Kamis, Oktober 30, 2008

Mengembangkan Organisasi Knowledge Driven: Studi Kasus Buckman Laboratories

Bagi organisasi pada era pengetahuan, kekuatan terletak pada bagaimana perusahaan bertahan, beradaptasi, dan berkompetisi di tengah-tengah kerasnya persaingan. Bahkan kekuatan pengetahuan sangat vital sifatnya bagi manusia mula-mula yang hidup di muka bumi, contohnya kemampuan manusia membuat api 790.000 tahun yang lalu, sebagaimana yang ditemukan oleh para arkeolog Israel baru-baru ini.

Bagi Buckman Laboratories (BL) yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan zat kimia, pengetahuan merupakan penggerak tumbuhnya bisnis yang sudah dirintis semenjak tahun 1945. Bisnis berkembang diakui Robert H. Buckman (sang pemilik) berasal dari bagaimana para jajarannya menerapkan ilmunya dalam memberikan solusi kepada pelanggan.

Dalam artikel ini, kasus BL akan diulas secara rinci melalui pencapaian/ milestone di dalam menerapkan Knowledge Management (KM) di era 1980-an hingga masa sekarang, kegagalan dan keberhasilan BL di dalam mengimplementasikan KM.


Buckman Laboratories' KM

Kebutuhan Buckman di dalam mengembangkan KM berawal dari tingginya tingkat pertumbuhan pabrik dunia yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan bahan kimia, namun di sisi lain memiliki keterbatasan jumlah ahli/ expert kimia. Sebagai gambaran, BL memiliki 1400 pegawai, memiliki 23 perusahaan yang tersebar di seluruh dunia, dengan pelanggan yang tersebar di 80 negara yang menggunakan 15 bahasa berbeda.

Kondisi yang tidak ideal ini dipandang oleh Buckman sebagai masalah serius. Buckman yang pada masa itu (1971) diangkat menjadi CEO melihat jika permasalahan ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan risiko tersendiri bagi perusahaan, yakni: (1) keluarnya expert dari organisasi akan menimbulkan kerugian perusahaan atas hilangnya ilmu yang dimiliki sang expert; dan (2) tingginya jam berpergian expert ke seluruh dunia akan menyebabkan berkurangnya waktu para expert di tengah-tengah keluarga.

Buckman memulai dengan upaya meng-install perangkat IT. Pada tahun 1983-an tidak ada barang yang murah di dalam dunia IT. Kemudian diadakan server yang khusus menyimpan data dan diharapkan pengetahuan tersebut dapat tersebar dan dapat ditransfer bagi yang membutuhkan. Ternyata inisiasi tersebut tidak membuahkan hasil karena terbatasnya akses (hanya dimiliki oleh kantor pusat), dan kelemahan lain adalah sifatnya tidak mobile dimana sebetulnya orang-orang yang bekerja di lapangan yang paling membutuhkannya.

Tahun 1986, Buckman membangun network, dimana masing-masing pegawai memiliki PC. Upaya ini tak juga membuahkan hasil karena adanya ketakutan pegawai akan penyalahgunaan informasi. Pengamanan yang berlapis enam akhirnya dijalankan sedemikian rupa oleh Buckman agar informasi dapat mengalir pada jajaran yang berada di level yang lebih rendah.
Tingginya tingkat mobilitas associate BL menuntut teknologi yang lebih canggih. Buckman kembali berinvestasi dengan menggunakan email. Kerepotan yang harus dihadapi BL adalah email hanya dapat digunakan di negara setempat, artinya email tidak bisa digunakan apabila user berpindah-pindah negara.

Belajar dari investasi yang mahal tersebut, Bukman mendapatkan karakteristik penting dari sistem sharing knowledge:

  • mengurangi jumlah transmisi hingga menjadi satu saja sehingga ilmu tidak terdistorsi dan langsung dapat diterima
  • memberikan akses knowledge kepada siapa saja
  • membiarkan ilmu ditransfer dalam berbagai bahasa
  • memastikan sistem bekerja dengan baik sehingga dapat digunakan oleh siapapun dan kapanpun juga
  • menggunakan sistem yang mudah dipahami
Di tahun 1990-an inisiasi Buckman tidak lagi diiringi dengan pertumbuhan investasi di bidang IT, namun lebih kepada pengembangan Organizational Development (OD). Divisi khusus Knowledge Transfer (KT) mulai dibentuk guna merespon merespon kebutuhan pengetahuan global terkait dengan perencanaan dan pengelolaan sumber daya terhadap sebaran pengetahuan industri, teknikal dan pasar. KT berperan dalam memastikan dimudahkannya akses dan sharing terhadap best practice diantara Buckman Associates.

Berangkat dari keberhasilan divisi KT maka Buckman kemudian membentuk ”Learning Center”, atau semacam universitas yang dibentuk di dalam korporasi. Transfer pengetahuan yang diformalkan ini menjadikan proses transfer pengetahuan lebih terstruktur dan sistematis, dan bagi Buckman memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan inisiasi Buckman sebelumnya. Sebagai gambaran, Buckman dapat menekan "learning cost" dari US $ 1000/ jam yang terjadi pada kuartal 1 tahun 1998 menjadi US $2/ jam pada tahun 2000. Dan efek dari knowledge sharing yang digalakkan Buckman adalah meningkatnya proporsi produk baru terhadap total sales, yakni dari 13% per tahun 1997 menjadi 34% pada tahun 2000.Seiring dengan berjalannya waktu, Bukman menyadari bahwa memupuk kepercayaan diantara jajaran merupakan hal yang paling mendasar agar budaya knowledge sharing melembaga di dalam organisasi. Bagi Buckman, instalasi IT merupakan sesuatu hal yang paling mudah dilakukan namun tidak memberikan nilai tambah bagi peningkatan knowledge sharing.


Penutup

Dari kasus di atas kita mendapatkan tiga pelajaran dari implementasi KM oleh Bukman, yakni: pertama, Buckman pada awalnya telah berinvestasi secara besar-besaran di bidang teknologi IT, namun ternyata hal tersebut tidak efektif di dalam menciptakan organisasi berbasis KM; kedua, komitmen dan upaya Buckman di dalam menanamkan kepercayaan diantara jajarannya secara berkesinambungan dan tidak kenal lelah, disadari atau tidak, sebenarnya merupakan fondasi KM; ketiga, inisiasi Buckman di bidang OD memuluskan upaya menginstitusikan budaya KM melalui divisi-divisi khusus serta IT sebagai "enabler"-nya.

Sehingga sangatlah tepat apabila di tahun-tahun perkembangan organisasi BL telah menjadi organisasi terdepan yang diakui dunia sebagai "Most Admired Knowledge Enterprise". Organisasi yang digerakkan pengetahuan (knowledge driven) dimana organisasi ini menjadi oase bagi jajaran untuk berbagi pengetahuan!

Kamis, Oktober 23, 2008

Feedback yang Mengancam!



Ini bukanlah versi lain film Indonesia yang tengah beredar minggu-minggu ini (Do’a yang Mengancam), tapi merupakan sebuah kasus terkait “rutinitas” yang nyata-nyata dilakukan oleh atasan, manajer, pimpinan kepada anak buah pada saat-saat evaluasi performa. Sesi feedback yang “mengancam” tersebut terjadi dimana sang atasan mencari-cari kesalahan, menyimpan bukti/ kesalahan, memprovokasi rekanan kerja lain (peers), hingga konspirasi untuk menjebak/ menyingkirkan orang-orang yang tidak disukai sejauh-jauhnya.

Seorang motivator ulung, Mario Teguh menyatakan orang yang bekerja pada perusahaan memiliki kekuatan hati, harapan dan cita-cita jauh diatas kekuatan si pemilik perusahaan (owner). Karena orang-orang yang bekerja dari hari ke hari merupakan penyangga bagi organisasi. Mereka yang merasakan jatuh/ bangun hingga susah dan senang selama bekerja di dalam organisasi. Secara transaksional, kuat atau lemahnya penyangga tersebut berpulang sejauh mana faith yang dimiliki oleh jajaran perusahaan tersebut dan faith yang dimiliki pemilik perusahaan.

Tulisan ini bukannya bermaksud melakukan provokasi atau menghasut anak buah untuk melawan para “atasan” tersebut, namun lebih kepada sebuah refleksi guna merubah cara pandang dan berfikir secara transaksional menjadi stratejik-holistik terkait pengelolaan performa perusahaan (PMS), unit kerja, hingga perorangan.


Bayangkan: Organisasi Tanpa PMS!

Pengelolaan organisasi tanpa sesi feedback dalam PMS adalah ibarat ”makanan tanpa garam”. Tanpa PMS, dinamika, kinerja dan prestasi orang-orang yang bekerja hingga milestone atau pencapaian perusahaan/ unit/ perorangan yang membanggakan tidak dapat teridentifikasi/ terdeteksi. PMS yang teradministrasi dengan rapi, dimana sang atasan dan bawahan dengan penuh kesadaran membukukan pencapaian target melalui KPI, memberikan laporan kegiatan pekerjaan secara sistematis, hingga mencatatkan kejadian kritikal yang membanggakan–yang layak dicatatkan oleh tinta emas perusahaan.
Bak permainan sepak bola yang cantik dan menjunjung tinggi semangat sportifitas, dicatatkan pula seberapa besar kontribusi si anak buah dalam ”memuluskan” pencapaian gol-gol indah perusahaan tersebut.

Di sisi lain, para atasan, manajer, atau pimpinan tidak memiliki ingatan yang baik mengenai apa yang dilakukan secara persis oleh anak buahnya, bahkan pencapaian/kesuksesan anak buah dalam kurun waktu 8 minggu pun tidak dapat diingat dengan baik. Sungguh disayangkan, sebelum ia mendapatkan apresiasi perusahaan yang layak, sang atasanlah yang diapresiasi terlebih dahulu oleh ”atasannya atasan”. Sungguh tidak adil! Sehingga lengkaplah sudah cerita ”Feedback yang Mengancam” ini. Tidak hanya mengancam harapan dan cita-cita si anak buah ke depan, bahkan ini sudah selangkah lebih maju dalam ”mematikan” karirnya. Efek demonstratif dan manipulatif sang atasan kepada ”atasannya atasan” semakin membuat si anak buah terpuruk jauh.

Ini bukanlah best practice PMS yang baik, bahkan praktik ini dapat menjadi virus yang menular kepada jajaran lain. Dalam tataran organisasi akan ditunjukkan dengan gejala-gejala: terjadinya penurunan moral, produktifitas, mengeringnya sumber daya dan mandeg-nya pelaksanaan best practice PMS itu sendiri. Result/ KPI/ pencapaian orang per orang menjadi semakin tidak reliable atau bahkan tidak wajar karena data, informasi tidak tercatat. Di sisi lain tingkat akuntabilitas seseorang di dalam melaksanakan pekerjaan tidak berimbang dengan tanggungjawab yang diemban. Artinya ada orang-orang yang dirugikan dan ada orang-orang yang diuntungkan oleh rezim ini.

Kembali si anak buah berharap agar atasan mencatatkan prestasi, pencapaian, dan karakter personal yang berhasil ia capai selama pekerjaan tersebut. Namun sang atasan entah berpura-pura lupa atau tidak peduli, bahkan tak kunjung melirik apa-apa yang telah ia lakukan.

Gol-gol tercantik telah tercatat di dalam tinta emas dunia persepakbolaan, namun apakah untuk mengeluartampilkan data-data performa terbaik di dalam perusahaan dapat dilakukan semudah statistik bola? Inilah sebuah tanda tanya besar bagi permainan yang menjunjung tinggi kerjasama dan sportifitas: di dalam suatu perusahaan/ korporasi sendiri!


PMS dan Level of Engagement Karyawan

Dalam kondisi ekonomi seperti ini, “level of engagement” (tingkat partisipasi) karyawan merupakan issue yang kembali mengemuka. Pekerja mulai pindah mencari pekerjaan yang lebih layak dari yang sebelumnya. Pengurangan kapasitas produksi perusahaan semakin memperburuk keadaan. Perusahaan dalam rangka bertahan pada masa sulit ini akan semakin banyak mendemosi, memutasi, hingga melakukan PHK para karyawannya dan secara besar-besaran.

Survey Gallup di AS menunjukkan perpindahan karyawan membebani perekonomian senilai $ 300 miliar dan sebesar 17% karyawan secara aktif tidak memiliki engagement dengan perusahaannya, dimana per hari perusahaan merugi akibat kehilangan produktifitas sebesar $13.000 per tahun.

Adapun ciri-ciri rendahnya level of engagement karyawan adalah:
1. Menghindari tanggungjawab
2. Menghindari komitmen untuk menyelesaikan pekerjaan
3. Menyimpan/ menutup-nutupi informasi
4. Menjaga jarak (tidak ikut bertanggung jawab) dari kegagalan seseorang
5. Menghindari diri untuk memberikan/ sharing informasi

Guna meningkatkan ”level of engagement” karyawan tidak hanya diupayakan oleh sistem absent yang ketat, adanya ritual meeting/ gathering, inisiasi promosi atau reward kepada karyawan, namun lebih kepada cara pandang stratejik-holistik menyangkut soft skill atasan, manager atau pimpinan perusahaan. Salah satu yang patut diteladani adalah Jack Welsh, dengan mendukung dan membicarakan orang-orang yang berprestasi di perusahaannya pada kesempatan rapat-rapat, namun di sisi lain memangkas orang-orang yang terbukti menjadi “tirani” di dalam organisasi. Yaitu orang-orang yang tidak menjalankan bahkan “mematikan” nilai-nilai fairness dalam perusahaan.

Artinya bagi Jack Welsh, program kerja, projek dan desain pekerjaan tidak hanya dilaksanakan berbasis tahun finansial, basis kontrak, dan kebutuhan perusahaan semata, namun lebih dari itu. Dalam jangka panjang hal tersebut bertujuan agar karyawan terus menerus memperlihatkan kinerja terbaik, mampu bekerja sama/ teamwork, dan mampu mengaktualisasikan diri. Sehingga semangat menjadi yang terbaik melalui kompetisi secara sehat, semangat sportifitas dan fairplay akan semakin mewarnai keseharian jajaran perusahaan. Dan akhirnya, sesi feedback bukan lagi menjadi sesi yang mengancam karir anak buah. Semoga!

Jumat, Oktober 17, 2008

Akhirnya selesai juga...


Alhamdulillah, dalam perjalanan membukukan untaian pemikiran demi pemikiran menjadi sebuah buku telah sampai pada tahap draft. Meskipun masih berupa draft-minus penerbit dan kata pengantar dari pembaca-rasanya setengah perjalanan ini telah ditempuh.

Akhirnya, rasa terbeban untuk menuliskan sebentuk karya hilang sejenak. Langkah berikutnya adalah menyajikannya dalam media cetak dan dapat diakses pembaca. Semoga!

Selasa, Oktober 14, 2008

Kisah "Arus Balik" & Knowledge Management








Sebuah masterpiece karya Pramoedya Ananta Toer yang begitu menginspirasi saya, berjudul “Arus Balik” menceritakan kisah kerajaan-kerajaan yang berdiri setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit. Dikisahkan, Kerajaan Majapahit yang semula merupakan kerajaan maritim, dimana armada lautnya menguasai perairan seluruh nusantara, dan bahkan hampir mencakup seluruh ASEAN. Namun setelah keruntuhannya, Majapahit telah berpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil dimana basis perekonomiannya adalah agraris dan berorientasi pada perdagangan regional & internasional. Gaya bertutur yang mengalir, dan kemudian membawa pembaca untuk menyusuri masa silam.

Cerita setebal 760 halaman ini dibumbui oleh kerinduan para tokoh cerita akan kebangkitan kembali Kerajaan Majapahit, di tengah-tengah keterpurukan yang dialami kerajaan-kerajaan kecil yang akan menghadapi musuh dari luar, yakni Bangsa Portugis dan Spanyol pada masa itu. Namun bobroknya pemerintahan pada zaman itu, seperti: kentalnya semangat KKN di dalam struktur pemerintahan kerajaan; sikap Asal Paduka raja Senang (APS) pejabat kerajaan; hingga maraknya pemberontakan di pedalaman kerajaan semakin memperlemah kerajaan hingga akhirnya terjajah bangsa asing. Inilah yang menjadi ironi pahit suatu kerajaan kecil di pesisir lautan Jawa.


Benang Merah “Arus Balik” dengan Knowledge Management
Pembaca yang budiman, apa yang menjadi benang merah cerita masa lalu dengan masa sekarang ada pada “tantangan knowledge management”.

Kisah “Arus Balik” ini telah membuka mata hati penulis, bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu menguasai teknologi, senantiasa berinovasi di dalam mempertahankan wilayah, dan bahkan “meluaskan” pengaruh. Itulah bangsa yang berkarakter kuat dan pantang menyerah oleh keadaan. Ilmu pembuatan kapal, senjata bermesiu, strategi perang di laut, serta karya cipta yang berasal dari leluhur tak lagi dipraktekkan, dituturkan dan dilestarikan kepada penerusnya. Malahan secara perlahan namun pasti, warisan adiluhung tersebut dimusnahkan dan tergantikan oleh hal-hal yang bersifat kesementaraan yang dibawa oleh penguasa korup yang tidak berfikir jangka panjang, miskin wawasan, berorientasi profit, serta membunuh innovasi dan daya cipta generasi tunas bangsa secara perlahan.

Ya, berkaca dari novel Arus Balik: pasang surut kekaisaran, dinasti, kerajaan, bangsa, atau organisasi ternyata sangat ditentukan oleh perilaku orang-orang yang hidup di dalamnya dalam hal menjaga pengetahuan yang ada. Artinya, dalam perspektif yang lebih sempit, kekuatan suatu organisasi tidaklah terletak pada teknologi yang ter-install pada komputer atau informasi yang terarsip; tidak juga ditentukan oleh seberapa besar database yang dimiliki perusahaan; jumlah bite piranti penyimpan data atau bahkan oleh kecanggihan processor komputer; namun lebih kepada bagaimana orang-orang yang menggunakan data, informasi dan pengetahuan yang tersebar di dalam organisasi.


Melestarikan Pengetahuan
Kehilangan orang-orang yang ahli di dalam organisasi sesungguhnya merupakan kerugian yang sangat besar. Akan lebih rugi lagi jika orang-orang yang nyata-nyata bekerja maupun masih exist di dalam organisasi tidak mempraktekkan pengetahuan, bahkan mentransfer pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang sebetulnya hidup di dalam organisasi tanpa sempat diaplikasikan atau ditransfer secara maksimal sungguh merupakan suatu kesia-siaan.

Dalam dunia knowledge management, terdapat 3 definisi yang harus dipahami, yakni: (1) data, (2) informasi, dan (3) pengetahuan itu sendiri. Lalu apa perbedaan data, informasi dan pengetahuan? Data adalah fakta, arsip, catatan kejadian, atau lembaran lontar dalam suatu kitab pada beberapa abad silam; sedangkan informasi adalah pesan dalam bentuk dokumen atau audio atau seperti nyanyian/ tutur para leluhur. Sedangkan pengetahuan ada pada orang yang telah memiliki pengalaman dan pendidikan terhadap subjek tertentu. Informasi dan data yang telah diolah dan dipraktekkan, perwujudannya direpresentasikan oleh karya cipta manusia dan inovasi tiada henti.

Di dalam organisasi, pengetahuan semacam ini sangatlah pragmatis sifatnya, sehingga hal inilah yang menyebabkan pengetahuan menjadi sangat berharga dan bahkan menjadi sangat sulit untuk dikelola. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan adalah aliran fluida dimana unsur-unsurnya adalah pengalaman, nilai, informasi kontekstual dan wawasan sang ahli yang memberikan cara berpikir guna mengevaluasi dan menggunakan pengalaman yang baru didapatnya serta informasi. Pengetahuan tidak hanya terdapat pada dokumen atau arsip, namun juga di dalam rutinitas, proses, paktik dan nilai dalam suatu organisasi.*

Sehingga untuk melestarikan pengetahuan dibutuhkan keahlian si pemilik pengetahuan dalam “menurunkan” pengetahuan dan sistem di dalam perusahaan yang memastikan jajaran perusahaan menerima dan mengaplikasikan pengetahuan tersebut. Namun tanpa nilai-nilai yang solid di dalam organisasi, seperti budaya belajar dan memelihara lingkungan yang senantiasa melakukan sharing pengetahuan; komitmen serta dukungan manajemen guna memaksimalkan modal intelektual perorangan, mengeksplorasi pengetahuan terhadap pelanggan, menggunakan pengetahuan guna menciptakan nilai tambah barang dan jasa; dan kepercayaan diantara jajaran perusahaan untuk senantiasa menerima dan memberi pengetahuan yang dimiliki tentunya tidak akan menumbuh kembangkan knowledge management.


Penutup
Akhir kata, dari pemaparan di atas, strategi yang dieksekusi untuk tegaknya knowledge management akan bekerja secara efektif dalam mencegah terjadinya penuaan organisasi yang direpresentasikan oleh kemunduran talent, inovasi dan penciptaan nilai tambah. Sehingga bukannya tidak mungkin organisasi yang semula kecil kemudian akan merajai bisnis bak jayanya Kerajaan Majapahit. Semoga!

* Davenport H., Thomas & Prusak, Laurence, Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know, 1998

Senin, Oktober 13, 2008

Peran OD dalam Talent Management

Sebelum roket peluncur ditemukan, upaya manusia untuk menembus atmosfer dan mengorbit di ruang angkasa diibaratkan sebagai suatu impian yang tak lazim dan bahkan tidak mungkin dilakukan. Diperlukan visi, sumberdaya, energi konsistensi, serta yang dana tidak sedikit guna menciptakan, membangun hingga melesatkan roket peluncur dari muka bumi hingga ke zona yang bebas bobot – menuju gaya gravitasi nol.

Sedangkan pada tataran individual, analogi tersebut telah diilustrasikan dengan baik sekali oleh Steven R. Covey dalam bukunya ”The 7 Habits for Highly Effective People”. Lebih lanjut, gaya gravitasi diilustrasikan sebagai upaya pembebasan diri menuju manusia seutuhnya. Artinya ia telah terbebas dari halangan, rintangan serta kekangan-kekangan berupa kondisi, situasi, atau objek (baik yang terlihat maupun tidak), untuk mewujudkan pencapaian target jangka pendek maupun target jangka panjang individu. Dengan kata lain, usaha manusia berubah dari ”kondisi nol” menjadi ”kondisi yang diinginkan” melalui upaya pengembangan diri.

Pembaca yang budiman, dalam kehidupan berorganisasi, analogi dengan yang diilustrasikan di atas juga berlaku. Lalu, bagaimana peran organisasi, manajer, hingga para jajaran di dalam organisasi berinteraksi guna membangun ”roket peluncur bagi talent” akan dibahas di dalam artikel ini.


Organisasi sebagai Roket Peluncur Talent

Organisasi didefinisikan sebagai suatu wadah, tempat berkumpulnya individu-individu yang memiliki tujuan sama. Disadari atau tidak, organisasi merupakan pangkalan, home base, atau gudang bagi individu-individu yang memiliki potensi. Organisasi-lah yang kemudian merupakan hanggar yang mengasah, membentuk serta mengembangkan individu-individu tersebut menjadi talent. Namun permasalahannya adalah: tidak semua individu tersebut merupakan orang yang beruntung ”ditemukan” potensinya dan ”diasah” menjadi talent oleh mentor, expert dan bahkan oleh manajemen. Tidak jarang seseorang yang telah sekian lama bekerja di perusahaan tidak menyadari potensi yang dimilikinya. Disadari, mekanisme terjadinya keberuntungan demi keberuntungan seseorang untuk dilesatkan sebagai talent dan berlakunya”peluang/ kesempatan” yang sama pun tidak dapat diperoleh dengan mudah.

Talent yang ditemukan di dalam organisasi diibaratkan sebagai ”barisan bintang di langit”. Hanya saja, sebagai manusia yang dianugerahi Tuhan dalam hal kemampuan mengidentifikasi dan mengabstraksi permasalahan demi permasalahan, memprediksi, merencanakan, serta menetapkan program-program bagi alternatif penyelesaian permasalahan tersebut, ternyata tidak diimbangi sepenuhnya oleh kemampuan dan keterampilan di dalam mewujudkan potensi, bakat atau bahkan membuat angan-angan menjadi kenyataan. Akibatnya terdapat banyak peluang/ kesempatan bahkan umur manusia yang terbuang sia-sia, sehingga ia tidak memberikan nilai tambah dan bahkan membawa kerugian bagi diri sendiri atau bagi organisasi.

Terdapat dua langkah bagi manajemen untuk pengembangan talent di tataran perusahaan. Langkah pertama adalah: penetapan strategi & mekanisme berupa kebijakan yang berkenaan dengan penemuan dan pengembangan talent. Adalah tugas manager untuk menemukan talent, dan adalah manager yang seharusnya ditargetkan oleh manajemen untuk mengembangkan dan menciptakan peluang bagi berkembangnya talent seseorang. Kemudian langkah kedua adalah: eksekusi serta mekanisme kerja begitu talent ditemukan. Langkah pertama tidaklah begitu sulit karena hanya berupa penetapan kebijakan serta mekanisme. Namun pada pelaksanaannya yang terkadang menimbulkan gejolak. Ini dapat terjadi bilamana budaya senioritas dan demografi karyawan yang ”mature” mendominasi organisasi, atau sub sistem-sub sistem HR lainnya yang tidak berkembang dengan efektif di dalam organisasi seperti: sub sistem Training and Development, Career Management, Competency Management dan sub sistem HR lainnya.

Buruknya kinerja sub sistem-sub sistem HR lainnya berakibatnya bagi kurang maksimalnya penciptaan talent. Talent dari sudut pandang jajaran perusahaan kemudian menjadi semacam mitos, keberuntungan, dan bahkan merupakan masalah yang sifatnya subjektif. Sehingga dampak jangka panjang bagi organisasi adalah lambatnya ”regenerasi kepemimpinan” yang ada di dalam organisasi, yang berakibat adanya kekosongan pada level manager menengah ke atas, dimana kondisi seperti ini sedang banyak sekali diderita oleh perusahaan power house Indonesia dan bahkan di dunia.

Untuk itu, eksekusi pelaksanaan talent management bukan sekedar rencana di atas kertas. Dibutuhkan peningkatan efektifitas sub sistem-sub sistem HR. Sebagai contoh, sub sistem Training and Development ditujukan untuk meningkatkan efektifitas tumbuh kembang talent; Career Management ditujukan untuk memastikan talent berada pada tempat (track) yang benar untuk dapat bertumbuh kembang; sedangkan Competency Management ditujukan untuk mengukur secara objektif potensi satu talent relatif terhadap talent lainnya atau pemetaan bagi pengembangan talent di dalam organisasi. Sub sistem HR yang tak kalah penting adalah Reward System, sistem inilah mengikat sub sistem-sub sistem yang telah dijalankan dalam bentuk perolehan point, atau satuan ukuran tertentu.


Penutup

Sebagai penutup, pelaksanaan talent management secara praktis merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi manajemen puncak dan manager sebagai pelaksana. Peran para engineer talent yang ahli dan peka di dalam ”mengendus” talent serta adanya infrastruktur sebagai pra-syarat harus dipenuhi dalam organisasi berupa implementasi bagi peningkatan sub sistem-sub sistem HR yang akan mendukung dan meningkatkan efektifitas mekanisme talent. Sehingga untuk melesatkan talent ke zona gravitasi nol bukanlah merupakan pekerjaan yang sulit bagi suatu organisasi. Dalam waktu yang tidak berapa lama lagi akan terlihat bintang-bintang talent yang sudah dilesatkan mampu ”bersinar” di dalam organisasi. Semoga!