Selasa, November 16, 2010

Ted.com: Berbagi Pengetahuan secara Global

Belakangan, trend "knowledge sharing" atau berbagi pengetahuan tidak hanya terfokus di lingkungan korporasi, yang dampaknya akan memperkaya intellectual capital korporasi. Namun trend ini semakin tersebar merata bagi masyarakat luas (society).

Belakangan ini penulis menyimak sebuah website menarik pembaca sekalian ikuti: www.Ted.com, sebuah lembaga non-profit yang ingin menyebarkan ide-ide dari dan ke seluruh belahan dunia. Pembicara direkam dalam sebuah acara knowledge sharing, mempresentasikan ide yang didapat dari temuan, pengamatan, pengalaman, perjalanan, dst, dalam durasi 7, 8 hingga 18 menit. Dibagikan secara jenaka, serius, santai, hingga yang menimbulkan perasaan haru. Berikut ini beberapa acara knowledge sharing yang menarik, pilihan penulis:

Simak bagaimana Melinda Gates (istri dari Bill Gates) berbagi pengalamannya selama bekerja di NGO, dan keinginannya agar NGO dapat memberikan layanan seefektif dan seefisien "Coca Cola". Menurut observasi Gates, minuman Coca Cola mampu mencapai gurun afrika yang terpencil sekalipun sebagai penawar haus, lalu mengapa bantuan NGO tidak bisa? Pesan kampanye kesehatan bahkan dikritik, diulas dan dibandingkan dengan marketing Coca Cola.
Seorang ilmuwan eksentrik, Shimon Steinberg, yang berbagi pengetahuannya di bidang serangga. Beliau ingin menyeimbangkan alam dengan penggunaan "serangga predator", sang "pemangsa hama" alami. Sehingga untuk merawat tanaman tidak lagi memerlukan bahan kimia: cukup dengan menyebarkan beberapa kapsul yang berisikan "serangga predator mikro" yang tak terhitung banyaknya untuk beberapa hektar tanaman.
Seorang psikolog Inge Missmahl, membagikan pengalamannya sepulang dari Afganistan. Dedikasinya untuk memberikan konseling kepada janda-janda dan para korban perang lainnya (wanita dan anak-anak) menggugah penulis. Ia membentuk kelompok konseling masyarakat semacam multilevel konseling. Beliau mengharapkan kelompok konseling mandiri ini mampu mengobati mereka dari luka-luka bathin yang diakibatkan oleh peperangan.
Juga seorang ilmuwan Nicholas Christakis, melakukan percobaan dengan menyebarkan "virus flu" jinak untuk dapat diaplikasikan ke dalam metode marketing. Ia menyatakan jika "virus" tersebut berupa produk/ jasa baru, dengan menggunakan metode penyebaran ini, berapa banyak orang yang akan tertular dapat diperkirakan menggunakan software yang ia miliki.
Simak juga Patrick Chappatte, yang menceritakan tentang kekuatan dari kartun; bagaimana penerimaan kartun di beberapa negara; dan masa depan kartun ke depan-mengingat semakin terbatasnya oplah media cetak-sebagai media ekspresi dan profesi kartunis.


Dan masih banyak lagi ide-ide menarik yang dipersentasikan secara langsung di ted.com.

Penulis rasa trend "berbagi pengetahuan" secara live melalui situs-situs semacam www.ted.com akan menjadi trend di tahun-tahun mendatang. Di mana ide-ide akan disebar secara gratis, mencetuskan masuknya para enterpreneur, para dermawan dan penggiat sosial kemasyarakatan bagi terciptanya dunia yang lebih baik. Semoga Saja!

Selasa, November 09, 2010

Antara Proses, KPI dan PIC dalam Manajemen Kinerja

Siang yang cukup panas, kami membahas lesson learned dari suatu organisasi yang baru saja menerapkan manajemen kinerja secara tersistem. Kemudian di tengah-tengah diskusi terdapat beberapa pembahasan, seperti:
(1) Bagaimana memperkenalkan manajemen kinerja di tengah budaya kerja yang masih komunal/ kekeluargaan? Mengingat segala sesuatunya dikerjakan bersama-sama;
(2) Bagaimana agar sistem pengelolaan manajemen kinerja berjalan secara tepat guna, dimana setiap jajaran atau insan organisasi secara akuntabel memenuhi target-target yang disyaratkan di setiap sesi pertanggungjawaban kinerja?;
(3) Bagaimana para PIC atau "penanggung jawab" pekerjaan tidak saling menyalahkan, bilamana mereka tidak mampu mencapai target yang diharapkan?

Menerapkan manajemen kinerja secara tersistem terkadang menyebabkan berbagai penyesuaian, gejolak, bahkan penolakan. Pengelolaan kinerja diukur dengan menggunakan KPI (key performance indicator) mulai dari tataran direktorat, divisi, departemen/ unit hingga individual. Ia juga memiliki dua sisi: pengelolaan kinerja mampu meningkatkan moral/ semangat jajaran perusahaan bilamana memiliki "dampak rupiah langsung" terhadap karyawan (seperti: promosi, bonus dan benefit lain)... Namun di sisi lain, kegagalan memenuhi KPI dapat dijadikan sebagai "alat represi" bagi karyawan (seperti: memberlakukan sanksi, mutasi, demosi, dll).

Beberapa kali penulis mendapatkan pengalaman di dalam menerapkan manajemen kinerja secara tersistem, dimana akibat penerapan tersebut suasana kerja yang semula tenang menjadi keruh dan penuh dengan permusuhan. Sehingga ada yang salah di balik penerapan manajemen kinerja tersebut.

Antara Proses, KPI dan PIC dalam Manajemen Kinerja
Mula-mula, untuk menyelesaikan suatu pekerjaan diperlukan serangkaian tahap pekerjaan yang terangkum di dalam prosedur.... Ada kalanya pada saat menyelesaikan pekerjaan diperlukan beberapa orang, hingga pekerjaan tersebut terselesaikan. Setiap orang yang terlibat di dalam proses tersebut diikat oleh KPI, dan orang yang diikat oleh KPI tersebut merupakan penanggung jawab/ PIC dari penugasan tersebut.
Bilamana tidak ada klaritas atau kejelasan antara proses, KPI dan PIC di dalam menyelesaikan pekerjaan, maka yang akan terjadi adalah ketidak pastian dan berakibat keruhnya suasana kerja.

Untuk menguji kembali apakah tahapan pekerjaan diselesaikan secara baik dan taat prosedur, maka kegiatan yang lazim dilakukan adalah proses audit. Hal yang menjadi bahan audit mula-mula adalah apakah proses/ prosedur/ instruksi pekerjaan telah dimiliki unit kerja/ departemen, divisi, hingga direktorat ybs. Lalu tahap kedua adalah apakah PIC atau penanggung jawab dari pekerjaan ini telah ditunjuk dan mencukupi; dan ketiga adalah apakah ada ukuran/ standar bahwa pekerjaan ini dilaksanakan/ berhasil baik.

Sehingga ke depan tidak ada lagi perdebatan, pertengkaran yang berakar dari ketidak jelasan penentuan PIC, KPI dan proses. Karena sedari awal telah ada kejelasan mengenai sebatas mana menjadi tanggung jawab para PIC, hal-hal apa yang harus dilaksanakan PIC, berikut proses/ prosedur yang mengaturnya. Semoga.

Senin, November 08, 2010

Catatan Perjalanan di KA

2 minggu terakhir ini, penulis berkesempatan menempuh perjalanan via KRL. Perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan, mengingat ini bukan rute KRL yang biasa penulis tempuh. Namun di sepanjang perjalanan terdapat banyak pelajaran yang penulis dapati.

Pembangunan daerah di sepanjang KRL berkembang sangat pesat, dalam jangka 3 tahun: jembatan, jalan, perombakan lahan pertanian menjadi perumahan biasa ditemui. Demikian juga dengan penduduknya yang kian berbenah mengingat adanya kemudahan akses ke dan dari Ibu Kota untuk keperluan bisnis.


Scene 1:
Daerah yang penulis kunjungi cukup padat dan berkembang pesat. Penulis menemui sebuah keluarga yang cukup terpandang dan dapat dikatakan sebagai sesepuh di daerah tsb. Penulis kemudian menyempatkan bercakap-cakap dengan anak-anak beliau yang lulus SMU. Dari percakapan, mereka telah menamatkan SMU dan menganggur cukup lama, mengingat mereka sangat ingin mengikuti perkuliahan di Ibu Kota. Hanya saja mahalnya biaya pendidikan membuat mereka memendam keinginan melanjutkan sekolah. Tak berhenti sampai di situ, penulis kemudian menanyakan apa saja kegiatan mereka selama menganggur.

Penulis tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Karena penulis merasa mereka anak-anak yang malas berusaha, menyalahkan jerih payah orang tua yang tidak mampu memfasilitasi mereka untuk melanjutkan kuliah. Atau sebaliknya: mereka tidak dapat menjalankan aspirasi mereka sehingga kalah suara dari orang tua. Dan dari pengamatan, mereka cukup senang dengan menikmati "masa-masa tanpa kegiatan" ini, sedangkan di kiri-kanan jalan, terdapat begitu banyak peluang usaha yang dapat mereka jajaki.


Scene 2:
Dalam perjalanan pulang, bertemu pula penulis dengan pemuda-pemudi yang ingin meramaikan stadiun sepak bola. Dengan bergerombol, mereka menyanyikan yel-yel yang kurang pantas didengar telinga dan merokok sesukanya. Di tengah sesaknya penumpang, penulis memenuhi rasa ingin tahu dengan bertanya pada koordinator-yang kebetulan duduk di sebelah penulis: "Mengapa mereka tidak menonton TV saja di rumah. Toh mereka tidak perlu berdesak-desakan di sini?" Koordinator tsb menjawab: "Di stadiun kami dapat mengekspresikan diri, berteriak, bernyanyi bersama teman-teman & merasakan kebersamaan... hal yang tidak dapat kami lakukan jika berada sendiri di depan TV".
Penulis mengangguk-angguk tanda setuju. Bisa jadi begitu... Karena penulis sangat memahami di usia seperti mereka kebutuhan yang mendominasi adalah kebutuhan kebutuhan untuk diterima di suatu kelompok (berkumpul bersama teman-teman).

Kebutuhan untuk berkumpul bersama teman-teman menjadi kegiatan salah kaprah dan ditunjukkan dengan "mengekspresikan diri", dengan bergabung menjadi anggota "hooligan" fanatik sepak bola pada usia yang sangat muda.


Scene 3:
"Mereka adalah mahasiswa siap acting!" sahabat penulis memaparkan pengalaman pribadinya selama beberapa semester menjadi dosen di suatu perguruan tinggi swasta.
"Mereka hidup dalam ilusi. Karena angan-angan, mereka terjebak dalam hidup yang kurang sehat & tidak realistis...."
Penulis menanyakan mengapa mereka bisa sampai seperti ini, mengapa tidak menekuni sekolah acting atau masuk ke dunia teater?
Dan jawabannya adalah mereka kuliah karena keinginan/ paksaan orang tua. Mereka tidak dapat memilih atau menyuarakan aspirasinya, sehingga mereka secara perorangan sangat giat mengikuti berbagai sesi casting.


Dari ketiga fragmen atau scene di atas, meskipun terlihat acak, namun sesungguhnya 3 kejadian di atas sangat berhubungan dengan issue Parenting: hubungan harmonis antara anak & orang tua. Bagaimana anak-anak memilih meluangkan waktu, berteman, menentukan jalan hidup mereka dan bagaimana orang tua berkomunikasi, menanamkan nilai-nilai, dan memahami anak-anak mereka...

Tidak tercapainya kesepakatan antara si anak dengan orang tua menimbulkan kondisi di mana si anak memilih hidup di tengah-tengah "Kesepakatan untuk Tidak Sepakat, pemberontakan, dsb"... yang diekspresikan mereka dengan berbagai cara, bergerombol tak tentu arah untuk menentukan "nasib sendiri", syukur-syukur "secara kebetulan" seorang agen/ pencari bakat/ investor, dsb akan merekrut mereka mencapai pekerjaan/ cita-cita yang mereka impi-impikan.


Penutup
Perjalanan dalam 2 minggu ini menarik penulis pada pelajaran bahwa semua berpulang dari bagaimana budaya dalam keluarga diterapkan, komunikasi dan pengertian antara kedua belah pihak. Tentunya kita tidak ingin melihat generasi muda yang seharusnya sarat dengan idea dan produktif ini jatuh ke dalam lembah keterpurukan, bahkan merusak diri sendiri.
Orang tua hendaknya lebih memahami apa yang mereka inginkan, sambil mengarahkan mereka sedari usia dini bahwa di setiap pilihan ada risiko & harga yang harus diambil.

Dan untuk mencapai cita-cita dan atau pilihan karir yang diinginkan tidak ada cara yang instan, tentunya ada proses yang harus dilalui.
Orang tua bersama anak sedapat mungkin menyusun strategi jangka panjang dalam bentuk "langkah-langkah realistis" yang harus diambil. Paling baik jika aspirasi anak2 dapat teridentifikasi di usia sedini mungkin...
Dan tentunya pilihan-pilihan tsb hendaknya senantiasa dikomunikasikan bersama orang tua.

Besar harapan penulis anak-anak tsb dapat menghabiskan waktunya melalui kegiatan yang bermanfaat, menemukan aspirasi mereka, tersalurkan secara positif, dan didukung sepenuhnya oleh orang tuanya. Semoga saja!