Kamis, September 23, 2010

KM dalam Keluarga

Setelah beberapa lama mendalami Knowledge Management, secara sistematis penulis mulai mengaplikasikan di dalam korporasi melalui HR strategic roadmap, knowledge sharing, pembuatan SOP, menuliskan pengalaman sehari-hari melalui blog ini, hingga berbagi ebook dengan relasi atau rekanan kerja.

Namun ada satu hal yang cukup mengganggu penulis, jika korporasi "bertambah kaya" dengan asset intelektual dan kehadiran para "knowledge workers", lalu bagaimana dengan KM di tengah-tengah keluarga? Dapatkah pembaca sekalian dapat menghadirkan suasana knowledge sharing di dalam keluarga?

Jawabannya: tentu saja bisa dan hal ini bukanlah hal yang sulit dilakukan. Menghangatkan suasana keluarga dengan knowledge sharing adalah dengan membuka komunikasi terbuka diantara anggota keluarga. Bercengkrama, menceritakan pengalaman sehari-hari, hingga mendemonstrasikan apa yang mereka (balita atau anak-anak) dapatkan pada hari itu. Lebih lanjut, keahlian mendengarkan secara aktif, kesiapan anggota keluarga memberikan saran, masukan atau dukungan akan semakin mengefektifkan proses knowledge sharing sehari-hari. Knowledge sharing akan berbeda takarannya, dan dilakukan dengan cara berbeda sesuai dengan tingkatan usia.

Untuk balita atau anak-anak, orang tua sepulang kerja bercengkrama sambil menanyakan: "Ananda di sekolah belajar apa?" "tadi di sekolah ananda berenang ya?" "Ananda sudah menghafal surat apa? coba mama dengar.." Si anak tentunya akan sangat antusias-tanpa ditanya akan menceritakan pengalaman yang mereka alami dan mendemonstrasikan "kepandaian baru" mereka. Mendengarkan secara aktif juga membantu si anak untuk lebih banyak mengeksplor hal-hal apa yang mereka sukai, bagaimana perasaan mereka pada saat berada di kolam renang, dsb.

Untuk yang lebih dewasa, metodenya tentu berbeda. Baru-baru ini penulis bereksperimen mengajarkan penggunaan "jejaring web 2.0" kepada baby siter di rumah. Singkat cerita, "demam" jejaring pertemanan sosial berbasis web tersebut melanda para baby siter di sekitar tempat tinggal penulis. Setelah penulis perhatikan beberapa lama, ternyata terdapat "etika tak tertulis" yang kurang lebih sama dengan para pengguna jejaring web yang relatif berpendidikan tinggi: bahwa mereka lebih menyukai info yang bermanfaat dan memotivasi, daripada menjadikan sesi "update status" sebagai ajang untuk berkeluh-kesah.

Bagaimana dengan anak-anak sekolah? Membiasakan mereka membaca buku, mengenalkan mereka dengan berbagai media (tulis, cetak, TV), berdiskusi secara aktif untuk mengasah daya analisis mereka, menanggapi pertanyaan-pertanyaan kritis mereka, dan meningkatkan keingintahuan mereka; ini merupakan cara-cara yang sederhana (dan tidak banyak mengeluarkan biaya).


Jadi, siapa bilang KM itu hanya milik korporasi?

Kamis, September 16, 2010

Menanamkan Nilai-Nilai di Tengah Keluarga

Setiap organisasi, termasuk organisasi keluarga, perlu menanamkan nilai-nilai kepada anggotanya. Pentingnya nilai, dari sisi organisasi, karena mereka adalah haluan atau “true north” organisasi ditengah perubahan kondisi dan situasi lingkungan yang cenderung berubah. Dalam perjalanan waktu, setiap anggota organisasi bahkan anggota keluarga tidak akan mudah kehilangan arah dan akan terus mempraktikkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang telah ditanamkan dan bertumbuh dalam dirinya, meskipun hal tersebut sulit dijalankan atau bahkan akan menyulitkan dirinya.

Baru-baru ini penulis terlibat dalam sebuah pembicaraan hangat dan menjadi topik kali ini. Pasangan keluarga yang sudah cukup lama penulis kenal membahas seputar anak-anak mereka. Setelah lama bercengkrama, pasangan tersebut kemudian menanyakan 3 pertanyaan kepada penulis:
• Mengapa si Buyung tidak mau belajar?
• Mengapa si Upik tidak berprestasi, meskipun kami telah habis-habisan berinvestasi pendidikan di tempat-tempat terbaik?
• Lalu ada apa dengan mereka?

Penulispun menjawab pertanyaan mereka dengan memberikan 3 pertanyaan:
• Apakah ada lingkungan yang memungkinkan mereka belajar? Ruangan yang memberikan ketenangan, orang yang senantiasa mengingatkan & menyemangati mereka untuk terus belajar?
• Apakah orang tua mengontrol "output" dari investasi pendidikan tsb dan memberikan arahan?
• Apakah orang tua memperkenalkan "konsekuensi hidup" kepada mereka (disiplin)?

Sesaat merekapun terdiam, namun berusaha menjawab pertanyaan penulis dengan berbagai argumen, solusi, dan dilema yang mereka alami ketika mengeksekusi 3 hal yang telah penulis tanyakan. Ananda telah diberikan fasilitas, ruangan belajar, privasi, line internet 24 jam, kegiatan ekstra kulikuler yang terstruktur. Imbuh mereka: ananda telah diberikan nasihat dan arahan setelah melihat laporan pendidikan yang sedang/telah mereka ambil dan bahkan merekapun tak sempat memiliki waktu untuk diri mereka sendiri... Semua pengorbanan ini demi masa depan ananda.

Penulis lalu terlibat pembicaraan dengan anaknya:
“Kamu tahu nanti sudah besar ingin jadi apa?”
Sejenak dia terdiam dan menjawab-yang penulis rasa merupakan jawaban sekenanya: “Hmmm, aku mau jadi dokter.”
"Kamu tahu apa yang harus dilakukan jika ingin jadi dokter?"
“Nilai IPA-ku harus tinggi... Aku harus bisa IPA”
“Bagus, apakah sekarang apakah nilai IPA-mu tinggi?"
“Nggak..”
“Kamu punya cita-cita lain?”
“Ada, aku mau jadi psikolog.”
“Apa yang harus kamu lakukan jika kamu ingin jadi psikolog?”
Hening sesaat....
Penulis katakan: “Kamu harus bisa matematika, kamu harus tahu tentang "sebab dan akibat" atau logika. Karena itu menjadi psikolog yang hebat matematika-nya harus hebat”


Dari percakapan tersebut mereka cukup kaget dengan tutur kata anaknya yang mengalir dengan jernih ini. Penulis meyakini ia adalah produk sebuah lingkungan, produk budaya sebuah keluarga.


Jadi, jika sang anak suatu saat ditanya tentang cita-cita namun sang anak tidak tahu mau jadi apa. Maka waspadalah, sang anak belum punya bayangan atau strategi bagaimana untuk mencapai cita-cita tsb, apalagi jika mereka tidak dikelilingi oleh "contoh teladan" yang biasa mengajari dan menyemangati mereka.
Dan di sisi lain, jika orang tua tidak tahu batas-batas mana yang "pantas" dan yang "sudah melampaui batas" untuk mengukur tolok ukur keberhasilan sesuai dengan dengan tingkat perkembangan usia mereka, maka merekapun tidak akan paham kapan cut-off investasi dilakukan. Dan ini diperparah lagi dengan ketidaktegasan dalam memberikan konsekuensi kepada anak dan seperti apa bentuk investasinya (apakah mendidik dan sejalan dengan tingkat perkembangan usia?).

Dalam lamunan perjalanan pulang, penulis tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Penulis melihat ini adalah "potret derivatif" dari nilai yang diturunkan dari generasi ke generasi: mereka akan pergi kemanapun angin bertiup, mengikuti apa yang dimiliki orang-orang kebanyakan tanpa tahu bagaimana memanfaatkan atau mendapatkan nilai tambah dari fasilitas dan kemudahan yang diberikan...
Di sisi lain orang tua secara konsisten merefleksikan kepada mereka bahwa esensi menjalankan hidup adalah "seperti" kebanyakan orang, dari pada “menjadi” diri sendiri dan mandiri.


Lalu, bagaimana dengan nilai keluarga anda?

Rabu, September 15, 2010

Meningkatkan Nilai Tambah Modal Intelektual melalui E-learning

Lama tidak mendengar kabar dari teman lama, penulispun terlibat percakapan yang menjadi inspirasi artikel kali ini. Seorang teman lama pindah kerja (alasan: tidak mendapatkan akses internet dan merasa hidupnya seperti berada di wilayah terpencil); dan seorang lagi berada dalam kondisi "lucu-lucunya": diburu banyak head hunter (s).

Pembaca sekalian, perkembangan teknologi informasi secara global telah banyak sekali memberikan kemudahan. Didukung infrastruktur (jaringan internet) yang memadai, teknologi ini mampu menghubungkan orang maupun mesin dari berbagai belahan dunia, memudahkan para penggunanya untuk berbagi maupun memperoleh pengetahuan, bahkan dapat menciptakan bisnis.

Namun dampak dari kemudahan yang dijanjikan dan didengung-dengungkan selama ini tidaklah dimanfaatkan secara maksimal, bahkan dirasakan secara merata oleh para pengguna internet. Mengapa? Karena hal ini tidak diimbangi dengan pengembangan soft skill pengguna internet, seperti: (1) e-learning, (2) browsing/ surfing , mencari links yang bermanfaat bagi peningkatan kompetensi (baca: aktualisasi diri), hingga (3) mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan bisnis, bakat-bakat tersembunyi dan bahkan menimba ilmu pengetahuan baru secara mandiri maupun berkelompok.

(1) E-learning merupakan metode belajar virtual, dilakukan baik secara formal maupun informal, meningkatkan kekayaan "intangible asset" perorangan dan bahkan perusahaan. E-learning membutuhkan kedisiplinan, karena yang menentukan apakah bermanfaat atau tidaknya e-learning tersebut berpulang pada para pengguna internet.

(2) Menumbuhkan kebiasaan browsing/ surfing links secara teratur, terstruktur, dan memiliki tujuan tertentu (seperti pengembangan karir, pengembangan bisnis, pengembangan minat dan kompetensi anak2, dst) akan sangat bermanfaat bagi pengguna internet dalam jangka panjang. Seringkali bahasa, minat dan ketekunan menjadi keterbatasan pengguna karena karakteristik pengguna internet yang hanya ingin "informasi", "sensasi", dst, bukan pengetahuan. Sehingga seringkali pengguna terjebak dalam kegiatan memiliki dampak pada jangka pendek yang tentunya menguras waktu dan energi, namun untuk manfaat yang "sesaat". Bandingkan jika pemanfaatan sumberdaya tersebut untuk membentuk kebiasaan "meningkatkan nilai tambah" Modal Intelektual.

(3) Membentuk kebiasaan untuk mengkesplorasi batas-batas pengetahuan pengguna internet. Percayalah, merentangkan dan menambah wawasan membuat hidup semakin kaya dan berarti. Hal ini memungkinkan berkembangnya minat-minat baru, menumbuhkan bakat-bakat yang tidak disadari ada, dan mendapatkan rekanan/ teman-teman baru yang sama-sama memiliki minat dan sebagai tempat berbagi pengetahuan.


Peningkatan Modal Intelektual tidak akan terjadi tanpa adanya disiplin, kemandirian dan kemauan untuk mendapatkan hasil akhir (tujuan/ target) yang diinginkan. Peningkatan Modal Intelektual hendaknya didukung oleh skill, seperti: (1) pintar memilah mana yang informasi dan mana yang pengetahuan; (2) menciptakan rutinitas bagi pengembangan soft skill (mana yang memiliki bermanfaat jangka panjang dan mana yang memiliki manfaat jangka pendek; dan mana yang bernilai dan mana yang tidak).

Akhir kata, sudahkah Anda meningkatkan nilai tambah Modal Intelektual hari ini?

Senin, September 06, 2010

Krisis Wawasan Nusantara

Akhir-akhir ini bahasan tentang “Wawasan Nusantara” menghangat di tengah-tengah terjadinya krisis moral. Multi krisis yang terjadi saat ini adalah gabungan dari ketidakpedulian, sempitnya pikiran yang bermuara pada semakin terpuruknya Indonesia di kancah pergaulan internasional.

Baru saja Indonesia memperingati kemerdekaan yang ke-65, atas nama kapitalisme negara dijual, tanah tumpah darah Indonesia. Dari sisi karakteristik generasi atau cohort, (corporate) culture dan knowledge management, tali temali krisis ini akan penulis coba uraikan.

Generasi/ cohort pada saat saat penulis dibesarkan lagu-lagu perjuangan biasa dikumandangkan di sekolah-sekolah; penulis masih banyak mendapati saksi hidup, para pejuang kemerdekaan Indonesia yang menceritakan suka-duka kehidupan pra-kemerdekaan; masih solidnya ritual kebangsaan, seperti: upacara bendera, program P 4, pembacaan teks dan aktualisasi Pancasila, mata kuliah mengenai kewiraan (tentang wawasan nusantara), dst. Lebih lanjut, apresiasi terhadap sejarah dan sastra Indonesia yang masih selaras dengan perkembangan sastra saat penulis bersekolah.
Dari sisi Budaya, ritual di atas hanyalah kulit luar saja, belum dari sisi internalisasi atau penyemaian nilai-nilai dan dijalankannya nilai-nilai dengan utuh, dimana ini merupakan tanggung jawab setiap keluarga dan masyarakat.


Seiring dengan laju pembangunan Indonesia, generasi tua pun berganti dengan "generasi penerus". Lalu apa-apa yang dulu dialami dan dirasakan oleh cohort/ generasi penulis, pada generasi yang lebih muda semakin kurang dipraktikkan dan dirasakan.
Ini bisa dimengerti karena "generasi penerus" mengekspresikan kemerdekaan dengan pembangunan yang berkesinambungan. Kesibukan "generasi penerus" ini ternyata mengesampingkan nilai-nilai kecintaan kepada Tanah Air, rasa bangga dengan produksi berikut intelectual capital dalam negeri, karena mereka telah dibombardir dengan konsep modernisasi dari luar. Akibatnya budaya konsumerism (demonstration effect) kian menjamur. Sehingga tidak heran, berbelanja barang bermerk/ "branded", berlibur ke luar negeri, dst menjadi sangat wajar bahkan wajib dilakoni.

Dari sisi knowledge management, bangsa yang secara geografis berada di persimpangan ini semakin mengalami krisis. Tiadanya filter yang kuat, menjadikan lagu-lagu perjuangan menjadi asing di telinga anak-anak, berganti dengan lagu-lagu orang dewasa serta trend "kekinian" yang kurang mendidik; nilai-nilai serta apresiasi terhadap sejarah dan sastra Indonesia tidak lagi diperbaharui dan diaktualisasikan sesuai dengan tantangan yang ada pada saat ini; pendidikan moral di ranah publik sangat buruk, banyak menampilkan budaya permisif; lalu pengajaran yang berkaitan dengan konsep kebangsaan dianggap kuno, kolot, bahkan dihilangkan karena dianggap sebagai produk Orde Baru.

Sekarang kita menuai akibatnya, kecintaan kepada negara ini kian meluntur, berganti dengan kepentingan segolongan kecil di atas golongan yang besar; toleransi dan tepa selira terhadap sesama semakin berkurang, ini ditunjukkan semakin banyaknya kerusuhan yang terjadi dan timpangnya perekonomian (baca: gap antara si kaya dengan si miskin); mekanisme pertahanan dan ketahanan ekonomi dimaknai dengan mementingkan kepentingan sendiri, ditandai melonggarnya peran dan keberpihakan pemerintah di sektor riil.

Sepertinya tidak ada lagi nilai-nilai yang mengikat, dan menjernihkan pikiran orang-orang yang berada di puncak-puncak kekuasaan. Sepertinya tidak ada lagi rem yang mengontrol orang-orang yang memiliki "kekuatan absolut" ini.. dan sepertinya, nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh generasi terdahulu hilang entah ke mana, berganti dengan boneka-boneka yang dikontrol "orang luar" atau ikut pusaran arus kesementaraan. Semoga saja menjelang akhir bulan suci ini menjadi perenungan bagi para Bapak Bangsa yang berdiri memimpin bangsa ini, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya... Karena bangsa yang berdaulat berani membela kebenaran... Dan pemimpin yang besar siap berkorban untuk bangsa dan negaranya. Semoga saja.