Selasa, Juni 24, 2008

Robby Djohan suatu Studi Kasus Karakteristik Kepemimpinan

Anda mungkin mengenal sosok Robby Djohan, salah satu dari sedikit pemimpin Indonesia yang sangat fenomenal di bidang ”turn around management”. Rasanya cepat sekali waktu berlalu, ketika Robby Djohan dengan gagah berani ”mengobrak-abrik” tatanan budaya BUMN yang telah berurat dan berakar dengan sangat lama lalu menjadikan perusahaan yang telah sakit menjadi perusahaan yang mencetak laba. Dan 10 tahun telah berlalu setelah proses “Mega Merger Bank Mandiri” dan prestasi beliau berikutnya dalam menerbangkan kembali Garuda Indonesia.

Dalam artikel ini, “cerita lama tapi baru” ini kembali ingin saya ceritakan dengan harapan agar para pembaca dapat meneladani apa yang telah menjadi legacy bagi Robby Djohan dalam bidang kepemimpinan.

Proses restrukturisasi, re-engineering, revitalisasi, merger-akuisisi, atau apapun namanya merupakan proses perubahan yang memerlukan waktu singkat dan sifatnya seperti reaksi berantai nuklir. Kadang kala ada proses restrukturisasi yang berhasil, dan tidak sedikit proses yang gagal dilakukan dan bahkan mengakibatkan perusahaan ditutup karena mengalami kebangkrutan. Untuk menjalankan proses tersebut, aspek terpenting dan sangat menentukan adalah kepemimpinan.

Apa yang menjadi karakteristik atau ciri khas dari kepemimpinan Robby Djohan? Kompetensi apa yang ia miliki sehingga dalam waktu yang cukup singkat perubahan dan pemulihan perusahaan terjadi? Tindakan-tindakan apa yang ia lakukan sehingga seluruh jajaran perusahaan yang ia pimpin melakukan langkah-langkah “restrukturisasi” akan dijelaskan secara terperinci.

Karakteristik 1: Keberanian

Keberanian adalah modal utama yang utama yang dimiliki beliau. Tanpa keberanian, beliau tidak akan mungkin membalikkan keadaan perusahaan yang ”under dog” melalui negosiasi dengan bankir luar negeri yang arogan, institusi keuangan sekelas IMF, supplier, politisi, legislatif atau bahkan tekanan dari ”orang-orang dalam” yang berkepentingan agar perubahan di perusahaan yang sedang beliau benahi menguntungkan mereka. Keberanian dalam memutuskan siapa-siapa saja yang dapat duduk di jajaran direksi, General Manager atau pejabat satu level di bawah direksi dengan proses seleksi yang menjunjung tinggi azas profesionalisme sehingga proses restrukturisasi dapat berjalan. Atau keberanian dalam memecah silo atau kotak-kotak struktural diantara karyawan yang dapat menghambat kemajuan dan percepatan pemulihan perusahaan.

Karakteristik 2, 3, & 4: Jujur, integritas dan keterusterangan

Jujur, integritas dan keterusterangan, adalah karakteristik lain yang beliau miliki. Tiga karakter ini sangat berkaitan: orang yang jujur sekaligus memiliki integritas akan mengatakan secara jelas apa yang ingin dia lakukan (clarity). Hal ini tercermin melalui tindakan-tindakan penyelamatan perusahaan yang langkah-langkahnya jelas, tegas, tanpa berbelok kesana-kemari. Dan keterusterangan, salah satu ciri khas beliau dalam menyampaikan pendapat dan pemikirannya tanpa basa-basi atau diplomasi yang berbelit-belit. Sehingga ketiga karakteristik yang saling melengkapi tersebut merupakan modal utama di dalam mengembalikan rasa ketidakpercayaan, ketidakpastian, ketidakmampuan jajarannya dalam situasi perusahaan yang mendekati collaps. Dan ketiga hal tersebutlah yang menggerakkan, merubah dan membalikkan situasi yang sangat tidak mungkin, menjadi mungkin terjadi.

Karakteristik 5, 6 & 7: Pengetahuan, Keahlian dan Pengalaman

Latar belakang beliau sebagai seorang bankir murni dan daya serap beliau yang sangat cepat untuk mempelajari hal-hal yang baru, menyebabkan beliau dalam waktu singkat dapat menyeimbangkan kondisi keuangan perusahaan yang sangat payah dengan tindakan operasional korektif yang cepat, dimana hal ini sangat berkorelasi dengan peningkatan efisiensi perusahaan. Akibatnya terdapat banyak pos-pos pengeluaran yang tidak produktif dipangkas; struktur organisasi yang lebar dan berlapis-lapis dirubah menjadi relatif lebih ”langsing” tanpa banyak birokrasi; menghapuskan kebiasaan buruk para jajaran secara revolusioner, hingga regenerasi karyawan yang tidak produktif melalui golden shake hand. Sehingga tidak heran balancing pada aspek keuangan dan aspek operational yang beliau lakukan berdampak sangat signifikan bagi peningkatan cash flow perusahaan.

Lalu apa yang memelihara kelangsungan proses perubahan tersebut? Kekuatannya adalah pada keterampilan manajerial kepemimpinan yang harus dimiliki, yakni pengawasan atau monitoring dan eksekusi keputusan yang cepat. Menjadi CEO bukan berarti memberikan delegasi sepenuhnya kepada direktur lainnya, General Manager atau orang-orang kepercayaannya untuk perubahan di dalam organisasi, sebaliknya beliau mencurahkan waktu dan pikirannya secara langsung dalam menyehatkan perusahaan yang sakit. Beliau terjun langsung ke lapangan dalam melakukan pengawasan, rela berkantor di lapangan yang tentunya memiliki fasilitas yang sangat sederhana bagi ukuran direktur pada saat itu, dan bahkan tidak segan-segan menegur/ mencopot langsung staff jika tidak perform.

Sebuah Tantangan bagi para Pimpinan

Secara umum, jaminan bahwa seseorang yang telah berada di puncak pimpinan (misalnya menjadi CEO) dikarenakan mereka memiliki kepemimpinan itu tidak sepenuhnya benar. Ada banyak sekali jabatan yang diisi oleh pimpinan yang tidak memberikan dampak apa-apa bagi perusahaan atau dengan kata lain tidak memiliki kompetensi kepemimpinan. Terdapat banyak pemimpin yang tidak mengetahui bahwa perusahaannya berada di ambang krisis masih tenang-tenang saja, atau mengetahui bahwa di tubuh perusahaannya ada banyak pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan anak buahnya namun tidak ditindak tegas. Sehingga para pemimpin harus terus belajar dalam ”memimpin”, bukan dalam hal ”menjabat”.

Lalu dari langkap-langkah yang telah diambil oleh Robby Djohan kemudian dipetik pelajaran bahwa menjadi pemimpin bukan berarti membuat jabatan saat ini menyebabkan adanya ”security” atau rasa aman karena hanya ”menjabat”, melainkan merubah, menumbuhkan, memberdayakan, meyakinkan dan tetap menggerakkan perusahaan ke arah yang lebih baik.
Tantangan yang dihadapi oleh para CEO sekarang selain operasional perusahaan sehari-hari adalah: mempertahankan kinerja perusahaan, menyelesaikan dan mencegah hal-hal yang melanggar etika di tubuh perusahaan melalui Good Governance di jajaran perusahaan, meningkatkan kinerja dan pengelolaan Sumber Daya Manusia, dan mengatasi berbagai permasalahan strategis lainnya. Pertanyaannya adalah: dapatkah para CEO, atau siapapun yang menjadi pimpinan saat ini meneladani Robby Djohan? Dan bagaimana dengan kompetensi yang dipunyai pemimpin penerus bagi generasi selanjutnya?

Manajemen Perubahan dalam Yel-Yel

Pada beberapa kesempatan workshop agen perubahan bagi budaya bagi perusahaan, fasilitator kami dalam menyemangati para peserta seringkali meneriakkan “Pemimpin…” dan dengan bersemangat para peserta menjawab “Saya!”, sesi-sesi workshop tersebut lalu dilanjutkan hingga berakhir.
Pembaca sekalian mungkin akan bertanya-tanya: apakah implikasi dari yel-yel tersebut terhadap perubahan? Mengapa pemimpin itu adalah saya? Atau dengan pertanyaan lain: mengapa dalam proses perubahan tersebut kepemimpinan itu diperlukan? Tentunya permasalahan ini akan dibahas dalam artikel ini.

Kepemimpinan melalui pimpinan adalah adalah penggerak dan penentu arah dari perusahaan tersebut untuk berubah, sehingga jika tidak ada kepemimpinan yang kuat maka perubahan hanyalah mimpi kosong belaka. Artinya, perubahan yang terjadi di perusahaan haruslah diikuti dengan peningkatan kompetensi kepemimpinan jajaran perusahan. Lalu apakah tolok ukur meningkatnya kompetensi kepemimpinan di dalam perusahaan? Jawabannya ditandai dengan perubahan cara seseorang/ para jajaran perusahan berpikir di segala bidang termasuk dari cara seseorang tersebut menuntaskan pekerjaan, ”the way of doing things” di bidang kepemimpinan, atau lebih khusus lagi adalah ”perubahan paradigma” berpikir seseorang.

Selanjutnya, untuk menjadi seorang pembaharu atau agen perubahan bagi budaya bagi perusahaan terdapat banyak karakteristik kepemimpinan yang harus dimiliki, sebagaimana yang didefinisikan oleh Dey et al (2002), diantaranya adalah:

Tabel 1: Karakteristik Umum Seorang Pemimpin

1 Karismatik
2 Pintar
3 Emosi yang stabil
4 Integritas
5 Self determination
6 Mendukung dan empatik
7 Memiliki kebutuhan tinggi untuk mencapai kesuksesan
8 Kreatif
9 Memiliki kebutuhan tinggi untuk mempengaruhi
10 Jujur
11 Memiliki ambisi
12 Dominan
13 Memiliki energi yang berlebih
14 Efektif dalam menyelesaikan permasalahan
15 Memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan
16 Memiliki kepercayaan diri yang tinggi
17 Memiliki keyakinan dan tujuan yang kuat
18 Memiliki motivasi tinggi untuk memimpin
19 Fleksibel
20 Menetapkan tujuan

Sedangkan karakteristik teknis yang harus dimiliki oleh pemimpin menurut Dey et al (2002), diantaranya adalah:

Tabel 2: Karakteristik Teknis Seorang Pemimpin

1 Membangun kebanggaan bagi pengikutnya
2 Menciptakan identitas organisasi
3 Memberikan kesan mendalam (impression management)
4 Membangkitkan kerjasama tim dan meningkatkan ikatan sosial tim melalui ritual
5 Memonitor, berkonsultasi dan mendelegasikan tugas kepada pengikutnya
6 Memotivasi pengikutnya
7 Merupakan komunikator yang efektif (secara jelas menyatakan, mengkomunikasikan, dan membangun komitmen terhadap visi)
8 Membangun kepercayaan diri dan menstimulasi antusiasme
9 Mendukung, mengakui dan memberikan penghargaan bagi masukan para pengikut
10 Menggunakan analogi dan metafora (dalam mengkomunikasikan dan memberikan inspirasi )
11 Mengembangkan simbol dan citra baru
12 Memberikan pertimbangan yang bersifat perorangan
13 Secara intelektual menstimulasi para pengikutnya
14 Mengembangkan dan membina para pengikutnya
15 Memberikan inspirasi kepada para pengikutnya untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi
16 Mengelola konflik

Dari tabel di atas, jelaslah bahwa di dalam meningkatkan kompetensi kepemimpinan ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi agar jajaran perusahaan dapat menjadi pemimpin (bagi terciptanya perubahan) yang baik. Pemimpin bisa dilahirkan atau memang ”diketemukan” bakatnya di antara jajaran perusahaan. Karakteristik khas pemimpin, sesuai dengan yang dilukiskan oleh Dey et al (2002) secara tersirat adalah para pemimpin merupakan motor penggerak, sumber inspirasi dan pemelihara semangat perubahan di dalam organisasi melalui cara-cara mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan, bawahan, yang diperkuat oleh mentalitas mereka yang penuh energi dan ambisi.

Sedangkan terkait dengan ”kompetensi kepemimpinan”, telah banyak peneliti yang membagi, mengelompokkan dan mengklasifikasikan hal-hal apa saja yang harus dimiliki oleh pemimpin. Sehingga dari berbagai macam penelitian yang dilakukan, terdapat 3 bagian besar keterampilan/ aspek kompetensi kepemimpinan yang merupakan prasyarat yang harus dimiliki oleh pemimpin: (1) Aspek Kognitif yang meliputi: kemampuan menganalisa, kemampuan intelegensia, kemampuan perencanaan, dan kreatifitas ; (2) Aspek kepribadian yang meliputi: keterampilan interpersonal, fleksibilitas, serta kematangan emosi; dan (3) Aspek manajerial yang terkait: pengembangan orang lain, pengambilan keputusan serta pengawasan.

Disadari, perubahan yang terjadi pada perusahaan memiliki kecepatan tertentu, dimana hal tersebut adalah tergantung pada bagaimana tingkat, skala atau kedalaman kompetensi kepemimpinan yang dimiliki oleh agen perubahan bagi budaya perusahaan serta intensitas pemimpin (yakni agen tersebut) di dalam menjalankan tugas serta komitmennya. Sehingga pada akhirnya tantangan di dalam mengembangkan kompetensi kepemimpinan di dalam perusahaan adalah bagaimana perusahaan memilih dan memilah kompetensi kepemimpinan yang cocok untuk dikembangkan, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di dalam perusahaan.

Akhir kata, kontribusi di dalam proses pembinaan agen bagi perubahan budaya perusahaan adalah intensifikasi terkait dengan pengembangan kompetensi kepemimpinan. Bagi para jajaran di sisi lain merupakan peluang untuk berkembang ke arah yang karir/ posisi lebih baik, di sisi organisasi akan memberikan angin segar bagi perusahaan bahwa pada saat-saat kritis lahirlah agen-agen perubahan yang berkomitmen dan berkompetensi tinggi. Sehingga, tidaklah keliru teriakan yel-yel ”Pemimpin..... Saya!” adalah simbol bahwa perubahan hendaknya dimulai dari diri sendiri.

Selasa, Juni 10, 2008

Reward Philosophy: Memahami Job Value vs Person Value

Hiruk-pikuknya peringatan May Day 2008 meninggalkan pembahasan menarik yang tidak ada habisnya untuk dibicarakan di dalam hubungan industrial, yakni masalah "reward". Kondisi perekonomian yang tidak menentu, diikuti dengan kenaikan harga-harga, yang berimplikasi pada menurunnya daya beli masyarakat, diikuti dengan semakin meningkatnya angka pengangguran. Kondisi ini berakibat langsung bagi perusahaan dan individu.

Bagi beberapa perusahaan, meningkatnya biaya operasional yang drastis mengakibatkan perusahaan dalam jangka pendek akan melakukan efisiensi, atau perusahaan mulai memikirkan upaya restrukturisasi, reengineering, merger-akuisisi, serta upaya-upaya strategis dan jangka panjang lainnya. Sedangkan bagi individu, kondisi ini semakin mencekik dimana tuntutan kerja yang semakin tinggi dan tidak jarang menuntut individu bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang.

Bottom line perusahaan yang terpengaruh oleh kondisi perekonomian saat ini adalah biaya operasional perusahaan, cicilan pinjaman perusahaan ke bank, dan pengeluaran berjalan langsung/ tidak langsung lainnya yang membengkak; sedangkan bagi individu adalah pendapatan, kesejahteraan atau reward yang dirasa semakin menurun.

Reward vs Kinerja Karyawan
Reward serta sistem reward yand diberikan oleh perusahaan adalah salah satu daya tarik mengapa karyawan bekerja di suatu perusahaan. Ada ungkapan yang memperkuat korelasi antara reward dan kinerja: "When you pay peanut, you got monkey!". Ini merupakan kaidah dasar bagi manajemen perusahaan agar gaji karyawan dengan tuntutan pekerjaan serta output yang diharapkan mestilah sepadan.

Berbagai macam sistem reward yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja karyawan, meningkatkan kedisiplinan pegawai hingga akhirnya menjadi sebentuk "budaya". Para atasan, manajer, atau siapapun yang mengelola kinerja anak buahnya sangat menginginkan adanya "kesukarelaan" di dalam bekerja. Tentunya kesukarelaan anak buah bekerja ada bermacam-macam tingkatannya:
  • Tingkat 1: Sekadar bekerja di perusahaan, sambil mendapat peluang yang baik untuk pindah (Rebel or quit).


  • Tingkat 2: Karyawan bekerja tidak konsisten dengan standar yang ditetapkan di perusahaan (Malicious Obedience)


  • Tingkat 3: Karyawan yang bekerja hanya sesuai dengan standar yang ditetapkan perusahaan. Lebih dari itu biasanya tidak dilakukan oleh karyawan. (Willing Compliance)


  • Tingkat 4: Karyawan dengan senang hati mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tambahan, asalkan sesuai dengan minat dan bakat. (Cheerful Cooperation)


  • Tingkat 5: Karyawan memiliki komitment dengan sepenuh hati untuk menyelesaikan pekerjaannya. Berkenan untuk bekerja lembur dan bahkan mengorbankan waktunya untuk bekerja di hari libur. (Heartfelt Commitment)


  • Tingkat 6: Karyawan yang telah menyatu dengan perusahaan yang akan melakukan apa saja demi kemajuan perusahaan. (Creative Excitement)

Sehingga tingkat kesukarelaan tersebut diakomodir oleh manajemen dengan memberikan insentif seperti: lembur, bonus kinerja, tunjangan hari raya, tunjangan kesehatan, tunjangan perjalanan, dan tunjangan-tunjangan lainnya. Semua bertujuan untuk mengikat "kesukarelaan" karyawan untuk bekerja.


Person Value vs Job Value

Topik reward yang hangat, kontroversial, namun tetap menarik untuk dibahas adalah berkenaan dengan person value dan job value. Person Value adalah dimana manajemen memberikan poin lebih kepada orang yang akan di rekrut. Sebagai ilustrasi di dunia persepak bolaan pemilik klub biasa melakukan "jual beli" pemain. Para pemain memiliki karakteristik memiliki mobilitas yang tinggi dimana pemain mampu berpindah dari satu klub ke klub lainnya dan bahkan lintas negara; pekerjaan mereka terspesialisasi; pendidikan serta persyaratan dan pengalaman menjadi pemain sepak bola sudah terstandar. Sehingga tidak mungkin para pemilik klub sepak bola bisa "salah memilih" pemain, karena portfolio dan performa para pemain sudah teruji sebelumnya dimana para pemain sepak bola tersebut "merumput". Sehingga peran statistik sepak bola juga tidak boleh dilupakan. statistik mencatat berapa kesalahan/ pelanggaran yang dilakukan pemain (terkait kartu kuning/ merah), berapa jumlah gol yang dicetak selama musim kompetisi bahkan berapa pertandingan yang diikuti pemain berikut kondisi fisik pemain selama setahun. Hal ini telah dikalkulasikan secara rinci yang dapat diketahui oleh seluruh publik penggemar sepak bola.

Berbeda dengan job person, job value adalah dimana manajemen menitikberatkan poin yang lebih tinggi pada nilai jabatan seseorang yang ditunjukkan dengan "posisi" yang disandang oleh pemangku jabatan di perusahaan saat ini. Pekerjaan pemangku jabatan disini sangat spesifik, bisa jadi terkait dengan informasi/ rahasia perusahaan; jumlah pemangku jabatan yang berjumlah lebih sedikit; sehingga kemungkinan perpindahan karyawan ini jauh lebih tidak fleksibel dibandingkan pemain bola.

Persamaan dari kedua pendekatan tersebut adalah semangat retention atau mempertahankan pemain/ karyawan yang berada di klub/ perusahaan; kompetisi dan hukum permintaan dan penawaran pasar.

Sehingga pada suatu ketika manajemen dengan origin tertentu, ingin menerapkan poin yang lebih banyak kepada salah satu value tanpa melihat kondisi, asumsi, serta origin yang menggarisbawahi perusahaan, bisa jadi implementasi akan menjadi salah kaprah, salah arah dan bahkan menyebabkan karyawan mengalami demotivasi.

Untuk person value, manajemen memberikan insentif reward yang luar biasa besar kepada pemain yang berprestasi. Hal ini diharapkan agar pemain tersebut dapat mempertahankan kinerja bermain, serta mempertahankan pemain karena pasar berkompetisi untuk merekrut pemain yang berprestasi. Sedangkan untuk job value, volatilitas dan mobilitas pekerja yang tidak begitu besar, maka insentif yang diberikan cenderung konvensional, sesuai dengan peraturan perusahaan, peraturan tenaga kerja dan peraturan perundang-undangan lain.

Untuk sistem reward yang menggunakan job value, dan perusahaan tidak serta merta menerapkan sistem konvensional yang tidak berbeda jauh dengan perusahaan lainnya, maka daya tarik adalah dengan meningkatkan komponen gaji variable selain komponen gaji pokok seperti: tunjangan komunikasi, tunjangan kendaraan, tunjangan laptop, tunjangan olah raga, dan tunjangan-tunjangan yang menarik lainnya sesuai dengan poin jabatan dan kebutuhan karyawan.

Sehingga diharapkan ungkapan "When you pay peanut, you got monkey!" tidak akan terjadi lagi, tidak di perusahaan anda!

"Kapan Pekerjaan ini Selesai?" Ilustrasi Paradox Pola Kerja Simultant Vs Sequential

Dalam kehidupan berorganisasi, komunitas, kelompok, belantara dunia kerja atau bahkan dalam rumah tangga, pekerjaan bagi kebanyakan orang seakan-akan tidak ada habis-habisnya. Sering sekali ketika seseorang ditanyakan, "kapan pekerjaan ini selesai?" Jawaban yang diberikan ada bermacam-macam. "Pekerjaan akan selesai jika tahapan/proses A telah diselesaikan"; "Sebentar lagi selesai"; atau "Kapan-kapan akan kami selesaikan". Akhirnya yang bertanya akan mengangguk-angguk saja karena telah diberikan jawaban yang mengandung "harapan". Namun pada kenyataannya, selain apakah pekerjaan tersebut akan selesai tepat pada waktunya atau tidak, juga harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  • Memenuhi ekspektasi dari yang memberikan kerja

  • Menekankan pada aspek pemenuhan (kualitas atau kuantitas)

  • Memenuhi waktu tengat yang telah ditetapkan

  • Menekankan pada kecepatan (velocity) atau pertumbuhan (growth)

  • Dampak pekerjaan bagi organisasi (exposure)

  • Kompleksitas pekerjaan (melibatkan pekerjaan lain agar pekerjaan ini terselesaikan)
Diantara banyak kriteria di atas, ternyata untuk menyelesaikan pekerjaan, seseorang akan dihadapkan pada berbagai macam trade off(s) yang telah saya identifikasikan di atas. Sehingga pekerjaan yang seharusnya dikerjakan dalam waktu singkat akan dapat berlangsung lama atau sebaliknya. Artinya seseorang harus senantiasa memperhitungkan proporsionalitas trade off(s) atas setiap pekerjaan yang dibebankan. Sebagai contoh: satu pekerjaan dapat diselesaikan secara detail, namun akan menyita banyak waktu sehingga tidak menyisakan alokasi waktu bagi penyelesaian pekerjaan berikutnya; pekerjaan dapat dikerjakan dengan cepat, namun hanya pada pekerjaan yang sifatnya tidak kompleks; atau pekerjaan ini akan berdampak bagi organisasi secara keseluruhan, namun akan hal ini akan berlangsung lama.

Pola Kerja Simultant Vs Sequential dan Manajemen Perubahan
Khusus dalam konteks manajemen perubahan, ilustrasi di atas menjadi semakin jelas bagi arahan perubahan namun dalam perjalanannya sangat kompleks. Pekerjaan "merubah paradigma" bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Dimana dalam serangkaian pekerjaan berupa "program berjalan" yang terdiri dari berbagai macam kegiatan strategis seperti perencanaan, pertemuan; kegiatan administratif seperti membuat surat undangan, dll; serta kegiatan pelaksanaan seperti kunjungan ke lapangan, pelatihan, dll. Namun hal tersebut tidaklah cukup bila anda sebagai agen perubahan tidak memahami atau bahkan tidak peka terhadap nature of work atau cara rekanan anda bekerja.

Seperti yang diulas pada artikel sebelumnya, pola seseorang bekerja ada yang bersifat sequential dan simultant. Pola ini terbentuk oleh budaya, proses kerja, dan sistem yang ada di dalam perusahaan. Untuk mengamati apakah rekanan anda adalah seorang yang sequential atau simultant perlu dilihat seberapa banyak prosedur kerja, instruksi kerja, check list dan formulir yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Semakin tinggi intensitas pekerjaan yang memerlukan urutan proses kerja, maka semakin sequential cara orang tersebut bekerja. Semakin tinggi kedudukan seseorang dimana mereka adalah orang yang mengatur/ membawahi/ mengawasi para anak buah yang bekerja dengan menggunakan prosedur kerja, dengan kata lain menduduki level supervisi ke atas, maka orang ini akan bekerja secara simultant. Mereka pada satu waktu membuat perencanaan, melakukan kunjungan ke unit, mengadakan pertemuan/ koordinasi, serta pada waktu lain melakukan evaluasi. Sehingga dapat dibayangkan berbagai pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan ini dalam satu waktu.

Dalam konteks manajemen perubahan, untuk menggerakkan dan mewujudkan agar perubahan ini dapat terjadi, dimana organisasi telah sampai pada tahapan budaya telah disosialisasikan khususnya pad agen-agen budaya (agen perubahan). Para agen-agen perubahan ini memastikan bahwa di setiap unit serta lini di perusahaan terjadi perubahan, dan masing-masing orang dimana agen ini bertanggung jawab dalam pembuatan action plans. Tentunya action plans tersebut berdasarkan paradigma budaya baru yang ternyata hal ini tidak mudah dilakukan.

Mengapa? Karena agen- agen perubahan ini tidak bijak dalam menyikapi bagaimana cara rekan-rekan di setiap unit serta lini pada perusahaan untuk dapat tergerak dan mengadaptasi action plans dalam kegiatan keseharian mereka. Atau dengan kata lain action plan ini tidak dilakukan secara maksimal.

"Kapan Pekerjaan ini Selesai?"
Pada tabel di bawah ini diilustrasikan bagaimana orang bertipe sequential dan simultant di dalam memenuhi kriteria penyelesaian pekerjaan:

Keterangan:
XX merupakan keadaan yang tidak dapat ditentukan, yang berarti tergantung seberapa besar yang menerima pekerjaan tersebut dalam memperhitungkan proporsionalitas trade off atas setiap pekerjaan yang dibebankan.
Sehingga selesai atau tidaknya pekerjaan tersebut tidak terlepas dari pengambilan keputusan anda sebagai "agen perubahan" atas pekerjaan apa yang akan dibebankan kepada orang-orang yang sequential dan orang-orang yang simultant. Pekerjaan yang disesuaikan dengan nature of work atau cara rekanan anda bekerja terdapat di dalam tabel. Sehingga anda tidak dapat meminta rekanan anda yang merupakan pekerja yang sequential dalam menyelesaikan beberapa pekerjaan dalam satu dengan tengat waktu/ deadline yang ketat. Atau sebaliknya, meminta rekan anda yang merupakan pekerja simultant untuk menyelesaikan yang "membosankan" yang hanya terdiri dari satu pekerjaan yang memerlukan detail dan kurang kompleks.
Ketidak tepatan di dalam memberikan pekerjaan akan berakibat fatal: adanya ketidakseriusan, abstein, atau bahkan demotivasi rekanan anda terhadap komitmen di dalam melakukan perubahan. Memberikan pekerjaan kepada orang yang tepat, tengat waktu yang tepat dan dengan kompeksitas yang rasional adalah yang diinginkan rekan-rekan anda.
Lalu, kepada anda ditanyakan: "Kapan Pekerjaan ini Selesai?". Bagaimana jawaban anda?

Waktu dan Perubahan: Simultant Vs Sequential

Menyimak artikel terdahulu saya yang berjudul “Menumbuhkan Benih-benih Budaya dalam Perusahaan”, tentunya para pembaca mulai bertanya-tanya, berapa lama benih-benih “Budaya” tersebut akan bertunas lalu menjadi tanaman atau bahkan menjadi pohon “Budaya”? Pembaca yang budiman, artikel kali ini akan menjawab issue mengenai satuan pengukuran tumbuh kembangnya pohon budaya yakni satuan waktu.

Adalah waktu yang dibutuhkan oleh benih untuk berkembang menjadi kecambah, lalu kecambah tumbuh menjadi tanaman kecil. Adalah waktu yang dibutuhkan ketika tanaman tersebut membesar, menjulurkan dahan dan ranting, hingga berkembang menjadi pohon yang rindang. Dan adalah waktu yang dibutuhkan oleh benih yang awalnya kecil dan tak berarti, kemudian tumbuh menjadi pohon yang teduh dan menyejukkan bagi siapa saja yang berada dibawah naungannya.

Persoalan cepat atau lambatnya perubahan budaya tersebut sebenarnya merupakan hal yang mendasari perilaku pelaku-pelaku yang ada di dalam perusahaan. Persepsi terhadap waktu akan menjadi dasar jajaran perusahaan di dalam menentukan pola pekerjaan terkait “proses pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan”. Pola pekerjaan ini akhirnya akan berdampak pada “saat-saat yang menentukan” pada level-level tertentu di Perusahaan. Misalnya: penetapan keputusan-keputusan yang penting oleh level manajemen; implementasi program dan kegiatan bagi tumbuh kembangnya benih-benih budaya oleh level pelaksana; dan “saat-saat yang menentukan” bagi penyelesaian proses sosialisasi di setiap unit-unit perusahaan. Jika level manajemen, level pelaksana dan unit di dalam organisasi memiliki persepsi akan waktu yang berbeda-beda, dapat dibayangkan akibatnya bagi organisasi. Level manajemen merasa kinerja bawahan buruk, level pelaksana merasa manajemen tidak memahami kesulitan di lapangan, dan unit-unit yang merasa kantor pusat kurang komunikasi dan koordinasi. Akibatnya, proses perubahan yang berjalan dirasa menimbulkan pertentangan dan merugikan semua pihak. Tidak heran banyak organisasi yang tak ingin berubah.

Karena persepsi setiap orang terhadap satuan waktu berbeda-beda, maka persepsi orang mengenai waktu menurut Edward Hall (1977) terdiri dari dua bagian besar yakni: (1) Monochronic dan (2) Polychronic, dimana masing-masing persepsi memiliki ciri khas tertentu. Monochronic mempersepsikan waktu sebagai hal yang linear, pekerjaan yang dapat dipotong-potong menjadi unit-unit kegiatan tersendiri seperti: pertemuan, kunjungan, dan pembuatan laporan. Namun satu unit kegiatan tersebut hanya bisa dilakukan dalam satu waktu, artinya unit-unit kegiatan tersebut dilakukan secara berurutan atau bersifat sequential. Sedangkan Polychronic adalah sebaliknya, dimana proses pekerjaan bersifat simultant, dimana seseorang dapat mengerjakan berbagai pekerjaan atau berbagai unit-unit kegiatan pada satu waktu. Dua persepsi yang ekstrim ini tentunya akan terus ada dan berjalan di dalam organisasi. Dan kita tidak bisa menilai bahwa pekerjaan sequential vs simultant adalah hal yang terbaik atau terburuk di dalam organisasi.

Kelebihan orang-orang yang sequential adalah mereka akan sangat fokus kepada pekerjaannya, terstruktur, detail dan mereka terbukti lebih produktif (tentunya dengan melakukan satu unit kegiatan pada satu waktu); sedangkan orang-orang yang simultant akan fleksibel dan efisien di dalam melakukan berbagai pekerjaan. Kelemahannya, orang-orang sequential akan sangat tersiksa mengerjakan pekerjaan yang tak beraturan/ tak terstruktur (hilang fokus), terlihat lamban di dalam menyelesaikan pekerjaan (jika pekerjaan bertumpuk); sedangkan orang yang simultant akan terlihat tidak fokus untuk menyelesaikan satu pekerjaan (kualitas pekerjaan biasa-biasa saja), terkesan mengabaikan pekerjaan yang membutuhkan detail yang tinggi.

Sehingga jika manajemen tidak bijak di dalam melihat atau menilai persepsi anak buah atau bawahannya terhadap waktu, maka perubahan demi perubahan yang ditetapkan oleh manajemen akan sia-sia belaka. Karena pada prosesnya orang-orang yang sequential membutuhkan arahan dan kejelasan terhadap urutan pekerjaannya; sedangkan orang-orang yang simultant membutuhkan pengawasan dan kegiatan yang koordinatif agar pekerjaan terselesaikan dengan tepat waktu. Jadi bisa dibayangkan bagaimana reaksi kedua orang-orang sequential dan simultant tersebut jika digabungkan, andaikata manajemen mengabaikan hal penting ini.

Interaksi Sequential Vs Simultant

Proses interaksi sequential Vs simultant membutuhkan “kesalingpengertian” dari masing-masing jajaran. Orang-orang sequential dibentuk oleh pekerjaannya yang memerlukan keterkaitan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya. Artinya pekerjaan yang satu tidak dapat diselesaikan tanpa menyelesaikan pekerjaan berikutnya. Biasanya ini ada di bagian produksi, teknis, dan memerlukan prosedur atau formulir yang terkait. Sedangkan orang- orang simultant dibentuk oleh pekerjaannya yang memerlukan proses koordinasi dan komunikasi yang aktif, sehingga pekerjaannya menjadi multitasking. Orang-orang sequential merupakan implementor yang konsisten begitu program telah digulirkan, sedangkan orang-orang simultant merupakan implementor yang berfungsi sebagai katalis yang mempercepat perwujudan program. Sehingga kunci yang harus dicermati oleh manajemen apakah orang tersebut adalah sequential /simultant adalah dari proses bisnis dan prosedur pekerjaan yang dihadapi oleh bawahannya.

Pelaksanaan Program dan Tingkat Akurasi

Pelaksanaan program berasal dari perencanaan dan tingkat akurasi program berasal dari hasil interaksi jajaran perusahaan. Sehingga yang harus diantara jajaran unit adalah konsensus waktu bagi status penyelesaian pekerjaan/ program/ kegiatan tersebut, apakah akan dilakukan dalam kurun waktu tahunan, bulanan, mingguan, kuartalan atau bahkan real time (saat itu juga)? Kemudian berapa lama toleransi yang diberikan terhadap pekerjaan dikatakan tepat waktu atau tidak tepat waktu dibandingkan dengan perencanaan yang telah dilakukan di awal? Kapankah sesi umpan balik akan dilaksanakan? Dan berapa lama pekerjaan tersebut akan dijalankan?

Unit waktu terhadap status penyelesaian pekerjaan/ program/ kegiatan tersebut merupakan hal krusial dan seringkali menjadi permasalahan bagi orang yang memiliki persepsi waktu yang berbeda. Orang sales, keuangan, dll, akan langsung menunjukkan hasil-hasil pencapaian yang telah dilakukan, sedangkan orang research, produksi, dll, sebaliknya tidak akan langsung menentukan kapan status penyelesaian dapat terselesaikan itu melainkan tergantung pada proses. Dan hal ini seringkali akan menimbulkan rasa frustrasi bagi rekan-rekan atau bahkan bagi manajemen. Sehingga unit waktu memerlukan pendefinisian ulang bagi tumbuh kembangnya Budaya Perusahaan. Semoga!