Jumat, April 29, 2011

GCG Vs Kekokohan Budaya Perusahaan

Ketika konsep-konsep GCG (Good Corporate Governance) serta proses GCG assessment mulai diperkenalkan di korporasi Indonesia, ketika akhir cerita yang diharapkan dari membaiknya implementasi GCG adalah budaya yang kokoh, meningkatnya enterprise value added, hingga perusahaan menjadi tujuan para investor untuk menanamkan modalnya. Namun di kemudian hari, dimana GCG hanya menjadi pajangan di estalase dokumen perusahaan yang mesti dilengkapi oleh sebuah perusahaan, maka gaung GCG mengalami sedikit penurunan pada tahun-tahun belakangan ini.

Pembaca sekalian, kekokohan suatu budaya perusahaan dibangun oleh GCG yang solid. GCG adalah landasan bagi bertahannya budaya perusahaan dan merupakan barometer dari kuat/ lemahnya budaya perusahaan dari masa ke masa. Mengapa GCG? Karena di dalam prinsip dasar GCG ada satu prinsip yang wajib dimiliki oleh jajaran perusahaan, yakni Akuntabilitas.


Kekuatan Akuntabilitas Jajaran Perusahaan

Akuntabilitas sebagai salah satu dari lima Prinsip GCG, yang berarti: sejauhmana kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Perusahaan sehingga terdapat keseimbangan kekuasaan dan pengelolaan Perusahaan secara efektif. Dan tidak hanya sampai di situ, akuntabilitas pemuncak perusahaan diturunkan hingga pada akuntabilitas skala terkecil: para jajaran perusahaan. Akuntabilitas mikro ini terdapat di dalam job description, kontrak kerja, sistem manajemen kinerja dan sistem-sistem lainnya. Secara merata kepatuhan terhadap pemenuhan target-target ditunjukkan oleh jajaran perusahaan kepada manajemen tanpa ada sisipan kata-kata "tetapi" sebagai suatu excuse atau pengecualian.

Pemenuhan akuntabilitas perusahaan dari hari ke hari berbuah pada peningkatan kinerja perusahaan, dimana hal ini ditunjukkan dengan akuntabilitas pimpinan unit yang tinggi terhadap kinerja tim-nya. Efeknya adalah kekuatan intangible yang menggerakkan jajaran lain untuk memberikan yang terbaik.

Tentunya kekuatan akuntabilitas ini tidak terlepas dari pemenuhan dan perimbangan prinsip-prinsip GCG lainnya, yakni: Transparency, Responsibility/ Tanggungjawab, Independency & Fairness.


Kiranya esensi yang membedakan kuat atau lemahnya budaya perusahaan yang satu dengan dengan perusahaan lainnya dapat terjawab dari tulisan ini.

Rabu, April 20, 2011

"Ada banyak jalan menuju ke Roma"

















Pepatah ini agaknya berlaku bagi implementasi Budaya Perusahaan. Budaya Perusahaan sesungguhnya adalah bagaimana perubahan dapat dijalankan oleh perusahaan “by any means” -- di masa mendatang akan membawa perubahan di berbagai aspek. Proses implementasi budaya perusahaan ini tidak melulu didominasi oleh organisasi yang sudah mapan, memiliki sistem yang terintegrasi dan canggih, memiliki SDM dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Program ini dapat dimulai dari organisasi yang baru berdiri, tidak memiliki sistem IT, dan bahkan di organisasi yang sedikit mengalami "chaos".

Mengapa? karena program budaya adalah program yang secara universal membentuk, menyemai, menumbuhkan, hingga memanen cara kerja, perilaku sehari-hari karyawan hingga "asumsi dasar" karyawan secara berkelanjutan. Sehingga setiap anggota organisasi secara bersama-sama dapat menikmati hasil akhir dari terbentuknya budaya, baik ataupun buruk. Dan wajar jika strategi ini dapat dijalankan di organisasi manapun dan pada situasi dan kondisi apapun.

Jalan Menuju Roma
Beragam program tematik budaya perusahaan dapat dijalankan perusahaan yang menyampaikan isyarat, pesan-pesan, dari Manajemen. Salah satu kasus yang akan dibahas dalam artikel ini adalah implementasi Budaya perusahaan melalui "Restrukturisasi Fungsi SDM". Program ini berjalan efektif pada organisasi yang belum mapan, atau organisasi yang baru menuju tahap "dewasa/ mature", atau bahkan organisasi yang baru terbentuk. Pada kasusnya, organisasi ini telah merekrut “talent” dari organisasi manapun, tanpa memperhatikan sejauhmana talent tersebut dikembangkan. Seiring dengan semakin membesarnya organisasi, Manajemen merasa bahwa kebutuhan untuk menata organisasi sudah sangat mendesak, mengingat pesatnya perkembangan organisasi yang mulai memiliki cabang bahkan anak perusahaan di beberapa daerah.

Melalui program ini, Manajemen mulai membenahi fungsi SDM yang secara konsisten menyampaikan pesan kepada karyawan bahwa perusahaan kini tengah serius membenahi sistem internal perusahaan. Untuk itu, sub sistem HR seperti: manajemen kinerja, golongan atau kepangkatan, sistem remunerasi, hingga akuntabilitas jabatan mulai dibenahi. Harapannya adalah karyawan dapat memiliki kejelasan tugas dan tanggung jawab berikut panduan dalam bekerja, serta kinerja yang terukur. Inilah yang terpenting bagi organisasi yang baru berkembang.

Pembaca sekalian mungkin bertanya-tanya: mengapa implementasi Budaya Perusahaan di perusahaan tadi dimulai tahapan yang sederhana? Sebagaimana yang dijelaskan di atas, implementasi Budaya Perusahaan bukanlah merupakan sesuatu hal yang muluk, seperti: meningkatkan image perusahaan, atau melaksanakan event meriah yang diramaikan oleh Direksi, para Stakeholders, bersama karyawan-dimana perusahaan telah memiliki “core values”, logo, emblem, poster, dan sebagainya.

Komitmen yang Menentukan
Program kerja apapun yang bergulir di Perusahaan membutuhkan komitmen. Dimana komitmen adalah perwujudan Manajemen yang dengan penuh kesungguhan menjalankan perubahan. Lebih lanjut, komitmen Manajemen tersebut akan terwujud melalui eksekusi program-program yang akan menggerakkan setiap unsur di dalam perusahaan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja perusahaan. Manajemen selain diharapkan untuk menjadi eksekutor bagi sistem yang akan dijalankan, mereka diharapkan menjadi “role model” dan sekaligus berlaku sebagai “change agent”. Inilah yang terpenting: Manajemen selanjutnya menjadi penggerak dan sekaligus memastikan terlaksananya “Value, System & Behavior” yang secara implisit sudah terkandung di dalam program budaya/ inisiasi/ strategi tersebut.

Beban Manajemen sebagai “role model” dan change agent” pada saat awal strategi implementasi Budaya Perusahaan dijalankan sungguh tidak mudah. Tapi di sinilah kekuatan Manajemen teruji, baik dari sisi kepemimpinan, komunikasi, hingga konsistensi nilai-nilai mendasar atau core value yang dimiliki pimpinan. Selanjutnya memperkenalkan sesuatu yang baru tentunya akan menimbulkan tanda tanya, ketidakpastian, dan bahkan penolakan dari karyawan atau bahkan dari rekan kerja sendiri. Sehingga pembekalan bagi “role model” dan “change agent” harus senantiasa dijalankan perusahaan demi terpeliharanya perbaikan dan perubahan yang berkelanjutan.

Akhir Perjalanan
Akhirnya, tekad dan kekuatan komitmen Manajemen yang secara terus menerus diuji dalam membenahi organisasi kini menemukan jalannya. Pembenahan tata personalia di perusahaan ini mulai membuahkan hasil: karyawan menjadi lebih termotivasi dalam bekerja; akuntabilitas Manajemen yang tersistem menjamin karyawan atau talent yang berprestasi baik akan diganjar dengan reward yang setimpal; kinerja perusahaan baik secara agregat maupun secara unit kerja meningkat; lingkungan kerja yang sehat dan penuh semangat mulai dirasakan di seluruh cabang, dan anak-anak perusahaan bahkan di Kantor Pusat.