Senin, Maret 29, 2010

Dream Big: Strategi & Keberhasilan Mittal

This is not about creating a giant. It's about creating the sustainability of the steel industry. (Lakshmi Mittal)


Strategic quote ini rasanya sangat berdasar. Sebagaimana strategi dalam peperangan, setiap perusahaan yang ingin bertahan di tengah-tengah derasnya arus persaingan harus menjalankan salah satu aktifitas kunci perusahaan: Perencanaan Strategis. Perencanaan strategis menentukan arah, gerak dan laju perusahaan kedepan baik dalam jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.

Visi stratejik yang pernah disampaikan oleh Lakshmi Mittal diatas ini sangat menarik, dimana beliau dinobatkan oleh majalah Forbes sebagai orang terkaya di dunia peringkat 8 pada tahun 2009. Dan pada tahun ini menanjak ke peringkat 5. Beliau dikenal sebagai orang yang sangat agresif dalam membesarkan perusahaannya dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan baja di seluruh dunia. Tak hanya menjalankan bisnis karena ingin menguasai semua perusahaan sejenis dan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari kondisi perindustrian baja yang terpuruk, namun menjalankan visi yang lebih besar menciptakan ketahanan pada industri baja. Tentu saja visi ini sangat mulia, namun mengambil jalan berliku, berat, dan penuh tantangan.

Bagaimana kisah sukses Mittal di dalam bisnisnya? Pengusaha yang sebelumnya pernah memiliki usaha di Indonesia, tepatnya di kota Surabaya ini, memulai karirnya sebagai pekerja di pabrik baja pada usia yang relatif muda. Sehingga tidaklah aneh jika beliau sangat mengenal industri ini mulai dari proses/ bagian yang sekecil-kecilnya.

Mittal tidak berpuas diri karena memiliki satu pabrik baja saja, namun beliau kian agresif melebarkan sayap di pabrik-pabrik baja sejenis, bahkan di belahan dunia manapun yang memiliki pabrik baja: mulai dari negara-negara di Eropa, negara-negara pecahan Rusia, bahkan di wilayah konflik seperti Khazaktan.

Strategi Mittal dalam mengakuisisi ini bukanlah suatu hal yang reaktif dan tercetus tiba-tiba. Ia memperkenalkan model berikut pengelolaan pabrik baja dimulai dari proses revitalisasi dan rekondisi berikut pengelolaan pabrik baja. Sehingga pabrik baja yang semula merugi tersebut menjadi lebih efisien, lincah, menguntungkan dan mendukung industri manufaktur (industri ikutan) yang berunsur baja.

Visi Mittal dapat dilihat dari sepak terjang akuisisi dan merger pabrik baja di seluruh dunia, sebagaimana yang terlihat pada road map di bawah ini.



Memiliki visi, strategic planning serta roadmap tidaklah cukup, nilai plus Mittal lainnya adalah Mittal memiliki kapasitas organisasi yang mumpuni; penguasaan business core competency yang mengagumkan; dan dikelilingi oleh: (1) orang-orang yang mampu melobi dan menegosiasikan pembelian pabrik baja; serta (2) orang-orang yang merekondisi pabrik yang semula merugi menjadi pabrik yang beroperasi dengan skala yang menguntungkan-- di belahan dunia manapun itu.

Belajar dari kasus Mittal ini, resep kesuksesan beliau dari memiliki perusahaan yang biasa-biasa saja menjadi perusahaan raksasa adalah:
(1) Memiliki visi besar;
(2) Memiliki strategic planning (melalui strategic roadmap);
(3) Mengembangkan kapasitas organisasi melalui penguasaan business core competency melalui orang-orang yang tangguh, solid dan bertangan dingin.

Lalu, bagaimana dengan organisasi anda?

Selasa, Maret 23, 2010

Memacu Organisasi menuju Top Speed

Pembaca sekalian, salah satu acara favorit TV penulis adalah acara otomotif "Top Gear". Pada acara ini berbagai merk mobil dibahas & diuji performanya melalui berbagai experimen serta petualangan otomotif jenaka yang dibubuhi humor-humor khas Inggris.
Setelah beberapa lama penulis cermati acara ini, ternyata tak jauh dari kegilaan, kecintaan, keinginan, serta pilihan-pilihan para konsumen terhadap mobil (yang bisa saja mobil super cepat, menjunjung prestise, irit bahan bakar atau umur ekonomis yang relatif panjang, dst), terdapat pelajaran yang menarik.


Organisasi = Mobil?
Organisasi-laiknya mobil, menerabas halangan, rintangan, serta beratnya medan jalan (kompetisi/ persaingan); menjaga keselamatan dan kenyamanan penumpang di dalamnya (K3LL, kepuasan karyawan, lingkungan kerja yang kondusif); serta dilengkapi dengan teknologi terkini (internet, perangkat komunikasi dan perangkat lunak lainnya) di sepanjang organisasi tsb berdiri.

Untuk mengetahui seberapa cepat mobil melaju, dibutuhkan speedometer; mengetahui dimana posisi mobil secara presisi, dibutuhkan GPS; mengetahui bagaimana persediaan bensin mobil, terdapat indikator bahan bakar; mengatur kecepatan & traksi mobil, tinggal tekan tombol yang dimaksud; dsb.

Pembaca sekalian, tentu saja menyediakan fasilitas dan kecanggihan mobil dibutuhkan investasi yang tidak sedikit dan tidak mudah dilakukan jika "pengemudi atau user" tidak terbiasa.

Manakala penulis menceritakan mobil, pembaca sekalian dapat membayangkan bahwa organisasi memerlukan indikator-indikator semacam speedometer, GPS, indikator BB dkk. Organisasi perlu mengetahui: apakah secara aggregat telah memiliki performa yang baik, ditinjau dari berbagai perspektif? apakah organisasi dapat melakukan penelusuran penyebab menurunnya kinerja serta deteksi secara dini melalui measurement yang telah ditentukan? lebih jauh, apakah user/ karyawan merasa puas berada di dalam organisasi? berapa index/ persentase/ angka yang dapat dijadikan baseline pengukuran?

Kesemua pertanyaan tersebut harus terjawab bilamana organisasi menjadi semakin besar baik dari skala asset maupun jumlah personil, di tengah tuntutan eksternal dan internal organisasi yang menginginkan kecepatan berikut "otomasi". Kita tentunya tidak akan membiarkan atau bahkan menghendaki organisasi "berteknologi manual" ini mati secara perlahan-lahan; memiliki personil yang gaptek dan lambat dalam mengadopsi teknologi dan paradigma terkini. Dan selaku user, anggota organisasi hendaknya senantiasa beradaptasi memaknai setiap perubahan yang terjadi di dalam organisasi.

Menuju Top Speed = Meningkatkan Kompetensi
Pada buku yang penulis tulis sebelumnya, guna meningkatkan kecepatan organisasi penulis gagas melalui pencarian talent melalui competency assessment. Ini dilakukan agar level percepatan karyawan terhadap tantangan dan kompleksitas pekerjaan dapat terpetakan dengan baik.

"Terdapat tiga kemungkinan yang didapat dari hasil validasi kompetensi tersebut: (1) jika kompetensi yang dimiliki karyawan lebih tinggi bobotnya dibandingkan dibutuhkan oleh pekerjaan maka karyawan tersebut memiliki potensi untuk berkembang (dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi); (2) sedangkan jika kompetensi yang dimiliki karyawan sama bobotnya dengan yang dibutuhkan oleh pekerjaan maka karyawan tersebut telah menunjukkan performa terbaik untuk pekerjaan tersebut; (3) sedangkan jika kompetensi yang dimiliki karyawan lebih rendah bobotnya dibandingkan dibutuhkan oleh pekerjaan maka karyawan tersebut membutuhkan pengembangan lebih lanjut atau karyawan tersebut merupakan masalah bagi perusahaan tersebut.

Semakin teliti leveling yang dilakukan perusahaan terhadap karyawan, maka akan semakin akurat gambaran peta kekuatan serta kapasitas karyawan tersebut dilihat secara orang-perorang terhadap tuntutan pekerjaan. Dan bahkan jika diperlukan, perusahaan dapat mengidentifikasikan kapasitas karyawan secara agregat maupun rata-rata di dalam menjalankan aktifitasnya serta kegiatan sehari-hari.
Seringkali setelah proses identifikasi dan validasi ini dijalankan, pekerjaan selanjutnya menjadi “momok” bagi kebanyakan divisi SDM: mengumumkan hasil assessment seseorang atau skenario terburuknya adalah menurunkan pangkat seseorang. Kebanyakan penanganan data-data tersebut oleh divisi SDM adalah disimpan di laci agar tidak menimbulkan “keributan” dan supaya kegiatan bisnis perusahaan pun berjalan “seperti biasa”.
"

Lalu, bagaimana dengan laju organisasi Anda?

Rabu, Maret 10, 2010

Action Planning, in....... Action!

Pembaca yang budiman, di dalam keseharian perusahaan terdapat dua macam kegiatan yang mendapatkan porsi yang relatif besar, yakni: (1) perencanaan dan (2) pelaksanaan. Dalam bahasan kali ini, kegiatan seputar action plan akan penulis uraikan lebih lanjut.


Mengapa Action planning?

Action Planning merupakan kumpulan aktifitas, kegiatan dan pembagian tugas diantara para pelaku atau penanggung jawab suatu program. Lebih lanjut, Action planning merupakan penghubung antara "tataran konsep" atau cetak biru dengan kumpulan kegiatan dalam jangka panjang, menengah maupun jangka pendek.

Disadari, suatu konsep atau cetak biru tanpa tindak lanjut atau pelaksanaan diibaratkan wacana atau "buzz words" yang tidak memberikan nilai tambah bagi kebaikan dan kemajuan organisasi. Sedangkan pelaksanaan/ kegiatan tanpa konsep, akuntabilitas pihak pelaksana dan target-target dan ukuran akan mengundang kekacauan. Ibarat nahkoda tanpa haluan, kegiatan-kegiatan yang dijalankan diatas menjadi semacam kumpulan kegiatan reaktif, tak berpola. Sehingga dalam jangka panjang akan mengakibatkan demotivasi para anggota organisasi dan bahkan akan menyebabkan organisasi berhenti bertumbuh, dimana organisasi hanyut ke dalam "pusaran ritual" yang berputar di satu tempat.


And..... Action!
Proses Action Planning memerlukan keterampilan, komitmen dan motivasi tinggi dari para pelaksana.

Keterampilan, keahlian, competency, pengalaman yang didapat merupakan modal dasar penentu bagi sukses atau tidaknya pelaksanaan cetak biru tersebut. Tanpa bekal keterampilan, keahlian, competency yang dibutuhkan serta pengalaman yang memadai, maka pencapaian target terhadap hasil yang diharapkan oleh atasan akan jauh.

Komitmen di sisi lain diperlukan, meskipun si pelaksana memiliki keterampilan yang mumpuni. Namun tanpa komitmen, integritas, loyalitas si pelaksana pada pekerjaan, maka pencapaian target akan menyimpang dari yang diharapkan.

Motivasi, semangat, spirit untuk menjalankan pekerjaan hingga tuntas sangat diperlukan utuk memastikan tidak ada waktu/ tenaga yang terbuang (tidak terarah) untuk mengerjakan hal-hal yang tidak memberikan kontribusi bagi organisasi.


In Action-nya 3 modal dasar (keterampilan - komitmen - motivasi) secara berimbang menjamin tidak adanya peluang untuk tidak menjalankan apa yang telah dijanjikan pelaksana di awal, penyimpangan target, dan terbuangnya waktu dan tenaga sia sia.


Bagaimana dengan organisasi anda?

Selasa, Maret 09, 2010

Membangun Penyelarasan SDM*

Sebuah berita yang baru-baru ini mengejutkan publik, dimana maskapai penerbangan milik Jepang, yakni JAL (Japan Airlines) menyatakan diri bankrut. Kebankrutan ini diikuti oleh jatuhnya harga saham JAL, yang jika divaluasi, nilainya lebih rendah dari satu pesawat jumbo jet baru. Lalu langkah berikutnya JAL adalah reorganisasi di bawah supervisi pemerintahan Jepang, Enterprise Turnaround Initiative Corporation (ETIC). Tak berhenti sampai di sini, JAL akan mengurangi jumlah pegawai, mencopot pesawat-pesawat tua lagi boros bahan bakar, dan memangkas rute-rute penerbangan.

Sejatinya, berita-berita bangkrutnya perusahaan-perusahaan mapan dunia yang sudah malang melintang selama puluhan bahkan ratusan tahun ini tidak harus dicemaskan oleh negara-negara ASEAN termasuk Indonesia, karena berita baiknya adalah kebanyakan dari mereka akan merelokasikan perusahaan, termasuk SDM-nya. Persaingan global memang telah berada di depan pintu kita, para investor ingin bekerjasama dan membangun organisasi yang lebih efisien, lincah, padat modal, namun dengan produk dan harga yang terjangkau oleh konsumen.

Tantangan Utama SDM
Dibalik kabar baik upaya strategis perusahaan ternama tersebut, terdapat tantangan yang tidak kalah mencemaskan bagi SDM di negara-negara Asean termasuk Indonesia. Terdapat dua kendala SDM utama yang harus diperhatikan organisasi-organisasi Indonesia, yakni: (1) mewujudkan kepemimpinan yang berkaliber dan berorientasi global; dan (2) akselerasi organisasi yang dilakukan melalui penyelarasan SDM.

Kedua kendala di atas diperkuat oleh hasil penelitian terhadap 60 organisasi yang telah dilakukan oleh PT OTI baru-baru ini:
- Mayoritas organisasi Indonesia mempersepsikan Departemen HR bukan sebagai Partner Bisnis.
- Sangat sedikit upaya penyelarasan kegiatan SDM yang berhubungan langsung dengan tujuan bisnis strategis.

Lebih jauh, kompetensi dan porsi pekerjaan sehari-hari Departemen SDM masih rendah dan belum menitikberatkan pada kegiatan yang memiliki bobot strategis dan berguna bagi pengembangan organisasi ke depan, seperti: talent management (3,85%), manajemen perubahan (7,69%) dan kegiatan penyelarasan kegiatan SDM dengan kegiatan strategis (12,31%). Sedangkan hasil yang lebih mengkhawatirkan adalah: kurang dari separuh responden percaya bahwa SDM memiliki kemampuan untuk mengembangkan organisasi dan menciptakan lingkungan yang baik untuk berprestasi.


Berdasarkan pemahaman terhadap kedua kendala utama tersebut, pemahaman strategis dan kesepahaman yang perlu dibangun di dalam Departemen SDM adalah: (1) Apakah permainan di dalam organisasi masih selaras dengan strategi perusahaan?; (2) Kontribusi seperti apa yang dapat diberikan oleh fungsi SDM dikaitkan dengan fungsi-fungsi SDM, mulai dari: perekrutan karyawan, pelatihan, pengelolaan kinerja, hingga terminasi karyawan?; dan (3) Bagaimana cara membangun sistem dan pemahaman stratejik SDM sehingga dapat berjalan dengan baik hingga ke lini-lini manajerial?

Penyelarasan Fungsi SDM, suatu Epilog
Paradigma Departemen SDM harus segera bermetamorfosa atau berubah: Departemen SDM mesti menjadi ujung tombak bagi pengelolaan SDM organisasi. Sehingga ekspektasi fungsi SDM di mata pemegang saham serta investor yang akhir-akhir ini menjadi sangat aktual adalah: (1) Departemen SDM sebagai fungsi yang mampu memahami bisnis perusahaan dari hulu ke hilir; (2) Memiliki networking/ hubungan baik serta pengaruh hingga ke lini-lini manajerial; (3) Berani bertindak serta dapat dipercaya oleh para pemuncak organisasi dalam memberikan kontribusi maksimal bagi organisasi.

Akhir kata, paradigma SDM bukan lagi fungsi yang dipersepsikan karyawan sebagai penyambung lidah karyawan dengan manajemen, "pencipta kekacauan" harian yang tersistem, atau sekumpulan orang dengan "fungsi SDM". Semoga!


* Dimuat di Koran Tempo| Tempo Komunitas | edisi 3 Maret 2010 |

Senin, Maret 01, 2010

Menularkan Semangat Pembaruan

Seseorang baru saja bergabung di dalam organisasi. Satu-dua hari ia sudah duduk dalam diam mengamati perilaku teman-temannya. Perlahan tapi pasti si anak baru ini akan dibawa masuk ke dalam "lingkaran pergaulan" teman-teman barunya.

Adaptasi seseorang setelah bergabung di dalam organisasi memerlukan proses relearn & unlearn. Hal ini bukan berarti setiap anggota baru organisasi melakukan proses "format ulang atau cuci otak" secara dratis, namun lebih kepada "memperkuat nilai organisasi" melalui nilai yang sebetulnya sudah lama dimiliki orang ini. Hanya saja, anggota baru dituntut lebih banyak mempraktikkan hal baru dan nilai-nilai yang biasa berjalan dalam organisasi.

Melalui kegiatan informal, persamaan minat, dst, nilai-nilai semula "abstrak/ tak tertulis" akan semakin cepat dipelajari. Karena terkadang suasana informal lebih mendalam dampaknya dibandingkan suasana formal. Kegiatan informal memunculkan aliran ide untuk memperbaiki kualitas kinerja dari hal-hal sepele: berbagi tips, pengalaman, links internet, belajar skill baru, hingga peningkatan kualitas hidup.

Setelah adaptasi, lalu langkah selanjutnya adalah berkontribusi. Namun dalam prosesnya, kontribusi tidak memiliki arti jika tidak dilakukan dengan semangat, melakukan sesuatu dengan cara/spirit yang baru atau fresh, meskipun itu merupakan pengulangan demi pengulangan tahapan kerja.

Anggota baru tidak akan begitu mudah terbawa oleh "arus" karena nilai yang dimilikinya berakar lebih dalam dari pada nilai-nilai perusahaan. Penyesuaian bahkan perlawanan akan senantiasa dilakukan oleh si anggota baru tersebut sehingga ia menemukan "titik ekuilibrium" bahkan "titik nadir", dimana ia sudah tak lagi menemukan alasan untuk "tidak berubah" dan mendapatkan pelajaran/ ganjaran dari perbuatannya.

Rasanya sangat aneh apabila seseorang yang baru memasuki masa orientasi di dalam organisasi merasa tidak perlu untuk melakukan adaptasi, merasa tidak harus belajar hal-hal yang baru, tidak perlu "memperkaya organisasi" dengan sumbangsih pengetahuan yang dimiliki, hingga menularkan semangat baru bagi pembaruan. Organisasi bahkan tidak akan merasakan dampak dari masuknya anggota baru tersebut. Bagaimana dengan kawan baru Anda?