Sabtu, Januari 31, 2009

Belajar: Mau, mau, mau...?

Tell me and I'll forget; show me and I may remember
(Katakanlah, akan saya lupakan; Perlihatkanlah, akan saya ingat)
Pepatah Cina


Baru-baru ini seorang teman baru bergabung ke dalam grup kami. Ia adalah seorang guru yang berstandar tinggi lagi sensitif terhadap "rasa bahasa". "Koreksi dan ulangi" adalah kata-kata yang berulang kali ia ucapkan bilamana terdengar lafaz yang salah. Ia akan langsung membahas hingga mengoreksi dimana letak kesalahannya: bagaimana mengucapkan yang benar, latar belakang mengapa teman-teman selalu melakukan kesalahan yang sama.

Di mata penulis, kedatangan teman baru ini adalah anugerah. Setidaknya penulis menemukan seorang teman yang berdedikasi tinggi terhadap bahasa, seorang "sparing partner" yang selalu mengingatkan, menunjukkan dimana letak kesalahan, lalu mengajarkan bagaimana yang benar, atau mungkin kedepannya sebagai seorang agen perubahan. Namun bagi sebagian teman-teman yang baru mengenalnya hal ini lambat laun dirasa mengganggu.

Sekelumit kisah diatas sangat nyata, dan bisa saja dialami oleh organisasi manapun. Kasus di atas juga menjadi titik tolak penulis untuk memahami bagaimana orang-orang di dalam organisasi dapat berbudaya "learning", dimana setiap orang terinspirasi untuk menjadi manusia pembelajar, mengajarkan kepada yang lain; hingga secara agregat akan meningkatkan nilai tambah organisasi dan memperoleh keuntungan dari interaksi dengan "external structure".

Setiap perusahaan tentunya memiliki anggaran pelatihan, diklat, sekolah, atau apapun itu demi meningkatkan kompetensi pekerjanya. Seringkali sepulang dari pelatihan, diklat, atau sekolah peserta memperoleh pencerahan. Dan peserta serta merta berkeinginan untuk langsung menerapkan, mengajarkan, hingga merubah paradigma rekanan kerjanya. Tapi tak lama setelah itu, upaya tersebut berhasil hanya dalam hitungan bulan. Setelah itu, kembali kepada keadaan semula. Lalu kepada perusahaan diusulkan agar semua orang dikirim ke pelatihan yang sama sehingga mereka dapat memiliki tingkat pemahaman yang sama dan perubahan dapat dirasakan secara merata. Lalu timbul pertanyaan: bagaimana karakteristik organisasi pembelajar? dan bagaimana peranan para knowledge workers ini menerima-memberi lalu melakukan perubahan dari apa-apa yang telah dipelajari?

Kedua pertanyaan diatas akan terjawab oleh delapan karakteristik organisasi pembelajar: (1) Menciptakan budaya perusahaan yang didorong oleh pengetahuan; (2) Mengembangkan knowledge workers melalui kepemimpinan manajemen senior; (3) Menyajikan produk/jasa/solusi berbasis pengetahuan; (4) Memaksimalkan modal intelektualitas perusahaan; (5) Menciptakan lingkungan untuk berbagi pengetahuan secara kolaboratif; (6) Menciptakan suatu organisasi pembelajar; (7) Memberikan nilai tambah berdasarkan pengetahuan pelanggan; dan (8) Mentransformasikan pengetahuan perusahaan menjadi nilai tambah untuk pemegang saham (atau societal capital bagi organisasi nirlaba).


Kerugian Perusahaan dan Personal
Dari sisi perusahaan dan personal tentunya ada kerugian besar: (1) korporat mengeluarkan anggaran relatif besar sehingga investasi pelatihan, diklat, sekolah adalah suatu kerugian atau bahkan keniscayaan; dan (2) secara perorangan adanya kehilangan kesempatan untuk berkarya, memberikan nilai tambah bagi perusahaan, berkurangnya kapasitas, kapabilitas, dan bahkan kreatifitas personal dalam menciptakan ide/ konsep/ alat yang baru. Kedua kerugian tersebut dalam era pengetahuan ini akan saling berhubungan, sehingga akan mempegaruhi kelangsungan hidup organisasi di masa mendatang.

Berkaca pada karakteristik organisasi pembelajar di atas, tentunya ada sesuatu yang salah: apakah pemimpin/ leaders yang tidak memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kreatifitas personal; ataukah sistem/proses/struktur yang kurang mengakomodir budaya pembelajar; ataukah orang-orang yang direkrut rata-rata tidak memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kreatifitas personal. Inilah yang perlu diteliti lebih lanjut.


Penutup
Sebagai penutup, dalam memahami sesuatu yang "mengganggu" versus "pembelajaran" dalam kasus di atas adalah: apakah itu pada cara penyampaian "Koreksi.. Ulangi" atau pada "motivasi/ keinginan belajar" bagi sebagian rekanan kerja... Pembaca yang budiman, disinilah "niat/ willingness" sebagai penentu segala sesuatu bagi seseorang selaku knowledge workers: belajar, tidakkan terganggu atau tidak belajar, akan terganggu. Bagaimana dengan organisasi anda?

Selasa, Januari 13, 2009

Memahami The Garbage Theory

Annual Gathering/QSR 8-10 Januari 2009, bagi penulis telah menyisakan satu teori menarik, The Garbage Theory. Hotasi Nababan, salah satu pembicara tamu kami mengemukakan esense dari teori tersebut. Manusia akan mencapai performa maksimal jika ia diberikan ruang gerak, peluang serta tantangan yang berimbang. Jika tidak, maka organisasi tak ubahnya menjadi seperti "Garbage Can" atau Tong Sampah yang besar atau kumpulan tong-tong sampah.

Populasi anggota organisasi berlebihan diilustrasikan beliau seperti orang-orang yang tengah berada di kolam renang yang ramai, dangkal dan santai. Orang-orang tersebut tidak akan pergi kemana-mana karena ramainya kolam tersebut. Sedangkan organisasi dengan populasi yang ideal dikondisikan seperti atlet yang berenang di kolam renang Olimpiade. Dimana mereka berada pada track masing-masing untuk bersaing dengan satu tujuan: merebut piala kemenangan.

Waktu pemaparan yang begitu sedikit, karena bahasan utama beliau bukanlah The Garbage Theory, maka muncul rasa ingin tahu penulis untuk menggali teori tersebut lebih jauh.

Michael D. Cohen, James G. March, Johan P. Olsen adalah orang-orang yang mula-mula mempopulerkan A Garbage Can Model of Organizational Choice dalam jurnal Administrative Science Quarterly, Vol. 17, No. 1. (Mar., 1972).
36 tahun berlalu semenjak diterbitkannya artikel ini, namun penulis merasa teori ini masih sangat aktual bagi organisasi yang over populated, mature, dan jauh dari hingar-bingar persaingan (perusahaan bertipe monopoli). Berikut Penulis kutip dari pengantar jurnal (Cohen et al 1972):

"Organized anarchies are organization characterized by problematic preferences, unclear technology, and fluid participation. Recent studies of universities, a familiar form or organized anarchy suggest that such organizations can be viewed for some purposes as collections of choices looking for problems, issues and feelings looking for decision situation…"

Organized anarchies adalah organisasi yang memiliki karakteristik sebagai berikut: memiliki permasalahan pilihan, memiliki teknologi yang tidak jelas, dan partisipasi yang mengambang. Studi terkini dari organisasi (bayangkan tahun 1972!-pen), terdapat bentuk Organized anarchies menyarankan organisasi ini dapat dilihat untuk beberapa tujuan sebagai kumpulan pilihan mencari masalah, issue dan perasaan dalam pengambilan keputusan...

lebih lanjut,
"It was suggested that organizations tend to produce many "solutions" which are discarded due to a lack of appropriate problems. However problems may eventually arise for which a search of the garbage might yield fitting solutions.[....] Organizations operate on the basis of inconsistent and ill-defined preferences; their own processes are not understood by their members; they operate by trial and error; their boundaries are uncertain and changing; decision-makers for any particular choice change capriciously.
To understand organizational processes, one can view choice opportunities as garbage cans into which various kinds of problems and solutions are dumped. The mix of garbage depends on the mix of labeled cans available, on what garbage is currently produced and the speed with which garbage and garbage cans are removed
."

Direkomendasikan bahwa organisasi cenderung menciptakan banyak solusi yang gagal dikarenakan kurangnya permasalahan yang sesuai. Permasalahan dapat muncul ketika mencari sampah yang menghasilkan solusi yang sesuai. [...]. Organisasi yang beroperasi pada basis yang tidak konsisten dan pilihan yang tak terdefinisi; proses yang tidak dimengerti oleh para anggota organisasi; seringkali melakukan trial & error; batasan mereka yang tidak pasti dan sering berubah; dan para pengambil keputusan untuk berbagai pilihan tersebut seringkali berubah-ubah.

Untuk memahami proses organisasi, seseorang dapat melihat peluang pilihan sebagai beberapa tong sampah dimana beberapa permasalahan dan solusi tersimpan. Campuran dari sampah tergantung dari campuran label tong sampah yang tersedia, pada sampah yang mana yang diproduksi pada waktu berjalan dan kecepatan dimana sampah dan tong sampah dipindahkan.


The Hotasi Way..

Beratnya beban operasional organisasi, ditambah dengan banyaknya jumlah karyawan dan birokrasi yang berbelit merupakan penyakit khas perusahaan BUMN di negara manapun. Ini kemudian menimbulkan keinginan beliau untuk mengurangi birokrasi, meningkatkan produktifitas melalui pengambilan keputusan yang cepat. Untuk itulah pembelajaran yang kita ambil dari seorang Hotasi Nababan ini. Beliau dengan caranya yang unik selalu melakukan “clear the path” ketika menjabat sebagai Dirut di salah satu BUMN. Artinya beliau selalu tepat dan cepat dalam mengambil keputusan, sehingga tidak ada berkas/ kertas kerja yang tersisa di mejanya untuk di-approve keesokan harinya. Langkah berikutnya adalah meningkatkan laju organisasi secara ekstrim-mungkin belum pernah dipraktikkan di BUMN manapun: menetapkan keputusan penting melalui SMS!

Beliau menyadari bahwa praktik-praktik tersebut berlawanan dengan yang ditetapkan oleh code of conduct dari Good Corporate Governance. Karena tidak mungkin melakukan pengambilan keputusan tanpa mekanisme rapat yang memerlukan approval BOD dan persetujuan Dewan Komisaris. Bahkan seringkali keputusan-keputusan tersebut diambil tanpa menggunakan SK. Kata kunci beliau yang lain adalah "warungisasi", yakni membuat korporasi raksasa berpikir dan dikelola ala warung. Ketika ditantang oleh Badan Pemeriksa, beliau tetap bertahan dengan pendapat ini. Guna membuktikan kepada badan pemeriksa apa akibat kerugian perusahaan yang beliau pimpin jika mengikuti proses birokrasi berlapis tersebut, maka dibuatkan daftar dosa (berupa shorcuts & misconducts) yang telah beliau perbuat. "Pengakuan Dosa" tersebut tidak menghentikan langkah beliau menjabat salah satu Dirut BUMN. Menurut beliau, kecepatan pengambilan keputusan merupakan kata kunci untuk bertahan di dalam industri ini. Sehingga untuk kecepatan, beliau akan melakukan apa saja demi kelangsungan perusahaan, termasuk warungisasi di atas.

Setelah memimpin perusahaan tersebut selama satu periode, beliau akhirnya mengundurkan diri, meskipun pemerintah, dalam hal ini Meneg BUMN, kembali menunjuk beliau. Namun menurut beliau, cukuplah pengalaman menjadi Dirut merupakan suatu milestone untuk melangkah ke fase berikutnya.

Penutup
Berkaca dari pengalaman Hotasi Nababan, cukup sudah kiranya organisasi dijadikan tempat sampah yang menampung orang-orang lemah lagi jago kandang. Bergerak dan berubahlah untuk perubahan yang lebih baik. Semoga saja!