Preposition



Pembaca sekalian pernah mendengar istilah "bedol desa"? Suatu kondisi dimana organisasi ditinggalkan oleh karyawan (secara serempak maupun perorangan) yang menduduki posisi kunci/ strategis/ senior untuk bergabung di perusahaan lain.

"Bedol desa" adalah fenomena yang lumrah di dalam organisasi dimana tulang punggungnya adalah knowledge worker dan modal/ assetnya adalah "otak/ brain". Fenomena ini diakibatkan oleh adanya ketidakseimbangan, ketidakstabilan, ketidaknyamanan, atau gejolak di dalam organisasi yang tidak tersalurkan, atau mungkin sudah dibicarakan namun tidak ada perubahan yang berarti.

Sehingga akibat dari hilangnya posisi-posisi kunci ini merugikan atau bahkan membahayakan perusahaan, sebagai perbandingan: dibutuhkan biaya 3-4 kali gaji yang untuk menggantikan seorang karyawan non-manajer yang mengundurkan diri. Dimana biaya tersebut sudah termasuk biaya perekrutan (mengiklankan, seleksi, wawancara kandidat hingga penempatan); merekrut kembali orang tsb, pelatihan, produktifitas yang hilang, waktu yang dihabiskan seorang atasan untuk membina karyawan baru tsb, dll. Sedangkan "kesalahan rekrut" seseorang pada level manajerial berakibat kerugian sebesar 24 kali gaji seorang karyawan. Kerugian yang diakibatkan dirinci dari biaya perekrutan, persiapan, kompensasi, biaya perjalanan, kesalahan, peluang yang gagal diambil, serta kerugian-kerugian bisnis lainnya.

Kerugian demi kerugian yang sebetulnya tidak perlu terjadi bilamana Manajemen perusahaan memiliki sedikit waktu untuk mengidentifikasikan serta mengkaji apa yang menjadi "Employee Value Preposition" perusahaan. Dengan kata lain, hal-hal apa yang menyebabkan karyawan bertsajaahan, membaktikan diri, berkarir, hingga pensiun pada organisasi yang sama. Dan kira-kira faktor-faktor apasaja yang menyebabkan organisasi bertahan lama oleh loyalitas pemegang posisi kunci. Pada artikel ini penulis mencoba menguraikannya.

"It" Factors
Setidaknya terdapat 7 faktor Employee Value Preposition yang "menahan" karyawan bekerja di perusahaan tempat ia bekerja dan menyandang predikat sebagai karyawan yang berprestasi tinggi/ "highly engaged within organization", diantaranya adalah:
1. Budaya perusahaan: sejauh mana nilai-nilai di dalam perusahaan memiliki kesamaan dengan nilai yang mereka miliki. Dari kegiatan wawancara penulis beberapa waktu lalu, karyawan yang memiliki prestasi tinggi dan sekaligus loyal dengan perusahaannya menjalankan nilai pribadi yang relatif identik dengan nilai yang dimiliki oleh perusahaan. Sehingga upaya yang mereka lakukan untuk adaptasi dalam unit kerja atau bahkan dalam organisasi terlihat effortless-seakan tanpa usaha. Karena mereka telah dibentuk sedemikian rupa oleh lingkungan dan keluarganya.

Kekuatan faktor pertama akan mempengaruhi 6 faktor berikutnya, yakni:
2. Kepemimpinan: sejauhmana pimpinan di dalam perusahaan mengakomodir aspirasi bawahan, mengembangkan mereka bahkan menjalankan ide, saran dan masukan dari mereka.
3. Sistem Manajemen Kinerja yang dijalankan oleh perusahaan: sejauhmana Manajemen menghargai orang-orang yang berprestasi dan memberikan penghargaan yang berimbang sesuai dengan kontribusi/ kerja keras yang mereka berikan.
4. Proses HR: sejauhmana peran HR dalam menjalankan program-program guna meningkatkan kinerja organisasi hingga memberdayakan anggota organisasi. Mulai dari
kualitas layanan HR hingga program pelatihan, promosi, remunerasi, dst
5. Core Production Process: sejauhmana proses inti produksi dijalankan perusahaan memiliki ownership di jajaran perusahaan-dimana mereka dapat memberikan masukan dan saran untuk perbaikan; berkreasi untuk perbaikan organisasi (dari sisi proses produksi); menciptakan produk-produk baru dan inisiatif lainnya.
6. Organizational Team & Job Design: sejauhmana efektifitas alokasi SDM dan desain pekerjaan mereka. Pekerjaan menjadi nyaman bilamana tidak terjadi segregasi pekerjaan yang menyebabkan pemegang jabatan terpapar risiko; beban/ load pekerjaan yang berimbang dengan kompensasi yang mereka terima, dst.
7. Individual & Team Competency: sejauhmana kinerja perorangan dan kompetensi tim yang mendukung terselesaikannya pekerjaan atau target-target.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan bertahannya organisasi dalam jangka waktu lama adalah adanya (1) fleksibilitas; (2) kerjasama; dan (3) kreatifitas. Sehingga hubungan timbal balik yang dipersepsikan karyawan terhadap organisasi, atau apa yang dapat diberikan organisasi kepada karyawan pada saat karyawan bekerja pada organisasi tersebut terjawab--sehingga secara alami membentuk employee value preposition tsb.





Melalui uraian di atas, bilamana fenomena Bedol Desa melanda organisasi anda, Anda setidaknya sudah tahu apa yang harus segera dilakukan. Semoga!